-1 Bab 1 --- Pendahuluan
D U M M Y
A. dukungan Pemerintah dalam Membudayakan Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan yang sistematis dan objektif untuk mencari kebenaran dan memecahkan atau menjawab suatu permasalahan (Siswono, 2010). Kegiatan tersebut merupakan suatu pendekatan ilmiah yang meliputi identifikasi masalah, pengembangan hipotesis, melakukan observasi (pengumpulan data), menganalisis, dan kemudian menyimpulkannya (Siswono, 2010). Suatu kegiatan penelitian harus didorong oleh keinginan untuk mengetahui sesuatu, atau keingintahuan tentang suatu hal, bagaimana sesuatu tersebut, dan apa yang sesuatu itu lakukan atau akan lakukan (Willison & O’Regan, 2007). Oleh karena itu, peneliti harus mengarahkan kegiatan penelitian untuk dapat menjawab atau memecahkan suatu permasalahan yang menjadi fokus perhatiannya.
Adapun bagian-bagian yang ada dalam suatu penelitian meliputi latar belakang, prosedur, pelaksanaan, hasil riset dan pembahasan, serta publikasi hasil penelitian. Semua itu mampu memberikan makna penting yang dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, di antaranya formulasi permasalahan, penyelesaian permasalahan, dan mengkomunikasikan manfaat hasil penelitian tersebut, yang diyakini dapat meningkatkan mutu pendidikan pada umumnya dan mutu pembelajaran khususnya (Prahmana, 2015b). Selanjutnya, bentuk pembelajaran berupa penelitian merupakan kegiatan mahasiswa di bawah bimbingan dosen dalam rangka pengembangan pengetahuan dan
1
D U M M Y
keterampilannya, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan daya saing bangsa. Mahasiswa harus mampu melakukan penelitian dan menghasilkan karya tulis ilmiah (skripsi) sebagai bagian dari kompetensi lulusan suatu universitas. Oleh karena itu, penelitian menjadi bagian yang sangat penting dalam meningkatkan mutu pembelajaran di lingkungan akademik, sehingga kampus dan pemerintah memiliki peran sangat besar dalam menumbuhkan budaya meneliti di perguruan tinggi.
Terbentuknya Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi sebagai bentuk upaya pemerintah dalam membudidayakan penelitian di lingkungan perguruan tinggi. Hal ini didukung dengan dikeluarkannya Permen No. 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, pada Pasal 3 dan Pasal 14 ayat 7, tertulis bahwa pemerintah mendorong perguruan tinggi untuk melakukan penelitian di lingkungan akademik dan bentuk pembelajaran berupa penelitian merupakan kegiatan mahasiswa di bawah bimbingan dosen dalam rangka pengembangan pengetahuan dan keterampilannya serta meningkatkan kesejahteran masyarakat dan daya saing bangsa. Mahasiswa harus mampu melakukan penelitian dan menghasilkan publikasi ilmiah sebagai bagian dari kompetensi lulusan suatu universitas. Terakhir, sebagai seorang sarjana, mereka dituntut agar memiliki kemampuan menulis secara ilmiah, berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan selama perkuliahan, minimal penelitian yang dilakukan dalam pembuatan skripsi (tugas akhir). Sehingga, keterampilan meneliti, yang di dalamnya termasuk kemampuan menulis secara ilmiah, menjadi suatu hal yang wajib dimiliki oleh setiap mahasiswa selama di bangku kuliah atau minimal sebagai pra syarat untuk menjadi seorang sarjana, salah satu caranya dengan menerapkan pembelajaran berbasis penelitian dalam proses perkuliahan.
Selanjutnya, melihat dana atau biaya yang dibutuhkan untuk melakukan penelitian sangat besar, tergantung kedalaman penelitian yang akan dilakukan, maka sudah menjadi alasan klasik bagi para peneliti untuk tidak melakukan penelitian, dengan sebab tidak adanya dana penelitian untuk membiayai penelitiannya (Prahmana, 2014). Padahal, pada kenyataannya banyak sekali instansi-instansi, bahkan industri-industri yang bersedia memberikan donatur dalam penelitian, misalnya DP2M Dikti, Menristek, Diknas, Balitbang, Pertamina, industri-industri swasta, dan sebagainya, di mana jumlah dana yang diberikan juga sangat bervariasi, mulai dari 10 Juta
3 Bab 1 --- Pendahuluan
D U M M Y
sampai dengan 500 Juta bahkan 1 Miliar dalam setiap tahunnya. Selain itu, pelaksanaan penelitian, jika memungkinkan juga dapat diajukan kembali untuk tahun berikutnya sampai dua tahun ke depan dengan total biaya hibah yang mendekati tahun pertama.
Pada dasarnya, untuk mendapatkan dana penelitian itu sangat sederhana. Untuk sponsor yang berasal dari negara, seperti DP2M Dikti, Menristek, Diknas, dan Balitbang, peneliti cukup membaca panduan yang mereka buat, ikuti dengan baik, dan submit proposal sesuai tanggal yang telah ditentukan. Apabila semua hal telah dilakukan dengan baik, maka besar kemungkinan untuk mendapatkan dana hibah tersebut (Prahmana, 2014). Selanjutnya, pergunakan dana tersebut dengan sebaik-baiknya, berikut laporannya, sehingga peneliti memiliki track record, yang baik. Akibatnya, pengajuan proposal dana hibah penelitian berikutnya, akan lebih mudah untuk didapat. Selain dari lembaga pemerintah, tidak menutup kemungkinan untuk mendapatkan dana hibah dari sponsor swasta, yang cara mendapatkannya juga cukup mudah, di antaranya dengan mengadakan perkenalan dengan donatur penelitian tersebut. Perkenalan dengan donatur dapat dilakukan dengan melakukan kunjungan ke instansi donatur dengan memperkenalkan potensi peneliti dalam bidang yang tepat dengan pemberi dana penelitian. Dengan mengetahui potensi peneliti dalam segi penelitian yang relevan dengan permasalahan mereka, maka tanpa adanya rayuan pasti mereka akan menghubungi peneliti, apabila mereka mengalami suatu permasalahan yang perlu untuk diteliti. Oleh karena itu, pada dasarnya dana penelitian itu sesungguhnya ada di mana-mana, sehingga yang diperlukan peneliti hanyalah usaha untuk menjemputnya, bukan mencarinya.
B. Membangun Budaya Meneliti di Perguruan tinggi
Salah satu faktor penyebab Indonesia Jaya, suatu hari nanti, adalah tingginya animo masyarakat dalam bidang penelitian. Masyarakat di sini, lebih ditekankan kepada para civitas akademik yang bernaung dalam suatu payung yang bernama Perguruan Tinggi. Ia merupakan salah satu tempat yang paling ideal untuk melakukan aktivitas penelitian, dikarenakan memiliki sarana dan prasarana yang sangat mendukung. Selain itu, Dikti, selaku lembaga pemerintah yang mengayomi kampus-kampus di Indonesia, memberikan dukungan materi berupa dana hibah yang jumlahnya sangat besar, bagi civitas
D U M M Y
akademik yang ingin melakukan penelitian. Jadi, tidak ada alasan lagi untuk tidak segera bergegas melakukan penelitian di kampus.
Sebagai pabrik para intelektual, sudah sewajarnya kampus memiliki peranan yang sangat penting dalam melahirkan produk-produk akademis yang mampu bersaing dan bermanfaat bagi masyarakat, salah satunya dengan menghasilkan ide atau gagasan untuk memerangi kebodohan, kemiskinan, kemelaratan, dan keterbelakangan, baik itu berupa buku ataupun karya tulis ilmiah. Hal tersebut dapat terlaksana, jika kita tidak terperangkap dalam aturan kebijakan dan birokrasi akademik yang sangat ketat, sehingga budaya akademik berupa berpikir kritis, inovatif, kreatif, dan berinisiatif dapat muncul dari seluruh civitas akademis di lingkungan kampus.
Selain itu, belum terbentuknya budaya penelitian di kampus diduga bukan saja berhubungan dengan kebijakan dan birokrasi yang sangat ketat, tetapi faktor internal dari para civitas akademik, dalam hal ini para dosen, baik itu berupa interaksi sosiologis yang cenderung belum bisa menerima perbedaan pendapat, bersaing dan berambisi atas suatu hal, individualis, dan memiliki pemikiran bahwa dosen itu tugasnya hanya mengajar. Hal ini, jika dibiarkan secara terus-menerus, akan berakibat hilangnya jati diri kampus sebagai lembaga ilmiah yang menjunjung tinggi tri dharma perguruan tinggi, yaitu pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyakarat.
Tantangan berikutnya adalah tradisi akademik berupa senioritas dan gelar oriented dari para civitas akademik, untuk menyatakan pendapat (ide) penelitian apa adanya namun bertanggung jawab masih belum diterima, di mana dosen-dosen muda, yang baru lulus magister, masih dipandang sebelah mata oleh para senior bergelar doktor dalam hal mengajukan ide atau gagasan penelitian. Seharusnya, tidak perlu lagi ada dinding tebal yang menghalangi setiap dosen menyatakan pemikiran-pemikirannya, sekalipun mungkin berbeda dengan kebanyakan penelitian-penelitian sebelumnya, asalkan didukung dengan kaidah ilmiah yakni objektif dan kebenaran, maka alangkah baiknya mereka dipercaya untuk melakukan penelitian tersebut.
Selanjutnya, hasil dari kebijakan kampus, termasuk visi dan misinya, juga perlu ditelaah kembali, dilihat dari sisi substansial maupun teknis operasionalnya, apakah sudah memuat unsur budaya penelitian atau belum. Jangan sampai unsur-unsur nonakademik dan sangat teknis lebih
5 Bab 1 --- Pendahuluan
D U M M Y
seharusnya, ukuran keberhasilan suatu kampus adalah terbentuknya budaya meneliti dan menulis karya ilmiah yang menjadi rujukan masyarakat akademik secara global. Oleh sebab itu, kemampuan kampus dalam menciptakan suasana nyaman dalam mengembangkan budaya penelitian harus lebih ditingkatkan, yang berakibat pada dihasilkannya teori baru, buku ilmiah, dan karya tulis dalam jurnal ilmiah yang berkualitas, dalam jumlah besar, sehingga, istilah penelitian sebagai nafas kampus bukan hanya menjadi isapan jempol belaka.
Budaya penelitian akan terbangun, jikalau kampus mampu memfasilitasi para civitas akademik dalam bentuk program dan kegiatan akademik yang bersinambung. Setiap dosen, tanpa memandang senioritas dan gelar akademik, terbuka peluangnya untuk mengembangkan ide atau gagasan penelitiannya. Budaya penelitian ini, harus memiliki karakter bahwa mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan dalam bentuk penelitian adalah manifestasi dari ibadah seseorang (menyebarkan ilmu yang bermanfaat dan menjadi pribadi yang bermanfaat buat banyak orang).
Selain itu, dibutuhkan keteladanan sebagai karakter sejati dari para senior, utamanya para guru besar, dalam membangun budaya penelitian ini, seperti berbagi pengalaman dalam penelitian, mengayomi para dosen-dosen muda, dan merekomendasikan mereka dalam berbagai kegiatan ilmiah ataupun publikasi ilmiah. Selanjutnya, para guru besar seharusnya mampu menjadi panutan dalam hal pengalaman, wawasan keilmuan yang luas, berbudi pekerti luhur, dan profesional di bidangnya. Sehingga, budaya penelitian akan secara otomatis dan alami akan diikuti seluruh civitas akademik di kampus, baik oleh dosen muda maupun mahasiswanya.
Bentuk budaya penelitian yang sifatnya substansial harus datang dari setiap civitas akademik, khususnya para dosen. Budaya penelitian, mulai dari menelaah bahan ajar yang terbaik untuk mahasiswanya (penelitian eksperimen atau pengembangan), diskusi keilmuan dan tinjauan teori-teori yang ada untuk mencari topik-topik apa yang lagi hangat di dunia penelitian, menulis buku dan jurnal ilmiah yang seharusnya sudah menjadi aktivitas keseharian, dan terakhir mengikuti forum atau konferensi ilmiah, minimal 1 semester sekali. Selanjutnya, ada baiknya dikembangkan perilaku atau ekspresi dalam budaya penelitian, yang diawali dari perenungan, perencanaan, penelitian, rekonstruksi/kontemplasi, penulisan, dan publikasi serta diseminasi karya
D U M M Y
ilmiah dalam bentuk seminar, penulisan, dan publikasi ilmiah yang bersifat nasional maupun internasional.
Di era modern seperti sekarang ini, kampus diharapkan mampu mengembangkan jejaring lintas kampus baik di dalam maupun luar negeri (lebih diprioritaskan), agar terbangun joint research, yang menjadi nilai tambah dalam budaya penelitian yang telah terbangun di lingkungan kampus. Interaksi antarpeneliti yang berasal dari berbagai kampus menjadi sangat penting dalam rangka menghasilkan penelitian dan publikasi yang terstandardisasi dan menambah wawasan serta cara pandang seorang peneliti. Intinya adalah bagaimana memperoleh manfaat dan mengambil sisi baik suatu budaya penelitian yang berasal dari luar, dengan harapan budaya penelitian yang telah terbangun di kampus memiliki cara pandang global, namun tetap bersifat lokal. Sehingga, penelitian dan publikasi yang berkualitas, bukan suatu hal yang mustahil untuk terlaksana dan harapannya, jangan sampai ada kesan seorang dosen baru rajin menulis karya ilmiah, ketika sudah waktunya untuk meraih angka kredit jabatan akademik saja.
Ketika bercermin, maka cermin akan merefleksikan apa yang ada di depannya, sehingga segala hal yang ada di depannya akan tampak sama apa adanya di dalam cermin. Hal ini juga berlaku dalam penelitian. Pada dasarnya, penelitian merupakan sebuah cermin yang paling jujur untuk mengetahui seberapa besarkah kompetensi peneliti dalam suatu disiplin ilmu tertentu dan seberapa besar penguasaan peneliti pada ilmu tersebut. Dengan melakukan penelitian, maka peneliti akan mengetahui di mana letak kelebihan dan kekurangannya.
Dalam proses penelitian, seorang peneliti pada hakikatnya sedang merefleksikan dan mengekspresikan keingintahuannya terhadap sesuatu. Sehingga, akan timbul kepuasaan yang tidak ternilai, ketika ia dapat menyelesaikan penelitiannya dengan baik. Terlebih, ketika penelitiannya, dapat langsung bermanfaat bagi orang banyak. Selain itu, ketika sedang melakukan penelitian, maka ia sedang merefleksikan hasratnya dan segenap pengetahuan yang dimilikinya untuk memecahkan masalah yang ditelitinya. Oleh karena itu, peneliti yang baik, memiliki cara berpikir skeptik, yang selalu menanyakan dan memikirkan bukti ilmiah yang ada dari permasalahan yang ingin dipecahkan, berpikir runut dan sistematis serta terstruktur, dan kritis atas segala hal yang ditemukan. Sehingga, ketika ada fenomena dan permasalahan yang mesti dicari
7 Bab 1 --- Pendahuluan
D U M M Y
pemecahannya, maka seorang peneliti dituntut untuk mengembangkan logika berpikirnya secara holistik dan ilmiah.
Selanjutnya, seorang peneliti harus mampu fokus untuk mencari solusi atas masalah yang akan dihadapi. Ini artinya, ia harus benar-benar menguasai apa yang menjadi permasalahan penelitiannya dan apa yang harus dilakukan untuk memecahkan masalah tersebut (kompeten atau ahli di bidangnya). Selain itu, peneliti harus memiliki sifat jujur, yaitu mampu mengungkapkan fakta-fakta yang ditemukan dan dihasilkan apa adanya selama proses mengkaji penelitiannya. Terakhir, seorang peneliti juga harus objektif dalam melaksanakan penelitian. Suatu kebenaran yang dicari dari sebuah penelitian akan didapat dari seberapa objektifkah peneliti dalam melakukan penelitian. Berpikir terbuka terhadap segala kemungkinan yang muncul dalam penelitian merupakan ketentuan lain yang mesti ada dalam diri peneliti. Dengan demikian, peneliti nantinya mampu menelaah dan memberikan penyelesaian jawaban terbaik atas permasalahan yang dihadapi selama proses penelitian. Sebagai tambahan, seorang peneliti juga merupakan seorang pembelajar sejati. Ini artinya, ia tidak hanya puas dengan pengetahuan yang dimiliki sehingga tidak ada keinginan untuk menambah dan meningkatkan pengetahuan. Dinamika penelitian selalu berkembang. Oleh karena itu, seorang peneliti harus selalu belajar dan belajar agar pengetahuan dan kompetensinya tetap terjaga, dengan harapan ia dapat menjadi ruh dalam menumbuhkan budaya penelitian.
C. tren Penelitian Pendidikan Matematika
Hasil penelitian Sabandar (2009) tentang tren penelitian pendidikan matematika menunjukkan bahwa kecenderungan paradigma penelitian yang digunakan peneliti lebih banyak ke arah penelitian kuantitatif, khususnya pada penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa S2 dan S3. Hal ini berkaitan dengan penerapan teori pembelajaran yang dipelajari dan terbatasnya masa studi. Selain itu, hasil penelitian mereka belum mengindikasikan bahwa terjadi ketuntasan belajar, walaupun hasil penelitiannya memperlihatkan hasil berupa peningkatan kemampuan matematika. Di sisi lain, untuk peneliti dari kalangan dosen, peningkatan persentase penelitian berjenis R&D mengalami peningkatan. Hal ini berkaitan dengan kapabilitas dosen sebagai peneliti serta ketersediaan waktu dan dana yang memadai.
D U M M Y
Selanjutnya, berdasarkan hasil pengumpulan data dari berbagai sumber, yaitu laporan tesis dan disertasi, laporan penelitian dari lembaga penelitian, artikel pada jurnal penelitian, dan artikel pada prosiding seminar nasional maupun internasional, selama rentang waktu 5 tahun (2003 - 2008), Sabandar (2009) memperoleh kesimpulan yang menunjukkan bahwa:
1. Kecenderungan paradigma penelitian pendidikan matematika adalah penelitian kuantitatif dengan metode eksperimentasi, dengan subjek penelitian siswa-siswa di jenjang Sekolah Menengan Pertama.
2. Mayoritas peneliti masih banyak yang tertarik untuk mengkaji kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah, penalaran dan komunikasi baik peneliti para mahasiswa ataupun dosen. Namun kemampuan koneksi dan representasi belum banyak dikaji.
3. Bidang kajian yang belum banyak diteliti berkisar pada penelitian di jenjang Sekolah Menengah Kejuruan, Sekolah Dasar serta pendidikan matematika di luar sekolah dengan subjek penelitian para guru atau orangtua siswa.
4. Bidang kemampuan berpikir matematika seperti melakukan generalisasi dan pembuktian juga masih memiliki peluang besar untuk diteliti. Journal for Research in Mathematics Education (JRME) merupakan jurnal resmi yang dikeluarkan oleh the National Council of Teachers of Mathematics (NCTM), yang merupakan jurnal penelitian terbaik dalam bidang pendidikan matematika dan dikhususkan untuk kepentingan guru dan peneliti di semua tingkatan, prasekolah sampai perguruan tinggi. Berbagai hal yang dipublikasikan pada jurnal tersebut dapat direpresentasikan sebagai tren penelitian pendidikan matematika di dunia. Oleh karena itu, tema yang diterbitkan oleh JRME dapat dijadikan standar tren penelitian pendidikan matematika. Adapun tema yang diterbitkan JRME mulai tahun 2009 sampai 2017, adalah sebagai berikut:
1. Pembuktian, bukti, dan argumentasi. 2. Aljabar dan pemahamannya.
3. Pengembangan profesi guru, pengawas, dan kepala sekolah. 4. Lesson study dan implementasinya.
9 Bab 1 --- Pendahuluan
D U M M Y
6. Pengetahuan pedagogik, keyakinan, dan kesadaran guru.
7. Gesture, perbedaan gender, suku, sosiopolitikal, bahasa, keadilan sosial, kesamaan, kekuasaan, dan identitas.
8. Pemecahan masalah, masalah divergen, dan representasi. 9. Peran teknologi dan game online.
10. Kognisi, model mental, berpikir, penalaran, penalaran kuantitatif, dan konsepsi siswa.
11. Pembelajaran berbasis masalah, proses pembelajaran, dan perancangannya. 12. Geometri, pengukuran, dan pengajarannya.
13. Perancangan tugas, perangkat pembelajaran, penilaian, dan asessmen. 14. Kesamaan kesempatan belajar dan aspek-aspek sosial.
15. Pembelajaran matematik untuk anak luar biasa (disabilities). 16. Bilangan dan pemahamannya, bilangan negatif, dan pecahan. 17. Perbandingan kurikulum dan efektivitas kurikulum.
18. Kreativitas dan keberbakatan.
19. Sejarah matematika dan matematika untuk keadilan sosial, suku, serta ras.
20. Berpikir matematis, mathematical problem posing, identitas matematika, dan pendekatan pengajaran.
21. Classroom discourse, ekuitas, instruksi eksplisit, praktik matematika, metasynthesis kualitatif, dan mathematical learning disability.
22. Penalaran dan pembuktian permasalahan dalam training pembelajaran untuk Guru SD.
23. Pembelajaran matematika di tingkat TK menggunakan Computer-Assisted Instruction.
24. Keterlibatan instrumen pembelajaran dalam kelas.
25. Pemahaman atas perkalian dengan banyak digit dan representasi bilangan. 26. Hubungan antara pengetahuan sebelumnya dan pembelajaran yang baru. 27. Pemahaman probabilistic dan pembelajaran konsep matematika.
28. Perspektif guru dalam mengajarkan matematika.
29. Hubungan antara pengetahuan siswa untuk materi pecahan dan menulis persamaan.
D U M M Y
30. Pengembangan kemampuan berpikir aljabar siswa dan mathematical problem posing.
31. Belajar dan berpikir matematis melalui permainan robot untuk anak-anak. Terakhir, sumber dari Indonesia juga dapat dijadikan standar tren