Kata ‘pemerasan’ dalam bahasa Indonesia berasal dari kata dasar ‘peras’ yang bisa bermakna leksikal ‘meminta uang dan jenis lain dengan ancaman (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002: 855).Dalam Black’s Law Dictionary (2014: 180), lema blackmail diartikan sebagai a threatening demand made
without justification. Sinonim dengan extortion, yaitu suatu perbuatan untuk memperoleh sesuatu dengan cara melawan hukum seperti tekanan atau paksaan. Pemerasan (Belanda: afpersing; Inggris: blackmail), adalah satu jenis tindak pidana umum yang dikenal dalam hukum pidana Indonesia. Spesifik tindak pidana ini diatur dalam Pasal 368 KUHP. Dalam struktur KUHP, tindak pidana pemerasan diatur dalam satu bab yaitu Bab XXIII bersama tindak pidana pengancaman. Karena itu kata afpersing sering digabung dengan kata afdreiging yang diatur Pasal 369 KUHP.
Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara tidak sah, memaksa orang lain dengan kekerasan dan ancaman kekerasan supaya orang itu menyerahkan sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian saja adalah kepunyaan orang itu atau orang ketiga, atau supaya orang itu membuat utang atau menghapuskan suatu piutang, ia pun bersalah melakukan tindak pidana seperti yang ada pada Pasal 368 KUHP yang dikualifikasikan sebagai “afpersing” atau “pemerasan” (R.Subekti, 2005:7).
Tindak pidana pemerasan merupakan kejahatan terhadap harta benda yang diatur dalam Buku II KUHP dalam Bab XXIII. Kejahatan pemerasan di dalam bentuknya yang pokok diatur di dalam Pasal 368-371 KUHP. Pasal 368 merumuskan pengertian tentang tindak pidana pemerasan sebagai berikut:
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain, atau supaya memberikan hutang maupun menghapus piutang, diancam, karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama 9 tahun”. Pemerasan hampir mirip dengan pencurian dengan kekerasan (Pasal 365 KUHP). Hubungan kedua Pasal juga erat
karena ayat (2) Pasal 368 menyebutkan terhadap Pasal ini berlaku juga rumusan ayat 2 sampai 4 Pasal 365 KUHP. Pada kedua jenis tindak pidana ini, sama-sama ada unsur pemaksaan dan pengambilan barang milik orang lain.
Menurut Andi Hamzah (2009: 84), perbedaannya terletak pada ada tidaknya interaksi pelaku dengan korban. Pada tindak pidana pemerasan, ada semacam ‘kerjasama’ antara pelaku dengan korban karena korban sendiri yang menyerahkan barang walau dengan paksaan. Sebaliknya, pada pencurian dengan kekerasan, pelaku mengambil sendiri barang tersebut tanpa diketahui pemiliknya.
Pemerasan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang atau lembaga dengan melakukan perbuatan yang menakut-nakuti dengan suatu harapan agar yang diperas menjadi takut dan menyerahkan sejumlah sesuatu yang diminta oleh yang melakukan pemerasan, jadi ada unsur takut dan terpaksa dari yang diperas (http://translate.google.co.id/translate?hl=id&sl=nl&u=http://www. elfri.be/Strafrecht/afpersing.htm&ei=AjlfSunEGI2pkAWXobyoCg &sa=X&oi= Diakses Tanggal 4 Desember 2015) .
Di dalam Pasal 368 KUHP mengandung unsur-unsur dari tindak pidana pemerasan, yaitu:
1) Perbuatan
2) memaksa orang lain
3) dengan kekerasan atau ancaman kekerasan 4) menyerahkan barang kepada si pemeras
Dari keempat unsur pokok ini dapat kita simpulkan bahwa pemerasan adalah suatu perbuatan dimana si pelaku harus mengadakan suatu upaya pemaksaan agar si korban mau menyerahakan sendiri objek yang ingin dikuasai oleh si pemeras.
Korban yang di desak oleh perasaan takut dan terpaksa akan dengan spontan memberikan barang yang awalnya ada pada penguasaannya. Terlebih apabila cara yang dilakukan menggunaakaan kekerasan yang akan menimbulkan efek takut yang lebih besar kepada korban. Di sini perbedaan antara pemerasan dan pencurian terlihat jelas, dimana pada pencurian terkadang si korban tidak tahu atau tidak menyadari bahwa barangnya telah diambil oleh orang lain, namun dalam tindak pidana pemerasan terdapat ironi tersendiri dimana si korban harus menyerahkan sendiri dengan tangannya barang yang ia miliki kepada pemerasnya.
Secara spesifik KUHP sendiri tidak memiliki Pasal yang mengatur tentang Tindak Pidana Pemerasan dengan menyebarkan foto yang bermuatan konten pornografi. KUHP hanya mengatur tentang pemerasan dalam Pasal 368 KUHP dan pengancaman dalam Pasal 369 KUHP yang berbunyi:
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa orang supaya memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang atau menghapuskan piutang, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”
b. Tindak Pidana Pemerasan menurut Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Tindak pidana pemerasan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik BAB VII perbuatan yang dilarang sebenarnya terdiri dari dua macam tindak pidana, yaitu tindak pidana pemerasan (afpersing) dan tindak pidana menakut-nakuti atau pengancaman (afdreiging).
Di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, tindak pidana pemerasan
dikategorikan sebaagai cybercrime. Pada dasarnya cybercrime meliputi semuatindak pidana yang berkenaan dengan sistem informasi, sistem informasi (information system) itu sendiri, serta system komunikasi yang merupakan sarana untuk penyampaian atau pertukaran informasi kepada pihak lainnya (transmitter/originator to reciptient) (Didik M Arief Mansyur dan Elistaris Ghultom, 2005: 10)
Berdasarkan beberapa literature serta prakteknya, cybercrime memilliki karakteristik yaitu:
1) Perbuatan yang dilakukan secara illegal tanpa hak atau tidak etis tersebut terjadi dalam ruang/wilayah siber/cyber (cyberspace), sehingga tidak dapat dipastikan yurisdiksi Negara mana yang berlaku terhadapnya.
2) Perbuatan tersebut dilakukan dengan menggunakan peralatan apapun yang terhubung dengan internet.
3) Perbutan tersebut mengakibatkan kerugian materiil maaupun immaterial (waktu, nilai, jasa, uang, barang, harga diri, martabat kerahasiaan informasi) yang cenderung lebih besar dibaandingkan dengan kejaahatan konvensional. 4) Pelakunya adalah orang yang menguasai penggunaan
internet beserta aplikasinya.
5) Perbuatan tersebut sering dilakukan secara transnasional/melintasi batas Negara (Abdul Wahid dan M. Labib, 2005: 76).
Sesungguhnya banyak perbedaan di antara para ahli dalam mengklasifikasikan kejahatan komputer (computer crime). Ternyata dari klasifikasi tersebut terdapat kesamaan dalam beberapa hal. Untuk memudahkan klasifikasi kejahatan komputer (computer crime) tersebut, maka dari beberapa klasifikasi dapat disimpulkan (Andi Julia, 2006: 71):
1) Kejahatan-kejahatan yang menyangkut data atau informasi komputer.
2) Kejahatan-kejahatan yang menyangkut program atau software komputer.
3) Pemakaian fasilitas-fasilitas komputer tanpa wewenang untuk kepentingan-kepentingan yang tidak sesuai dengan tujuan pengelolaan atau oprasinya.
4) Tindakan-tindakan yang menggagu operasi komputer
5) Tindakan merusak peralatan komputer atau peralatan yang berhubungan dengan komputer atau sarana penunjang Menurut RM Roy Suryo Kasus-kasus cybercrime yang banyak terjadi di Indonesia setidaknya ada tiga jenis berdasarkan modusnya, yaitu (Majalah Warta Ekonomi No. 9, 5 Maret 2001: 12):
1) Pencurian nomor kartu kredit.
Penyalahgunaan kartu kredit milik orang lain di internet merupakan kasus cybercrime terbesar yang berkaitan dengan dunia bisnis internet di Indonesia. Penyalahgunaan kartu kredit milik orang lain memang tidak rumit dan bisa dilakukan secara fisik atau on-line . Nama dan kartu kredit orang lain yang diperoleh di berbagai tempat (restaurant, hotel, atau segala tempat yang melakukan transaksi pembayaran dengan kartu kredit) dimasukkan di aplikasi pembelian barang di internet.
2) Memasuki, memodifikasi, atau merusak homepage (Hacking).
Tindakan hacker Indonesia belum separah aksi di luar negeri. Perilaku hacker Indonesia baru sebatas masuk ke suatu situs komputer orang lain yang ternyata rentan penyusupan dan memberitahukan kepada pemiliknya untuk berhati-hati. Di luar negeri hacker sudah memasuki sistem perbankan dan merusak data base bank
3) Pencemaran nama baik, pemerasan, penyebar berita bohong melalui internet.
4) Penyerangan situs atau e-mail melalui virus atau spamming Modus yang paling sering terjadi adalah mengirim virus melalui e-mail. Menurut RM Roy M. Suryo, di luar negeri kejahatan seperti ini sudah diberi hukuman yang cukup berat. Berbeda dengan di Indonesia yang sulit diatasi karena peraturan yang ada belum menjangkaunya.
Dasar hukum atau ketentuan hukum dari tindak pidana pemerasan menurut hukum positif telah diatur dalam Pasal 27 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi:
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikandan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman”
.
Setiap perbuatan pemerasan/pengancaman pada dasarnya dapat dipidana berdasarkan hukum di Indonesia. Pemerasan/pengancaman melalui internet pada prinsipnya sama dengan pemerasan/pengancaman secara konvensional. Yang membedakan hanya sarananya yakni melalui media internet. Ancaman mengunggah video pribadi termasuk foto pribadi ke media sosial ditengarai merupakan modus baru dalam pemerasan di era digital saat ini.
Sebagaimana umumnya Undang-Undang di luar KUHP yang mengatur perbuatan dengan sanksi pidana, dalam UU ITE perumusan perbuatan dan sanksi pidana juga dicantumkan secara terpisah. Semua perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 sampai Pasal 35 di atas, diancam dengan sanksi pidana dalam Pasal 45-52 (Akbar Kurnia Putra, 2014:12)
Pasal 27 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikandan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman”
Ketentuan Pasal 27 UU ITE mensyaratkan perbuatan mendistribusikan, mentransformasikan dan/atau membuat dapat diaksesnya konten yang dilarang tersebut dilakukan dengan sengaja dan tanpa hak (Pasal 303 KUHP), penghinaan atau pencemaran nama baik (Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP), dan pemerasan atau pengancaman (Pasal 368 dan Pasal 369 KUHP). Perumusan perbuatan dalam Pasal 27 UU ITE pada dasarnya
merupakan reformulasi tindak pidana yang terdapat dalam pasal-pasal KUHP tersebut (Sylverio Chris Talinusa. 2015: 04).
Perumusan ketentuan Pasal 27 ayat (4) yang menggabungkan tindak pidana pemerasan dengan pengancaman dalam satu ketentuan tetap menimbulkan masalah karena kedua tindak pidana tersebut jenis deliknya berbeda. Ketentuan tindak pidana pemerasan sebagaimana diatur dalam Pasal 368 KUHP adalah delik biasa sedangkan tindak pidana pengancaman dalam Pasal 369 KUHP adalah delik aduan (Sigit Suseno. 2012: 166). Ketentuan Pasal 27 UU ITE mensyaratkan perbuatan mendistribusikan, mentransformasikan dan/atau membuat dapat diaksesnya konten yang dilarang tersebut dilakukan dengan sengaja dan tanpa hak (Asri Sitompul. 2001:73).
Untuk ketentuan pidana, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Trasaksi Elektronik juga telah mengaturnya, yaitu:
Pasal 29 yang berbunyi:
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi”.
Pasal 30 ayat (1) yang berbunyi:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apapun.
Tindak pidana pemerasan ( Extortion ) dari analisa di atas diperberat pada BAB XI Ketentuan Pidana UU ITE:
Pasal 45 ayat (1) yang berbunyi:
“Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana
(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Pasal 45 ayat (3) yang berbunyi :
“Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 ( dua miliar rupiah )”.
Pasal 46 ayat (3) yang berbunyi:
“Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah )”
c. Pornografi dalam Tindak Pidana Pemerasan menurut Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi
Undang-Undang yang secara tegas mengatur mengenai pornografi adalah UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi). Pengertian pornografi menurut pasal 1 ayat (1) UU Pornografi adalah:
Gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Pasal 4 ayat (1) UU 44 tahun 2008 mengatur larangan
perbuatan memproduksi, membuat, memperbanyak,
menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b. kekerasan seksual;
c. masturbasi atau onani;
e. alat kelamin; atau f. pornografi anak
Pasal 4 ayat (1) UU 44 tahun 2008 tentang Pornografi disebutkan bahwa yang dimaksud dengan "membuat" adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.
Tindak pidana pemerasan dengan modus menyebarkan foto yang sering terjadi saat ini menggunakan foto sebagai alat untuk menguntungkan pribadinya sendiri atau orang lain. Foto yang digunakan adalah foto yang mengandung muatan pornografi. Antara tindak pidana pemerasan denga penyebaran foto yang bermuatan pornografi merupakan 2 (dua) tindak pidana yang berbeda yang bisa dikategorikan sebagai gabungan tindak pidana. Gabungan tindak pidana atau Samenloop van strafbare feiten dibedakan menjadi :
1) Eendaadse Samenloop atau Concursus Idealis
Gabungan satu perbuatan (eendaadse samenloop atau concursus idealis). Disebutkan dalam peraturan Pasal 63 KUHP. Jenis concursus ini terjadi apabila seorang melakukan satu tindak pidana tetapi dengan melakukan satu tindak pidana itu ia memenuhi rumusan dari beberapa ketentuan pidana (perbarengan peraturan). Contohnya: A ingin membunuh B yang sedang duduk dibelakang kaca, pada saat ingin membunuh B, si A dengan tanpa sadar ikut memecahkan kaca tersebut. (Fuad Usfah, Moh. Najih, Tongat, 2004:119-120).
Satu perbuatan A (membunuh) ini memenuhi 2 rumusan ketentuan pidana yaitu: Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dan Pasal 406 KUHP tentang pengrusakan barang. Konstruksi pasal 63 KUHP mempersyaratkan bahwa beberapa perbuatan itu tidak dapat dipisahpisahkan tanpa melenyapkan yang lain.
Simons berpendapat: (Simons dalam Lamintang, 2011:673).
“Apabila tertuduh itu hanya melakukan satu perilaku terlarang dan dengan melakukan perilaku tersebut, perilakunya itu ternyata telah memenuhi rumusan-rumusan dari beberapa ketentuan pidana, atau dengan perkataan lain apabila dengan melakukan satu perilaku itu, tertuduh ternyata telah melakukan beberapa tindak pidana, maka di situ terdapat apa yang disebut eendaadse samenloop atau concursus idealis ataupun apa yang oleh Profesor HAMEL juga telah disebut sebagai samenloop van strafbepalingen atau gabungan ketentuan-ketentuan pidana”.
Menurut Simons, apabila seorang tertuduh itu telah melakukan satu perilaku yang terlarang, dan perilakunya itu ternyata telah menimbulkan beberapa akibat yang sejenis atau gelijksoortig, maka di situ terdapat apa yang disebut gelijsoortige samenloop atau suatu concursus idealis homogenius (Simons dalam Lamintang, 2011:67).
Seperti yang disebut eendaadse samenloop atau concursus idealis atau samenloop van strafbepalingen di atas, oleh pembentuk undang-undang telah diatur di dalam Pasal 63 ayat 1 KUHP yang rumusannya:
“Val teen feit in meer dan eene strafbepalingen, dan wordt slecht eene dier bepalingen toegepast, bij verschil die daarbij de zwaarste hoofdstraf is gesteld”. Apabila suatu perilaku itu termasuk kedalam lebih dari pada satu ketentuan pidana, maka hanyalah salah satu dari ketentuan-ketentuan pidana tersebut yang diberlakukan, dan apabila terdapat perbedaan, maka yang diberlakukan adalah ketentuan pidana yang mempunyai ancaman hukuman pokok yang terberat (Lamintang, 2011:77).
Tim penerjemah Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Kehakiman (Lamintang, 2011: 78) telah menerjemahkan rumusan Pasal 63 ayat (1) KUHP tersebut dengan rumusan sebagai berikut : “Jika suatu perbuatan masuk kedalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanyalah salah satu dari diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda, maka yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat”
Apa yang disebut meerdaadse samenloop atau concursus realis ataupun apa yang oleh van Hamel (van Hamel dalam Lamintang, 2011: 96) juga disebut sebagai samenloop van delikten itu, oleh pembentuk undang-undang telah diatur di dalam Pasal-Pasal 65 sampai dengan 71 KUHP.
Rumusan Pasal 65 KUHP sebagai berikut :
Bij samenloop van meerdere faiten die als op zich zelve staande handelingen moeten worden beschouwd en meerdere misdrijven opleveren waarop gelijksoortige hoofdstaffen zijn gesteld, wordt eene staft uitgesproken;
Yang artinya :
Pada gabungan dari beberapa perilaku yang dapat dipandang sebagai tindakan-tindakan yang berdiri sendiri-sendiri dan yang telah menyebabkan terjadinya beberapa kejahatan yang telah diancam dengan hukuman-hukuman pokok yang sejenis, maka dijatuhkan hanya satu hukuman;
Rumusan dari Pasal 66 KUHP sebagai berikut :
Bij samenloop van meerdere feiten dia als op zich zelve staande handelingen moeten worden beschouwd en meerdere misdrijven opleveren waarop ongelijksoortige hoofdstraft zijn gesteld, wordt elke dier straffen uitgesproken, doch mogen te zamen in duur de langstdurende met niet meer dan een derde overtreffen;
yang artinya :
Pada gabungan dari beberapa perilaku yang dapat dipandang sebagai tindakan-tindakan yang berdiri sendiri-sendiri dan yang telah menyebabkan terjadinya beberapa kejahatan yang telah diancam dengan hukuman-hukuman pokok yang tidak sejenis, maka dijatuhkan bagi tiap-tiap tindakan itu satu hukuman, akan tetapi lamanya hukuman tersebut secara bersama-sama tidaklah boleh melebihi lamanya hukuman yang terberat ditambah dengan sepertiganya;
Tim penerjemah Wetboek van Straftrecht dari Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Kehakiman telah
menerjemahkan rumusan Pasal 65 ayat 1 KUHP di atas dengan perkataan-perkataan:
Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka dijatuhkan hanya satu pidana;
Sedangkan rumusan dari Pasal 66 ayat 1 KUHP itu telah diterjemahkan dengan rumusan :
Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang masingmasing harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis maka dijatuhkan pidana atas tiap-tiap kejahatan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana terberat ditambah sepertiga;
Apabila di dalam suatu jangka waktu tertentu, seseorang telah melakukan lebih dari pada satu perilaku yang terlarang, dan di dalam jangka waktu tersebut orang yang bersangkutan belum pernah dijatuhi hukuman oleh pengadilan, karena salah satu dari perilaku-perilaku yang telah dilakukan. Apabila di dalam jangka waktu seperti dimaksudkan diatas, orang terebut pernah dijatuhi hukuman oleh pengadilan karena salah satu dari perilaku-perilaku yang telah ia lakukan, maka orang tidak dapat lagi berbicara mengenai adanya suatu samenloop, melainkan mungkin saja mengenai suatu pengulangan atau suatu recidive seperti yang dimaksudkan di dalam Bab ke-XXXI dari Buku ke-2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Selanjutnya Simons juga berpendapat, apabila tertuduh telah melakukan lebih daripada satu perilaku yang terlarang, dan dengan melakukan perilaku-perilaku tersebut tertuduh telah melakukan lebih daripada satu tindak pidana, maka dari situ terdapat apa yang disebut meerdaadse samenloop atau concursus realis ataupun apa yang oleh van HAMEL juga telah
disebut sebagai samenloop van delikten (Simons dalam Lamintang, 2011: 74).
Berkaitan dengan penerapan pidana dalam kasus perbarengan, dikenal ada tiga stelsel (Fuad Usfah, Moh. Najih, Tongat, 2004:121):
a) Stelsel absorpsi
Dalam hal ini apabila ada beberapa ketentuan pidana yang harus diterapkan, hanya yang ketentuan yang paling berat yang diterapkan (pidana dalam ketentuan yang lain dianggap telah absorp/diserap oleh ketentuan yang paling berat). Dalam KUHP, stelsel ini dipakai dalam hal terjadi eendaadse samenloop/concursus idealis dan voortgezette handeling.
b) Stelsel komulasi
Dalam hal ini untuk tiap perbuatan pidana dijatuhkan pidana secara tersendiri untuk kemudian dijumlahkan (dalam hal meerdaadse samenloop untuk dianut oleh KUHP).
c) Stelsel komulasi terbatas
Dalam hal ini pidana yang dijumlahkan tidak boleh melebihi batas maksimal ancaman pidana yang terberat dengan suatu prosedur tertentu. Dalam KUHP stelsel ini dipakai dalam hal terjadinya meerdaadse samenloop (concursus realis) Pasal 65 KUHP. Dengan catatan penjumlahan pidana tidak melebihi ancaman terberat ditambah sepertiganya.
3) Perbuatan berlanjut (Voorgezette Handeling)
Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan dan beberapa perbuatan itu merupakan tindak pidana sendriri. Tetapi di antara perbuatan itu ada yang hubungan sedemikian eratnya satu sama lain sehingga beberapa perbuatan itu harus dianggap sebagai satu peruatan lanjutan. Hal ini diatur dalam pasal 64 KUHP dan pemidanaannya menggunakan sistem absorpsi.
Apa yang dimaksud dengan perbuatan berlanjut? Terdapat beberapa pendapat mengenai perbuatan berlanjut tersebut. Ada sarjana yang memberikan pengertian bahwa perbuatan berlanjut adalah apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan delik,
tetapi beberapa perbuatan yang masing-masing delik itu seolah-olah digabungkan menjadi satu delik.
Sedangkan Simons (Simons dalam Lamintang, 2011:79) mengatakan bahwa KUHP yang berlaku sekarang tidak mengenal vorgezette handeling sebagaimana diatur dalam pasal 64 KUHP yang merupakan bentuk gabungan dalam concursus realis. Hanya tentang pemidanaan pasal 64 KUHP menyimpang dari ketentuan pasal 65 KUHP dan 66 KUHP. Menurut pasal 65 KUHP dan 66 KUHP yang dijatuhkan adalah satu pidana yang terberat ditambah dengan sepetiganya. Sedangkan menurut pasal 64 KUHP yang dijatuhkan hanya satu pidana yang diperberat. Oleh karena itu, Simons menganggap pasal 64 KUHP sebagai pengecualian terhadap concursus realis/ meerdaadse samenloop.
Adapun ciri-ciri dari perbuatan berlanjut adalah:
a) Tindakan-tindakan yang terjadi adalah sebagai perwujudan dari satu kehendak jahat;
b) Delik-delik yang terjadi itu sejenis; dan
c) Tenggang waktu antara terjdinya tindakan-tindakan tersebut tidak terlampau lama (Lamintang, 2011: 80)
Persoalan mengenai sejauh mana cakupan dari satu