• Tidak ada hasil yang ditemukan

Toleransi dan Moderat

Dalam dokumen penlt 2011 karakter krapyak (Halaman 49-54)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

C. Tradisi Pesantren dan Pembentukan Karakter Santri

6. Toleransi dan Moderat

Umumnya pesantren yang masih memegangi tradisi kesalafan

(tradisional) berpegang pada akidah Ahlussunah wal Jamaah tak terkecuali Pondok Pesantren Krapyak sebagaimana diungkapkan oleh santri senior baik Sukron, Usman, atau Abdul Hadi (wawancara pada 8 Mei 2011). Dalam praktiknya, diajarkan kitab Hujjah Ahlus Sunnah wal Jama`ah. Pengajaran kitab ini,, misalnya, dapat dilihat dalam kurikulum Madrasah Salafiah 1 Pondok Pesantren Al-Munawwir. Paham inilah tampaknya yang dapat membentuk santri berkarakter toleran dan moderat. Diketahui bahwa ajaran Ahlussunah wal Jamaah ini dapat disebut paham moderat. Perkataan

Ahlusunnah waljama'ah dapat diartikan sebagai "para pengikut tradisi Nabi Muhammad dan ijma (kesepakatan) ulama" (Zamakhsyari Dhofier, 1994: 148). Sementara itu, watak moderat (tawassuth)

50

merupakan ciri Ahlussunah waljamaah yang paling menonjol, di samping juga i'tidal (bersikap adil), tawazun (bersikap seimbang), dan tasamuh (bersikap toleran), sehingga ia menolak segala bentuk tindakan dan pemikiran yag ekstrim (tatharruf) yang dapat melahirkan penyimpangan dan penyelewengan dari ajaran Islam. Dalam pemikiran keagamaan, juga dikembangkan keseimbangan (jalan tengah) antara penggunaan wahyu (naqliyah) dan rasio ('aqliyah) sehingga dimungkinkan dapat terjadi akomodatif terhadap perubahan-perubahan di masyarakat sepanjang tidak melawan doktrin-doktrin yang dogmatis. Masih sebagai konsekuensinya terhadap sikap moderat, Ahlussunah waljamaah juga memiliki sikap-sikap yang lebih toleran terhadap tradisi di banding dengan paham kelompok-kelompok Islam lainnya. Bagi Ahlussunah, mempertahankan tradisi memiliki makna penting dalam kehidupan keagamaan. Suatu tradisi tidak langsung dihapus seluruhnya, juga tidak diterima seluruhnya, tetapi berusaha secara bertahap di-Islamisasi (diisi dengan nilai-nilai Islam) (Zamakhsyari Dhofier, 1994: 65).

Husein Muhammad (1999: 40) juga mencatat, bahwa pemikiran Aswaja sangat toleransi terhadap pluralisme pemikiran. Berbagai pikiran yang tumbuh dalam masyarakat muslim mendapatkan pengakuan yang apresiatif. Dalam hal ini Aswaja

sangat responsif terhadap hasil pemikiran berbagai madzhab, bukan saja yang masih eksis di tengah-tengah masyarakat (Madzhab Hani, Malik, Syafi'i, dan Hanbali), melainkan juga terhadap madzhab-madzhab yang pernah lahir, seperti imam Daud al-Dhahiri, Imam Abdurrahman al-Auza’i, Imam Sufyan al-Tsauri, dan lain-lain.

Demikian pula Azyumardi Azra (2007: 150) mengungkapkan, jika mayoritas pesantren sebagai lembaga induk masih dimiliki kiai-kiai, maka lingkungan ideologi keagamaan ”Aswaja” yang inklusif dan akomodatif akan tetap bertahan. Dengan demikian, bisa diharapkan bahwa pandangan dunia yang menerima dan menghormati

51

pluralisme tetap pula bertahan dan bahkan punya peluang untuk di kembangkan lebih jauh. By the sama token, literalisme syariah, yang mungkin terdapat di ”pesantren” berideologi Salafiah (bedakan dengan Pesantren Salaf), sulit berkembang di lingkungan pesantren. Penekanan yang masih kuat pada tasawuf dan tarekat, yang merupakan bagian dari ideologi ”Aswaja”, membendung tumbuhnya literalisme Syariah atau fikih di lingkungan pesantren.

Dalam praktiknya, menurut Sukron (wawancara pada 8 Mei 2011) kalangan santri dan pada umumnya pesantren Krapyak tidak membeda-bedakan dengan siapa mereka harus berinteraksi. Baik dengan lingkungan masyarakat sekitar, luar agama, atau berbeda paham keagamaan santri-santri Krapyak welcome untuk berhubungan, berdiskusi, dan interaksi soial. Misalnya, suatu ketika diceritakan Pondok Pesantren Krapyak dan khususnya para santri menyambut baik kedatangan dan kunjungan Pangeran Charles dari Inggris ke pesantrennya.

7. Mau’idah Hasanah

Di Pondok Pesantren Krapyak yang pada umumnya sama terdapat di pesantren-pesantren lain, dikenal ada tradisi mau’idoh

hasanah. Mau’idoh hasanah dapat berarti pesan yang baik atau ceramah keagamaan yang dibawakan oleh seorang kiai. Ceramah semacam ini biasanya diadakan dalam momen-momen tertentu, seperti peringatan hari besar Islam, pengajian rutin satu bulanan atau

selapanan, atau peringatan meninggalnya seorang kiai sebagai pendiri pesantren atau penerusnya yang sering disebut dengan haul. Semacam ini tentu sebagai tradisi yang baik yang membekali dan minimal mengingatkan para santri akan pengetahuan agama dan bagaimana cara melakukannya, yang akan mengarahkan kepada akhlak santri.

Misalnya, pengajian atau mauidah hasanah yang diadakan pada peringatan haul ke-22 (13 April 2011) al-Maghfurlah KH. Ali

52

Maksum, pendiri Pondok Pesantren Ali Maksum Krapyak, mengundang KH. Masdar F. Mas’udi dan KH. Mustafa Bisri sebagai penceramah (http://www.krapyak.org/2011/04/puncak-haul-ke-22). Dalam kesempatan ini KH. Masdar F. Mas’udi menuturkan:

“KH. Ali Maksum merupakan sosok Kyai yang sungguh-sungguh dibutuhkan kembali kehadirannya di tengah-tengah situasi dan kondisi keumatan dan kebangsaan kita akhir-akhir ini”. Menurut KH. Masdar yang juga merupakan alumnus Pondok Pesantren Krapyak ini menyebutkan KH. Ali Maksum merupakan sosok Kyai yang moderat dan berpandangan modern. Beliau adalah sosok yang rileks ketika menghadapi persoalan-persoalan pelik. Dalam hal yang lain, Pak Ali—sapaan akrab para santri kepada KH. Ali Maksum, sangat hafal satu demi satu nama para santrinya yang dulu jumlahnya sudah ratusan. Sehingga wajar menurut KH. Masdar, ada banyak kenangan yang mendalam terhadap sosok KH. Ali Maksum oleh para santrinya. Hubungan yang terjalin pun adalah hubungan kebatinan atau ruhaniyah yang erat antara santri dan Kyainya. KH. Ali Maksum dalam kenangan KH. Masdar juga merupakan model Kyai yang bersedia mendengar dan selalu melakukan tabayun ketika ada persoalan ummat. Di antaranya semisal peran KH. Ali Maksum mengatasi polemik alm. Subhan ZE dan Gus Dur. “Jarang sekali beliau menghakimi orang dari jauh, Beliau selalu melakukan tabayun (check and recheck)”, demikian tutur KH. Masdar. Itulah beberapa sikap yang beliau teladankan kepada para santrinya.”

Sementara itu, ceramah KH. Mustofa Bisri salah satunya berisikan:

“bahwa kearifan yang jarang ditemui dalam umat Islam sekarang ini. Gus Mus menyerukan bahwa sudah seharusnya umat Islam meneladani sosok semisal KH. Ali dan para ulama salafus shalih penerus para Nabi. KH. Ali mengajarkan kesederhanaan, kecintaan kepada ilmu yang luar-biasa dan kearifan yang mendalam.”

53 BAB V KESIMPULAN

Tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa pesantren adalah tempat pendidikan yang mulia, yang membekali anak manusia mengenal Tuhan, agama, ajaran moral, dan akhlak. Pesantren sebagai lembaga pendidikan terbukti telah menyumbangkan generasi yang benar-benar menjiwai arti berbangsa dan bernegara di bumi Indonesia. Sejarah juga telah menunjukkan bahwa sebagian besar para pendiri bangsa ini adalah dari kalangan santri, dan sebenarnya cikal bakal pendidikan di Nusantara ini adalah pesantren.

Pondok pesantren dalam banyak hal telah mempertahankan budaya asli ketimuran khususnya Indonesia. Ia telah berfungsi sebagai filter budaya yang masuk dari manapun yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya Indonesia dan khususnya Islam. Paling tidak eksisnya pesantren sedikit banyak telah membantu para pendidik dan khususnya lembaga pendidikan formal terkait dengan pebentukan karakter manusia. Dengan berbagai sistem dan modelnya, pendidikan pesantren minimal dapat mengantarkan anak didik mengenal apa itu ajaran disiplin, kerja keras, kebersamaan, kesederhanaan, kesabaran, toleransi (moderat), dan ajaran-ajaran yang mengandung pesan baik dan positif. Ajaran-ajaran semacam itu, misalnya, dapat dilihat, sebagaimana diungkapkan dalam kajian ini, di Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. Namun, dapat diyakini sebenarnya kebanyakan pesantren mempunyai model yang sama sebagaimana yang ada di Pesantren Krapyak.

Jadi, pengajaran karakter di Pondok Pesantren Krapyak dapat dilihat berjalan dengan dua model yaitu formal dan non-formal. Model formal dilaksanakan dengan pembelajaran kitab-kitab kuning yang pada dasarnya membekali para santri karakter Islami dan pengetahuan Islam secara mendalam. Sementara itu, tradisi atau kebiasaan-kebiasaan yang berjalan di pesantren secara tidak langsung pada dasarnya dapat

54

membekali para santri karakter tersendiri, sebagaimana telah disebutkan, yaitu disiplin, kerja keras, kebersamaan, kesederhanaan, kesabaran, toleransi (moderat).

Dalam dokumen penlt 2011 karakter krapyak (Halaman 49-54)

Dokumen terkait