BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1. Tinjauan Tentang Sengketa Perdata di
Kewenangan yang dimaksud disini adalah kewenangan untuk mengadili yang dimiliki oleh Peradilan Umum (Pengadilan Negeri). Kewenangan Peradilan Umum dibagi menjadi dua, antara lain:
x. Kewenangan Absolut
Peradilan Umum (Negeri) berwenang untuk mengadili perkara pidana dan perdata sesuai dengan Pasal 50 Undang-undang No. 2 Tahun 1986 jo. Undang-undang No 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum.
xi. Kewenangan Relatif
Pengadilan Umum (Negeri) memiliki daerah hukum yang terbatas, karena sesuai dengan Pasal 2 undang No 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, kedudukan Pengadilan Negeri berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota, sehingga daerah hukumnya hanya meliputi wilayah Kebupaten/ Kota tersebut saja.
b. Bentuk penyelesaian sengketa
Penyelesaian sengketa dalam prakteknya memiliki dua macam metode, yaitu melalui: (Fatahillah AS, 2004:14)
g. Proses peradilan/ penghakiman (ajudikasi) 8. Litigasi (proses pengadilan); dan
9. Arbritase.
j. Proses konsensual/ non ajudikasi
Alternatif Penyelesaian Sengketa saat ini menjadi pilihan yang efektif dan efisien sebab memiliki beberapa bentuk yang memberikan pilihan berbeda bagi para pihak. Menurut Yahya Harahap, dalam penyelesaian sengketa, didapati beberapa bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan, antara lain:
U. Mediasi (mediation) melalui system kompromi (compromise) di antara para pihak, sedang pihak ketiga yang bertindak sebagai mediator hanya sebagai :
i) penolong (helper), dan ii) fasilitator.
V. Konsiliasi (consiliation) melalui konsiliator (consiliator) :
i) pihak ketiga yang bertindak sebagai konsiliator berperan merumuskan perdamaian (konsiliasi);
ii) tetapi keputusan tetap di tangan para pihak. W. Expert determination
Menunjukkan seorang ahli memberi penyelesaian yang menentukan, oleh karena itu keputusan yang diambilnya mengikat kepada para pihak.
X. Mini trial
Para pihak sepakat menunjuk seorang advisor yang akan bertindak: i) memberi opini kepada kedua belah pihak;
ii) opini diberikan advisor setelah mendengar permasalahan sengketa dari kedua belah pihak;
iii) opini berisi kelemahan masing-masing pihak, serta memberi pendapat bagaimana cara penyelesaian yang harus ditempuh para pihak. (M.Yahya Harahap,2004: 236)
Berdasarkan hal tersebut diatas, dapat diketahui bahwa cara berdamai memiliki cakupan yang luas sebagai sebuah penyelesaian suatu sengketa di luar pengadilan. Melalui perdamaian para pihak tidak sekedar mengucap kata damai saja, namun dengan beberapa kriteria pilihan cara berbeda yang semakin berkembang.
c. Gugatan Perdata
Hal yang penting dalam proses penyelesaian perkara perdata melalui jalur pengadilan adalah mengenai pengajuan gugatan. Pengajuan gugatan harus memperhatikan hal-hal yang telah diatur dalam Pasal 118 HIR yang berbunyi:
xi. Gugatan perdata, yang pada tingkat pertama masuk kekuasaan pengadilan Negeri, harus dimasukkan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh wakilnya menurut Pasal 123, kepada
ketua pengadilan negeri di daerah hukum siapa tergugat bertempat diam atau jika tidak diketahui tempat diamnya, tempat tinggal sebetulnya.
xii. Jika tergugat lebih dari seorang, sedang mereka tidak tinggal di dalam itu dimajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal salah seorang dari tergugat itu, yang dipilih oleh penggugat. Jika tergugat-tergugat satu sama lain dalam perhubungan sebagai perutang utama dan penanggung, maka penggugat itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di tempat orang yang berutang utama dari salah seorang dari pada orang berutang utama itu, kecuali dalam hal yang ditentukan pada ayat 2 dari Pasal 6 dari reglemen tentang aturan hakim dan mahkamah serta kebijaksanaan lehakiman (R.O).
xiii. Bilamana tempat diam dari tergugat tidak dikenal, lagi pula tempat tinggal sebetulnya tidak diketahui, atau jika tergugat ttidak dikenal, maka surat gugatan itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal penggugat atau salah seorang dari pada penggugat, atau jika surat gugat itu tentang barang gelap, maka surat gugat itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di daerah hukum siapa terletak barang itu.
xiv. Bila dengan surat syah dipilih dan ditentukan suatu tempat berkedudukan, maka penggugat, jika ia suka, dapat memasukkan surat gugat itu kepada pengadilan negeri dalam daerah hukum siapa terletak tempat kedudukan dipilih itu.
Peraturan tersebut dimaksudkan agar pihak yang akan mengajukan gugatan harus memperhatikan dengan cermat tempat pengajuan suatu gugatan. Hal tersebut berkaitan erat dengan kewenangan relatif yang dimiliki oleh pengadilan negeri agar gugatan yang diajukan tidak ditolak.
Pengajuan gugatan dalam tahap pertama dapat diajukan dengan cara lesan atau dapat juga dilakukan secara tertulis. Jika diajukan secara lesan, maka Penggugat menghadap Ketua Pengadilan Negeri mohon supaya dibuatkan gugatan kepada Tergugat dan Ketua didampingi oleh panitera untuk mencatat gugatan, sedangkan jika tertulis dapat dikuasakan, dimana harus ditandatangani oleh pemberi kuasa, sepanjang dikuasakan penerima kuasa. Ada dua macam penerima kuasa, yaitu secara khusus: kuasa yang dibuat pemberi kuasa kepada penerima kuasa dengan syarat-syarat harus punya ijin dari advokat; dan secara Insidentil : dari pemberi kuasa ke penerima kuasa yang punya hubungan darah atau keluarga.
Apabila gugatan tersebut adalah untuk benda tidak bergerak (tanah, bangunan) bisa diajukan di tempat benda tidak bergerak itu, untuk lebih memudahkan sita
jaminan (conservatoir beslaag). Penggugat setelah membuat gugatan, harus membayar voorschot (uang muka), yang mana menurut Sema Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Pemungutan Biaya Perkara, harus dibayarkan melalui Bank. Setelah membayar, maka bukti pembayaran diserahkan kepada Penitera Muda Perdata untuk kemudian didaftarkan dan berkas pendaftaran tersebut ditandatangani oleh Ketua Pengadilan Negeri (KPN). KPN kemudian menunjuk majelis hakim yang akan memeriksa perkara, dan setelah itu majelis hakim akan menentukan kapan hari persidangan dimulai. KPN kemudian memerintahkan juru sita pengganti untuk memanggil para pihak dengan relaas panggilan yang ditanda tangani oleh juru sita pengganti dan bagi para pihak setelah membubuhkan tanda tangan pada relaas, masing-masing pihak akan menerima relaas panggilan. Isi dari relaas panggilan tersebut menyebutkan agar para pihak datang menghadap di pengadilan negeri sesuai dengan jam dan waktu disertai dengan membawa saksi dan bukti-bukti penting. Pemanggilan pihak Tergugat harus disertai turunan surat gugat dan dalam relaas tersebut disamping untuk menghadap juga untuk menjawab atas isi gugatan Penggugat tersebut.
Pada hari pertama sidang, jika para pihak telah hadir dengan lengkap sesuai dengan Pasal 130 ayat (1) HIR yang menyatakan bahwa “Jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah fihak datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka”, maka sidang akan diawali dengan usaha perdamaian. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Pasal 2 ayat (2) menyebutkan bahwa “Setiap hakim, mediator, dan para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur dalam peraturan ini”, sehingga para pihak wajib menjalankan mediasi terlebih dahulu. Jika berhasil, maka proses mediasi akan berakhir dengan dibuatnya akta perdamaian, sedangkan jika tidak maka akan dilanjutkan dengan sidang selanjutnya yang pada intinya meneruskan gugatan sebelumnya.
d. Putusan Hakim
Putusan peradilan dalam sistem yang merdeka, putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap memiliki kedudukan sangat penting di seluruh sistem
hukum yang berdasarkan prinsip konstitusionalisme (Mhd. Shiddiq Tgk.Armia, 2003:106). Putusan sebagai produk akhir yang dihasilkan oleh pengadilan pemeriksa perkara yang mana harus dipatuhi oleh para pihak.
Putusan menurut sifatnya ada 3 macam, yaitu: (Sudikno Mertokusumo,2002:223)
1. Putusan declaratoir 2. Putusan constitutief 3. Putusan condemnatoir
Diantara ketiga macam putusan tersebut, hanya ada satu putusan yang didalamnya mengandung suatu penghukuman dan dapat dilakukan eksekusi bagi para pihak yang kalah, yaitu putusan condemnatoir, sedangkan dua putusan lainnya, yaitu putusan declaratoir dan putusan constitutief , tidak perlu adanya eksekusi.
Pedoman Pelaksanaan Tugas Administrasi Pengadilan Buku II meyebutkan bahwa, jika suatu proses peradilan telah mencapai putusan, maka akan didapati putusan yang berkekuatan hukum tetap. Putusan yang berkekuatan hukum tetap diartikan sebagi putusan Pengadilan Negeri yang oleh kedua belah pihak yang berperkara diterima baik, putusan perdamaian, putusan verstek yang terhadapnya tidak ada pengajuan verzet atau banding, putusan yang tidak dimohonkan kasasi, serta putusan kasasi Mahkamah Agung.
Perkara perdata yang telah dijatuhi putusan yang berkekuatan hukum tetap, pihak yang menang dapat mengajukan permohonan eksekusi terhadap pihak yang kalah agar dapat melaksanakan apa yang diperintahkan di dalam putusan tersebut. Tata cara eksekusi tersebut harus memperhatikan peraturan yang berlaku agar tidak merugikan para pihak.
2. Tinjauan Tentang Perdamaian (Mediasi)