• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORITIK

2. Tinjauan Tentang Perkawinan Adat Kejawen

1) Pengertian Perkawinan

Menurut Purwadarminta (1976) yang dikutip oleh Bimo Walgito (2002:11) dikatakan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan, nikah adalah : “Perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami istri”. Sedangkan Hornby (1957) yang dikutip pula oleh Bimo Walgito (2002:11) menyebut perkawinan sebagai “marriage the union of two persons as husben and wife”. Ini berarti perkawinan adalah bersatunya dua orang sebagai suami istri. Dan secara lebih jelas lagi di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1, dikatakan bahwa perkawinan adalah “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang

wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Dari beberapa pengertian di atas maka dapatlah diketahui bahwa sebuah perkawinan memiliki unsur-unsur sebagai berikut :

a) Ikatan lahir batin

b) Antara seorang pria dan seorang wanita c) Sebagai suami istri

d) Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal e) Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

Sementara itu Hilman Hadikusumo (1990:70) memberikan definisi perkawinan menurut hukum adat, sebagai berikut :

Perkawinan menurut hukum adat tidak semata-mata berarti ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan maksud mendapatkan keturunan dan membangun atau membina kahidupan keluarga (rumah tangga), tetapi juga berarti hubungan yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak istri dan pihak suami.

Dari uraian tersebut, maka dapat diketahui pula bahwa di dalam suatu perkawinan tidak hanya terjadi ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, namun berarti berlakunya pula ikatan kekerabatan untuk dapat saling membantu dan menunjang hubungan kekerabatan yang rukun dan damai.

Sedangkan dalam hukum Islam Ny. Soemiyati (1986:8) memberikan definisi perkawinan sebagai berikut :

Perkawinan yang menurut agama Islam adalah nikah yaitu melakukan aqad atau perjanjian untuk mengikat diantara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara dua belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah.

Dari beberapa pendapat diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perkawinan merupakan suatu perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang pria dengan seorang wanita untuk menghalalkan hubungan sebagai suami istri dan

untuk mendapatkan keturunan serta membangun atau membina kehidupan keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

2) Pengertian Adat

Adat sama halnya dengan tradisi atau kebiasaan, menurut Abu Ahmadi (1980:282) mengatakan bahwa : “Adat atau tradisi adalah kebiasaan dalam adat istiadat yang di pelihara secara turun-temurun mengenai kepercayaan”. Sedangkan menurut E.S Ardinarto (1996 : 1) : ”Adat istiadat adalah suatu tingkah laku seseorang atau suatu bangsa yang terjelma dalam kehidupan sehari-hariyang dapat mencerminkan jiwa atau kepribadiannya”. Hukum menurut Soerjono Sukanto yang mengutip pendapat dari Djojodigoeno dalam Hukum Adat Indonesia (1983:148) berpendapat bahwa :

Hukum adat merupakan suatu aturan yang mengtur pola perilaku masyarakat dalam suatu paguyuban, dimana manusia memandang sesamanya sebagai tujuan, dimana perhubungan-perhubungan manusia menghadapi sesamanya manusia dengan segala perasaannya sebagai cinta, benci, sympatie, antipatie, dan sebagainya dari yang baik dan kurang baik. Selaras dengan pandangannya atas masyarakat maka dihadapilah oleh hukum adat manusia itu dengan suatu kepercayaan. Yang artinya sebagai manusia yang menghargai benar perhubungan damai dengan sesame manusia dan oleh sebab itu untuk menyelesaikan segala perselisihan dengan perukunan dan perdamaian, serta kompromi.

Di dalam buku Hukum Adat Indonesia tersebut Soerjono Soekanto yang juga mengutip suatu hasil penelitian yang diadakan di Fakultas Hukum Universitas Andalas pada tahun 1977-1978 mengatakan bahwa :

Pada umumnya adat itu terbagi atas 4 (empat) bagian, yaitu :

1) Adat yang sebenar adat. Ini adalah merupakan undang-undang alam. Dimana dan kapanpun dia akan tetap sama, antara lain adat air membasahi, adat api membakar dan sebagainya.

2) Adat istiadat. Ini adalah pedoman peraturan hidup di seluruh daerah ini yang diperturun naikkan selama ini, waris yang dijawek, pusako nan di tolong, artinya diterima oleh generasi yang sekarang dari generasi yang dahulu supaya dapat kokoh berdirinya.

3) Adat nan teradat. Ini adalah kebiasaan setempat. Dapat ditambah maupun dikurangi menurut tempat dan waktu.

4) Adat yang diadatkan. Ini adalah adat yang dapat dipakai setempat, seperti dalam suatu daerah adat menyebut dalam perkawinan mempelai

menjadi; tetapi pada waktu sekarang karena sukar mencari pakaian kebesaran itu maka pakaian biasa saja dapat dipakai oleh mempelai tadi. Selain pendapat tersebut Soekanto dalam bukunya Meninjau Hukum Adat Indonesia yang di kutip oleh Bushar Muhammad dalam buku Asas-asas Hukum Adat (suatu pengantar) (1988:19) mengemukakan “ Hukum adat itu merupakan keseluruhan adat (tidak tertulis) tetapi mempunyai sanksi yang bersifat paksaan dan aturan itu hidup dalam masyarakat yang berupa kesusilaan, kebiasaan dan kelaziman yang mempunyai akibat hukum”.

Menurut Adat Van Dijk dalam bukunya Pengantar Hukum Indonesia yang juga di kutip oleh Bushar Muhammad dalam buku Asas-asas Hukum Adat (suatu pengantar) (1988:21):

Van Dijk menyimpulkan 4 (empat) hal penting tentang adat :

1. Segala bentuk kesusilaan dan kebiasaan orang Indonesia yang menjadi tingkah laku sehari-hari, antara satu sama lain, di sebut adat.

2. Adat itu terdiri dari dua bagian, yaitu yang tidak mempunyai akibat hukum dan yang mempunyai akibat hukum, dan di sebut sebagai hukum adat.

3. Antara kedua bagian tersebut tidak ada pemisah hukum yang tegas. 4. Bagian yang menjadi “hukum adat” itu mengandung pengertian yang

lebih luas daripada pengertian “hukum” dari pengertian Eropa.

Dari pendapat tersebut diatas maka dapat diambil kesimpulan, yang dimaksud dengan adat atau tradisi adalah suatu kebiasaan yang merupakan warisan keyakinan sosial dan kepatuhan terhadap dengan apa yang dianggap selalu ada yang dipelihara secara turun-temurun dimana keberadaannya dilembagakan.

Orang Jawa memandang dan mengalami kehidupan mereka sebagai keseluruhan yang bersifat sosial dan simbolik, kehidupan Jawa bersifat seremonial, orang selalu meresmikan keadaan dengan upacara-upacara, harus diulangi baik yang sudah ada maupun yang timbul harus diupacarakan.

Menurut Budiono Harusatoto (2000:92) menyatakan bahwa : “Adat dapat dibagi dalam empat tingkatan, yaitu tingkatan nilai budaya, nilai norma-norma, tingkatan hukum, tingkatan aturan khusus”.

3) Pengertian Kejawen

Kejawen merupakan suatu adat istiadat yang terdapat di wilayah Jawa yang di anggap masih sangat sakral pelaksanaannya. Menurut Paku Buwono XII dalam bukunya Kraton Surakarta ( 2001 : 11-12):

Kejawen juga merupakan suatu pemikiran yang berkembang dari tradisi dan identitas masyarakat Jawa yang di kenal dengan kejawen. Kejawen dapat diartikan dengan suatu kesatuan harmoni antara apa yang dilihat dan dengan apa yang tidak dilihat, dan lebih khususnya antara Hyang Sukma, sumber kehidupan dengan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang telah di berikan kehidupan kepadanya kehidupan yang pinesti. Pinesti adalah kepercayaan bahwa manusia yang pada akhirnya akan kembali pada yang memberikan eksistensi kejadian nyata melalui pemikiran yang dipercayai, menurut orang jawa hal ini di sebut dengan Sangkon Paraning Pumadi yang telah menjadi salah satu prinsip hidup orang-orang Jawa.

Selain itu K.R.M.H Yosodipura juga menjelaskan mengenai makna dari Kejawen, beliau mengatakan bahwa:

“Kejawen merupakan suatu budaya jawa yang bersumber dari Keraton Surakarata yang kemudian mengartikan kembali bahwa kejawen adalah suatu pandangan hidup orang jawa dengan pengertian serta tindakakn-tindakannya dibidang kehidupan dan penghidupan lahir maupun batin kemudian menerapkannya dalam masyarakat dengan gaya serta iramanya yang khas”.

Sedangkan menurut Niels Mulder mendefinisikan sebagai suatu tradisi yang khas. Unsur-unsur ini biasanya diperkirakan sebagai berasal dari masa Hindhu Budha dalam sejarah jawa dan bergabung dalam suatu filsafat, yaitu system khusus dari dasar-dasar perilaku kehidupan.

Tradisi kejawen adalah sangat kaya dan mencakup suatu kepustakaan luas yang meliputi paling kurang seribu tahun, dari yang paling kuno berupa sumber-sumber yang sangat berbau Sansakerta lewat laporan-laporan sejarah dan setengah sejarah, seperti misalnya Pararaton dan

Nagarakartagama dan Babad Tanah Jawi, lewat risalah mistik dan keagamaan yang tak terhitung banyaknya dimana pengaruh Islam secara bertahap semakin nyata. Dengan kata lain, tradisi kejawen merupakan suatu tradisi yang berkesinambungan yang sepenuhnya hidup. (Niels Mulder, 1985 : 16)

Kejawen bukanlah suatu kategori keagamaan, tetapi menunjuk pada suatu etika dan gaya hidup yang diilhami oleh cara pemikiran Javanisme. Penafsiran

kehidupan sosial Jawa selalu dihantui oleh tiga pembagian tipe ideal, yaitu : Santri, Abangan, Priyayi. Yang telah diberi ciri-ciri tersendiri oleh suatu konsep dan kepercayaan yang menjadikan kemungkinan kepada mereka untuk pada saat yang bersamaan menjadi orang Jawa yang sungguh-sungguh. Sekalipun tidak bisa dibantah bahwa ada berbagai kategori dalam kebudayaan Jawa dan orang merasakannya dengan segera setelah ia memasuki suatu lingkungan santri, abangan, priyayi yang “khas”.

Menurut Franz Magnis-Suseno dalam bukunya Etika Jawa (2001:15) mengatakan bahwa

“Orang Jawa Kejawen adalah orang yang lebih percaya kepada adanya berbagai macam bentuk roh yang tidak kelihatan, yang dapat menimbulkan kecelakaan, kesengsaraan dan penyakit apabila mereka di buat marah atau kita kurang hati-hati, maka apabila kita ingin terhindar dari berbagai macam bentuk musibah maka sesekali kita membuat sesajen terutama yang menggunakan daun-daun, bunga dan kemenyan”.

Menurutnya Ritus religius Jawa kejawen adalah dengan mengadakan selametan, yaitu suatu perjamuan sederhana yang dilakukan dengan mengundang tetangga dengan tujuan agar alam raya atau keadan alam dapat pulih kembali.

Menurut pendapat diatas secara jelasnya menyatakan bahwa adat kejawen tersebut berasal dari masyarakat Jawa langsung yang meyakini akan adanya kesatuan pemikiran yang dapat mengakibatkan suatu kepastian kehidupan dari Tuhan Yang Maha Esa kepada msyarakat Jawa yang meyakininya.

Dari beberapa pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa perkawinan adat kejawen adalah peristiwa perkawinan antara seorang pria dengan wanita yang bertujuan untukmenjamin ketenangan, kebahagiaan dan kesuburan serta menimbulkan hak dan kewajiban sebagai suami istri yang dilaksanakan sesuai dengan aturan-aturan adat kejawen yang telah ada dan dilaksanakan sejak zaman dahulu dan sampai sekarang masih dipercaya dan dilaksanakan.

b. Tujuan Perkawinan

1) Tujuan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan pengertian umum

Berbicara mengenai tujuan memang merupakan hal yang tidak mudah, karena masing-masing individu akan mempunyai susunan yang mungkin berbeda antara yang satu dengan yang lain. Demikian pula halnya dalam perkawinan. Dalam pasal 1 Undang-Undang No1 Tahun 1974 tentang perkawinan sudah jelas bahwa tujuan perkawinan adalah “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Adapun unsur- unsur agar tujuan perkawinan dapat tercapai antara lain: a) Adanya persetujuan yang bebasantara calon suami dengan calon istri.

b) Para pihak harus sudah mencapai umur yang sudah di tentukan (minimal 16 tahun untuk calon istri dan minimal 19 tahun untuk calon suami).

c) Mereka menikah bukan karena semata-mata dorongan nafsu biologis atau dorongan-dorongan lain yang tidak baik.

Dari unsur diatas dapat digunakan untuk mencegah terjadinya poligami, terkecuali sangat diperlukan. Sebab dengan adanya poligami keadaan rumah tanggaakan tidak damai dan tentram terlebih apabila suami tidak adil dan bijaksana.

Dan penjelasan tersebut di atas dapat kita ketahui bahwa dalam sebuah perkawinan perlu diniati sekali kawin untuk seterusnya, berlangsung untuk seumur hidup, untuk selama-lamanya. Pasangan suami istri akan berpisah jika salah satu pasangan tersebut meningal dunia. Karena itu diharapkan agar pemutusan hubungan suami istri itu tidak terjadi kecuali kematian.

Sedangkan mengenai masalah kebahagiaan merupakan persoalan yang tidak mudah. Hal itu disebabkan karena kebahagiaan seseorang belum tentu berlaku bagi orang lain walaupun kebahagiaan itu bersifat subjektif dan relative, tetapi adanya ukuran atau patokan umum yang dapat digunakan untuk menyatakan bahwa keluarga itu merupakan keluarga yang seperti dikemukakan oleh Bimo Walgito (2002:14), yaitu : “Keluarga merupakan keluarga yang bahagia bila dalam keluarga itu tidak terjadi kegoncangan-kegoncangan atau pertengkaran-pertengkaran sehingga keluarga itu berjalan dengan smooth tanpa

Sedangkan tujuan perkawinan menurut hukum adat yang ditulis oleh Hilman Hadikusuma (1990:23) yaitu yang bersifat kekerabatan, adalah “Untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakkan atau keibuan atau keibu-kebapakan, untuk kebahagiaan rumah tangga keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian, untuk mempertahankan kewarisan”.

Pada bagian lain disebutkan pula bahwa tujuan perkawinan menurut hukum Islam adalah “ Untuk menegakkan agama, untuk mendapatkan keturunan, untuk mencegah maksiat dan untuk membina keluarga / rumah tangga yang damai dan teratur”.

Dari beberapa penjelasan mengenai tujuan perkawinan di atas maka dapat disimpulkan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk suatu keluarga yang kekal, damai, dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan dan kewarisan, sehingga memperoleh nilai-nilai adat budaya serta untuk mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan maksiat.

2) Tujuan perkawinan menurut adat

Menurut adat perkawinan memiliki tujuan untuk membentuk unit keluarga secara syah, yang anggota-anggotanya saling bekerja sama untuk menyusun suatu rumah tangga yang otonom dan yang mempunyai hak untuk melakukan hubungan seksual dengan syah dan berusaha untuk mempunyai keturunan yang syah pula. c. Asas-asas dan Prinsip Perkawinan

Dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan menjelaskan juga mengenai ap asas dan prinsip dari perkawinan. Penjelasan umum mengenai asas dan prinsip perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tersebut adalah :

Asas dan prinsip yang ada dalam penjelasan penjelasan umum Undang-Undang No.1 Tahun 1974:

1) Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia dan kekal, untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya, membantu dan mencapi kesejahteraan spiritual dan material.

2) Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bila dilakukan menurut agamanya dan kepercayaannya itu dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap peristiwa adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan suatu akta resmi yang juga dalam daftar pencatatan.

3) Undang-undang ini menganut asas monogami, apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan mengizinkan seorang suami dapat beristri lebih dari seorang.

4) Undang-undang ini menganut prinsip bahwa calon suami harus masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.

5) Karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia dan kekal serta sejahtera maka undang-undang ini menganut prinsip mempersukar perceraian, untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan didepan sidang pengadilan. 6) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan

suami dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam kehidupan masyarakat sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.

Sedangkan menurut Hilman Hadikusuma (1990:71) asas-asas hukum perkawinan menurut hukum adat dapat di jelaskan dalam beberapa hal diantaranya adalah sebagai berikut :

Asas perkawinan menurut hukum adat :

a) Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga, rumah tangga dalam hubungan kekerabatan yang rukun dan damai bahagia dan kekal.

b) Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama dan kepercayaan tetapi harus mendapat pengakuan dari anggota kerabat. c) Perkawinan dapat dilakukan seorang pria dengan seorang wanita sebagai

istri yang kedudukannya masing-masing ditentukan menurut hukum adat setempat.

d) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan kerabat masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami atau istri yang tidak diakui masyarakat adat.

e) Perkawinan yang dilakukan oleh pria dan wanita yang belum cukup umur atau masih anak-anak begitu pula walaupun sudah cukup umur perkawinan harus berdasarkan ijin orang tua keluarga atau kerabat. f)Perceraian ada yang dibolehkan dan ada yang tidak dibolehkan. Perceraian

antara suami istri dapat berakibat pecahnya hubungan kekerabatan antara kedua belah pihak.

g) Keseimbangan kedudukan antara suami dan istri berdasarkan ketentuan hukum adat yang berlaku, ada istri yang berkedudukan sebagai ibu rumah tangga dan ada istri yang bukan ibu rumah tangga.

Sementara itu menurut Ny. Soemiyati (1986:5) beliau juga menerangkan asas-asas perkawinan dan prinsip-prinsip perkawinan melalui teorinya yang menjelaskan perkawinan menurut hukum Islam yaitu :

1. Harus ada persetujuan secara sukarela dari pihak-pihak yang mengadakan perkawinan. Caranya ialah diadakan peminangan terlebih dahhulu untuk mengetahui apakah kedua belah pihak setuju untuk melaksanakan perkawinan atau tidak.

2. Tidak semua wanita dapat dikawini oleh seorang pria sebab ada ketentuan larangan-larangan perkawinan antara pria dan wanita yang harus diindahkan.

3. Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan ia sendiri.

4. Perkawinan pada dasarnya adalah untuk membentuk suatu keluarga/rumah tangga yang tentram, damai dan kekal selama-lamanya. 5. Hak dan kewajiban suami istri adalah seimbang dalam rumah tangga,

dimana tanggung jawab pimpinan keluarga ada pada suami. d. Sahnya Perkawinan

1) Sahnya Perkawinan Menurut Perundangan

Sahnya perkawinan menurut perundangan diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

2) Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Adat

Sahnya perkawinan menurut hukum adat menurut Hilman Hadikusuma (1990:27) yaitu : “Pada umumnya bagi penganut agama tergantung pada agama yang dianut masyarakat adat bersangkutan”. Maksudnya jika telah dilaksanakan menurut tata tertib hukum agamanya maka perkawinana itu sudah sah menurut hukum adat.

3) Sahnya Perkawinan Menurut Agama

Sejak berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 sahnya perkawinan menurut hukum agama di Indonesia bersifat menentukan. Apabila suatu perkawinana tidak dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing

berarti perkawinan itu tidak sah. Perkawinan yang dilakukan di pengadilan atau di Kantor Catatan Sipil tanpa dilakukan terlebih dahulu menurut hukum agama tertentu berarti tidak sah. Perkawinan yang dilakukan oleh hukum adat atau oleh aliran kepercayaan yang bukan agama, dan tidak dilakukan menurut tata cara agama yang diakui pemerintah berarti tidak sah.

Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut tata cara yang berlaku dalam agama Islam, Kristen/Katolik, Hindu, dan Budha Indonesia. Menurut hukum Islam yang pada umumnya berlaku di Indonesia adalah perkawinan yang dilaksanakan di tempat kediaman mempelai, di Masjid ataupun di Kantor Agama dengan ijab dan qobul dalam bentuk akad nikah.

Menurut hukum agama Kristen/Katolik perkawinan itu sah apabila syarat-syarat yang telah ditentukan dipenuhi dan perkawinannya dilaksanakan di hadapan Pastur atau Pendeta yang dihadiri dua orang saksi.

Menurut hukum agama Hindu perkawinan itu sah apabila dilakukan didepan Brahmana atau Pendeta atau Pejabat agama yang memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan itu.

Menurut hukum agama Budha Indonesi perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan agama Budha Indonesia. (Hilman Hadikusuma , 1990:28-32).

Dari beberapa penjelasan mengenai sahnya perkawinan diatas maka dapat disimpulkan bahwa sah tidaknya suatu perkawinan adalah semata-mata ditentukan oleh ketentuan agama dan kepercayaan mereka yang hendak melaksanakan perkawinan.

e. Latar Belakang Perkawinan

Menurut Bimo Walgito dalam bukunya yang berjudul Bimbingan dan Konseling perkawinan (2002:19-22) yang melatar belakangi terjadinya perkawinan adalah :

1. Kebutuhan Fisiologis dan Perkawinan.

(…) manusia mempunyai kebutuhan yang bersifat fisiologis. Salah satu kebutuhan ini adalah kebutuhan seksual.

2. Kebutuhan Psikologis dan Perkawinan Psikologis.

Dalam memadu kasih antara remaja pria dan wanita, maka satu dengan yang lain membutuhkan teman hidup yang saling mengisi akan kebutuhan-kebutuhan psikologisnya. Misalnya ingin mendapatkan perlindungan, ingin mendapatkan kasih sayang, ingin merasa aman, ingin melindungi, ingin dihargai.

Setelah telah diketahui pula bahwa dalam suatu masyarakat tertentu adanya pandangan bahwa seseorang tidak kawin akan memperoleh sorotan tersendiri dari anggota masyarakat. Keadaan sosial budaya suatu masyarakat akan ikut mengambil bagian dari perkawinan. Misalnya lebih baik kawin muda, kemudian jadi janda daripada terlambat kawin. 4. Kebutuhan Religi dalam Perkawinan.

Dengan melaksanakan perkawinan maka salah satu segi yang digariskan dalam agama dapat dipenuhi sebagai makhluk yang dititahkan di dunia kecuali berpasang-pasangan, maka atas dasar kenyataan tersebut, sudah dikodratkan bahwa antara pria dan wanita itu perlu melakukan perkawinan.

Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa faktor yang mendorong

Dokumen terkait