• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Kajian Unsur Intrinsik Novel Jamangilak Tak Pernah Menangis

1. Tokoh dan Penokohan

Menurut Sudjiman (1988:16) yang dimaksud dengan tokoh ialah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan di dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Tokoh pada umumnya berwujud manusia, tetapi dapat juga berwujud binatang atau benda yang diinsankan. Sedangkan menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2012: 165), tokoh cerita (character) adalah orang(-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Berdasarkan fungsi tokoh dalam cerita, dapatlah dibedakan tokoh sentral dan tokoh bawahan dalam Sudjiman, (1988:17-20).

Menurut Sudjiman dalam buku Memahami Cerita Rekaan (1988:23), tokoh-tokoh itu merupakan rekaan pengarang, maka hanya pengaranglah yang ‘mengenal’ mereka. Tokoh-tokoh itu perlu digambarkan ciri-ciri lahir dan sifat serta sikap batinnya agar wataknya juga dikenal oleh pembaca. Yang dimaksud dengan watak ialah kualitas tokoh, kualitas nalar dan jiwanya yang membedakannya dengan tokoh lain. Penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh inilah yang disebut sebagai penokohan. Pengertian penokohan lebih luas dibanding pengertian

tokoh karena sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan, dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2012:166).

Tokoh yang terdapat dalam novel Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida adalah Molek Saragi, Jabosi, Hurlang Jamangilak, Jumontam, Jamangilak, Sibarani, Ali Badak, laki-laki di rumah Bupati, laki-laki di kantor Bupati, sekretaris Bupati, pejabat di kantor Dewan Perwakilan Rakyat, interogator, Asmu, Lebi, Kristin, Emi Binti Madali, Pastor, Pastor Hilarius, pengayuh sampan, penduduk tepi sungai, penduduk wilayah hutan, perempuan Siraituruk, Boru Sirait. Akan tetapi, dalam penelitian ini peneliti perlu melakukan pembatasan terhadap tokoh-tokoh yang dibahas agar analisis menjadi lebih fokus. Berikut ini tokoh-tokoh yang akan dibahas.

a. Molek Saragi memiliki sifat pantang menyerah dan peka terhadap lingkungan. Keadaan sungai yang mengancam lingkungan hidup membuat dia bertekad untuk melakukan usaha penyelamatan. Berbagai langkah ditempuhnya. Dia sendiri mengadu pada pemerintah, hingga mengadakan rapat besar, serta demonstrasi di kecamatan. Berikut ini bukti dari Molek yang bersikap pantang menyerah.

1) Molek meninggalkan halaman gedung Dewan yang luas itu dengan perasaan yang enteng. Memang belum ada hasil. Namun dia merasa telah menemukan pintu masuk untuk mempermasalahkan sungai kesayangannya (Aleida, 2004:35).

Berikut ini bukti dari sikap Molek yang peka terhadap lingkungan.

2) Rupanya kepergian suaminya tidak memberati hati. Hanya pasir, lumpur dan entah apalagi, yang membikin dangkal sungai, yang menyesakkan benaknya, yang terus menerus datang mendera pikirannya (Aleida, 2004:29).

b. Hurlang Jamangilak bersifat pantang menyerah. Setelah membantu Molek, ibunya untuk mengumpulkan masyarakat dalam rapat besar di Lapangan Padang Bundar, Hurlang disiksa aparat keamanan, dan hampir dibunuh ibunya karena melakukan dosa besar yang diharamkan keluarga, namun, Hurlang tetap berkemauan mendukung usaha ibunya menyelamatkan sungai yang sekarat. Dia hadir dalam demonstrasi di Porsea. Berikut ini adalah bukti dari sikap pantang menyerah Hurlang.

3) Dengan langkah yang diseret, dia tinggalkan tempat di mana dia akan dibakar hidup-hidup menuju kolam yang dibangun kakek-buyutnya, Jamangilak, yang entah sudah berapa dasawarsa ditinggalkan (Aleida, 2004: 174).

4) Molek setengah menjerit begitu matanya tertumbuk pada mata yang sekelebat dilihatnya persis Hurlang, anaknya yang menurut pikirannya sudah tewas terbakar (Aleida, 2004: 219).

c. Jabosi adalah orang yang mudah putus asa. Keadaan sungai yang tidak bisa diandalkan membuat Jabosi putus asa. Dia tidak percaya bahwa

sungai dapat diselamatkan dengan perjuangan manusia. Berikut ini bukti dari sikap Jabosi yang putus asa karena keadaan sungai yang rusak.

5) Jabosi menimpali, “Kan sudah berkali-kali kukatakan. Kita takkan bisa melawan pasir yang membikin tumpat sungai itu. Kalaupun ada kapal keruk, berapa tahun yang diperlukan besi raksasa itu untuk mengembalikan arus sungai seperti sediakala. Pemerintah saja tak bisa berbuat, apalagi kita. Dengan tangan telanjang seperti yang kau lakukan? Ah pekerjaan sia-sia…” (Aleida 2004:18). d. Jamangilak merupakan tokoh yang gigih, pandai, dan pantang

menyerah. Kakek Jabosi ini meninggalkan teladan baik yang amat kuat bagi keturunannya. Ketegarannya menyeberangi punggung Pulau Sumatera memberi pelajaran pada Molek untuk tidak mudah berputus asa. Kepandaiannya dalam mengolah hasil alam menurun pada anak dan cucunya. Berikut ini bukti dari karakter Jamangilak.

6) Dialah yang memperkenalkan kepada masyarakat setempat bagaimana memetik buah kelapa dengan aman.

Jamangilak juga yang memperkenalkan kepada penduduk bagaimana membuka lahan untuk tambak ikan mas, sepat siam dan lele yang di daerah ini disebut dengan sebuah nama yang terdengar mewakili bentuk fisik sejenis makhluk air yang licin berlendir, limbat (Aleida 2004:11).

7) … Jamangilak, Tak pernah menangis dalam hidupnya, mengembara dengan berjalan kaki dari pantai barat di tanah Batak ini menuju tepian Selat Malaka.” (Aleida, 2004: 236).

e. Pihak pabrik merupakan tokoh yang digambarkan acuh tak acuh. Sejak berdirinya, pabrik Rayon i Toba telah ditolak oleh masyarakat karena limbah yang mencemari dan pohon-pohon aneh sebagai bahan baku

pabrik itu merusak tanah, air, dan tumbuhan lain, namun pabrik itu masih kokoh berdiri dan membuang limbah ke sungai. Berikut ini bukti dari sikap pihak pabrik yang acuh tak acuh terhadap masalah yang sedang terjadi.

8) Selama dua puluh tahun keberadaannya, selama itu pula Rayon i Toba ditantang supaya tutup, tetapi dia tetap saja berdiri mengepulkan gas dan mencurahkan limbah yang mencemaskan (Aleida, 2004: 234).

f. Pemerintah bersifat tidak peka terhadap lingkungan. Selama dua puluh tahun masyarakat melakukan penolakan, selama itu juga pemerintah tetap melindungi pabrik yang merusak kehidupan makhluk hidup itu. Berikut ini bukti dari pemerintah yang bersifat tidak peka terhadap lingkungan.

9) Selama dua puluh tahun keberadaannya, selama itu pula Rayon i Toba ditantang supaya tutup, tetapi dia tetap saja berdiri mengepulkan gas dan mencurahkan limbah yang mencemaskan (Aleida, 2004: 234).

10)… Simpang tiga itu menjadi simbol perlawanan terhadap perlakuan sebuah pabrik yang terus mencemari dengan restu kekuasaan (Aleida, 2004: 195).

g. Aparat keamanan memiliki sifat yang kejam. Aksi protes masyarakat terhadap pabrik Rayon i Toba ditanggapi dengan kekerasan yang berakhir penderitaan dan kematian bagi masyarakat.

11)“Baik, kalau lu hanya mau bicara kalo di-strum, ditenggelamkan ke dalam sumur. Dan mulutmu dijejali sambal merah, maka saya

kan melakukannya. Akan ku matikan kepekaan dengan sebotol ciu, dan koé takkan bisa sembunyi (Aleida, 2004: 104).

12)Dan, acapkali, perlawanan damai itu dihadapi pasukan keamanan dengan kekerasan, dengan tembakan peringatan ataupun letusan peluru yang langsung diarahkan kepada massa, membuat peristiwa itu menjadi peistiwa yang penuh luka dan malahan membawa kematian (Aleida, 2004:194).

h. Peserta Rapat di Padang Bundar adalah tokoh yang diceritakan mendukung usaha Molek menyelamatkan lingkungan yang terancam rusak.

13)Orang itu berkata: “Kami tak punya apa-apa. Cuma inilah yang bisa kami berikan sebagai tanda terima kasih untuk apa yang kau lakukan untuk sungai kita. Sungai diraja. Terimalah pemberian kami ini,” katanya sambil menyerahkan selempit tikar pandan sebagai tanda penyerahan diri pada rencana baik yang telah diuraikan Molek (Aleida, 2004:100).

i. Penduduk Porsea adalah tokoh yang juga berusaha menyelamatkan lingkungan hidup. Bertahun-tahun mereka berjuang menuntut agar pabrik bubur kayu yang mencemari sungai dan danau ditutup.

14)Perlawanan terhadap keberadaan pabrik itu berpusat di simpang tiga, Simpang Sigura-gura, di Siraituruk, tempat pertemuan jalan raya yang menghubungkan Porsea dengan kota-kota kecil yang menetek di tepi Danau Toba. Hampir saban hari berlangsung barbagai macam perlawanan terhadap Rayon i Toba di sini, mulai dari ibu-ibu yang duduk bersaf-saf di tepi jalan… (Aleida, 2004:193).

j. Pastor adalah tokoh yang melindungi masyarakat dari tindak kekerasan aparat keamanan ketika melakukan aksi protes.

15)Ada tiga orang pastor yang mengenakan juba berat, seperti mau menyapu tanah, berwarnah coklat tua, yang terus mondar-mandir mengawasi keadaan. Ini pula dalam sejarah perlawanan di tanah batak yang Protestan (Aleida, 2004: 214).

k. Provokator adalah perusuh yang menyebabkan kekacauan dalam demonstrasi yang direncanakan berjalan damai dalam rangka menuntut agar pemerintah menutup pabrik Rayon i Toba.

16) Sekelebat dari arah massa yang panik terlihat ada tangan dari satu-dua orang yang berdiri dengan kokoh, lain dari pada yang lain, denga terburu-buru, tetapi dengan arah lemparan yang terukur, melayang batu bata yang menghantam dinding dan kaca-kaca jendela kecamatan (Aleida, 2004: 28).

Pada umumnya tokoh dibedakan menjadi dua jenis yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan, (Sudjiman, 1988: 17)

a. Tokoh Sentral (1) Protagonis

Protagonis mewakili yang baik dan yang terpuji, karena itu biasanya menarik simpati pembaca. Dalam fungsinya sebagai sumber nilai, cerita rakyat selalu memenangkan protagonis yang menjadi tokoh teladan itu (Sudjiman, 1988). Dalam novel Jamangilak Tak pernah Menangis, digambarkan seorang tokoh utama atau protagonis bernama Molek. Molek merupakan seorang perempuan yang gelisah melihat kotanya yang sudah mati dan terancam tenggelam karena

dasar sungai yang tercemar dan tertimbun lumpur limbah perusahaan bubur kayu di hulu sungai.

Kriteria yang digunakan untuk menentukan tokoh utama adalah intensitas keterlibatan tokoh tersebut dalam peristiwa yang membangun cerita, intensitas hubungannya dengan tokoh-tokoh yang lain, terlibat dalam tema, konflik, dan klimaks cerita, serta digambarkan sebagai pemenang dalam cerita.

Berikut adalah kutipan yang menunjukkan Molek sebagai tokoh protagonis dalam novel Jamangilak Tak Pernah Menangis. Pengarang menggambarkan watak Molek yang memiliki intensitas keterlibatan dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita dengan teknik dramatik. Kutipan berikut adalah bukti keterlibatan Molek pada peristiwa pertama dalam cerita yaitu tingkah lakunya yang menggambarkan bentuk protesnya terhadap keadaan sungai.

17)Sejak subuh tadi, sebelum matahari menyeruak dari pelepah-pelepah pohon kelapa untuk membangunkan kota, dia sudah tegak di tengah sungai itu, membiarkan arus yang mengalir berpendar-pendar seperti mau menyeret, menenggelamkan tubuhnya (Aleida 2004: 1).

18)Hampir saban hari istrinya tegak memaku di tengah sungai. berjam-jam lamanya. Melamun kayak dipukau setan. Atau menggumamkan kata-kata, menyesal tiada ujung. Tak jarang pula ia mengambil sikap rukuk, sehingga rambutnya mencium arus, seperti bisik-bisik pada air yang lalu dan angin yang berkibas.

Atau pada burung-burung walet, yang di daerah ini disebut layang-layang mandi, yang berkejaran di udara (Aleida, 2004: 3).

Kutipan berikut adalah bukti keterlibatan Molek pada peristiwa di mana ia mulai mengubah bentuk protesnya dengan mengadu kepada pemerintah.

19)“Kita ingatkan pemerintah. Tak pernah ada kata terlambat untuk menyelamatkan sungai itu. Jangan biarkan pemerintah hanya memungut pajak. Ke mana uang pajak itu dibelanjakan pemerintah kalau bukan untuk memelihara sungai? Kalau sungai itu jadi kering, timpas, dari mana kita dapat uang? Apa pemerintah juga mau membiarkan dirinya mati? Pemerintah macam apa itu…?” Molek meningkahi (Aleida, 2004:19).

20)“Saya datang kesini tidak untuk mengemis barang sebutir pasirpun. Saya mau mempertanyakan kemana saja pajak puluhan tahun yang kami bayar. Saya mau bertemu dengan Bupati.” (Aleida, 2004:33).

21)“Berpuluh tahun suami saya dan para pedangan di kota ini, kecil maupun besar, menyerahkan pajak kepada pemerintah, ke mana saja uang itu? Mengapa tidak dipergunakan untuk mengeruk sungai? Kalau kota ini mati dan orang-orang semua pergi, apakah Bupati juga mau terbenam? Kan tidak?” (Aleida, 2004:33).

22)Molek meninggalkan halaman gedung Dewan yang luas itu dengan perasaan yang enteng. Memang belum ada hasil. Namun dia merasa telah menemukan pintu masuk untuk mempermasalahkan sungai kesayangannya (Aleida, 2004:35).

Kutipan berikut adalah bukti keterlibatan Molek pada peristiwa di mana ia pertama kali menghimpun aspirasi masyarakat yang terkena dampak kerusakan sungai, untuk melakukan protes terhadap pemerintah sebagai pengelola pajak rakyat.

23)Manusia yang menyemut, tumpah-ruah, itulah hasil kerja Molek dan anaknya selama berminggu-minggu. Mengumpulkan penduduk untuk mendukung cita-citanya menyelamatkan kota yang sedang terancam oleh sungai yang mendangkal (Aleida, 2004:84).

24)Molek mengatakan kepada massa yang membanjir seperti air sungai di sekelilingnya itu bahwa hari itu di seluruh dunia dirayakan sebagai Hari Bumi. Hari untuk mengingatkan manusia pada kenyataan sudah begitu rapuhnya lingkungan hidup mereka. Sudah berada di bendul kebinasaan disebabkan oleh keserakahan yang dipicu oleh kehendak mengejar kemakmuran sesaat bagi segelintir pemodal dengan mengorbankan anak-anak dan mereka yang sedang beranjak dewasa, dari siapa manusia zaman sekarang telah meminjam planet yang fana ini (Aleida, 2004:95).

Kutipan berikut adalah bukti keterlibatan Molek pada peristiwa di mana ia kedua kalinya melakukan protes terhadap pemerintah untuk menutup pabrik Rayon i Toba yang menjadi akar kerusakan sungai.

25)Sesuai dengan kesepakatan yang dicapai kemarin, penduduk yang berhimpun dalam kelompok perempuan dan laki-laki, dari seluruh desa yang terhampar di daratan Porsea, berjalan kaki menuju Simpang Sigura-gura untuk kesekian kalinya berdemonstrasi menuntut Rayon i Toba supaya segera ditutup. Mereka bergerak dari Lumban Huala, Lumba Lobu, Naga Mosik, Sihiong, Silamosik, Siruar, Sosor Dolok, dan dua puluh desa lainnya yang selama dua puluh tahun belakangan ini sengsara melihat pucuk padi, kelapa dan singkong mereka memerah dan layu, serta kerbau, babi dan ikan emas mereka mati mendadak seperti disantet setan. Atau kena ardom, racun, dari neraka. Saban hari, angin mengantarkan bau busuk yang tak terkira (Aleida, 2004: 211).

Kutipan berikut adalah bukti keterlibatan Molek pada peristiwa di akhir cerita, di mana ia dipenjarakan karena melakukan protes

terhadap pemerintah untuk menutup pabrik Rayon i Toba yang menjadi akar permasalahan kerusakan sungai.

26)Rahma Boru Saragi alias Molek, duduk di kursi terdakwa. Pengunjung yang bersimpati memadati ruang sidang, sampai-sampai melimpah ke pekarangan. Molek dituduh menghasut penduduk untuk menyerang dan merusak kantor kecamatan dan dijatuhi hukuman penjara dua tahun (Aleida, 2004:234).

27)Selama dua tahun, sebatang sungai yang teraniaya harus menunda perubahan nasib yang telah diserahkannya kepada seorang perempuan yang bersumpah akan berbuat sesuatu untuk menyelamatkannya. Selama itu pula, ribuan orang yang bermukim di kedua tepi sungai itu harus menanti pulangnya orang yang telah menggerakkan dan meyakinkan mereka bahwa kota yang terancam tenggelam itu akan bisa ditolong dengan kehendak memperjuangkannya dalam niat yang padu, yang muncul dalam pikiran dan hati seluruh penduduk (Aleida, 2004:238).

Pengarang menggambarkan watak Molek yang memiliki hubungan dengan tokoh-tokoh lain menggunakan teknik dramatik. Kutipan berikut adalah bukti hubungan Molek dengan Hurlang putranya.

28)Molek menuntun tangan anaknya itu. ketika mereka sama beranjak masuk, hatinya membusung berbunga-bunga. Karena pada langkah kaki anaknya itu tertumpang harapannya yang besar. Sangat besar. Dalam upaya menyelamatkan kota yang terancam karam. Hurlang tentulah akan bisa memberikan pandangan atau nasihat tentang apa yang harus dilakukan (Aleida, 2004:40).

29)Untuk membangun dukungan sebesar dukungan yang diberikan orang-orang yang tumpah di lapangan Padang Bundar itu, anak-beranak tersebut mengunjungi sekolah, madrasah, mengimbau dukungan bagi penyelamatan sungai. Setiap hari setelah subuh, Molek dan Hurlang berangkat, berjalan kaki jauh-jauh, terkadang disambung dengan sampan; mengetuk pintu orang-orang kampung yang berdiam di berbagai pelosok yang dilalui sungai, semisal

Sabang Kiri, Si Jambi, Sungai Lendir, Sungai Lebah, Sarang Elang, dan bahkan Nantalu yang jauhnya hampir seratus kilometer… (Aleida, 2004:85).

30)Molek dan anaknya beranggapan penduduk wilayah hutan itu musti dibujuk supaya turut serta dalam aksi penyelamatan yang mereka rencanakan berdua (Aleida, 85).

31)Seorang terdakwa lagi duduk tak jauh dari sebelah Molek, adalah anaknya sendiri, Hurlang Jamangilak, yang dituduh berada di belakang kerusuhan, dijatuhi hukuman empat tahun. (Aleida, 2004:234).

32)Sekali lagi perempuan kita itu merangkul terhukum yang bernama Hurlang. Ketika dekapan berurai, Molek sempat menunduk, dan ketika matanya kembali tertumbuk pada mata anaknya itu, terasa ada air yang agak hangat mendorong dari balik bola matanya dan tubuhnya sedikit bergetar dijalari darah yang mengalir lebih hangat, lebih kencang (Aleida, 2004:236).

33)Hurlang memegang bahu ibunya dan katanya perlahan seakan berbisik: “Jangan menangis. Kuatkan hati kita di depan mereka. Ingat, Omak sendiri yang mengatakan kakek-buyutku, Jamangilak, tak pernah menangis dalam hidupnya, mengembara dengan berjalan kaki dari pantai barat di tanah Batak ini menuju tepian Selat Malaka. (Aleida, 2004:236).

Jabosi adalah suami Molek, yang setiap hari menjadi saksi istrinya memunguti pasir dari tengah sungai dan melemparnya ke tepi. Suatu hari Jabosi berniat mencari peruntungan di tempat lain, karena sungai yang dulu menjadi andalannya tidak lagi dapat menolong pekerjaannya sebagai pedagang. Kutipan berikut adalah bukti hubungan Molek dengan Jabosi.

34)Mengapa suaminya itu yang diberi nama Jabosi, yang bermakna kuat seperti besi tak kuat memanggul namanya sendiri? Menjadi tanah liat yang lembek (Aleida 2004:17-18).

35)Merasa kena sindir, Jabosi menimpali, “kan sudah berkali-kali kukatakan. Kita takkan bisa melawan pasir yang membikin tumpat sungai itu. Kalaupun ada kapal keruk, berapa tahun yang diperlukan besi raksasa itu untuk mengembalikan arus sungai seperti sediakala. Pemerintah saja tak bisa berbuat, apalagi kita. Dengan tangan telanjang seperti yang kau lakukan? Ah pekerjaan sia-sia…” (Aleida 2004:18).

36)Jabosi, suami Molek menjadi pemikat dalam membujuk dukungan. Nama itu masih dikenal orang sebagai warga kota yang pantas jadi teladan yang memulai usahanya dari seorang penjual minyak kelapa dari kampung, kemudian menjadi pengusaha besar, yang bisa bersaing dengan para pedagang Tionghoa yang piawai. Hanya sungai yang mendangkal dan suasana politik yang berbau amis yang telah menghambat kemajuannya (Aleida 2004:84).

37)Sementara itu, di perantauannya yang jauh, Jabosi mengikuti kabar mengenai sepak terjang istrinya dalam menyelamatkan kota yang dia tinggalkan melalui berita-berita di koran. Juga tentang ditangkapnya Molek dan tuduhan penghasut yang dikenakan padanya (Aleida 2004:237).

Kutipan berikut adalah bukti hubungan Molek dengan masyarakat yang terkena dampak dari rusaknya sungai.

38)Manusia yang menyemut, tumpah-ruah, itulah hasil kerja Molek dan anaknya selama berminggu-minggu. Mengumpulkan penduduk untuk mendukung cita-citanya menyelamatkan kota yang sedang terancam oleh sungai yang mendangkal (Aleida, 2004:84).

39)Molek mengatakan kepada massa yang membanjir seperti air sungai di sekelilingnya itu bahwa hari itu di seluruh dunia di rayakan sebagai Hari Bumi. Hari untuk mengingatkan manusia pada kenyataan sudah begitu rapuhnya lingkungan hidup mereka (Aleida, 2004:95).

Kutipan berikut adalah bukti hubungan Molek dengan penjaga rumah Bupati, ketika berniat bertemu Bupati untuk mengadukan keadaan sungai yang rusak.

40)“Saya mau bertemu dengan Bupati,” ucapnya tegas kepada seseorang yang muncul menyambut ketukannya di pintu rumah besar yang dia intai kemarin.

“Keperluan?”

“Saya mau mempertanyakan kemana pajak yang kami bayarkan selama puluhan tahun,” cepat dia menyambut.

Laki-laki yang tegak di depannya itu tersentak, dan menjawab sekenanya, “itu urusan kantor. Silahkan ke kantor saja. Bapak ada di kabupaten.” (Aleida, 2004: 32).

Kutipan berikut adalah bukti hubungan Molek dengan sekretaris Bupati, ketika berniat bertemu Bupati untuk mengadukan keadaan sungai yang rusak.

41)Ketika dipertemukan dengan sekretaris Bupati, Molek mengulangi lagi alasannya untuk bertemu dengan penguasa kecil dari kota kecil itu.

“Apa maksud ibu dengan mempermasalahkan pajak?” “Berpuluh tahun suami saya dan para pedagang di kota ini, kecil maupun besar menyerahkan pajak kepada pemerintah. Ke mana saja uang itu? Mengapa tidak dipergunakan untuk mengeruk sungai? Kalau kota ini mati, dan orang-orang semua pergi, apakah Bupati juga mau terbenam? Kan tidak?!” (Aleida 2004:33).

Kutipan berikut adalah bukti hubungan Molek dengan aparat keamanan, ketika diinterogasi karena melaksanakan rapat di Padang Bundar untuk melakukan protes terhadap pemerintah atas terbengkalainya sungai yang mendangkal dan tercemar.

42)Merasa seperti burung layang-layang mandi disongsong angin buritan, Molek Melihat kesempatan dan dia mendesak. “Aku sudah mengenal benar orang-orang seperti kau ini. Kau tahu, ketika anakku masih berusia tujuh belas, dia pernah ditahan di markas ini juga. Ya di sini ini. Bersama-sama aku juga. Masalahnya, dia menjual barang dagangan dengan harga di atas ketentuan. Dia ditangkap kawanmu, ya, orang seperti kau inilah. Aku sempat mendekam di kamar rombeng yang dulu terletak di sini. Tapi ketahuilah, waktu itu kami dengan mudahnya bebas setelah suamiku menyogok. Masalahnya waktu itu adalah pelanggaran ketentuan harga. Sekarang, kesalahan apa yang telah kami lakukan? Mencuri? Merusak? Tau kau, tak sejumput tanah pun yang terkelupas di Padang Bundar. Tak sehelai daunpun yang kan mati selamanya. Apakah kami tak punya hak bersuara untuk menyelamatkan sungai yang mengancam kami, mengancam kau juga?!” (Aleida, 2004:109).

Pengarang menggambarkan Molek yang terlibat dalam tema, menggunakan teknik dramatik. Novel Jamangilak Tak Pernah Menangis mengangkat tema penyelamatan lingkungan hidup dari kerusakan. Kutipan berikut adalah bukti bahwa Molek terlibat dalam tema.

43)Selama dua tahun, sebatang sungai yang teraniaya harus menunda

Dokumen terkait