• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Pembentukan Pengadilan HAM sebagai Suatu Proses Politik Hukum

Dari proses menuju pengadilan HAM ad hoc ini, sorotan yang paling tajam adalah adanya kewenangan DPR untuk dapat mengusulkan adanya pengadilan HAM ad hoc. DPR sebagai lembaga politik dianggap sebagai pihak yang dapat menentukan untuk mengusulkan adanya pengadilan HAM

ad hoc untuk pelanggaran HAM yang berat di masa lalu karena pelanggaran

HAM yang berat tersebut lebih banyak bernuansa politik. Adanya ketentuan ini dianggap sebagai kontrol atas adanya pengadilan HAM ad hoc, dimana pengadilan ini tidak dapat terbentuk bila tanpa adanya rekomendasi atau usulan dari DPR secara implisit sama halnya dengan memberikan kewenangan kepada DPR memandang pelanggaran HAM berat dalam konteks politik.

II. Tinjauan Yuridis Pembentukan Pengadilan HAM sebagai Suatu Proses Politik Hukum.

HAM yang melekat pada manusia secara kodrati merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yamng Maha Esa dan merupakan anugeah-Nya yang wajib dihormati, dijujung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang. Hak-hak

ini tidak dapat diingkari oleh siapapun juga. Pengingkaran terhadap hak prinsipil tersebut berarti mengingkari martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itulah baik negara, pemerintah maupun organisasi apapun harus mengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia pada tiap manusia tanpa terkecuali. Hal ini mengandung maksud bahwa HAM harus selalu menjadi titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bemasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Di Indonesia pembahasan mengenai HAM terdapat dalam UUD 1945 Pasal 28 A – 28 J (Bab X A), Ketetapan MPR RI Nomor.XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi manusia dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM serta UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang kemudian diikuti oleh asas-asas hukum internasional seperti Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Konvensi-konvensi Internasional yang telah diratifikasi dalam bentuk UU seperti UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia, sebagai salah satu contohnya.

Penegasan mengenai HAM dalam setiap bentuk peraturan perundang-undangan Indonesia seperti disebut di atas, merupakan terdapatnya politik hukum pemerintah dalam melaksanakan nilai-nilai esensial yang terkandung di dalam HAM. Pergeseran paradigma dari sistem pemerintahan yang otoriter kepada sistem pemerintahan yang cenderung demokratis saat ini dapat telihat dengan jelas dari karakteristik produk hukum yang dihasilkannya. Hal ini dapat dijelaskan dalam konfigurasi politik dan produk hukum bahwa dalam sistem yang demokratis maka menghasilkan produk hukum yang berkarakter responsif1. Produk hukum yang responsif ialah produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses pembuatannya

memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau individu di dalam masyarakat. Hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan kelompok sosial atau individu dalam masyarakat2.

Pernyataan bahwa “hukum adalah produk politik” adalah benar jika didasarkan pada Das Sein dengan mengonsepkan hukum sebagai undang-undang. Dalam faktanya jika hukum dikonsepkan sebagai undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif maka tak seorang pun dapat membantah bahwa hukum adalah produk politik sebab ia merupakan kristalisasi, formalisasi atau legalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan baik melalui kompromi politik maupun melalui dominasi oleh kekuatan politik yang terbesar. Dalam konsep dan konteks inilah terletak kebenaran pernyataan bahwa ”hukum merupakan produk politik”3

Roscoe Pound dan Von Savigny masing-masing mengatakan bahwa “law is

a tool of social engineering” (hukum determinan atas masyarakat) dan “society changes,so does law as well” (masyarakat determinana atas hukum). Hal

tersebut menegaskan bahwa hukum dapat berubah-ubah sesuai dengan apa yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Demikian pula halnya yang terjadi pada salah satu bidang peegakan hukum, dimana adanya keinginan masyarakat baik nasional atau internasional untuk segera memiliki atau membentuk institusi peradilan yang khusus mengenai masalah HAM di wilayah Indonesia.

Politik hukum HAM merupakan kebijakan hukum (legal policy) tentang HAM yang mencakup kebijakan Negara tentang bagaimana hukum tentang HAM itu telah dibuat dan abagiamana pula seharusnya hukum tentang HAM itu dibuat untuk membangun masa depan yang lebih baik, yakni kehidupan Negara yang bersih dari pelanggaran-pelanggaran HAM terutama yang dilakukan oleh

2 Ibid, hal. 25

3 Dikemukakan oleh Prof. Koesnoe dalam ceramah Ilmiah di Fakultas Hukum UII, Yigyakarta. 5 Juni 1981 (tanpa menyebut sumber)

penguasa4. Dengan demikian, UU Nomor 26 Tahun 2000 merupakan pengganti dari Perpu Nomor 1 Tahun 1999 tentang hal yang sama, maka ada beberapa hal pertimbangan Pemerintah dalam penyusunan tentang RUU Pengadilan HAM, antara lain adalah sebagai berikut :

Pertama, merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai salah satu anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dengan demikian merupakan tanggung jawab moral dan hukum dalam menjujung tinggi dan melaksanakan Delarasi Universal HAM yang ditetapkan PBB., serta yang terdapat dalam berbagai instrument hukum lainnya yang mengatur mengenai HAMyang telah dan atau diterima oleh Negara Republik Indonesia.

Kedua, dalam rangka melaksanakan TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai tindak lanjut dari UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Hal ini mengingat kebutuhan yang sangat mendesak, baik ditinjau dari sisi kepentingan nasional maupun dari sisi kepentingan Internasional, maka segera dibentuk Pengadilan HAM sebagai Pengadilan khusus untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM yang berat.

Ketiga untuk mengatasi keadaan yang tidak menentu di bidang keamanan dan ketertiban, termasuk perkonomian nasional. Keberadaan Pengadilan HAM ini sekaligus diharapkan dapat mengembalikan kepecayaaan masyarakat dan duinia Internasional terhadap penegakana hukum dan jaminana kepastian hukum mengenai penegakan HAM di Indonesia5.

Bila diamati lebih lanjut maka berdasarkan segala pertimbangan tersebut, pada prinsipnya dapat disimpulkan perlu membentuk suatu pertauran

perundang-4 Moh. Mahfud. MD, Politik Hukum Hak Asasi Manusia, Pidato Pengukuhan dalam Jabatan Guru Besar Madya dalam Ilmu Politik Hukum yang disampaikan dalam Sidang Terbuka Senat Universitas Islam Indonesia (UII) (Yogyakarta 23 Sepember 2000), hal. 4

5 Yusril Ihza Mahendra, Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia, Catatan dan Gagasan :Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, (Tim Pakar Hukum Departeman Kehakiman dan HAM, 2002) Hal. 75-77

undangan yang mengakomodir mengenai institusi peradilan khusus yang bersifat permanen dalam mengangani masalah pelanggaran HAM (Pengadilan HAM). Ha ini sangat penting untuk menjaga reformasi dalam langkah demokrasi politik ke depan yang dapat diwujudkan dari politik hukum pemerintah, dimana salah satunya merevisi perundnag-undnagan di bidang kehakiman dan pemberlakuan UU HAM dan Pengadilan HAM6. Oleh sebab itu jika dikaitkan dengan politik hukum, maka dalam sistem yang demokratis akan menghasilkan produk yang responsif, hal ini dikarenakan politik hukum lahir dari suatu tatanan Negara yang ingin lebih demokratis maka menghasilkan produk hukum yang lebih responsive salah satunya dibentuk UU mengenai HAM, Pengadilan HAM dan KKR.

6 Ramli Hutabarat, ”Pemerintahan Soeharto secara Konstitusional hanya berlangsung 1966-1998 ,

BAB IV. PENUTUP A. Simpulan

1. Prinsip tanggung jawab Negara merupakan prinsip dalam hukum internasional yang menyatakan bahwa suatu Negara memiliki tanggung jawab apabila melanggar kewajiban internasional baik untuk berbuat sesuatu maupun tidak berbuat sesuatu. Bentuk penerapan tanggung jawab Negara atas pelanggaran berat HAM dapat dilakukan melalui forum pengadilan di tingkat nasional maupun internasional. Mekanisme penyelesaian secara hukum atas pelanggaran berat HAM pada dasarnya mengacu kepada prinsip exhaustion of

local remedies yang mengutamakan penyelesaian secara hukum di forum

pengadilan nasional. Namun, fakor-faktor ketidakmauan dan ketidakmampuan dari Negara pelaku pelanggaran HAM berat dapat menyebabkan mekanisme internasional mengambil alih fungsi pengadilan nasional. Dalam penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM Timor Timur, Indonesia menunjukkan memiliki kemauan dan kemampuan untuk menyelesaikan kasus tersebut melalui mekanisme pengadilan nasional dengan membentuk Pengadilan HAM

ad hoc berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) yang diberlakukan surut.

2. Pembentukan hukum mengenai Pengadilan HAM merupakan upaya membangun hukum yang responsif dimana didahului dengan demokratisasi dalam kehidupan politik sebab setiap karakter produk hukum sangat dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang menghasilkannya. Pembentukan Peradilan HAM secara menyeluruh dipertimbangkan berdasarkan adanya

desakan perubahan masyarakat , baik nasional maupun internasional dalam memahami suatu keberadaan institusi yang menangani masalah HAM, Pelanggaran HAM merupakan bentuk kejahatan luar biasa, Hukum Acaranya memerlukan penanganan khusus, Pelaksanaan dari tindak lanjut UU Nomor 39 tahun 1999 dan mengembalikan kepercayaan masyarakat dan internasional terhadap penegakan hukum dan jaminan kepastian HAM di Indonesia.

B. Saran

1. Penerapan prinsip tanggung jawab Negara atas pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur dalam hukum internasional, pelaksanaannya sangat bergantung dari kemauan Negara yang menjadi pelanggarnya. Oleh karena itu, agar penerapan prinsip tanggung jawab Negara dapat mengikat secara hukum diperlukan instrument hukum yang lebih mengikat dalam bentuk perjanjian internasional atau treaty.

2. Pemerintah segera menyidangkan perkara-perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu, melakukan rekonsiliasi nasional mengenai pemberian pengampunan atas segala pelanggaran yang terjadi di masa lalu serta menghindari terulangnya/terjadinya pelanggaran HAM berat. Apabila terjadi kembali, ancaman hukuman seberat-beratnya dapat diberikan tanpa pandang bulu (equality before the law).

DAFTAR PUSTAKA

Dokumen terkait