• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tiadanya tatanan sosial politik yang mapan bisa menghancur- kan kehidupan berbangsa, menghancurkan demokrasi dan hilangnya keadilan, kemerdekaan, persamaan serta hak asasi manusia lainnya. Pengalaman perjalanan sejarah bangsa Indonesia selama lebih setengah abad menunjukkan ketiadaan seperti yang dimaksudkan. Oleh karena itu, upaya penataan kembali sistem kehidupan berbangsa secara mendasar dilakukan dengan mencari rumusan baru yang diharapkan bisa menjamin tegaknya demokrasi, keadilan, HAM, dan toleransi.11

Sikap toleran seorang muslim terhadap pemeluk agama lain jelas mendapat legitimasi dari ayat-ayat al-Qur’an dan preseden yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya. Salah satu tindakan pertama Nabi untuk mewujudkan masyarakat Madinah ialah menetapkan dokumen perjanjian yang disebut Piagam Madinah

(Mit}aq al-Madinah), atau terkenal dengan “Konstitusi Madinah”.

Hamidullah menyebutkan bahwa Piagam Madinah merupakan konstitusi tertulis pertama yang ada di dunia, yang meletakkan dasar-dasar pluralisme dan toleransi. Dalam Piagam tersebut ditetap- kan adanya pengakuan kepada semua warga Madinah, tanpa me- mandang perbedaan agama dan suku, sebagai anggota ummat yang tunggal (ummah wahidah), dengan hak dan kewajiban yang sama.12

10A. Syafii Maarif, Mencari Autentisitas Dalam Kegalauan, (Yogyakarta: PSAP, 2004), h. 84 11Achmad Jainuri, “Agama dan Masyarakat Madani; Rujukan Khusus Tentang Sikap Budaya, Agama dan Politik”, dalam Jurnal Al-Afkar, Edisi III,Tahun ke 2: Juli-Desember 2000, h. 21-22

Meskipun prinsip Piagam Madinah ini tidak dapat sepenuhnya terwujud, karena pengkhiatanan beberapa komunitas Yahudi di Madinah saat itu, namun semangat dan maknanya dipertahankan dalam berbagai perjanjian yang dibuat kaum Muslim di berbagai daerah yang telah dibebaskan tentara Islam.13 Semangat ini terus

menjiwai pandangan sosial, politik, dan keagamaan masyarakat Muslim. Dalam perjalanan sejarah ummat Islam juga ditemukan prinsip dasar sikap budaya dan agama serta hak-hak asasi manusia yang pernah dipraktekkan secara berbeda, sehingga berdampak bu- ruk terhadap mereka yang oposan terhadap dan berlainan keyakinan dengan penguasa.

Masyarakat madani yang dicontohkan oleh Nabi pada hakikat- nya adalah reformasi total terhadap masyarakat yang hanya mengenai supremasi kekuasaan pribadi seorang raja seperti yang selama itu menjadi pengertian umum tentang negara.14 Meskipun

secara eksplisit Islam tidak berbicara tentang konsep politik, namun wawasan tentang demokrasi yang menjadi elemen dasar kehidupan politik masyarakat madani bisa ditemukan di dalamnya. Wawasan yang dimaksud tercermin dalam prinsip persamaan (equality), kebebasan, hak-hak asasi manusia, serta prinsip musyawarah.

Prinsip persamaan bisa ditemukan dalam suatu ide bahwa se- tiap orang, tanpa memandang jenis kelamin, nasionalitas, atau status semuanya adalah makhluk Tuhan. Dalam Islam Tuhan menegaskan; “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa.”15 Nilai dasar ini dipandang memberikan

landasan pemahaman, di mata Tuhan manusia memiliki derajat sama. Pemahaman inilah yang kemudian muncul dalam Hadith Nabi yang menegaskan bahwa tidak ada kelebihan antara orang Arab dan orang yang bukan Arab.

Dari sini kemudian dipahami bahwa Islam memberikan dasar konsep tentang equalitas. Berbeda dengan konsep equalitas yang ada pada masyarakat Yunani, equalitas yang ada dalam Islam, misalnya bukan menjadi subordinasi dari keadaan apa pun yang datang sebelumnya. Equalitas menurut orang-orang Yunani hanya 12Alfred Guillaume, The Life of Muhammad (Lahore: Oxford University Press, 1970), h. 231-233.

13Nurholish Madjid, Meneruskan Agenda …, h. 2. 14Ibid., 1-2.

berarti dalam tatanan hukum. Dalam hal ini Hannah Arendt me- ngatakan, bukan karena semua manusia lahir dalam keadaan sama, tetapi sebaliknya karena manusia pada dasarnya memang tidak sama. Karena itu ia memerlukan sebuah institusi artifisial, polis, un- tuk membuatnya sama. Persamaan ini hanya ada di bidang politik, yang memungkinkan orang bertemu satu sama lain sebagai warga negara dan bukan sebagai pribadi orang secara individual. Perbedaan antara konsep equalitas Yunani kuno dengan Islam terletak pada ide bahwa manusia lahir dan diciptakan sama dan menjadi tidak sama karena nilai sosial dan politik, yang merupakan institusi buatan manusia. Equalitas yang terdapat dalam masyarakat Yunani merupakan sebuah atribut kemasyarakatan dan bukan perorangan, yang memperoleh equalitasnya berbadasarkan nilai kewarganega- raan dan bukan diperolehnya sejak lahir.16

Perbedaan antara Islam dan Barat klasik mengenai konsep equalitas sebagian tergambar dalam terminologi politik dari dua macam budaya ini. Al-Qur’an hanya menyebutkan manusia (insan), tidak membedakan keyakinan dan politik yang dianutnya, tetapi tidak menyebut kata warga negara. Oleh karena itu kaum Muslimin di zaman modern ini mencoba menemukan konsep warga nagara ini dengan kata muwathin (Arab), yang jelas merupakan istilah baru. Meskipun demikian, hak politik individu tidak banyak didefinisikan dalam sumber-sumber tradisional pemikiran politik Islam. Posisi manusia sendiri, dalam masa pra-sosialnya, memperoleh tempat yang tinggi dalam al-Qur’an sebagai “Wakil Tuhan di bumi.”17 Se-

baliknya bagi rakyat Romawi, kata Latin homo, yang berarti manusia, tidak menunjuk pada sesuatu kecuali manusia, seorang yang tidak memiliki hak, dan karenanya disamakan statusnya dengan budak. Jika demokrasi dimaksudkan sebagai sebuah sistem peme- rintahan yang menentang keditaktoran, Islam bisa bertemu dengan demokrasi karena di dalam Islam tidak ada ruang bagi putusan hukum sepihak yang dilakukan oleh seorang atau kelompok tertentu. Dasar semua keputusan dan tindakan dari sebuah negara Islam bukan ide mendadak dari seorang tetapi adalah syari’ah, yang merupakan sebuah perangkat aturan yang tertuang dalam al- Qur’an dan tradisi Nabi. Shari‘ah adalah salah satu manifestasi dari kebijakan

16Hannah Arendt, On Revolution (New York: Th., 1963), h. 23. 17QS. Al-Baqarah (2): 30.

Ilahi, yang mengatur semua fenomena yang ada di alam, materi mau- pun spiritual, natur maupun sosial. Beberapa istilah di dalam al- Qur’an menjelaskan karakter normatif tentang kebijaksanaan Tuhan ini seperti sunnatullah (hukum Allah SWT atau orang sering menye- butnya dengan “hukum alam”), mizan (timbangan), qisth dan ’adl (keduanya berarti adil). Pada tingkat yang abstrak, semua ekspresi tersebut bisa memenuhi persyaratan awal demokrasi, yaitu tegaknya hukum. Beberapa penulis menyatakan, karena alasan ini sebuah negara Islam mestinya disebut bukan teokrasi, tetapi adalah sebuah

nomocracy.

Perbedaannya memang tidak terlalu mencolok karena apa yang dipandang suci dan mengikat dalam Islam bukan hukum pada umumnya, tetapi hanya hukum yang datang dari Tuhan. Islam sesungguhnya menegaskan perlunya pemerintahan berdasarkan norma dan petunjuk jelas, bukan berdasar pada preferensi per- orangan. Bagi kalangan Barat dan kelompok Muslim tertentu, peng- galian konsep hukum buatan manusia dari wawasan syari’ah dipan- dang sebagai sebuah cara yang kurang memuaskan untuk meru- muskan sebuah elemen rekayasa sosial. Namun demikian, harus diakui bahwa seseorang sesungguhnya tidak menemukan banyak kelemahan dengan cara ini, kecuali apa yang mungkin dianggap kuno. Karena dalam sejarah pemikiran politik Barat konsep hukum modern juga merupakan sebuah produk perkembangan perdebatan abad pertengahan mengenai sifat kebijaksanaan Tuhan. Gagasan hukum sebagai “sebuah tatanan rasional yang menyangkut kebai- kan umum dan ketenteraman masyarakat” telah dibicarakan oleh St. Thomas Aquinas18 dari persepsi akal Tuhan sebagai satu-satunya

sumber yang memancarkan semua tingkat kosmis dan tatanan. Di samping elemen tersebut, Islam juga menekankan kebebas- an dan hak-hak asasi manusia, dua komponen yang menjadi ciri penting masyarakat madani. Menjadi seorang mukmin yang baik, orang harus bebas merdeka. Apabila keyakinan seseorang karena paksaan, maka keyakinan yang dimiliki itu bukan merupakan keya- kinan sesungguhnya. Dan jika seorang Muslim secara bebas menyerahkan diri kepada Tuhan, ini tidak berarti bahwa ia telah mengorbankan kebebasannya. Karena pilihan untuk menyerahkan 18St. Thomas Aquinas, Selected Political Writings, diedit oleh A.P.D. Entreves (Oxford: Oxford University Press, 1948), h. 113.

diri itu semata didasarkan atas kebebasan yang dimilikinya. Hal ini karena, di sisi lain Tuhan juga menegaskan kepada manusia untuk bebas memilih taat atau tidak kepada perintahNya.

Al-Qur’an tidak mentolelir adanya pembedaan antara satu dengan yang lain, laki-laki atau wanita atas dasar partisipasi yang sama dalam kehidupan bermasyarakat. Sejalan dengan ini al-Qur’an menegaskan tentang prinsip syura (musyawarah) untuk mengatur pembuatan keputusan yang dilakukan masyarakat madani. Sayang- nya, selama berabad-abad di kalangan kaum Muslimin telah tumbuh kekeliruan fatal dalam menafsirkan karakteristik syura ini. Mereka memahami bahwa syura sama dengan seorang penguasa berkonsul- tasi dengan orang-orang yang menurut pandangan mereka, yang sangat bijaksana dengan tidak ada keharusan untuk meng- implementasikan nasehat mereka.

Pandangan ini, menurut Fazlur Rahman, jelas merusak makna syura itu sendiri. Al-Qur’an dengan jelas menyebutkan; “…sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka…. .”19 Yang dimaksud dengan “urusan mereka” adalah bukan individu,

kelompok, atau elit tertentu, tapi “urusan masyarakat pada umum- nya” dan milik masyarakat secara keseluruhan. Dan “musyawarah antara mereka” yaitu urusan mereka itu dibicarakan dan diputuskan melalui saling konsultasi dan diskusi, bukan diputuskan oleh seorang individu atau elit yang tidak dipilih oleh masyarakat, dari sini dipahami bahwa syura tidak sama maknanya dengan “seorang minta nasehat dengan orang lain”, tetapi saling menasehati melalui diskusi dalam posisi yang sama. Secara langsung ini berarti, kepala negara tidak boleh menolak begitu saja keputusan yang diambil melalui musyawarah.20

Tampaknya praktik kehidupan politik Islam pada abad pertengahan masih membekas dalam kehidupan bernegara hingga sekarang ini. Meskipun dunia Muslim sekarang sudah terbebas dari dominasi asing (secara fisik) dan memiliki pemerintahan sendiri, tetapi hampir semuanya dihadapkan pada problem internal, yaitu “kurang demokratis”.

19QS. Al-Shura (42): 38.

20Fazlur Rahman, “The Principle of Shura and the Role of Ummah in Islam,” dalam Mumtaz Ahmad (ed.), Politics and Islam, (Indianapolis, IN: American Trust Publication, 1986), h. 91, 95-96.

Menurut Bernard Lewis, kecuali Turki, semua negara yang ma- yoritas penduduknya Muslim dipimpin oleh variasi dari rezim otoriter, otokrasi, despotis, dan sebangsanya.21Dari kalangan sosiolog

dunia Islam digambarkan telah mengalami masa transisi dari masyarakat yang berorientasi pada ekonomi moneter dan masyarakat demokratis, kepada sebuah masyarakat agraris dan rejim militer.22

Dua kecenderungan itu mencerminkan watak yang berbeda, yang pertama lebih bersifat dinamis dan rasional sedang yang kedua menggambarkan sifat tertutup. Gambaran seperti yang disebutkan di atas itu seakan-akan mengasumsikan bahwa Islam tidak mengenal pemerintahan demokrasi. Meskipun benar diakui bahwa konsep demokrasi masih juga menjadi salah satu isu perdebatan antara yang setuju dan yang menentang.