• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

E. Tinjauan Tindak Pidana

Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”. Walaupun istilah ini tedapat dalam “WvS” Belanda dengan demikian juga “WvS” Hindia Belanda (KUHP),

tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan “strafbaar feit” itu.

Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur-literatur hukum:

1. Tindak Pidana; 2. Peristiwa pidana; 3. Delik;

4. Pelanggaran Pidana;

5. Perbuatan yang boleh dihukum; 6. Perbuatan yang dapat dihukum; 7. Perbuatan Pidana.

“Strafbaar feit”, terdiri dari 3 kata, yakni “straf”, “baar” dan “feit”. “Straf” diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan “baar” diterjemahkan dengan kata dapat dan boleh. Sedangkan untuk kata “feit” diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.

Dalam menjelaskan mengenai pengertian dan unsur-unsur “strafbaar feit”, ada dua pandangan aliran atau menurut beberapa orang sarjana hukum. Yakni pandangan aliran monistis atau mayoritas para sarjana hukum pidana dan pandangan aliran dualistis atau minoritas para sarjana hukum pidana. Maka dalam hal ini penulis akan menguraikan pandangan aliran dualistis saja.

Dalam pandangan dualistis atau minoritas sarjana hukum pidana yang dianut oleh Moeljatno, Pompe, Vos, Tresna, Roeslan Saleh, A. Zaenal Abidin. Memilih pengertian “straafbaar feit” sebagai perbuatan dengan alasan bahwa

secara “literlijk” istilah perbuatan adalah lebih tepat sebagai terjemahan “feit”, seperti dalam perbendaharaan ilmu hukum, misalnya istilah “materieele feit” atau “formeele feit”. Demikian juga istilah “feit” dalam banyak rumusan norma-norma tertentu dalam “Wvs” (Belanda) demikian juga “Wvs” (Hindia Belanda).

Istilah perbuatan ini dipertahankan oleh Moeljatno dan dinilai oleh beliau sebagai istilah yang lebih tepat untuk menggambarkan isi pengertian dari “strafbaarfeit”

Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yang didefinisikan beliau sebagai “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut”.

“Adapun istilah perbuatan pidana lebih tepat, alasannya adalah:

• Bahwa yang dilarang itu adalah perbuatannya (perbuatan manusia, yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), artinya larangan itu ditujukan pada perbuataannya. Sedangkan ancaman pidananya itu ditujukan pada orangnya.

• Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman pidana (yang ditujukan pada orangnya) ada hubungan yang erat, dan oleh karena itu perbuatan (berupa keadaan atau kejadian yang ditimbulkan orang tadi, melanggar larangan) dengan orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula.

• Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah maka lebih tepat digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak yang menunjuk pada kedua keadaan kongkrit yaitu: pertama adanya kejadian tertentu (perbuatan) dan kedua adanya orang yang berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu.”90

Pandangan Moeljatno terhadap perbuatan pidana seperti tercermin dalam istilah yang beliau gunakan dan rumusannya, menampakkan bahwa beliau memisahkan antara perbuatan dengan orang yang melakukan. Pandangan yang memisahkan antara perbuatan dan orang yang melakukan ini sering disebut pandangan dualistik (dualistis).

Pandangan Moeljatno ini mengikuti teori Herman Kantorowicz, Kantorowicz berpendapat, bahwa kesalahan seseorang bukanlah sifat perbuatan, tetapi sifat orang yang melakukan perbuatan itu. oleh karena itu beliau menyarankan pendirian yang “Subjektif Schuld”. “Handlung” adalah perbuatan, yang dilarang atau diperintahkan untuk dilakukan, sedangkan kesalahan yang merupakan bagian pertanggungjawaban menyangkut dapat dipidananya (strafbaarheid) pembuat delik. Yang harus diteliti oleh hakim ialah perbuatan lebih dahulu, kalau telah terbukti barulah ia melangkah meneliti terbukti atau tidaknya pertanggungjawaban dan semuanya terbukti hakim menetapkan sanksi hukum pidana ketiganya merupakan syarat-syarat pemidanaan.

90

Menurut Kantorowicz, Strafbaare Handlung (perbuatan pidana) terdapat bilamana “die handlung its also Rechtsfertigungsgrund fint”. Suatu perbuatan yang dirangkum oleh rumus undang-undang dan yang tidak dibenarkan oleh alasan pembenar. Jadi dalam pengertian perbuatan pidana tidaklah lagi dimasukkan sikap batin pembuatnya. Dibedakan antara perbuatan pidana dengan syarat-syarat pemidanaan.

Pompe, yang merumuskan bahwa suatu “straafbaar feit” itu sebenarnya adalah tindak pidana lain daripada suatu “tindakan yang menurut sesuatu rumusan Undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.”91

“Vos, merumuskan bahwa “straafbaar feit” adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.” 92

“R.Tesna, walaupun menyatakan sangat sulit untuk merumuskan atau memberi definisi yang tepat perihal peristiwa pidana, namun juga beliau menarik definisi, yang menyatakan bahwa, “peristiwa pidana itu adalah sesuatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.

Dalam rumusan itu tidak memasukkan unsur atau anasir yang berkaitan dengan pelakunya. Selanjutnya dalam peristiwa pidana itu mempunyai syarat-syarat, yaitu:

91

Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung, Penerbit Sinar Baru, 1990, Hlm. 174.

92

Martiman, P, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia 2, Jakarta, PT Pradnya Paramita, 1996, Hlm. 16.

1) Harus ada suatu perbuatan manusia;

2) Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan didalam ketentuan hukum;

3) Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, yaitu orangnya harus dapat dipertanggungjawabkan;

4) Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum;

5) Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya dalam undang-undang.”

Dari uraian syarat-syarat peristiwa pidana tersebut maka dapat digambarkan sebagai berikut yang mengacu pada ajaran Kantorowicz:

“Strafbare Handlung” (SH) + “Schuld” (S) = “Strafvoraussetzungen” (SV)

“Strafbare Handlung” mensyaratkan adanya suatu “Tat” (Perbuatannya), “Tatbestandmaszigkeit” (hal mencocoki rumusan undang- undang), dan tidak adanya alasan pembenar (Fehlen von Rechtfertigungsgrunden). “Handeling” (pembuat) mensyaratkan adanya “Schuld” dan tidak adanya alasan pemaaf (strfauschlieszungsgrunden).

Pembedaan antara unsur-unsur perbuatan melawan hukum dan pertanggungjawaban pembuat delik tidak berarti bahwa keduanya tidak saling berhubungan. Untuk dapat dipidananya pembuat harus ada hubungan psychis. Perbuatan hanya dapat dilarang atau diperintahkan, tetapi pembuatlah yang harus dihukum. Perbuatan melawan hukum menurut von Liszt adalah “das unwerturteil uber”, sedangkan dapat dipidananya pembuat (Schudhaftigkeit), “das uber das tater” (hal dapat dipidananya pembuat).

“Maka menurut Moeljatno, apabila dikaitkan dengan syarat penjatuhan pidana, maka seseorang dapat dijatuhi pidana apabila terpenuhi 2 (dua) syarat, yakni telah melakukan tindak pidana dan mempunyai kesalahan, karena kendatipun telah terbukti melakukan tindak pidana apabila tidak terpenuhi syarat yang lain yang berupa adanya kesalahan maka seseorang tidak dapat dipidana.” 93