• Tidak ada hasil yang ditemukan

Toksisitas Terapetik

Dalam dokumen Ototoksisitas (Halaman 33-39)

HAL PENTING PADA OTOTOKSISITAS

5.3 Toksisitas Terapetik

Dalam 10 tahun terakhir, pemberian gentamisin intratimpani telah diterima sebagai salah satu cara pengobatan penyekit Meniere yang sulit diobati. Pada masa awal ablasi vestibuler digunakan streptomisin, namun sekarang lebih ddipilih gentamisn karena efeknya yang lebih vetibulotoksik daripada kokhleotoksik sehingga dapat menghilangkan fungsi vestibuler dengan tetap mempertahankan fungsi pendengaran. Prinsipnya adalah bahwa gangguan vestibuler total unilateral memungkinkan kompensasi dari sistem vestibuler kontralateral, sehingga secara keseluruhan fungsi vestibuler masih berfungsi dengan baik.

Gentamisin diberikan 30-40 mg setiap minggu sampai didapatkan tanda dan gejala gangguan vestibuler total unilateral. Biasanya dengan dosis ini efek vestibulotoksik sudah didapatkan pada hari ke 12. Dari meta-analisis 15 penelitian dan 627 pasien, didapatkan pada 74,7% pasien gejala vertigo dapat hilang total dengan terapi gentamisin intratimpani. Gejala hilang total atau sebagian didapatkan pada 92,7 % pasien.

BAB VI KESIMPULAN

Obat ototoksik adalah obat yang mempunyai potensi dapat menyebabkan reaksi toksik pada struktur-struktur di telinga dalam seperti kokhlea dan sistem vestibuler. Ototoksisitas didefinisikan sebagai kerusakan pada struktur kokhlea dan atau vestibuler di telinga akibat paparan zat kimia. Kerusakan pada struktur-struktur ini yang disebabkan oleh pemakaian obat dapat memberikan gejala berupa gangguan pendengaran, tinitus dan gangguan keseimbangan. 2

Ototoksisitas didefinisikan oleh American Speech-Language-Hearing

Association (ASHA) dan the National Cancer Institute Common Terminology Criteria

for Adverse Events (CTCAE) sebagai : 2

 Penurunan sebesar 20dB atau lebih pada audiometri nada murni pada satu frekuensi

 Penurunan sebesar 10dB atau lebih pada pada dua frekuensi yang berdekatan

 Tidak ada respon pada pemeriksaan dengan OAE atau BERA pada 3 kali pemeriksaan berulang dimana sebelumnya ada respon.

Adapun derajat ototoksisitas didefinisikan oleh Brock sebagai berikut : 2

Brock’s :

 Derajat 0 : ambang dengar kurang dari 40dB pada semua frekuensi

 Derajat 1 : ambang dengar > 40dB pada frekuensi 8.000Hz

 Derajat 2 : ambang dengar > 40dB pada frekuensi 4.000-8.000Hz

 Derajat 3 : ambang dengar > 40dB pada frekuensi 2.000-8.000Hz

Kriteria untuk vestibulotoksik belum dirumuskan dengan baik. Pemeriksaan vestibuler standar seperti tes kalori, VEMP dan VNG berguna untuk menentukan kelainan vestibuler. Namun pemeriksaan tersebut tidak praktis untuk dilakukan secara rutin pada pasien dalam jumlah besar di praktek sehari-hari. 2

“Head-Shake Test” adalah cara mudah untuk mendeteksi adanya gangguan sistem vestibuler. Pasien dalam posisi duduk diperintahkan untuk menggelengkan kepalanya dengan cepat ke kanan dan ke kiri dengan sudut 10-20°. Pasien dengan gangguan vestibuler akan mengalami pandangan kabur atau rasa pening atau mual.

Pemeriksaan keseimbangan yang mudah dilakukan lainnya adalah tes romberg dimana pasien diminta untuk berdiri tegak dengan kedua kaki tertutup rapat, awalnya dengan kedua mata terbuka dan kedua tangan disamping badan atau terlipat didepan dada lalu pasien diminta untuk menutup mata dan diperintahkan untuk tetap berdiri tegak. Perhatikan apakah ada kecenderungan pasien untuk terjatuh atau condong ke salah satu sisi. apabila psien condong jatuh ke satu sisi maka hasilnya positif. Apabila hasilnya negatif dapat dilakukan pemeriksaan romberg dipertajam dimana kedua kaki penderita berada dalam posisi tumit salah satu kaki berada didepan ujung kaki lainnya dan dilakukan hal yang sama.

Apabila hasil tes positif pada Head-shake test dan atau romberg maka hal tersebut menunjukkan gejala awal terjadinya gangguan sistem vestibuler, sehingga terapi obat ototoksik harus dihentikan dan pemeriksaan sistem keseimbangan secara lebih lengkap harus dilakukan.2,8

Pada awal tahun 1990 pertama kali ditemukan mutasi pada posisi 1555 pada nukleotida mitokondria 12S RNA ribosom yang bertanggung jawab atas ototoksisitas akibat aminoglikosid pada beberapa keluarga keturunan Cina, dan juga disebutkan sebagai penyebab dari sejumlah kasus ketulian nonsindromik pada pasien tanpa ada

ini ternyata ditemukan mutasi pada nukleotida dari DNA mitokondria yang identik. Dikatakan bahwa akibat mutasi tersebut ada reseptor yang khusus berikatan dengan aminoglikosid sehingga meningkatkan sensitifitas terhadap efek ototoksik dari aminoglikosid.

Dengan semakin banyak informasi yang didapatkan mengenai genetik dari kelainan gangguan dengar dan mutasi spesifik yang merupakan faktor predisposisi efek ototoksik dari obat tertentu, sehingga diharapkan dapat dikembangkan suatu metode pemeriksaan secara molekuler sebelum pemberian terapi antibiotik intravena. Sehingga jumlah pasien yang menderita efek ototoksik akibat penggunaan antibiotik bisa dikurangi. 1

Pada pengobatan infeksi telinga, preparat antibiotik topikal telinga memiliki kelebihan dibandingkan pemberian sistemik. Kelebihannya antara lain konsentrasi antibiotik yang lebih tinggi di daerah infeksi, tidak berefek sistemik, dapat memperbaiki keadaan sekitar daerah infeksi dan biasanya harganya lebih murah bila dibandingkan pemberian obat secara sistemik. 3

Efek toksisitas obat tetes telinga pada telinga dalam dapat berupa toksisitas kokhlea atau vestibuler. Ototoksik pada tetes telinga diperkirakan terjadi melalui round window. Oleh karena itu direkomendasikan untuk menggunakan preparat antibiotik tetes telinga yang bebas dari efek samping ototoksik. Sehingga apabila obat-obatan yang ototoksik ini terpaksa digunakan pada telinga tengah atau rongga mastoid maka penggunaannya harus diatasi pada infeksi telinga akut dan harus segera dihentikan setelah infeksinya reda, dan pasien atau keluarga pasien harus diberitahu tentang risikonya1,3

Berikut adalah contoh obat sistemik yang bersifat ototoksik. Antibiotik aminoglikosid ; streptomisin, gentamisin, neomisin, kanamisin, amikasin dan tobramisin. Antibiotik lain ; eritromisin, azitromisin, clindamisin, vankomisin. Obat lainnya ; diuretik, antineoplastik, salisilat dan kuinin. 2 , 8 

Dua jenis obat yang bersifat ototoksik yang paling sering diberikan adalah gentamisin dan sisplatin. Pada kasus pemberian gentamisin, pemantauan yang dilakukan dengan mengawasi kadar obat serum. Apabila gentamisin harus diberikan dalam waktu lama, misalnya pada osteomielitis, perlu dipertimbangkan pemeriksaan genetik apakah pasien tersebut memiliki kerentanan terhadap ototksisitas akibat pemberian gentamisin, dan dokter harus memberikan pemahaman kepada pasien tentang risiko yang harus dihadapi. Penentuan dosis yang tepat pada pemberian obat kemoterapi juga dapat mengurangi kejadian ototoksisitas. Penelitian lanjutan diperlukan untuk mengetahui apakah obat kemopreventif sama efektifnya pada percobaan binatang dan percobaan pada manusia sehingga dapat mengurangi kejadian

ototoksisitas akibat ini. 1

penggunaan obat-obatan

Penggunaan audiometri frekuensi tinggi (8.000-12.000Hz) sebagai prediktor ototoksisitas akibat penggunaan obat, namun seringkali sulit dilakukan secara rutin pada praktek sehari-hari. Audiometri konvensional (250-8.000Hz) masih sering digunakan untuk memantau pasien sebelum dan sesudah penggunaan obat ototoksik seperti gentamisin dan sisplatin. Beberapa pusat penelitian melakukan satu kali pemeriksaan audiometri sebelum terpi dan beberapa pemeriksaan audiometri serial dan pemantauan kadar obat dalam serum. 1

Pada pasien yang kurang kooperatif atau tidak dapat diperiksa dengan pemeriksaan audiometri standar, dapat dilakukan pemeriksaan Otoacoustic emission (OAE) dan atau Auditory Brainstem Response (ABR), pemeriksaan dilakukan untuk dokumentasi dan monitoring pasien. OAE khususnya sensitif dan dapat menggambarkan keadaan pada sel rambut luar kokhlea, dan dapat menilai kejadian kokhleotoksik secara objektif. OAE juga dilaporkan lebih sensitif bila dibandingkan dengan audiometri nada murni dalam mendeteksi gangguan kokhlea setelah pemberian gentamisin. Pemeriksaan ABR lebih memakan waktu dan stimulinya terbatas pada frekuensi 1- 4 kHz. 2 , 7

Suara dengan frekuensi tinggi memegang peranan penting dalam proses percakapan dan gangguan pendengaran pada frekuensi tinggi dapat mempengaruhi kemampuan berkomunikasi terutama dalam memahami percakapan. Apabila gangguan dengar telah terjadi maka untuk mencegah penurunan komunikasi, sosial dan edukasi, penggunaan alat bantu dengar sangat disarankan. 2

Dalam dokumen Ototoksisitas (Halaman 33-39)

Dokumen terkait