• Tidak ada hasil yang ditemukan

E. Analisis Data

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi tentang pembahasan dari hasil penelitian yang diperoleh oleh penulis mengenai kajian upaya perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban pelecehan seksual oleh Anggota Kepolisian dan faktor penghambat yang di hadapi oleh Aparat Penegak Hukum dalam memberikan Perlindungan Hukum pada anak yang menjadi korban Pelecahan Seksual oleh Anggota Kepolisian

V. PENUTUP

Bab ini merupakan hasil dari pokok permasalahan yang diteliti oleh penulis yaitu merupakan simpulan dan saran dari penulis yang berhubungan dengan permasalahan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Unsur Tindak Pidana

Tindak pidana adalah gambaran pokok dalam hukum pidana. Tindak pidana adalah suatu pengetahuan yuridis, kecuali halnya memakai istilah kelakuan jahat atau prilaku yang bertentangan dengan nilai norma barang siapa yang menyalahi aturan hukum maka akan kena sanksi/pidana. Hukum sebagai “social engineering atau social planing” berarti bahwa hukum sebagai alat yang digunakan oleh agent of change atau pelopor perubahan yang diberi kepercayaan oleh masyarakat seperti yang dikehendaki atau direncanakan. Jadi perintah dan kewajiban itu sudah pasti yang harus ditaati bagi semua warga negara.

Tindak pidana adalah perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang- undang melawan hukum, yang patut dipidanakan apabila terbukti seseorang melakukan kesalahan/pidana. Orang yang mengerjakan sesuatu kejahatan pidana akan menaggung atas perbuatan yang ia lakukan dengan pidana jika ia terbukti memiliki kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan jika pada saat melakukan kesalahan atau kejahatan dilihat dari sisi masyarakat melihatkan pandangan normatif mengenai perbuatan pidana yang dilakukan.9

Unsur-unsur Tindak Pidana : a. Unsur Objektif

Unsur yang terdapat di luar si pelaku. Unsur-unsur yang ada hubungannya

9 A.f. Lamitang. 2001. Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Aditya hlm. 12

15

dengan keadaan, yaitu dalam keadaan di manatindakan- tindakan si pelaku itu hanya dilakukan terdiri dari:

1) Sifat melanggar hukum.

2) Kualitas dari si pelaku.

3) Kausalitas

b. Unsur Subjektif

Unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku, atau yang dihubungkan dengan diri si pelaku dan termasuk didalamnya segala sesuatu yang tetkandung di dalam hatinya. Unsur ini terdiri dari:10

1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa)

2) Maksud pada suatu percobaan, seperti ditentukandalam Pasal 53 Ayat (1) KUHP.

3) Macam-macam maksud seperti terdapat dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, dan sebagainya.

4) Merencanakan terlebih dahulu, seperti tecantum dakam Pasal 340 KUHP, yaitu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu.

5) Perasaan takut seperti terdapat di dalam Pasal 308 KUHP.

B. Tindak Pidana Pelecahan Seksual

Kekerasan terhadap anak yang salah satunya adalah kekerasan seksual pada umumnya sulit untuk dibuktikan pembenarannya. Hal ini dikarenakan sering bahkan tidak pernah ada orang yang turut hadir dalam kejadian tersebut. Dengan tidak adanya orang lain inilah yang nanti akan menyulitkan dalam proses

10 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), hlm. 50

penyidikan, penuntutan, maupun penjatuhan putusan yang dilakukan oleh hakim dalam pengadilan.11

Hal tersebut karena sangat tidak mungkin dalam melakukan kekerasan seksual, pelaku membiarkan ada orang lain mengetahui bahwa dirinya sedang melakukan tindak pidana kekerasan seksual. Untuk penyidikan dalam hal saksi pun, seringkali mengalami kesulitan. Karena korban dalam hal ini adalah anak yang notaben tidak mengetahui apa yang sedang terjadi. Bahkan fatalnya, dapat juga anak yang menjadi korban kekerasan seksual mengalami trauma sehingga menghambat proses penyidikan. Kekerasan seksual yang sering dikenal dengan kejahatan seksual merupakan kejahatan yang dilakukan terhadap seksualitas laki-laki dan perempuan. Seksualitas yang dilakukan ini biasanya mengandung unsur paksaan yang nantinya merujuk pada kejahatan.

Secara umum pengertian kekerasan seksual pada anak merupakan keterlibatan anak dalam bentuk aktivitas seksual dimana aktivitas seksual tersebut terjadi sebelum anak tersebut mencapai batasan umur yang dilakukan oleh seseorang yang belum dan/atau lebih dewasa dari anak tersebut yang ditetapkan oleh hukum negara yang bersagkutan.12

Menurut Komnas Perempuan, kekerasan seksual dikenal dengan bentuk, antara lain perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, penyiksaan seksual, perbudakan seksual, intimidasi yang merujuk pada perbuatan seksual, prostitusi paksa, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan,

11 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, hlm. 698

12 Ibid, hlm 7-8.

17

perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, kontrol seksual, penghukuman tidak manusiawi dan berbau kekerasan seksual, dan praktik tradisi bernuansa seksual. Kekerasan seksual termasuk ke dalam penyerangan yang berupa seksual.

Hal tersebut terjadi baik kepada perempuan maupun anak, baik telah terjadi persetubuhan atau tidak, dan tidak ada keperdulian mengenai hubungan antara korban dan pelaku maupun dampak dari serangan seksual tersebut.

Kekerasan seksual yang dilakukan terhadap anak dapat diartikan pula sebagai tindak kriminal. Kekerasan seksual terhadap anak tidak hanya perbuatan seksual saja, melainkan usaha maupun aktivitas lainnya seperti berusaha untuk meraba.

Bahkan ketika pelakunya hanya memandangi anak tersebut, maka aktivitas tersebut sudah dapat dikatakan sebagai kekerasan seksual terhadap anak.

C. Pengertian Perlindungan Hukum

Perlindungan Hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum atau dengan kata lain perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun.13

Menurut Setiono, Perlindungan Hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman

13 Setiono, Supremasi Hukum, (Surakarta: UNS, 2004), hlm. 3.

sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan perlindungan hukum adalah tempat berlindung, perbuatan (hal dan sebagainya) melindungi.

Pemaknaan kata perlindungan secara kebahasaaan tersebut memilki kemiripan unsur-unsur, yaitu unsur tindakan melindungi, unsur cara-cara melindungi.

Dengan demikian, kata melindungi dari pihakpihak tertentu dengan menggunakan cara tertentu.14

Menurut Muchsin, Perlindungan Hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Perlindungan Hukum Preventif

Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang- undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan suatu kewajiban.

2. Perlindungan Hukum Represif

Merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.

Menurut Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa Perlindungan Hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hakhak asasi

14 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Edisi Kedua, Cet. 1, (Jakarta: Balai Pustaka), hlm. 595.

Anak adalah seorang yang dilahirkan dari perkawinan antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki dengan tidak menyangkut bahwa seseorang yang dilahirkan oleh wanita meskipun tidak pernah melakukan pernikahan tetap dikatakan anak. Anak juga merupakan cikal bakal lahirnya suatu generasi baru yang merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Masa depan bangsa dan negara dimasa yang akan datang berada ditangan anak sekarang. Semakin baik kepribadian anak sekarang maka semakin baik pula kehidupan masa depan bangsa. Begitu pula sebaliknya, Apabila keperibadian anak tersebut buruk maka akan bobrok pula kehidupan bangsa yang akan datang. Pada umumnya orang berpendapat bahwa masa kanak-kanak merupakan masa yang panjang dalam rentang kehidupan.15

Anak merupakan tunas, sumber potensi dan generasi muda penerus perjuangan cita-cita bangsa dimasa yang akan datang nantinya, oleh karena itu harus kita jaga dan kita lindungi dari perbuatan buruk ataupun sebagai korban dari perbuatan buruk seseorang karena tugas bagi semua orang untuk melindungi sesama manusia terutama anak. Pembahasan mengenai anak, diperlukan suatu perumusan

15 D.Y. Witanto, Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin, Kencana, Jakarta, 2012, hlm. 59.

yang dimaksud dengan anak, termasuk batasan umur. Sampai saat ini di Indonesia ternyata masih banyak terdapat perbedaan pendapat mengenai pengertian anak, sehingga kadang menimbulkan kebingungan untuk menentukan seseorang termasuk dalam kategori anak atau bukan. Hal ini dikarenakan oleh sistem perundang-undangan di Indonesia yang bersifat pluralisme, sehingga anak mempunyai pengertian dan batasan yang berbeda-beda antara satu perundangan-undangan dengan perundang perundangan-undangan lain. Berikut ini uraian tentang pengertian anak menurut peraturan perundang-undangan:

1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan “anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) Tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentinganya”.

2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) Tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan”.

3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang menyatakan bahwa “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) Tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

21

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) Tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) Tahun yang diduga melakukan tindak pidana”. Kemudian angka 4 menyatakan bahwa “anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) Tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana”.

4) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Pengertian Kedudukan anak dalam hukum pidana diletakkan dalam pengertian seorang anak yang belum dewasa, sebagai orang yang mempunyai hak-hak khusus dan perlu mendapatkan perlindungan menurut ketentuan hukum yang berlaku Pengertian dalam hukum pidana menimbulkan aspek hukum positif terhadap proses normalisasi anak dari perilaku menyimpang untuk membentuk kepribadian anak tersebut berhak atas kesejahteraan yang layak. Misalnya Pengertian anak dalam KUHP dapat diambil contoh dalam Pasal 287 KUHP. Dalam Pasal tersebut disebutkan bahwa anak di bawah umur adalah apabila anak tersebut belum mencapai usia 15 (lima belas) Tahun.

Anak yang melakukan tindak pidana merupakan anak yang memerlukan perlindungan khusus sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dalam pasal 59 Ayat 2 menyatakan

bahwa “Perlindungan Khusus kepada Anak sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) adalah anak yang berhadapan dengan hukum”. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Seorang pelaku tindak pidana anak dapat dikenakan dua jenis sanksi, yaitu tindakan, bagi pelaku tindak pidana yang berumur di bawah 14 Tahun.16 Kemudian sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana yang berumur 15 Tahun ke atas.17

Sanksi Tindakan yang dapat dikenakan kepada anak yang melakukan tindak pidana diataranya adalah:18

a. Pengembalian kepada orang tua/Wali;

b. Penyerahan kepada seseorang;

c. Perawatan di rumah sakit jiwa;

d. Perawatan di LPKS;

e. Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;

f. Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau g. Perbaikan akibat tindak pidana.

Sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana anak terbagi atas Pidana Pokok dan Pidana Tambahan, yaitu:19

a. Pidana Pokok terdiri atas:

1. Pidana peringatan;

2. Pidana dengan syarat, yang terdiri atas: pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat, atau pengawasan;

3. Pelatihan kerja;

4. Pembinaan dalam lembaga;

5. Penjara.

16 Lihat Pasal 69 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

17 Lihat Pasal 69 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

18 Lihat Pasal 82 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

19 Lihat Pasal 71 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

23

b. Pidana Tambahan terdiri dari:

1. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau 2. Pemenuhan kewajiban adat.

Anak yang melakukan tindak pidana wajib dilindungi hak-haknya oleh pemerintah dan tidak boleh diskriminasi dan perlu ditangani dengan seksama melalui sistem peradilan pidana anak. Kemudian dalam proses peradilan pidana anak yang berhadapan dengan hukum perlu diberi perhatian khusus demi peningkatan pengembangan perlakuan adil dan kesejahteraan yang bersangkutan (tetap memperhatikan hak-hak yang lainnya). Proses peradilan pidana adalah suatu proses yuridis, dimana harus ada kesempatan orang berdiskusi, dapat memperjuangkan pendirian tertentu, mengemukakan kepentingan oleh berbagai macam pihak, mempertimbangkannya, dan di mana keputusan yang diambil itu mempunyai motivasi tertentu. Sehubungan dengan ini maka ada beberapa hak-hak anak yang perlu diperjuangkan pelaksanaannya bersama-sama, yaitu:20

a. Sebelum Persidangan:

1. Hak untuk diperlakukan sebagai yang belum terbukti bersalah.

2. Hak untuk mendapatkan perlundungan terhadap tindakan-tindakan yang merugikam, menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial dari siapa saja (ancaman, penganiayaan, cara dan tempat penahanan misalnya).

3. Hak untuk mendapatkan pendamping, penasehat dalam rangka mempersiapkan diri berpartisipasi dalam persidangan yang akan datang dengan prodeo.

4. Hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar pemeriksaan terhadap dirinya (transparan, penyuluhan dari yang berwajib).

b. Selama persidangan:

1. Hak mendapatkan penjelasan mengenai tata cara persidangan dengan kasusnya.

2. Hak mendapatkan pendamping, penasehat, selama persidangan.

20 Shanty Dellyana, Wanita Dan Anak Di Mata Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1988.

hlm. 51.

3. Hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar persidangan mengenai dirinya sendiri (transpor, perawatan kesehatan).

4. Hak untuk menyatakan pendapat.

5. Hak untuk memohon ganti kerugian atas perlakuan yang menimbulkan penderitaan, karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam KUHAP.

6. Hak untuk mendapatkan perlakuan pembinaan/penghukuman yang positif, yang masih mengembangi dirinya sendiri sebagi manusia seutuhnya.

7. Hak akan persidangan tertutup demi kepentingannya.

c. Setelah Persidangan :

1. Hak untuk mendapatkan pembinaan atau penghukuman yang manusiawi sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 dan ide mengenai permasyarakatan.

2. Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial dari siapa saja (berbagai macam ancaman, penganiayaan, pembunuhan misalnya).

3. Hak untuk tetap dapat berhubungan dengan orang tuanya, keluarganya.

Perlindungan anak dibawah umur telah banyak dikemukakan baik oleh para pakar hukum dan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, maupun yang berlaku secara universal sebagaimana yang tercantum dalam deklarasi hak-hak azasi manusia. Ada 10 (sepuluh) prinsip tentang hak anak menurut deklarasi, yaitu:

1. Setiap anak harus menikmati semua hak yang tercantum dalam deklarasi ini tanpa terkecuali, tanpa perbedaan dan diskriminasi.

2. Setiap anak harus menikmati perlindungan khusus, harus diberikan kesempatan dan fasilitas oleh hukum atau oleh peralatan lain, sehingga mereka mampu berkembang secara fisik, mental, moral, spiritual, dan sosial dalam cara yang sehat dan normal.

3. Setiap anak sejak dilahirkan harus memiliki nama dan identitas kebangsaan.

4. Setiap anak harus menikmati manfaat dari jaminan sosial.

5. Setiap anak baik secara fisik, mental sosial mengalami kecacatan harus diberikan perlakuan khusus, pendidikan, dan pemeliharaan sesuai dengan kondisinya.

6. Setiap anak bagi perkembangan pribadinya secara penuh dan seimbang memerlukan kasih sayang dan pengertian.

25

7. Setiap anak harus menerima pendidikan secara cuma-cuma dan atas dasar wajib belajar.

8. Setiap anak dalam situasi apapun harus menerima perlindungan dan bantuan pertama.

9. Setiap anak harus dilindungi dari setiap bentuk ketelantaran, tindak kekerasan, dan eksploitasi.

10. Setiap anak wajib mendapatkan Rekreasi.

secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana dimasing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan”.21

3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, manyatakan bahwa: “Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga”.

4) Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsilasi, menyatakan bahwa; “Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, termasuk korban adalah ahli warisnya”.

5) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, menyatakan bahwa; “Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan pihak mana pun.

Istilah korban tidak hanya mengacu kepada perseorangan saja melainkan mencakup juga kelompok dan masyarakat. penderitaan yang dialami oleh korban tidak hanya terbatas pada kerugian ekonomi, cedera fisik maupun mental juga mencakup pula derita-derita yang dialami secara emosional oleh para korban,

21 Muladi, HAM dan Presfektif Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Dipenogoro, Semarang:1997, hlm. 108.

27

seperti mengalami trauma Secara luas pengertian korban diartikan hanya sekedar korban yang menderita langsnung, akan tetapi korban tidak langsnung pun juga mengalami penderitaan yang dapat diklarifikasikan sebagai korban. Yang dimaksud dengan korban tidak langsung adalah, istri kehilangan suami, anak yang kehilangan bapak, orang tua yang kehilangan anaknya.

Korban suatu kejahatan tidaklah selalu harus berupa individu atau orang perorangan, tetapi bisa juga berupa kelompok orang, masyarakat, atau juga badan hukum. Bahkan pada kejahatan tertentu, korbannya bisa juga berasal dari bentuk kehidupan lainnya, seperti tumbuhan, hewan ataupun ekosistem. Korban semacam ini lazim kita temui dalam kejahatan terhadap lingkungan. Dengan memperhatikan nasib korban, maka ruang lingkup hukum pidana mencakup empat hal, yakni perbuatan pidana, pelaku perbuatan pidana, pertanggungjawaban pidana dan korban tindak pidana. Perkembangan ilmu viktimologi selain mengajak masyarakat untuk lebih memerhatikan posisi korban juga memilah-milah jenis korban hingga kemudian muncullah berbagai jenis korban, yakni sebagai berikut:

1) Nonparticipating Victims, yakni mereka yang tidak peduli terhadap upaya penanggulangan kejahatan.

2) Latent Victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu sehingga cenderung menjadi korban.

3) Procative Victims, yaitu mereka yang menimbulkan rangsangan terjadinya kejahatan.

4) Participating Victims, yaitu mereka yang dengan perilakunya memudahkan dirinya menjadi korban.

5) False Victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang dibuatnya sendiri.

Stephen Schafer mengatakan pada prinsipnya terdapat 4 (empat) tipe korban, yakni sebagai berikut :

a. Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, tetapi tetap saja menjadi korban.

b. Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu yang merangsang orang lian untuk melakukan kejahatan.

c. Mereka yang secara biologis dan sosial berpotensi menjadi korban.

d. Korban karena ia sendiri merupakan pelaku.

Setiap pihak yang mengalami penderitaan dan kerugian tentu korban mempunyai hak-hak yang dapat diperoleh sebagai seorang korban. Hak-hak tersebut, diantaranya termuat dalam berbagai peraturan perundang-undnagan, pendapat para ahli dan pakar hukum. Adapun beberapa hak umum yang disediakan bagi korban atau keluarga korban kejahatan, yang meliputi:

a. Hak untuk memperoleh ganti kerugian atas penderitaan yang dialaminya.

b. Pemberian ganti kerugian ini dapat dilakukan atau diberikan oleh pelaku atau pihak lainnya, seperti negara atau lembaga khusus yang dibentuk untuk menagani masalah ganti kerugian korban kejahatan.

c. Hak untuk memperoleh pembinaan dan rehabilitasi.

d. Hak untuk memperoleh perlindungan dari ancaman pelaku.

e. Hak untuk memperoleh bantuan hokum.

f. Hak untuk memperoleh kembali hak (harta) miliknya.

g. Hak untuk memperoleh akses atas pelayanan medis.

h. Hak untuk diberitahu bila pelaku kejahatan akan dikeluarkan dari tahanan sementara, atau bila pelaku buron dari tahanan.

i. Hak untuk memperoleh informasi tentang penyidikan polisi berkaitan dengan kejahatan yang menimpa korban.

j. Hak atas kebebasan pribadi/kerahasian pribadi, seperti merahasiakan nomor telepon atau identitas korban.

Hak-hak korban yang termuat dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, menyatakan bahwa:22

a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.

22 Dikdik M. Arief Mansur, Op. Cit. hlm. 53

29

b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan perlindungan dan dukungan keamanan.

c. Memberikan keterangan tanpa tekanan.

d. Mendapat penerjemah.

e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus.

f. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan.

g. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan.

h. Mendapat identitas baru.

i. Mendapatkan tempat kediaman baru.

j. Memperoleh pengganti biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan.

k. Mendapat nasihat.

l. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.

Berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), korban berhak mendapatkan. Adapun hak-hak para korban menurut Van Boven adalah hak untuk tahu, hak atas keadilan dan hak atas reparasi (pemulihan), yakni hak yang menunjuk kepada semua tipe pemulihan baik materil maupun nonmateril bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia. Sekalipun hak-hak korban kejahatan telah tersedia secara memadai, mulai dari hak atas bantuan keuangan (finansial) hingga hak atas pelayanan medis dan bantuan hukum, tidak berarti kewajiban dari korban kejahatan diabaikan eksistensinya karena melalui peran korban dan keluarganya diharapkan penanggulangan kejahatan dapat dicapai secara signifikan. Untuk itu, ada beberapa kewajiban umum dari korban kejahatan, antara lain, sebagai berikut :

a. Kewajiban untuk tidak melakukan upaya main hakim sendiri/balas dendam terhadap pelaku (tindakan Pembalasan).

b. Kewajiban untuk mengupayakan pencegahan dari kemungkinan terulangnya tindak pidana.

c. Kewajiban untuk memberikan informasi yang memadai mengenai terjadinya kejahatan kepada pihak yang berwenang.

d. Kewajiban untuk tidak mengajukan tuntutan yang terlalu berlebihan kepada pihak lain.

Dokumen terkait