BAB II TINJAUAN PUSTAKA
E. Tinjauan Umum Tentang Kitab Al-Adzkar Karya Imam Nawawi
Imam An-Nawawi lahir pada pertengahan bulah Muharam tahun 631 H di kota Nawa.57 Nama lengkap beliau adalah abu zakaria yahya bin syaraf
56 Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
57 Imam An-Nawawi, Raudharuth Thalibin, Penerjemah: H. Muhyiddin Mas Rida, H. Abdurrahman Siregar, H. Moh Abidin Zuhri (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 54.
45
bin muri bin hasan bin husain bin muhammad bin jum’ah bin hizam al-Hizami an-Nawawi.58 Namun panggilan ini tidak sesuai dengan aturan yang biasa berlaku. Para ulama telah menganggapnya suatu kebaikan sebagaimana yang dikatakan Imam An-Nawawi bahwa disunnahkan memberikan panggilan kunyah kepada orang-orang yang saleh baik dari kaum laki-laki maupun perempuan, mempunyai anak atau tidak mempunyai anak, memakai panggilan anaknya sendiri atau orang lain, dengan abu fulan atau abu fulanah bagi seorang laki-laki dan ummu fulan atau ummu fulanah bagi perempuan.
Imam an-Nawawi dijuluki abu zakaria karena namanya adalah yahya. Orang arab sudah terbiasa memberi julukan abu zakaria kepada orang yang bernama yahya, karena ingin meniru yahya nabi Allah dan ayahnya zakaria, sebagaimana juga seorang yang bernama yusuf dijuluki abu ya’qub, orang yang bernama ibrahim dijuluki abu Ishaq dan orang yang bernama umar dijuluki abu hafsh. Pemberian julukan seperti di atas tidak dengan peraturan yang berlaku sebab yahya dan yusuf adalah anak bukan ayah, namun gaya pemberian julukan seperti itu sudah biasa didengar dari orang-orang arab.59
Al-Hizami, yang dimaksud dengan ini adalah kakeknya hizam yang tersebut di atas. Syaikh Imam Nawawi pernah bercerita bahwa sebagian kakeknya menyangka al-hizami merupakan nisbat pada hizam abu hakim, salah seorang sahabat Rasulullah SAW. Hizam disini adalah kakeknya
58 Syaikh Ahmad Farid, Min A’lam As-Salaf, Penerjemah: Masturi Ilham & Asmu’i Taman, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), h. 756
46
seorang yang mampir di Jaulan desa Nawa seperti kebiasaan orang-orang Arab. Lalu bermukim disana dan diberikan keturunan oleh Allah hingga manusia menjadi banyak. An-Nawawi adalah nisbat pada desa Nawa tersebut. Dia merupakan pusat kota al-Jaulan, dan berada di kawasan Hauran di provinsi Damaskus. Jadi Imam an-Nawawi adalah orang Damaskus karena menetap disana selama kurang lebih delapan belas tahun. Abdullah bin al-Mubarak pernah berkata, “barangsiapa yang menetap di suatu negeri selama empat tahun, maka dia dinisbatkan kepadanya”60. Imam Nawawi gelarnya adalah Muhyiddin. Namun, ia sendiri tidak senang diberi gelar tersebut. Al-Lakhani mengatakan bahwa Imam An-Nawawi tidak senang dengan julukan Muhyiddin yang di berikan orang kepadanya. Ketidak-sukaan itu disebabkan karena adanya rasa tawadhu’ yang tumbuh pada diri Imam An-Nawawi, meskipun sebenarnya dia pantas diberi julukan tersebut karena dengan dia Allah menghidupkan sunnah, mematikan bid’ah, menyuruh melakukan perbuatan yang ma’ruf, mencegah perbuatan yang mungkar dan memberikan manfaat kepada umat islam dengan karya-karyanya.
Imam An-Nawawi adalah ulama yang paling banyak mendapatkan cinta dan sanjungan makhluk. Orang yang mempelajari biografinya akan melihat adanya wira’i, zuhud, kesungguhan dalam mencari ilmu yang bermanfaat, amal soleh, ketegasan dalam membela kebenaran dan amar ma’ruf, nahi mungkar, takut dan cinta kepada Allah SAW dan kepada rasul nya. Semua
47
itu menjelaskan rahasia mengapa ia dicintai banyak orang. Imam An-Nawawi merupakan ulama yang besar pada masanya. Menurut pendapat yang rajih, ia meninggal dunia sementara umurnya tidak lebih dari 45 tahun. Ia telah meninggalkan berkas-berkas, ketetapan-ketetapan dan kitab-kitab ilmiah yang berbobot. Dengan peninggalan-peninggalan tersebut, ia telah menunjukkan bahwa ia melebihi ulama-ulama dan imam-imam pada masanya. Imam An-Nawawi menyibukkan diri dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat, rela berada di pondok yang disediakan untuk para siswa. Ia memanfaatkan semua waktu dan tenaganya untuk melayani umat islam. Ia memakai pakaian tambalan dan tidak menghiraukan dengan perhiasan dunia, agar mendapatkan ridha Sang Raja Maha Pemberi. Adz-Dzabhi mensifati Imam Nawawi sebagai orang yang berkulit sawo matang, berjenggot tebal, berperawakan tegak, beribawa, jarang tertawa, tidak bermain-main, dan terus bersungguh-sungguh dalam hidupnya. Imam Nawawi selalu mengatakan yang benar, meskipun hal itu sangat pahit baginya dan tidak takut terhadap hinaan orang yang menghina dalam membela agama Allah. Adapun hasil karya dari Imam Nawawi adalah sebagai berikut:
a. Dalam bidang fiqh: Al-majmu’, Raudhatuh at-Thalibin, al-Minhaj, dan al-Fatwa.
b. Dalam bidang hadist: Syarah Shahih Bukhari, al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, Syarah Sunnan Abu Dawud, Arba’in an-Nawawi.
48
Riyadu ash-Sholihin, dan atiTaqrib wa at-Taysir fi Ma’rifat Sunan al-Basyirin Nadzir.
c. Dalam bidang biografi dan bahasa arab: tadzhib asma’ wa al-lughat, Thabiqat asy-syafi’iyyah, Manaqib asy-Syafi’i.
d. Dalam bidang akhlak: at-Tibyan fi adab hamalati al-Quran, Bustan al-Arifin, dan al-Adzkar
2. Kitab al-Adzkar
Dalam pendahuluan atau muqaddimah kitab al-Adzkar Imam Nawawi telah menjelaskan bahwa telah banyak ulama-ulama yang yang mengarang kitab dengan menyebutkan sanadnya secara lengkap dan juga sering diulang-ulang. Oleh karena itu beliau kemudian memiliki keinginan agar umat islam dapat lebih mudah untuk mempelajarinya dan juga mengamalkan dzikir-dzikir maka kemudian beliau meringkas sanadnya. Sebagai ganti dari sanad yang dibuangnya, beliau menyebutkan kualitas dari hadist tersebut. Imam Nawawi mengakui bahwasannya Penelitian dari kitab ini adalah sebagai bentuk dari usaha untuk mempermudah umat islam yang ingin menggiatkan amalan-amalan dzikir namun kesulitan untuk mencari amalan dzikir yang disunnahkan oleh Rasululloh SAW.
Selain alasan tersebut, adanya Penelitian sanad yang dituliskan secara lengkap dan sering diulang-ulang cenderung memfokuskan pembahasan hadist pada sisi perawi, matan dan silsilahnya. Menurut Imam Nawawi hal ini tentu belum terlihat cukup praktis untuk dikonsumsi oleh orang banyak, apalagi bagi mereka orang-orang awam yang masih berada pada fase
49
pemula dalam pengalaman islam. Tentunya hal ini akan berbeda dengan mereka yang tergolong orang-orang yang memang memiliki konsentrasi dibidang ilmu-ilmu hadist maupun ilmu-ilmu keislaman. Untuk itulah mengapa kitab ini kemudian disusun agar mereka orang-orang awam dapat mengetahui dan mengamalkan bacaan dzikir yang disunnahkan secara lebih praktis tanpa dibingungkan dengan adanya penyebutan sanad yang begitu lengkap dan diulang-ulang.
Kitab ini berisikan tentang hadist-hadist yang telah tercantum dalam kitab-kitab hadist terkenal dikalangan umat islam pada saat itu. Hanya saja bagi mereka yang ingin mengetahui dzikir-dzikir yang disunnahkan oleh nabi Muhammad SAW tentu merasa kesulitan jika harus memeriksa satu persatu seluruh kitab-kitab hadist itu. Dengan adanya kitab ini tentu akan memudahkan mereka untuk mengetahui dzikir-dzikir yang disunnahkan oleh Nabi Muhammad SAW tanpa harus membuka kitab-kitab hadist yang mungkin jumlahnya ribuan.
Pembabakan dalam kitab ini Imam Nawawi membaginya dari segi kejadian atau masalah praktis yang terjadi dikalangan umat islam. Seperti halnya do’a-do’a yang harus dibaca saat akan melakukan aktivitas sehari-hari yang mungkin dianggap sepele dan jarang dibahas secara lebih serius, dengan membaca kitab ini mereka akan mengetahui bahwa bahwa do’a-do’a tersebut ternyata memang shahih dan bersumber langsung dari Nabi Muhammad SAW.
50
Melalui kitab ini Imam Nawawi mengantarkan siapa saja yang ingin mengetahui hakikat Islam. Bahwa islam adalah agama yang sebenarnya yang menginginkan segala aktivitas manusia baik secara lahir maupun batin selalu diikatkan dengan Allah SWT melalui perantaran do’a agar perbuatan tersebut menjadi lebih berkualitas serta membawa keberkahan, tidak hanya bagi yang beramal tapi juga bagi mereka yang merasakan akibat dari amal tersebut.