• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN UMUM TENTANG SEWA-MENYEWA (IJARAH) 1. Pengertian dan Dasar Hukum Sewa-menyewa (Ijarah) 1.1.Pengertian Sewa-menyewa (Ijiarah)

Lafal al-Ijarah dalam bahasa arab

ﺮﺟﺎﻳ - ﺮﺟﺍ

berarti upah, sewa, jasa atau imbalan. Al-Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan mu'amalah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak atau menjual jasa kepada orang lain seperti menjadi buruh, kuli dan lain sebagainya. Secara etimologi ada beberapa pengertian ijarah yang dikemukakan oleh ulama fiqih yaitu: a. Menurut Sayid Sabiq:

ﺓﺭﺎﺟﻹﺍ

ﺔﻘﺘﺸﻣ

ﻦﻣ

ﺮﺟﻷﺍ

،ﺽﺍﻮﻌﻟﺍﻮﻫﻭ

ﻪﻨﻣ

ﻰﲰ

ﺏﺍﻮﺜﻟﺍ

ﻞﺒﻟﺍﺮﺟﺃ

Artinya: Ijarah diambil dari kata “Arjun” yaitu penggantian maka dari itu pahala juga digantikan upah (Sabiq. 1987.7) b. Menurut Abdurrahman al-Jaziri

ﺓﺭﺎﺟﻹﺍ

ﺔﻐﻠﻟﺍ

ﻮﻫ

ﺭﺪﺼﻣ

ﻲﻋﺎﲰ

ﻞﻌﻔﻟ

ﺮﺟﺍ

ﻰﻠﻋ

ﻥﺯﻭ

ﺏﺮﺿ

ﻞﺘﻗﻭ

ﺎﻬﻋﺭﺎﻀﻤﻓ

ﺮﺟﺄﻳ

ﺮﺟﺍﻭ

ﻢﻴﳉﺍﺮﺴﻜﺑ

ﺎﻬﻤﺿﻭ

ﺎﻬﻨﻌﻣﻭ

ﺀﺍﺰﳉﺍ

ﻰﻠﻋ

ﻞﻤﻌﻟﺍ

Artinya: Ijarah menurut bahasa merupakan masdar sima’i bagi fi’il “ajara” setimbang dengan “dharaba” dan “qatala”, maka mudhari’nya ya’jiru dan ajir ( dengan kasrah jim dan dhammahnya) dan maknanya adalah imbalan atas suatu pekerjaan (al-Jaziri 1972, 94)

Di dalam kamus besar istilah fiqh, ijarah diartikan dengan mengupah yaitu mengupah seseorang atau beberapa orang untuk mengerjakan suatu pekerjaan.(Mujieb 1994, 144) Sedangkan menurut Syekh Syamsudin Abu Abdillah, kata al-ijarah dengan kasrah pada huruf hamzahnya adalah nama suatu upah (buruhan). Menurut istilah adalah bentuk akad yang jelas manfaat dan tujuannya, serah terima secara langsung dan dibolehkan dengan pembayaran (ganti) yang telah diketahui. (Abdillah 1995, 194) Selain itu Wahbah az-Zuhaili juga memberikan penjelasan mengenai al-ijarah, menurut bahasa yaitu jual beli manfaat.

Berdasarkan defenisi di atas maka secara etimologi ijarah adalah imbalan atas pekerjaan atau manfaat sesuatu. Secara terminologi, ada beberapa defenisi al-ijarah yang dikemukakan para ulama fiqh.

a. Menurut Hanafiyah:

ا

ِﻝﺎﻣ ﻮﻫ ٍﺽﻮﻌِﺑ ﺔﻌَﻔﻨﻤْﻟﺍ ﻰَﻠﻋ ﺪْﻘﻋ ﺓﺭﺎﺟِﻹَ

Artinya: Ijarah adalah akad atas manfaat dengan imbalan berupa

harta.(Muslich. 2010. 316) b. Menurut Malikiyah dan Hanabilah:

ٍﺽﻮﻌِﺑ ٍﻡﻮُﻠﻌﻣ ﺓﺪﻣ ﺔﺣﺎﺒﻣ ٍﺊﻴﺷ ِﻊﻓﺎﻨﻣ ﻚﻠﻤَﺗ

Artinya: Pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan.(Haroen. 2000. 229)

c. Menurut Syafi’iyah:

Artinya: Transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.(Haroen. 2000. 228)

d. Menurut Sayid Sabiq:

ﻰﻓﻭ

ﻉﺮﺸﻟﺍ

ﺪﻘﻋ

ﻰﻠﻋ

ﺔﻌﻔﻨﳌ

ﺽﻮﻌﺑ

Artinya: Ijarah secara Syara’ ialah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.

e. Menurut Hasbie As-Shiddiq:

ﻊﻴﺑ ﻲﻬﻓ ﺽﻮﻌﺑ ﺎﻬﻜﻴﻠﲤ ﻱﺃ ﺓﺩﻭﺪﳏ ﺓﺪﲟ ﺊﻴﺷ ﺔﻌﻔﻨﻣ ﻰﻠﻋ ﺔﻟﺩﺎﺒﳌﺍ ﺔﻋﻮﻀﻣ ﺪﻘﻋ

ﻊﻓﺎﻨﳌﺍ

Artinya: Akad yang objeknya adalah penukaran manfaat untuk masa tertentu yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, sama dengan menjual manfaat. (al- Jaziri. 1972. 29)

f. Menurut Idris Ahmad bahwa upah (ujrah) berarti “mengambil manfaat tenaga orang lain dengan jalan memberi ganti menurut syarat-syarat tertentu.” (Suhendi. 2010. 155)

g. Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional defenisi ijarah adalah akad memindahkan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. (MUI. 2001. 55)

Berdasarkan beberapa defenisi di atas, maka akad al-ijarah tidak boleh dibatasi oleh syarat. Akad al-ijarah juga tidak berlaku pada pepohonan untuk diambil buahnya, karena buah itu sendiri adalah materi, sedangkan akad al-ijarah itu hanya ditujukan kepada manfaat. Demikian juga halnya dengan kambing, tidak boleh dijadikan sebagai

obyek al-ijarah untuk diambil susunya atau bulunya, karena susu dan bulu kambing termasuk materi. Jumhur ulama fiqh juga tidak membolehkan air mani hewan ternak pejantan, seperti unta, sapi, kuda dan kerbau, karena yang dimaksudkan dengan hal itu adalah mendapatkan keturunan hewan, dan mani itu sendiri merupakan materi.(Haroen. 2000. 229) Hal ini sejalan dengan sebuah riwayat dari Rasul saw. yang berbunyi:

َﻝﺎَﻗ ﻪﻨﻋ ُﺍ ﻲﺿﺭ ﺮﻤﻋ ﻦﺑ ِﺍ ﺪﺒﻋ ﻦﻋ

ﻰﻬَﻧ

ﺳﺭ

ﻢﱠﻠﺳﻭ ﻪﻴَﻠﻋ ُﺍ ﻰﱠﻠﺻ ِﺍ ُﻝﻮ

ﻦﻋ

(ﺩﻭﺍﺩ ﻮﺑﺃﻭ ﻰﺋﺎﺴﻨﻟﺍ ﻭ ﻞﺒﻨﺣ ﻦﺑ ﺪﲪﺃﻭ ﻯﺭﺎﺨﺒﻟﺍ ﻩﺍﻭﺭ) .ِﻞﺤَﻔْﻟﺍ ِﺐﺴﻋ

Artinya: Rasulullah saw. Melarang penyewaan mani hewan pejantan.

(HR. Al-Bukhari, Ahmad ibn Hanbal, an-Nasa’i, dan Abu Daud dari ‘Abdullah ibn ‘Umar) (Hamidy. Imron. Fanany. 1994. 1650)

Syarih berkata hadits-hadits dalam bab Larangan atas upah persetubuhan pejantan ini menurut jumhur ulama menunjukkan bahwa menjual sperma pejantan dan menyewakannya adalah haram, karena tidak dapat dinilai, tidak dapat diketahui serta tidak dapat ditentukan secara pasti, baik tentang keadaannya maupun jumlahnya. (Hamidy. Imron. Fanany. 1994. 1651) Demikian juga para ulama fiqh tidak membolehkan al-ijarah terhadap nilai tukar uang, seperti dirham dan dinar, karena menyewakan hal itu berarti menghabiskan materinya, sedangkan dalam al-ijarah yang dituju adalah manfaat dari suatu benda.

Akan tetapi, Ibn Qayyim al-Jauziyyah (691-751 H/1292-1350 M), pakar fiqh Hanbali, menyatakan bahwa pendapat jumhur pakar fiqh itu tidak didukung oleh al-Qur’an, as-Sunnah, ijmak dan qiyas. Menurutnya, yang menjadi prinsip dalam syari’at Islam adalah bahwa

suatu materi yang berevolusi secara bertahap, hukumnya sama dengan manfaat, seperti buah pada pepohonan, susu dan bulu pada kambing. Oleh sebab itu, Ibn al-Qayyim menyamakan antara manfaat dengan materi dalam wakaf. Menurutnya, manfaatpun boleh diwakafkan, seperti mewakafkan manfaat rumah untuk ditempati dalam masa tertentu dan mewakafkan hewan ternak untuk dimanfaatkan susunya. Dengan demikian, menurutnya tidak ada alasan yang melarang untuk menyewakan (al-ijarah) suatu materi yang hadir secara evolusi, sedangkan basisnya tetap utuh, seperti susu kambing, bulu kambing, dan manfaat rumah, karena kambing dan rumah itu menurutnya tetap utuh.(Haroen. 2000. 229-230)

Kalau diperhatikan secara mendalam defenisi yang dikemukakan oleh para ulama di atas maka dapat dipahami bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam ijarah antara lain:

d. Adanya suatu akad persetujuan antara kedua belah pihak yang ditandai adanya sighat (ijab dan kabul).

e. Adanya imbalan tertentu.

f. Mengambil manfaat. (Ibrahim. 2009. 314)

Dari beberapa pendapat ulama dan mazhab di atas tentang pengertian ijarah, maka dapat dipahami ijarah menurut bahasa adalah jual manfaat atas benda atau jasa dengan adanya imbalan atau upah, sedangkan menurut istilah ijarah adalah akad atau transaksi yang bertujuan mengambil manfaat atas suatu barang atau jasa tanpa menguarangi materi benda tersebut dan benda tesebut boleh dimanfaatkan dengan jangka waktu tertentu (sesuai dengan kesepakatan) dengan adanya uang imbalan atau sewa tanpa diikuti pemindahan kepemilikan terhadap benda tersebut. Dari pengertian ijarah dapat diketahui pula bahwa kontrak sewa merupakan bagian dari ijarah, karena kontrak sewa merupakan suatu akad untuk melakukan sesuatu baik secara tertulis maupun lisan. Kontrak sewa

ini disebut juga perjanjian kerja. Dalam kontrak sewa terdapat persetujuan untuk melakukan sesuatu. “suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya kepada satu orang atau lebih”.(Soimin. 1994. 1)

1.2.Dasar Hukum Sewa-Menyewa (al-ijarah)

Para ulama fiqh mengatakan bahwa yang menjadi dasar dibolehkannya akad al-ijarah berdasarkan al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’, yaitu:

1.2.1 Dalam al-Qur’an

Firman Allah dalam surat az-Zukhruf, ayat 32 yang berbunyi:



















































Artinya: Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. (Depag RI. 2005. 491)

Ayat di atas menyatakan bahwa Allah berfirman seraya menyangkal usulan mereka “apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu” artinya, apakah mereka memegang perbendaharaan

rahmat Allah SWT. dan pengaturan rahmat ada di tangan mereka sehingga mereka bisa memberikan kenabian dan risalah pada siapa saja yang mereka kehendaki serta menahannya dari siapa saja yang mereka kehendaki? “Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat” yakni, dalam kehidupan dunia, “dan rahmat Rabbmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan” dari dunia.

Mengingat penghidupan para hamba serta rezeki duniawi mereka berada di tangan Allah SWT. yang mana Dia-lah yang membagikannya diantara para hamba, Dia memperluas rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkan bagi siapa saja yang dikehendaki berdasarkan kebijaksanaan-Nya, maka rahmat duniawi-Nya yang mana tertinggi darinya adalah rahmat kenabian dan risalah tentu lebih utama dan layak berada di Tangan Allah SWT. (As-Sa’di. 2012. 465)

Dalam ayat ini terdapat peringatan atas hikmah Allah SWT. dalam hal melebihkan sebagian orang atas yang lain di dunia “agar sebagian mereka dapat memperguanakan sebagian yang lain,” yaitu agar sebagian dari mereka menguasa atas sebagian yang lain dalam tugas, pekerjaan dan perindustrian. Andai semua orang sama dari segi kekayaan, pasti tidak ada yang saling memerlukan satu sama lain dan pasti bayak kepentingan dan manfaat mereka yang terbengkalai. (As-Sa’di. 2012. 466)

Di samping itu, para ulama fiqh juga beralasan kepada firman Allah dalam surat ath-Thalaq ayat 6 yang berbunyi:

...













...

Artinya: ...kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya... (Depag RI. 2005. 558)

Ayat ini menjelaskan bahwa apabila perempuan yang telah kamu ceraikan itu menyusukan anakmu, berilah mereka upah atas kerjanya menyusukan itu dengan upah yang baik. Dan hal ini dirundingkan atau dimusyawarahkan dengan perempuan itu mengenai bagaimana cara penyelenggaraan penyusuan anakmu itu. (Binjai. 2006. 611)

Dalam surat al-Qashash, ayat 26 Allah juga berfirman:





















Artinya: Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".(Depag RI. 2005. 388)

Ayat di atas menjelaskan tentang seorang dari kedua wanita itu berkata kepada Ayahnya untuk mempekerjakan seorang pemuda untuk menggembala atau mengurus domba piaraannya dengan memberikan gaji. Sesungguhnya, ia adalah orang yang paling baik yang engkau pekerjakan, karena tenaganya kuat dan seseorang yang dapat dipercaya. Ketika mengutarakan hal itu, wanita itu tidak malu-malu, tidak gemetar dan tidak takut jika dituduh buruk. Karena ia berjiwa bersih dan suci perasaannya. Sehingga, ia tak takut terhadap sesuatu, juga tidak gagap dan tidak berputar-putar, ketika mengajukan tawarannya itu kepada orang tuanya. Hal ini dikarenakan Musa adalah orang yang menjaga pandangannya dan bersih hatinya.

Wanita itu juga demikian, menjaga martabatnya, dan bersifat amanah. (Quthb. 2001. 41)

1.2.2 Dalam Sunnah

Diantaranya adalah sabda beliau yang mengatakan:

ﻢﱠﻠﺳﻭ ﻪﻴَﻠﻋ ُﺍ ﻰﱠﻠﺻ ِﺍ ُﻝﻮﺳﺭ َﻝﺎَﻗ َﻝﺎَﻗ ﺮﻤﻋ ِﻦﺑ ِﺍ ﺪﺒﻋ ﻦﻋ

َﻞﺒَﻗ ﻩﺮﻴِﺟَﻷْﺍ ﺍﻮُﻄﻋَﺃ

(ﻪﺟﺎﻣ ﻦﺑﺍ ﻩﺍﻭﺭ) ﻪَﻗﺮﻋ ﻒﺠﻳ ﻥَﺃ

Artinya: Berikanlah upah/jasa kepada orang yang kamu pekerjakan sebelum kering keringat mereka. (HR. Abu Ya’la, Ibnu Majah, ath-Tabrani dan at-Tarmizi). (Al-Asqalani. 1990. 389)

Hadits di atas menerangkan kewajiban membayar upah/gaji pekerja setelah tugas yang diwajibkannya selesai. Pembayaran tersebut dilakukan segera, hal ini dikarenakan seseorang bekerja tidak lain karena kebutuhannya terhadap uang. Dia amat membutuhkan penerimaan upahnya yang merupakan konpensasi atas kerja dan jerih payahnya. Memperlambat pemberian upah adalah bentuk penundaan yang paling berat dan termasuk kezhaliman yang paling zhalim. Tidak membayar upah pekerja/buruh adalah penyebab murka Allah SWT. di mana Dia akan menjadi musuh bagi orang yang memperkerjakannya dan tidak membayar upahnya setelah pekerja itu menyelesaikan tugasnya. (Al Bassam. 2006. 74)

Dalam riwayat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri Rasul SAW. bersabda:

َﻝﺎَﻗ ﻢّﻠﺳﻭ ﻪﻴَﻠﻋ ُﺍ ﻰﱠﻠﺻ ﻲِﺒﻨﻟﺍ ﻥَﺃ ﻪﻨﻋ ُﺍ ﻲﺿﺭ ﺪﻴﻌﺳ ﻲِﺑَﺃ ﻦﻋ

ﺭﺎﺠَﺘﺳﺍ ِﻦﻣ

(ﻰﻘﻬﻴﺒﻟﺍﻭ ﻕﺍﺯﺮﻟﺍ ﺪﺒﻋ ﻩﺍﻭﺭ) .ﻩﺮﺟَﺃ ﻪﻤَﻠﻌﻴْﻠَﻓ ﺍﺮﻴِﺟَﺃ

Artinya: Dari Abi Sa’id ra. bahwa sesungguhnya Nabi SAW. bersabda Siapa yang menyewa seseorang maka hendaklah ia beritahu upahnya. (HR. ‘Abd ar-Razzaq dan al-Baihaqi). (Al-Asqalani. 1990. 389)

Hadits ini adalah dalil pensyaratan penyebutan nilai upah atau gaji. Ketidakjelasan mengenai hal ini akan menyebabkan timbul persengketaan yang ditentang oleh Islam. Di samping nilai upah atau gaji harus disebutkan, batasan tugas dan kerja seorang pekerja harus disebutkan sebab ia merupakan salah satu ganti. Untuk itu wajib diketahui secara pasti. (Al Bassam. 2006. 76)

Selanjutnya dalam riwayat ‘Abdullah ibn ‘Abbas dikatakan:

َﻝﺎَﻗ ﺎﻤﻬﻨﻋ ُﺍ ﻲﺿﺭ ِﺱﺎﺒﻋ ِﻦﺑﺍ ِﻦﻋ ﻪﻴِﺑَﺃ ﻦﻋ ِﺱﻭﺎَﻃ ﻦﺑِﺇ ﺎﻨَﺛﺪﺣ

ﻰﱠﻠﺻ ِﺍ ُﻝﻮﺳﺭ ﻥَﺃ

ﻦﺑ ﺪﲪﺃﻭ ﻢﻠﺴﻣﻭ ﻯﺭﺎﺨﺒﻟﺍ ﻩﺍﻭﺭ) .ﻩﺮﺟَﺃ ﻡﺎﺠﺤْﻟﺍ ﻰَﻄﻋَﺃﻭ ﻢﺠَﺘﺣﺍ ﻢﱠﻠﺳﻭ ﻪﻴَﻠﻋ

(ﻞﺒﻨﺣ

Artinya: Rasulullah SAW. berbekam, lalu beliau membayar upahnya kepada orang yang membekamnya. (HR. Al-Bukhari,)(al-Bukhari. 2007. 403)

Hadits di atas menerangkan bahwa upah hasil kerja bekam adalah boleh atau mubah dimanfaatkan, tidak diharamkan. Sebab jika upah itu diharamkan tentu Rasulullah SAW. tidak akan

memberikannya kepada si pembekam atas kerjanya membekam Rasulullah SAW. (Al Bassam. 2006. 63)

1.2.3 Landasan Ijma’

Mengenai hukum ijarah para ulama sepakat. Tidak ada seorangpun ulama yang membantah kesepaakatan (Ijma’) ini, sekalipun ada beberapa orang diantara mereka yang berbeda pendapat, akan tetapi, itu tidak dianggap. (Sabiq. 2009. 124). Umat Islam pada masa sahabat juga telah berijma’ bahwa ijarah dibolehkan sebab bermanfaat bagi manusia. (Syafe’i. 2001. 124)

2. Rukun dan Syarat Sewa-Menyewa (al-ijarah) 2.1.Rukun Sewa-Menyewa (al-ijarah)

Menurut ulama Hanafiyah, rukun al-ijarah itu hanya satu, yaitu ijab (ungkapan penyewaan) dan qabul (persetujuan terhadap sewa-menyewa). Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa rukun al-ijarah itu ada empat, yaitu:

a. Orang yang berakad. b. Sewa/imbalan c. Manfaat.

d. Sighat (ijab dan qabul). (Haroen. 2000. 231)

Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa orang yang berakad, sewa/imbalan dan manfaat, termasuk syarat-syarat al-ijarah, bukan rukunnya.

2.2.Syarat-Syarat Sewa-Menyewa (al-ijarah)

Sebagai sebuah transaksi umum, al-ijarah baru dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya, sebagaimana yang

berlaku secara umum dalam transaksi lainnya. Adapun syarat-syarat akad ijarah adalah sebagai berikut:

j. Berakal dan mumayiz, namun tidak disyaratkan baligh. Tidak dibenarkan mempekerjakan anak yang belum mumayiz dan belum berakal. (Haidar. 2005. 105-106) Amir syarifuddin menambahkan pelaku transaksi ijarah harus telah dewasa, berakal sehat, dan bebas dalam bertindak dalam artian tidak dalam paksaan. (Syarifuddin. 2003. 218) Akan tetapi, ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa kedua orang yang berakad itu tidak harus mencapai usia baligh, tetapi anak yang telah mumayyiz pun boleh melakukan akad al-ijarah. Namun mereka mengatakan, apabila seorang anak yang mumayyiz yang melakukan akad al-ijarah terhadap harta atau dirinya, maka akad itu baru dianggap sah apabila disetujui oleh walinya.(Haroen. 2000. 232)

k. Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad al-ijarah. Apabila salah seorang di antaranya terpaksa melakukan akad itu, maka akadnya tidak sah. (Haroen. 2000. 232) Hal ini berdasarkan kepada firman Allah SWT. dalam surah an-Nisa’ ayat 29 yang berbunyi:













































Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu

membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah SWT. adalah Maha Penyayang kepadamu. (Depag RI. 2005. 83)

Ayat ini memberikan kesan bahwa larangan ini merupakan tindakan penyucian terhadap sisa-sisa kehidupan jahiliah yang masih bercokol pada masyarakat Islam. Diiringinya hati kaum muslimin dengan seruah ini “Hai orang-orang yang beriman! Dihidupkannya konsekuensi dan konsekuensi sifat, yang dengan sifat itulah Allah SWT. memanggil mereka untuk dilarang dari memakan harta secara batil. Memakan harta secara batil ini meliputi semua cara mendapatkan harta yang tidak diizinkan atau tidak dibenarkan Allah SWT., yakni dilarang oleh-Nya. Di antaranya dengan cara menipu, menyuap, berjudi, menimbun barang-barang kebutuhan pokok untuk menaikkan harganya, dan semua bentuk jual beli yang haram, serta sebagai pemukanya adalah riba. Dikecualikanlah dari larangan ini aktivitas perdagangan yang dilakukan dengan sukarela antara penjual dan pembeli. (Quthb. 2001. 342)

l. Manfaat yang menjadi obyek al-ijarah harus diketahui secara sempurna sehingga tidak muncul perselisihan di kemudian hari. Apabila manfaat yang akan menjadi obyek al-ijarah itu tidak jelas, maka akadnya tidak sah. Kejelasan manfaat itu dapat dilakukan dengan menjelaskan jenis manfaatnya, dan penjelasan berapa lama manfaat di tangan penyewa. Dalam masalah penentuan waktu sewa ini, ulama Syafi’iyah memberikan syarat yang ketat. Menurut mereka, apabila seorang menyewakan rumahnya selama satu tahun dengan harga sewa Rp. 150.000,00 sebulan, maka akad sewa-menyewa batal, karena dalam akad seperti ini diperlukan pengulangan akad baru setiap bulan dengan harga sewa baru pula. Sedangkan kontrak rumah yang telah disepakati selama satu tahun itu, akadnya tidak diulangi setiap bulan. Oleh sebab itu,

menurut mereka, akad sebenarnya belum ada, yang berarti al-ijarah pun batal (tidak ada). Disamping itu, menurut mereka, sewa-menyewa dengan cara di atas menunjukkan tenggang waktu tidak jelas, apakah satu tahun atau satu bulan. Berbeda halnya jika rumah itu disewa dengan harga sewa Rp. 1.000.000,00 setahun, maka akad seperti ini adalah sah, karena tenggang waktu sewa jelas dan harganyapun ditentukan untuk satu tahun. Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa akad seperti itu adalah sah dan bersifat mengikat. Apabila seseorang menyewakan rumahnya selama satu tahun dengan harga sewa Rp. 100.000,00 sebulan, maka menurut jumhur ulama, akadnya sah untuk bulan pertama, sedangkan untuk bulan selanjutnya apabila kedua belah pihak saling rela membayar sewa dan menerima sewa seharga Rp.100.000,00 maka kerelaan ini dianggap sebagai kesepakatan bersama, sebagaimana halnya dalam bai’ al-mu’athah (jual beli tanpa ijab qabul, tetapi cukup dengan membayar uang dan mengambil barang yang dibeli). (Haroen. 2000. 232-233) Pengetahuan yang dapat mencegah terjadinya persengketaan diperoleh dengan beberapa hal. Pertama, dengan melihat benda yang ingin disewa atau dengan mendeskripsikannya, apabila ia dapat dipastikan dengan deskripsi. Kedua, dengan menjelaskan masa penyewaan, seperti sebulan, setahun, atau lebih banyak dan lebih sedikit dari itu. Ketiga, dengan menjelaskan pekerjaan yang diinginkan. (Sabiq. 2009. 152)

m. Obyek al-ijarah itu boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat. Oleh sebab itu, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa tidak boleh menyewakan sesuatu yang tidak boleh diserahkan dan dimanfaatkan langsung oleh penyewa. Misalnya, apabila seseorang menyewa rumah, maka rumah itu langsung ia terima kuncinya dan langsung boleh ia

manfaatkan. Apabila rumah itu masih berada di tangan orang lain, maka akad al-ijarah hanya berlaku sejak rumah itu boleh diterima dan ditempati oleh penyewa kedua. Demikan juga halnya apabila atap rumah itu bocor dan sumurnya kering, sehingga membawa mudarat bagi penyewa. Dalam kaitan ini, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa pihak penyewa berhak memilih apakah akan melanjutkan akad atau membatalkannya.

n. Obyek al-ijarah itu sesuatu yang dibolehkan oleh agama. (Rozlinda. 2005. 106) Oleh sebab itu, para ulama fiqh sepakat menyatakan tidak boleh menyewa seseorang untuk mengajarkan ilmu sihir, menyewa seseorang untuk membunuh orang lain (pembunuh bayaran), dan orang Islam tidak boleh menyewakan rumah kepada orang nonmuslim untuk dijadikan tempat ibadah mereka. (Haroen. 2000. 233) Menurut mereka, obyek sewa menyewa dalam contoh di atas termasuk maksiat, sedangkan kaidah fiqh menyatakan:

ْﺌﺘﺳِﻹْﺍ

ﺠﻳَﻻ ﺔﻴﺼﻌﻤْﻟﺍ ﻰَﻠﻋ ﺭﺎﺠ

ُﺯﻮ

Artinya: Sewa-menyewa dalam masalah maksiat itdak boleh. (Haroen. 2000. 233)

o. Yang disewakan itu bukan fardhu dan bukan kewajiban bagi orang yang disewa (ajir) sebelum dilakukannya ijarah. Hal tersebut karena seseorang yang melakukan pekerjaan yang wajib dikerjakannya, tidak berhak menerima atas pekerjaan itu. (Muslich. 2010. 324) Misalnya, menyewa orang untuk melaksanakan shalat untuk diri penyewa dan menyewa orang yang belum haji untuk menggantikan haji penyewa. Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa sewa-menyewa seperti ini tidak sah, karena shalat dan haji merupakan kewajiban bagi orang yang disewa. Terkait dengan masalah ini juga, para ulama fiqh berbeda

pendapat dalam hal menyewa/menggaji seseorang untuk jadi muazin (yang bertugas mengumandangkan azan pada setiap waktu di suatu mesjid), menggaji imam shalat, dan menggaji seseorang yang mengajarkan al-Qur’an. Ulama Hanafiyah dan Hanabilah mengatakan tidak boleh atau haram hukumnya menggaji seseorang menjadi muazin , imam shalat dan guru yang akan mengajarkan al-Qur’an, karena pekerjaan seperti ini, menurut mereka, termasuk pekerjaan taat (dalam rangka mendekatkan diri pada Allah SWT.), dan terhadap perbuatan taat seseorang tidak boleh menerima gaji. Alasan mereka adalah sebuah riwayat dari ‘Amr ibn al-‘Ash yang mengatakan:

ﺩﻭﺍﺩ ﻮﺑﺃﻭ ﻪﺣﺎﻣ ﻦﺑﻭ ﻯﺬﻣﱰﻟﺍ ﻩﺍﻭﺭ) ﺍﺮﺟَﺃ ﻪﻧﺍَﺫَﺃ ﻰَﻠﻋ ُﺬﺧْﺄﻳَﻻ ﺎَﻧﱠﺫﺆﻣ َﺬَﺨﱠﺗﺍ ِﻥِﺇ

(ﻰﺋﺎﺴﻨﻟﺍﻭ

Artinya: Apabila salah seorang di antara kamu dijadikan muazin (di mesjid), maka janganlah kamu minta upah atas azan itu. (HR at-Tirmidzi, Ibn Majah, Abu Daud dan an-Nasa’i). (Hamidy. Imron. Fanany. 1994. 1874)

Akan tetapi ulama Malikiyah dan Syafi’iyah, menyatakan bahwa boleh menerima gaji dalam mengajarkan al-Qur’an, karena mengajarkan al-Qur’an itu merupakan suatu pekerjaan yang jelas. Alasan mereka adalah sabda Rasulullah SAW. yang menjadikan hafalan al-Qur’an seseorang menjadi mahar, sebagamana yang terdapat dalam sabda beliau yang berbunyi:

ﻩﺍﻭﺭ) ِﻥﺁﺮُﻘْﻟﺍ ﻦﻣ ﻪﻌﻣ ﺎﻤِﺑ ﻼﺟﺭ ﺝﻭَﺯ ﻢﱠﻠﺳﻭ ﻪﻴَﻠﻋ ُﺍ ﻰﱠﻠﺻ ِﺍ ُﻝﻮﺳﺭ ﻥَﺃ

(ﻞﺒﻨﺣ ﻦﺑ ﺪﲪﺃ ﻭ ﻢﻠﺴﻣﻭ ﻯﺭﺎﺨﺒﻟﺍ

Artinya: Rasulullah SAW. Menikahkan seorang lelaki dengan mahar ayat-ayat al-Qur’an yang ada (hafal) padanya. (HR. Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad ibn Hanbal). (Hamidy. Imron. Fanany. 1994. 1878)

Menurut mereka, hadits ini mengandung pengertian bahwa ayat al-Qur’an boleh dijadikan mahar, sedangkan mahar biasanya bermakna harta. Di samping itu, Rasulullah saw. mengatakan:

ﻥِﺇ

ﺩﻭﺍﺩ ﻮﺑﺃﻭ ﻞﺒﻨﺣ ﻦﺑ ﺪﲪﺃ ﻩﺍﻭﺭ) .ِﺍ ﺏﺎَﺘﻛ ﺮﺟَﺃ ﻪﻴَﻠﻋ ﻢُﺗﺪﺧَﺃ ﺎﻣ ﻖﺣَﺃ

(ﻯﺭﺪﳋﺍ ﺪﻴﻌﺳ ﻲﺑﺃ ﻦﻋ ﻩﺎﺟﺎﻣ ﻦﺑ ﻭ ﻱﺬﻣﱰﻟﺍﻭ

Artinya: Upah yang lebih berhak kamu ambil adalah dari mengajarkan kitab Allah SWT. (HR. Ahmad ibn Hanbal, Abu Daud, at-Tirmizidan ibn Majah dai Abi Sa’id al-Khudri) (Al-Asqalani. 1990. 388)

Hadits ini menunjukkan boleh meminta upah atas mengajar al-Qur’an. Apalagi jika tujuan pengajar (peminta upah itu) adalah untuk kebaikan. Ibnu Taimiyyah berkata “Para ulama sepakat membedakan istilah menyewa orang untuk kegiatan ibadah dan pemberian rezeki kepada pelaku ibadah. Pemberian rezeki untuk orang-orang yang berperang di jalan Allah SWT., para hakim muadzdzin dan imam shalat diperbolehkan tanpa ada perbedaan pendapat. Sedangkan menyewa orang untuk aktivitas-aktivitas tersebut tidak boleh menurut mayoritas ulama. (Al Bassam. 2006.

Dokumen terkait