• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN UMUM TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB)

2.2.1. Sejarah Berlakunya Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

BPHTB mulai diberlakukan di Indonesia sejak tahun 1998. Didalam memori penjelasan Undang-undang No. 21 Tahun 1997 tentang BPHTB

disebutkan bahwa bumi yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa memiliki fungsi secara sosial dan juga memnuhi kebutuhan papan serta alat untuk berinvestasi yang dapat menguntungkan bagi kehidupan bermasayarakat secara umum dan bagi pemiliknya secara khusus. Oleh karea itu bagi seseorang yang mendapatkan atau memperoleh hak atas tanah dan bangunan sudah merupakan kewajiban untuk menyerahkan beberapa persen dari hasil yang telah dinikmatinya kepada Negara selaku penguasa yang mengusahakan tanah ataupun bangunan yang ada dan berdiri di wilayah Negara Indonesia dalam bentuk pungutan pajak dalam hal ini Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

Seperti yang telah diketahui bahwa sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agararia atau yang dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), setiap pemindahan hak atas harta tetap yang ada di wilayah Indonesia, dipungut Bea Balik Nama berdasarkan Ordonansi Bea Balik Nama Staatblad 1924 Nomor 291. Obyek Bea Balik Nama (BBN) menurut ordonansi tersebut adalah

1. Semua perjanjian harta tetap yang terletak atau berada di Indonesia 2. Akta pendaftaran dan pemindahan kapal

3. Semua peralihan karena warisan atau legaat dari harta tetap atau kapal yang terdaftar yang ditinggalkan oleh orang-orang yang mempunyai tempat tinggal terakhir di indinesia64

Bea Balik Nama ini dipungut atas setiap ada perjanjian pemindahan hak atas harta tetap yang ada di wilayah Indonesia, termasuk peralihan harta karena

64Muhammad, 2005, PBB, BPHTB & BEA MATERAI: Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, & Bea Materai, PT. Indeks, Jakarta, hal. 126.

hibah wasiat. Pengertian dari harta tetap dalam Ordonansi tersebut adalah barang-barang tetap dan hak-hak kebendaan atas tanah, yang pemindahan haknya dilakukan dengan pembuatan akta menurut cara yang diatur dalam undang-undang, yaitu Ordonansi Balik Nama Staatsblaad 1834 Nomor 27.65

Berlakunya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) membawa konsekuensi, bahwa pungutan Bea Balik Nama (BBN) atas harta tetap berupa tanah tidak dapat dilaksanakan, karena pungutan tersebut melekat pada hukum tanah berdasarkan Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Sedangkan Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata sepanjang yang mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya telah dicabut oleh undang Pokok Agraria (UUPA). Dengan demikian sejak berlakunya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), Bea Balik Nama (BBN) atas tanah tidak dipungut lagi.

Pemberlakuan pemungutan BPHTB merupakan pengganti dari pada bea balik nama atas harta tetap yang berupa hak atas tanah yang pernah berlaku pada masa penjajahan belanda. setelah sekian lama tidak dilakukan pemungutan kembali oleh pemerintah maka dengan melihat suatu perkembangan yang terjadi di Indonesia serta kebutuhan suatu Negara demi terlaksananya pembangunan yang makmur maka pada tahun 1998 melalui Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tentang BPHTB pemungutan BPHTB diberlakukan kembali, kemudian beberapa tahun kemudian pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia melakukan perubahan dan penyempurnaan terhadap UU Nomor 21

65Heru Supriyanto, 2010, Cara Menghitung PBB, BPHTB, dan Bea Materai, PT. Indeks, Jakarta, hal. 111.

Tahun 1997 tersebut dengan dikeluarkannya UU Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU Nomor 21 tahun 1997. BPHTB yang dalam undang-undang 20 Tahun 2000 merupakan pajak pusat yang dipungut langsung oleh pemerintah pusat, hal demikian memang sangat diapresiasi karena dengan diberlakukannya UU BPHTB akan lebih manjamin suatu kepastian hukum dibidang peralihan hak atas tanah.

Dengan berlakunya otonomi daerah melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan perubahan terakhir dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (selanjutnya disebut UU No. 32 Tahun 2014). Prinsip otonomi daerah mengandung arti bahwa daerah memiliki otonomi seluas luasnya dalam artian daerah diberikan kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah pusat. Seiring dengan prinsip otonomi seluas-luasnya tersebut, dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata merupakan suatu prinsip bahwa dalam menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang.66

Demi terlaksananya visi misi prinsip otonomi daerah maka dilakukanlah pengalihan beberapa jenis pajak yang pada mulanya merupakan pajak pusat, dialihkan pemungutan dan pemanfaatannya bagi pemerintah daerah. Pemberian kewenangan baru pada daerah-daerah di Indonesia dalam melakukan pemungutan

66Jantje D. South, 2013, “Kewenangan Daerah Mengelola Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB)”, Jurnal Hukum Universitas Samratulangi Vol. I Nomor 5, Oktober-Desember 2013, hal. 80.

dan pengelolaan beberapa jenis pajak yang awalnya merupakan pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat, adalah sebuah penerapan dari sistem penyelenggaraan otonomi daerah. Prinsip dari pemberian hak otonomi oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah kabupaten/kota tentunya bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

The Liang Gie mengungkapkan bahwa :

Tujuan menciptakan Negara Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat adalah membahagiakan seluruh rakyat Indonesia. Sedangkan tujuan menciptakan daerah-daerah otonomi adalah untuk hal yang sama, sekurang-kurangnya untuk mengusahakan masyarakat yang adil dan makmur dalam masing-masing daerah yang bersangkutan.67

BPHTB adalah salah satu jenis pajak pusat yang kemudian dialihkan oleh pemerintah pusat menjadi pajak daerah melalui undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan retribusi Daerah. Gambaran secara umum dari pengaturan mengenai objek pajak, subjek pajak, serta tata cara perhitungan dan dasar dari pengenaan BPHTB yang terdapat dalam ketentuan UU Nomor 28 Tahun 2009, adalah sama dengan pengaturan BPHTB sebagaimana yang diatur sebelumnya dalam UU Nomor 21 Tahun 1997 yang kemudian telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2000.68 Namun beberapa perbedaannya adalah adanya ketentuan dalam beberapa pasal dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tersebut yang menentukan beberapa jenis pajak yang dialihkan dari awalnya pajak pusat menjadi pajak daerah. Tentunya dengan dialihkannya beberapa jenis pajak pusat menjadi pajak daerah melalui UU Nomor 28 Tahun 2009, akan meningkatkan

67The Liang Gie, 1978, Kumpulan Pembahasan Terhadap Undang-Undang Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah Indonesia, Cet. II, Karya Kencana, Yogyakarta, hal. 10.

68Harry Hartoyo dan Untung Supardi, 2010, Membedah Pengelolaan Administrasi PBB dan BPHTB, Mitra Wacana Media, Jakarta, hal. 214.

akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah serta pemberian kewenangan yang lebih besar dibidang perpajakan khususnya untuk pajak daerah. Danny Burn, et.all, mengemukakan bahwa otonomi daerah dengan sistem desentralisasi mempunyai fungsi strategis dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Dalam pandangan para penulis ini dikemukakan :

“Decentralisation offers an attractive alternative to market models because it has the potential not only to provide responsive, high quality services, but also a range of possibilities for strengthening citizen involvement in the governing process”69

.

Dalam terjemahan dapat diberi arti bahwa Desentralisasi memberikan suatu alternatif yang cukup menarik untuk model pemasaran, oleh karena tidak saja bersifat responsive dan mampu memberikan pelayanan yang berkualitas tinggi, akan tetapi sangat memungkinkan memperkuat peran serta masayarakat dalam proses pemerintahan).

BPHTB merupakan pajak yang dikenakan atas dasar perolehan hak atas tanah dan bangunan dan pada dasarnya dikenakan kepada subyek hukum yaitu orang dan atau badan yang menerima perolehan hak atas tanah dan bangunan yang terjadi di wilayah Negara Indonesia. Perolehan hak atas tanah merupakan suatu perolehan suatu hak yang didasarkan atas adanya suatu perbuatan atau peristiwa dimana karena suatu perbuatan hukum seseorang atau badan akan secara sadar melakukan suatu perbuatan hukum untuk mengalihkan haknya kepada pihak lain yang menerima misalnya dalam hal jual beli, hibah dan lain-lain, sedangkan

69Danny Burn, 1994, Robin Hambleton and Paul Hogget, The Politics of Decentralisation, Revitalising Local, Democracy, The Macmillan Pres Ltd. London, hal. XIV.

peralihan hak karena suatu peristiwa hukum terjadi apabila karena adanya peristiwa hukum ,misalnya keematian yang mengakibatkan adanya pewarisan.

2.2.2. Pengertian Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) Upaya pemenuhan suatu Negara berkaitan dengan anggaran untuk dapat berlangsungnya kehidupan negara adalah salah satu bersumber dari pemungutan pajak, pajak merupakan salah satu pendapatan suatu Negara yang digunakan untuk pembangunan agar terciptanya kemakmuran masayarakat. Pendapatan Negara yang bersumber dari sektor pajak adalah hal yang utama dan BPHTB merupakan salah satu sektor pendapatan yang bersumber dari pajak, Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) merupakan salah satu pajak baru yang dipungut oleh pemerintah daerah khususnya pemerintah kabupaten/kota di Indonesia. Penerapan BPHTB sebagai pajak daerah diatur secara keseluruhan dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Disamping dari pajak ada beberapa sumber pendapatan Negara yang mempunyai pengertian yang sama dengan pajak yaitu bea dan cukai. Pajak bea dan cukai merupakan peralihan suatu kekayayan dari sektor swasta ke sektor pemerintah.

Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) secara gramatikal tersusun dari beberapa kata yaitu: Bea, Perolehan, Hak, Tanah dan Bangunan yang menurut kamus besar bahas Indonesia masing-masing memiliki arti sebagai berikut :

a. Kata bea dapat diartikan dalam dua pengertian yaitu : 1. Pajak; cukai;

2. Biaya atau ongkos

b. Kata perolehan diartikan memperoleh c. Kata hak diartikan milik atau kepunyaan

d. Kata tanah diartikan sebagai permukaan bumi yang terbatas yang ditempati suatu bangsa yang diperoleh suatu Negara atau menjadi daerah Negara

e. Kata bangunan yang artinya yang didirikan; yang dibangun

Jadi dari arti kata tersebut maka secara gramatikal bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dapat disimpulkan memiliki pengertian pajak yang harus dibayar oleh seseorang atau badan yang memperoleh hak atau kepemilikan tanah dan atau bangunan. Dari pengertian yang dijelaskan di atas maka terdapat tiga hal yang harus diketahui dan dipahami untuk memperjelas mengenai pengertian BPHTB, ketiga hal tersebut adalah sebagai berikut :

1. Perolehan hak atas tanah dan bangunan merupakan suatu perbuatan hukum atau suatu peristiwa hukum yang mengakibatkan orang atau badan memperoleh hak atas tanah dan bangunan.

2. Hak atas bangunan yang dimaksud adalah hak-hak atas tanah sebagaimana yang diatur dalam ketentuan undang-undang pokok agraria dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1965 Tentang Rumah Susun serta ketentuan peraturan undang-undang yang berlaku lainnya. 3. Surat setoran Bea Prolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan atau surat

setoran pajak daerah adalah surat yang diperoleh oleh wajib pajak untuk digunakan sebagai alat untuk melaporkan pajak yang terhutang dan

untuk melakukan pembayaran pajak ke kas Negara melalui Bank yang telah ditunjuk oleh pemerintah atas perolehan hak atas tanah dan bangunan.

Menurut peraturan perundang-undangan pengertian tentang pajak BPHTB terdapat dalam ketentuan Pasal 1 angka 41 UU No. 28 Th 2009 disebutkan bahwa “Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan”. Selanjutnya dalam angka 42 ditentukan bahwa “Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan”. Dijelaskan lagi dalam angka 43 bahwa “Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan bangunan”.

Pengertian diatas baik secara gramatikal maupun secara undang-undang memiliki kesamaan yaitu keduanya menegaskan bahwa bea perolehan hak atas tanah dan bangunan merupakan pajak yang mendasarkan terhadap objek perolehan hak atas tanah dan bangunan, BPHTB atau bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang dimaksud adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya atau dimilikinya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang perseorangan pribadi atau badan. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan pada dasarnya dikenakan atas setiap perolehan hak yang diterima oleh orang pribadi atau badan

hukum yang terjadi dalam Wilayah Hukum Negara Indonesia. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan merupakan pajak terhutang dan harus dibayar oleh pihak yang memperoleh suatu hak atas tanah dan bangunan agar akta peralihan hak seperti jual beli, hibah, tukar menukar, atau risalah lelang, atau surat keputusan pemberian hak atas tanah dapat dibuat dan ditanda tangani oleh Pejabat yang berwenang. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan merupakan salah satu pajak obyektif atau pajak kebendaan dimana pajak terutang didasarkan pertama-tama pada apa yang menjadi obyek pajak baru kemudian memperhatikan siapa yang menjadi subyek pajak70.

Hak atas tanah adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan diatasnya sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak-hak atas tanah yang dimaksud adalah jenis hak atas tanah sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) yang menyebutkan :

(1) Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) ialah: a. hak milik,

b. hak guna-usaha, c. hak guna-bangunan, d. hak pakai,

e. hak sewa,

f. hak membuka tanah, g. hak memungut hasil hutan,

h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53.

70Marihot Pahala Siahaan, 2003, Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Teori Dan Praktek, Edisi I ,Cet. I, Jakarta : PT. Raja Grafindo, hal 59.

berbeda dengan pengertian bea dan cukai yang meskipun keduanya merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang bersumber dari pajak. Bea dalam hal ini dapat dibedakan menjadi atas dua yaitu bea masuk dan bea keluar.

Bea masuk ialah, bea yang dipungut dari jumlah harga barang yang di masukkan ke aerah pabean dengan maksud untuk dipakai, dan dikenakan bea menurut tarif tertentu yang penyelenggaraannya diatur dan ditetapkan dengan undang-undang dan keputusan menteri keuangan. Bea keluar ialah bea yang dipungut dari jumlah harga barang-barang yang tertentu yang dikirim keluar daerah Indonesia, dan dihitung berdasarkan tarif tertentu, hal mana diatur dan ditetapkan dalam undang-undang71.

Dari definisi bea tersebut dapat dilihat bahwa bea masuk maupun bea keluar memiliki pengertian yang sama yaitu bahwa keduanya merupakan pengenaan pajak atas suatu barang baik barang yang dimasukkan ke dalam negeri maupun barang yang akan dikeluarkan ke daerah lain, sedangkan cukai dalah pungutan yang dikenakan atas barang-barang tertentu berdasarkan tarif yang sudah ditetapkan untuk masing-masing jenis barang tertentu72. Tidak semua barang akan dikenakan cukai hanya barang-barang tertentu saja yang dikenakan cukai seperti minuman keras, bensin dan jenis benda bergerak lainnya. Perbedaan antara BPHTB dengan bea cukai terlihat jelas dimana dasar pengenaan pajak terhadap BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan bangunan sedangkan bea dan cukai dasar pengenaan pajaknya dalah benda-benda yang bergerak yang ditentukan oleh undang-undang, perbedaan lainnya adalah BPHTB dalam pemungutan pajaknnya menggunakan system self assessment system yaitu dimana wajib pajak diberikan keleluasaan untuk menghitung dan membayarkan sendiri hutang pajaknnya, sedangkan bea dan cukai tarif pajak dan cara penghitungannya

71 H. Bohari, op.cit, hal. 13.

72

ditentukan oleh pemerintah sesuai dengan tarif yang telah ditentukan dalam pertauran perundang-undangan.

2.2.3. Dasar Hukum Pengaturan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Sebagai Negara yang berdasarkan oleh hukum sangatlah jelas bahwa segala tindakan pemerintah haruslah berdassar dengan hukum yang berlaku, hal itu sebagai pemenuhan asas legalitas suatu Negara. Konsepsi Negara hukum Indonesia tertuang secara jelas dalam Pasal 1 ayat (3) UUD RI 1945 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara Hukum” yang artinya Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum

(Rechtsstaat) tidak berdasar kekuasaan belaka (Machtsstaat), dan absolutism

(kekuasaan yang tidak terbatas)73

Di dalam ketentuan pasal 23A UUD RI 1945 yang berbunyi “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan undang-undang” hal tersebut berlaku secara limitativ dalam artian ketentuan mengenai pemungutan yang dilakukan oleh Negara haruslah berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan tersebut merupakan sebuah hal yang positif agar negara tidak sewenang-wenang membebankan pungutan baik itu berupa pajak atau pungutan lain yang bersifat memaksa kepada

73Winarno, 2007, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan, PT. Bumi Aksara, Jakarta, hal. 116.

warganya tanpa diatur dengan undang-undang sebagai sebuah perwujudan negara hukum.74

Dengan diberlakukannya suatu undang-undang maka secara hukum telah memiliki legalitas yang menjamin suatu Negara atau tindakan pemerintah dalam memungut pajak adalah sah secara hukum. Demikian juga dalam penerapan pemungutan BPHTB yang juga merupakan salah satu pendapatan Negara yang bersumber dari pajak juga harus didasarkan atas ketentuan pearturan perundang-undangan yang sah dalam arti peraturan perundang-perundang-undangan tersebut berlaku sebagai hukum positif di Indonesia.

Pemungutan pajak tidak dapat dipaksakan secara sewenang-wenang oleh pemerintah, pemungutan pajak tentunya harus mendapat persetujuan oleh rakyat, maka dari itu perwakilan rakyat melalui anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih secara langsung oleh rakyat membuat suatu rancangan undang-undang (dalam tulisan ini selanjutnya ditulis RUU) yang mengatur tentang pajak yang seterusnya akan dibahas bersama presiden dan jika RUU tersebut telah mendapat persetujuan dari presiden maka suatu rancangan undang-undang akan menjadi berlaku setelah disahkan oleh presiden. Berlakunya RUU menjadi undang-undang maka secara hukum penerapan pemungutan pajak yang akan diterapkan oleh pemerintah tentunya sah secara hukum. Dalam menyusun peraturan pajak, pemerintah dapat memasukkan politik yang dikehendakinya dalam peraturan pajak. Sehingga dapat dikatakan bahwa, pajak dapat digunakan oleh pemerintah

74Muhammad Djafar Saidi, 2010, Pembaruan Hukum Pajak, (Edisi Revisi), Rajawali Pers, Jakarta, hal. 8.

sebagai alat untuk mencapai tujuan politiknya walaupun sebagian orang mengatakan bahwa pajak harus bersifat netral75.

Pungutan uang pajak lazimnya adalah berupa uang atau natura yang diberikan oleh masayarakat dimana hal tersebut tidak akan mendapat kontraprestasi atau imbalan dari pemerintah secara langsung, uang pajak tersebut akan digunakan untuk membiayai kepentingan umum di dalam masyarakat, sehingga dapat disimpulkan bahwa pentinganya dasar hukum atas pemungutan pajak adalah untuk kepentingan umum. Maka dapat dikatakan hanya ada pajak jika ada masyarakat, dan jika ada masyarakat tentunya ada kepentingan umum76.

Pentingnya suatu pungutan pajak yang melalui persetujuan oleh rakyat merupakan faktor terpenting dalam pemungutan pajak dalam suatu Negara, hal ini berkaitan dengan kepentingan umum yang dibiayai oleh uang pajak, tentunya penggunaan uang pajak untuk kepentingan umum disusun melalui anggaran belanja Negara (dalam tulisan ini selanjutnya ditulis APBN) yang disusun oleh pemerintah dan diajukan kepada DPR untuk mendapat persetujuan atas anggaran yang disusun untuk kepentingan belanja Negara atau untuk kepentingan umum. Apabila suatu rancangan APBN telah mendapat persetujuan dari DPR maka rancangan APBN tersebut menjadi dasar pengeluaran Negara untuk menggunakan uang yang berasal dari pajak sehingga peran masayarakat dalam hal ini dapat mengetahui dan melakukan control terhadap penggunaan uang pajak tersebut sehingga apa yang menjadi kesepakatan antara pemerintah dengan masayarakat

75Rochmat Soemitro, 1990, Asas Dan Dasar Perpajakan I, PT. ERESCO, Bandung, (selanjutnya disingkat Rochmat Soemitro I), hal. 2.

76Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, 2004, Asas dan Dasar Perpajakan I, PT. Refika Aditama, Bandung, (selanjutnya disingkat Rochmat Soemitro II), hal. 9.

terkait pemungutan pajak dapat diberlakukan secara baik dan berlaku hukum secara sah. Dapat dilihat bahwa ikatan pemerintah dengan masayarakat dalam pemungutan pajak berkaitan sangat erat yaitu berjalannya pemerintahan merupakan dukungan dari pada masayarakat itu sendiri melalui setoran pajak, maka masayarakat mempunyai kewenangan untuk mengetahui uang pajak yang disetorkan kepada pemerintah guna menjaga kepercayaan masayarakat terhadap pemerintah. Berkaitan dengan hal tersebut, satu semboyan yang dikenal di inggris yaitu “no taxation without representation, dan di amerika dikenal dengan semboyan “taxation without representation is robbery” 77.

Dari penjelasan tersebut dapat jelaskan bahwa pemungutan pajak harus berdasarkan dengan undang-undang, karena dengan adanya undang-undang maka setiap tindakan pemerintah yang melakukan pemungutan pajak akan mejadi sah secara hukum serta dapat menjamin hak dan kewajiban secara seimbang. Demikian juga dalam pemungutan BPHTB tentunya harus didasarkan hukum melalui undang-undang serta peraturan-peraturan pemerintah sebagai aturan hukum pelaksana agar penerapan pemungutan BPHTB dapat berjalan sesuai aturan yang berlaku. Peraturan-peraturan yang mengatur perpajakan dan BPHTB secara khusus yang pernah berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut :

1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, undang-undang ini telah menggantikan

Dokumen terkait