• Tidak ada hasil yang ditemukan

291,78 ton, kemudian menurun setelah mencapai titik maksimum tersebut

METODE PENELITIAN

sebesar 1 291,78 ton, kemudian menurun setelah mencapai titik maksimum tersebut

-50 100 150 200 250 0 5000 10000 15000 20000 25000 E (Trip) CPUE

Gambar11. CPUE terhadap upaya penangkapan (E) udang jerbung tahun 1991 -2005 di Cilacap

Pada Gambar 11 terlihat tangkapan per unit upaya (CPUE) di plotkan terhadap upaya menghasilkan garis linier dengan korelasi secara negatif, untuk penangkapan udang jerbung dari tahun 1991 sampai dengan 2005.

-200,000 400,000 600,000 800,000 1,000,000 1,200,000 1,400,000 - 5,000 10,000 15,000 20,000 25,000 30,000 E (Trip) h (Ton)

Gambar 12. Hasil lestari (MSY) terhadap upaya penangkapan (E) udang jerbung tahun 1991-2005 di Cilacap

... Pada Gambar 12 terlihat bahwa produksi pemanfaatan sumber daya udang jerbung meningkat sejalan dengan kenaikan upaya penangkapan dan mencapai titik maksimum pada pada nilai MSY

sebesar 1 291,78 ton, kemudian menurun setelah mencapai titik maksimum tersebut.

Sedangkan pertumbuhan intrinsik (r) udang jerbung di lepas pantai Cilacap yaitu sekitar 25 726. Parameter koefisien tangkap (q), diperoleh nilai sekitar 1 sementara untuk paramater daya dukung lingkungan (K) adalah 66,5

Analisis Laju Degradasi Udang Jerbung di Cilacap

Pengukuran besaran laju degradasi sumberdaya alam, akan sangat bermanfaat dalam pengelolaan suatu sumberdaya. Dengan mengetahui besaran laju degradasi, maka dapat dilakukan langkah-langkah pengelolaan yang lebih sustainable. Besaran laju degradasi suatu sumberdaya, dijadikan sebagai indikator pengelolaan. Seperti halnya dalam pengelolaan sumberdaya udang jerbung di lepas pantai Cilacap, diharapkan dapat lebih terarah dan terencana, dengan mengetahui laju sumberdaya tersebut. Kondisi laju degradasi sumberdaya udang jerbung di Cilacap dalam kurun waktu 15 tahun (1991-2005), lebih rinci pada Gambar 13 dan Gambar 14 berikut.

0.4806200 0.4806300 0.4806400 0.4806500 0.4806600 0.4806700 0.4806800 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun Koefisien Degradasi Koefisien Degradasi

Gambar 13. Koefisien Degradasi Sumberdaya Udang Jerbung tahun 1991-2005 di Cilacap -200 400 600 800 1,000 1,200 1,400 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 20012002 2003 20042005 Tahun

Produksi Aktual (Ton)

0.40 0.50

Koefisien Degradasi

Produksi Aktual Koefisien Degradasi

Gambar 14. Analisis Perbandingan antara Produksi Aktual dan Laju Degradasi Udang Jerbung di Cilacap

Koefisien Degradasi Tahun 1991-2005 di Cilacap berdasarkan Gambar 13 dan 14, diperoleh bahwa secara total nilai koefisien degradasi berfluktuasi dengan selisih 0.00001 per tahunnya. Pada

tahun 2000 nilai koefisien degradasi sekitar 0,48064 dan meningkat menjadi 0,48067 pada tahun 2003. Kondisi ini, menunjukkan terjadinya peningkatan laju degradasi sumberdaya udang jerbung di Cilacap setelah tahun 2000.

Pendugaan Parameter Bio -Ekonomi

Upaya pemanfaatan sumber daya udang jerbung telah mengindikasikan terjadinya inefisiensi penggunaan effort dan tingkat pemanfaatan yang berlebih (biological over fishing). Berdasarkan pertimbangan aspek biologi, tentu saja sudah dapat merekomendasikan jumlah effort

yang seharusnya digunakan dan batas maksimum hasil yang diperoleh secara berkelanjutan, namun dengan mempertimbangkan bahwa upaya pemanfaatan sumber daya udang jerbung merupakan kegiatan ekonomi. Maka untuk memberi manfaat optimum, analisis upaya pemanfaatan sumber daya udang jerbung tidak cukup hanya berdasarkan aspek biologi semata, tetapi harus mempertimbangkan juga aspek ekonominya.

Untuk tujuan analisis tersebut, digunakan Model Gordon Schaefer, yaitu suatu model bio -ekonomi yang dikembangkan oleh Gordon dengan cara mengintroduksikan faktor harga dan biaya ke dalam Model Biologi Schaefer.

Total perolehan dari usaha penangkapan (TR) aktual 2005 diperoleh: TR = p.h

TR = Rp. 33 270 x 1 271 140,2 Kg TR = Rp. 42 290 834 454

Sedangkan total biaya penangkapan (TC) adalah: TC = c.E

TC = Rp. 421 000 x 65 790 Trip TC = Rp 27 697 590 000

Berdasarkan biaya total dan harga udang jerbung yang dikemukakan di atas akan menghasilkan analisa data dengan keuntungan sebagai berikut :

p = TR - TC = [p.h] – [c.E]

= Rp 42 290 834 454 – Rp 27 697 590 000 = Rp 14 593 244 454

Hasil perhitungan MSY, MEY, dan produksi Aktual 2005 dengan variable E, h, dan ?

selengkapnya diperlihatkan pada Tabel 4.

Tabel 3. Nilai MSY, MEY dan Aktual tahun 2005 di Cilacap

VARIABEL MSY MEY AKTUAL 2005

E (Trip) 13 205 12 .351 65 790

h (Ton) 1 292 1 287 1 271 140

PEMBAHASAN

Sebelum dilakukan asumsi parameter biologi, terlebih dahulu dilakukan kalibrasi data dan standardisasi dari unit upaya (effort). Kalibrasi dilakukan mengingat data spesifik mengenai upaya yang ditujukan khusus untuk spesies target yang digunakan dalam penelitian ini tidak tersedia. Dalam perikanan yan multi – species dan multi – gear seperti di Cilacap, maka problem yang kemudian muncul adalah kesulitan untuk mendapatkan data upaya yang langsung untuk setiap species, karena satu alat tangkap dapat menangkap lebih dari satu species udang jerbung. Menurut Smith (1993) dan Fauzi (1998), agregasi upaya merupakan satu-satunya cara pengukuran upaya yang dapat diandalkan pada perikanan multi-species. Standardisasi effort pada studi ini digunakan unit jumlah trip per tahun dari dua alat tangkap yaitu tramel net aktif dan

trammel net pasif. Pemilihan kedua alat tangkap ini didasarkan pada kondisi bahwa kedua alat tangkap ini dominan digunakan untuk menangkap udang jerbung di lokasi penelitian. Karena kedua alat tangkap tersebut memiliki kemampuan yang berbeda dalam menangkap udng jerbung, maka diperlukan standardisasi unit fishing effort.

Rata-rata produksi tertinggi dengan menggunakan jaring tramel net aktif pada bulan oktober (115,72 ton) dan produksi terendahnya pada bulan januari sebesar 68,19 ton. Sedangkan dengan alat tangkap trammel net pasif rata-rata produksi tertiggi pada bulan Desember mencapai 3,34 ton, yang terendah pada bulan Januari (2,76 ton).

Produksi udang jerbung bulanan dengan ke dua alat tangkap (tramel net aktif dan trammel net pasif) pada setengah tahun pertama meningkat dengan nilai terendah pada bulan Januari. Bulan-bulan berikutnya meningkat hingga puncaknya pada bulan Oktober - Desember, kemudian menurun kembali pada bulan-bulan berikutnya. Pola yang sama juga dijumpai ketika pukat harimau masih aktif. Zalinge dan Naamin (1975) melaporkan bahwa produksi terendah terjadi pada bulan Mei, sedangkan puncak produksi dicapai pada bulan September - Februari. Dilihat dari fenomena musim penangkapan udang jerbung dari hasil penelitian ternyata udang jerbung yang ditangkap di Cilacap kebanyakan sedang mengalami puncak pemijahan. Hal ini sesuai dengan penelitian Adisusilo (1984) yang diperkuat oleh penelitian Zalingge dan Naamin (1975).

Grafik tingkat upaya menggunakan alat tangkap trammel net aktif pada periode tahun 1999-2000 cenderung menurun, hal ini karena terjadi tumpahan minyak kapal tanker pertamina di pantai Cilacap sehingga nelayan enggan untuk melaut. Sebagai kompensasi kejadian tersebut, pihak pertamina memberikan dana pengganti kebutuhan pokok makanan selama beberapa bulan

untuk me ncukupi kebutuhan hidup sehari- harinya. Pergerakan grafik tahun 2000 - 2001 menunjukkan pola kenaikan yang tajam, hal ini terjadi karena kebutuhan udang jerbung di dunia meningkat, sehingga menyebabkan pergerakan harga udang jerbung naik sehingga banyak pedagang yang mencari udang jerbung. Hal ini memacu nelayan untuk berusaha mencari udang jerbung sebanyak-banyaknya. Pada tahun 2004 grafik upaya tangkap kembali turun, hal ini karena cuaca yang buruk yang ditandai dengan gelombang besar, gempa bumi dari retakan bumi di bawah laut sampai menimbulkan terjadinya tsunami di Aceh. Dengan adanya kejadian tersebut menyebabkan nelayan takut untuk melaut. Pola pergerakan grafik upaya dengan alat tangkap

trammel net pasif cenderung meningkat karena dengan menggunakan perahu motor yang

menangkap hasil perikanan hanya satu hari per tripnya tetap dijalankan oleh nelayan, walaupun hasil perikanan (udang jerbung) sedang langka. Terdapat kemiripan pola fluktuasi musiman antara tingkat produksi dengan tingkat upaya penangkapan dengan alat tangkap tramel net aktif maupun trammel net pasif. Hal tersebut menunjukkan adanya hubungan jangka pendek antara tingkat upaya penangkapan dengan produksi. Disamping itu, tingkat produksi udang jerbung nampaknya juga berhubungan dengan produktivitas alaminya yang dicerminkan oleh hasil tangkapan per unit upaya penangkapan di perairan tersebut. Pada bulan Januari, produksi udang jerbung yang rendah tidak hanya karena tingkat upaya penangkapan yang rendah tetapi juga karena rendahnya produktivitas saat itu. Pada bulan Oktober sampai Desember, produksi udang jerbung yang tinggi selain karena tingkat upaya penangkapannya tinggi juga karena tingginya produktivitas saat itu. Perbedaan produktivitas tersebut karena adanya perbedaan tingkat perkembangb iakan populasi udang jerbung.

Upaya penangkapan udang jerbung di Cilacap dapat dilakukan sepanjang tahun, namun karena fenomena dan kondisi alam tertentu, maka kelimpahan hasil tangkapan antara satu musim dengan musim yang lain sangat berbeda. Pada musim angin barat cenderung bertiup angin kencang yang mengandung banyak uap air, sehingga mengakibatkan kondisi perairan bergelombang besar disertai hujan. Umumnya pada musim ini para nelayan cenderung mengurangi aktifitas penangkapan (musim paceklik). Sebalik nya pada saat musim timur angin bertiup relatif lemah, sehingga kondisi perairan relatif tenang, dan nelayan kembali meningkatkan aktifitas penangkapan. Perbedaan jumlah upaya (effort) antara musim penangkapan dengan musim paceklik memiliki pengaruh yang tidak dapat diabaikan dalam menganalisis fungsi produksi lestari dan optimasi bio-ekonomi upaya pemanfaatan sumber daya udang jerbung.

Hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE), mencerminkan perbandingan antara hasil tangkapan dengan unit effort yang dicurahkan. Hasil tangkapan pada prinsipnya output dari kegiatan penangkapan, sedangkan effort yang diperlukan pada prinsipnya input kegiatan penangkapan tersebut. Besaran CPUE dapat digunakan sebagai indikator tingkat efisiensi teknik dari upaya pena ngkapan (effort). Dengan kata lain nilai CPUE yang lebih tinggi mencerminkan tingkat efisiensi penggunaan effort yang lebih baik (Berachi 2003). Pemakaian alat tangkap trammel net aktif lebih efisien penggunaannya untuk menangkap udang jerbung dibandingkan dengan alat tangkap trammel net pasif yang diindikasikan dengan nilai CPUE

trammel net pasif lebih besar dibandingkan CPUE trammel net pasif. CPUE diplotkan terhadap upaya (Gambar 10) menghasilkan garis lurus dengan korelasi secara negatif untuk penangkapan udang jerbung dari tahun 1991 sampai dengan 2005, kurva tersebut menerangkan bahwa peningkatan jumlah upaya tangkapan dengan alat tangkap tramel net aktif dan trammel net pasif

akan menyebabkan penurunan produksi.

Hasil tangkap per unit upaya (CPUE) jaring tramel net aktif ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan alat tangkap trammel net pasif. Hal ini membuktikan bahwa tingkat efisiensi penggunaan effort dengan alat tangkap tramel netaktif lebih baik dibandingkan trammel net pasif, seperti yang ter lihat pada tahun 1991. Sedangkan penggunaan kedua alat tangkap yang paling efisien adalah pada tahun 1994.

Berdasarkan hasil analisis dapat diperoleh bahwa rata- rata produktivitas kapal penangkap udang jerbung dipengaruhi oleh total upaya penangkapan. Tingkat pengusahaan sumberdaya perikanan udang jerbung optimum dicapai dengan pengendalian upaya penangkapan. Tingkat upaya penangkapan udang jerbung maksimal adalah 13 205 trip/tahun dan pemanfaatan sumber daya tersebut secara lestari pada maksimum penangka pan 1 291,8 ton/tahun. Sesuai dengan Gambar 9, produksi udang jerbung meningkat sejalan dengan upaya penangkapan dengan titik maksimum (MSY) sebesar 1 291,8 ton/tahun, kemudian garis kurva akan menurun setelah mencapai titik maksimum tersebut.

Apabila effort dinaikan hingga melampaui EMSY, total penerimaannya justru akan mengalami penurunan, sementara total biaya penangkapan semakin meningkat. Apabila tingkat

effort sudah berlebihan, total penerimaan lebih kecil dari total biaya penangkapan, maka sebagian pelaku perikanan akan keluar (exit) dari kegiatan penangkapan tersebut, yang berarti menurunkan

hMEY. Kondisi ini mengindikasikan bahwa kegiatan penangkapan udang jerbung menggunakan jaring Trammel Net Aktif harus dikendalikan.

Data tahun 2005 menunjukkan tingkat produksi sebesar 1 271,14 ton mendekati titik maksimum, yang berarti tidak memungkinkan untuk meningkatkan produksi. Jumlah upaya pada tahun yang sama sebesar 15 960 trip dengan alat tangkap trammel net aktif

dan 32 895 trip dengan alat tangkap trammel net pasif. Dari kedua alat tangkap tersebut menunjukkan bahwa upaya tangkap secara aktual pada tahun 2005 diatas nilai effort MSY, sehingga tidak perlu menambah effort untuk memaksimalkan hasil tangkapan. Pada tahun 1999-2005 tingkat upaya (effort) penangkapan ikan dengan jaring Trammel Net Aktif maupun

trammel net pasif sudah berada pada kondisi yang paling optimal, yaitu melebihi batas ambang

MSY, namun jumlah produksi semakin menurun. Oleh karena itu untuk mencapai tingkat pengelolaan yang maksmal lestari pada masa yang akan datang perlu kebijakan untuk mengurangi effort sampai mencapai tingkat EMSY.

Model Schaefer mempunyai beberapa keuntungan yaitu sederhana dan tidak memerlukan banyak data tetapi tetap dapat memberikan hasil pokok yang diperlukan dalam pemanfaatan sumber daya udang jerbung secara bertanggung jawab. Model ini, walaupun hasilnya agak kasar , tetapi dapat memberikan Gambaran mengenai status pengusahaan stok udang jerbung lebih awal sebelum tersedianya data biologi yang lebih terperinci. Keberatan yang diajukan oleh pakar-pakar biologi perikanan terhadap penggunaan model produksi surplus adalah terhadap asumsi keadaan keseimbangan yang dipakai. Pada kenyataannya, populasi ikan (udang jerbung) barang kali tidak pernah berada dalam keadaan “steady state”, terutama dalam era perkembangan teknologi alat penangkapan yang sangat cepat dan diikuti oleh peningkatan tekanan penangkapan. Kritik lain adalah tidak adanya interaksi dengan jenis lain baik dalam perikanannya sendiri maupun dengan lingkungannya (Pauly, 1983)

Secara teoritis berdasarkan model Schaefer maka MSY = 0.25 r K. Dengan demikian MSY

selain dapat diduga dari data tangkapan juga dapat diduga dari nilai tingkat pertumbuhan instrinsik biomas populasi dan nilai daya dukungnya. Nilai daya dukung perikanan tangkap merupakan nilai maksimum udang jerbung yang dapat didukung keberadaannya oleh habitat dan lingkungan yang bersangkutan. Nilai ini memang bersifat teoritis yang berarti belum tentu dapat dicapai oleh populasi udang jerbung yang hidup di habitat tersebut. Namun demikian nilai K ini dapat menjadi acuan di dalam pengelolaan perikanan tangkap sebagaimana nilai MSY yang sering digunakan dimana-mana.

Pertumbuhan biomass model Schaefer mengikuti model pertumbuhan logistik, dan penurunan hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan (CPUE) terhadap upaya penangkapan mengikuti pola regresi linier, serta hubungan antara hasil tangkapan dan biomass berbentuk parabola yang simetris dengan titik puncaknya (maximum) pada tingkat biomass sebesar K/2.

Nilai K di dalam model produksi diasumsikan konstan padahal dengan aktifitas pembangunan yang makin pesat maka daya dukung ini dapat berfluktuasi. Gunarso (1985) misalnya, mengatakan bahwa perubahan kualitas air akan mempengaruhi penyebaran serta kelimpahan suatu jenis udang jerbung pada suatu daerah penangkapan karena diduga terjadi perubahan kelimpahan makanan. Asumsi nilai K yang konstan memang mengandung kelemahan. Bahkan model produksi itu sendiri mengandung kelemahan yaitu mengasumsikan tidak terjadi perubahan biomas ikan (asumsi kondisi keseimbangan) selama periode data hasil tangkapan tercakup. Asumsi ini sifatnya sangat teoritis, oleh karena itu penggunaan MSY sebagai alat pengelolaan sering dikritik. Salah satu kelemahan MSY adalah bahwa nilai ini tidak stabil dan dalam jangka panjang sebenarnya MSY tidaklah bersifat lestari (Conrad dan Clark, 1989), namun demikian model produksi Schaefer hingga saat ini masih merupakan model produksi yang paling luas digunakan di dalam pengelolaan perikanan tangkap. Kelemahan lain yang juga telah lama didiskusikan para ahli perikanan adalah masih rendahnya tingkat kepercayaan kebenaran data statistik perikanan padahal data ini sangat vital untuk pengelolaan sumber daya perikanan tangkap.

Menurut hasil penelitian Adisusilo (1984), laju pertumbuhan udang per tahun di Cilacap 0,9 (betina) dan 1,5 (jantan) dengan laju kematian alami 2 – 10 % per minggu (Dall et al, 1990). Adanya perbedaan parameter pertumbuhan udang jerbung diduga karena perbedaan kisaran ukuran udang yang dianalisis dan kelimpahan makanan. Dengan melihat nilai laju pertumbuhan lebih dari 1, berarti udang termasuk binatang yang mempunyai laju pertumbuhan cepat (Spare dan Venema, 1998). Merujuk fenomena ini, maka dalam perencanaan berapa besar jumlah upaya yang dibutuhkan untuk mengusahakan sumber daya udang secara rasional memerlukan pertimbangan. Bila jumlah upaya yang direkomendasikan terlalu rendah maka sumber daya udang yang tidak tertangkap akan terbuang percuma karena akan mati dengan sendirinya. Bila jumlah upaya terlalu tinggi, kelestarian sumber daya udang jerbung terganggu karena tidak memberikan kesempatan kepada stok udang untuk melakukan pembaharuan (recovery).

. Akibat pertumbuhan udang jerbung yang relatif cepat, penundaan penangkapan beberapa bulan saja akan menghasilkan jumlah individu berlipat ganda. Selain itu kalau udang jerbung yang muda (benur) terlalu banyak ditangkap akan terjadi “kelebihan tangkap pertumbuhan”

(growth over-fishing). Hal ini juga menyebabkan “kelebihan tangkap penambahan baru”

(recruitmen over-fishing), karena udang jerbung muda (benur) belum mencapai dewasa dan

bertelur sudah tertangkap terlebih dahulu sehingga hilang kesempatannya untuk penambahan baru (recruitment).

Dalam model Gordon, harga per unit out put diasumsikan konstan,sehingga pengukuran terhadap surplus konsumen tidak mungkin dilakukan. Dengan memasukkan parameter ekonomi yakni harga dari out put (harga udang jerbung per satuan berat) dan biaya dari input (cost per unit effort),

Rata-rata aktual hasil tangkapan udang jerbung tahun 2005 sebesar 1 271,2 ton mendekati nilai hMEY sedangkan upaya penangkapan (effort) aktualnya sebesar 65 790 trip lebih dari nilai EMEY sehingga usaha penangkapan udang jerbung dengan alat tangkap tramel net aktif maupun

trammel net pasif harus dikurangi jumlahnya sampai batas EMEY. Membandingkan tingkat

pengusahaan sumber daya udang jerbung pada tahun 1999 – 2000 dengan EMSY dan EMEY dapat dikatakan bahwa tingkat pengusahaan interval tahun tersebut secara ekonomis dan biologis sudah berlebih. Total penerimaan aktual tahun 2005 (42,3 milyar rupiah) lebih rendah bila dibandingkan dengan total penerimaan pada kondisi MEY maupun MSY, sedangkan total biaya (cost) aktual tahun 2005 (27,7 milyar rupiah) lebih tinggi dari total biaya yang dikeluarkan pada kondisi MSY maupun MEY. Dari data perhitungan data tersebut mengindikasikan bahwa upaya tangkap yang sudah berlebih akan mendapatkan produksi udang jerbung semakin menurun, sehingga biaya yang tinggi tidak diikuti oleh hasil yang telah diterima. Hal ini mengakibatkan turunnya nilai keuntungan yang diperoleh nelayan tahun 2005 (14 milyar rupiah), jauh dibawah nilai keuntungan pada kondisi MEY maupun MSY. keuntungan akutual rata-rata tahun sebesar 32,9 milyar rupiah ternyata lebih rendah dari nilai keuntungan pada saat MSY maupun MEY. Mengacu pada penelitian yang telah dilakukan oleh Purwanto (1986) yang saat itu masih menggunakan alat tangkap jaring klitik dan jaring kantong, pasca dilarangnya memakai alat tangkap pukat harimau (Trawl). Ternyata kebijakan PEMDA Cilacap untuk mengganti alat penangkap udang jerbung jaring klitik dan jaring kantong dengan tramel net belum bisa mengatasi permasalahan stok udang jerbung di Cilacap yang sudah overfishing.

Gordon mentransformasikan kurva yield effort dari Schaefer menjadi kurva yang menggambarkan antara manfaat bersih (total cost) yang dihasilkan dari dari sumberdaya udang jerbung dengan input produksi (effort) yang digunakan sebagaimana terlihat pada Gambar 15

0 10000000000 20000000000 30000000000 40000000000 50000000000 0 10000 20000 30000 E (Trip) Rupiah TR TC msy Profit B C

Gambar 15. MSY, TR, TC dan ? penangkapan udang jerbung tahun 1991-2005 di Cilacap

Gambar 15 memperlihatkan bahwa terdapat dua jenis rente ekonomi sumberdaya udang jerbung setelah dikurangi seluruh biaya ekstraksi dihasilkan pada titik EMEY dan EMSY. Lebih lanjut Fauzi (2004) menyatakan bahwa keuntungan lestari yang maksimum akan diperoleh pada tingkat upaya dimana jarak vertikal antara penerimaan dan biaya merupakan jarak terbesar (garis BC). Dalam literatur ekonomi sumberdaya ikan, tingkat upaya ini sering disebut sebagai

maksimum economic yield (EMEY) atau produksi maksimum secara ekonomi, dan merupakan

tingkat upaya yang optimal secara sosial. Tingkat upaya yang dibutuhkan untuk mencapai titik optimal secara ekonomi (EMEY) jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang dibutuhkan untuk mencapai titik MSY (EMSY). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tingkat upaya pada titik keseimbangan terlihat lebih bersahabat dengan lingkungan (Hanneson, 1987).

Pada saat upaya penangkapan telah melampau upaya optimumnya, maka berarti telah terjadi econimic overfishing, dan ketika hasil tangkapan telah melampaui potensi lestarinya, maka berarti telah terjadi biogical overfishing. Apabila sumber daya udang jerbung dipandang sebagai sumber daya yang dapat pulih kembali ( renewable resources ), maka pemanfaatan yang berkelanjutan harus diartikan sebagai upaya pemanfaatan sumber daya yang laju ekstrasinya tidak boleh melampaui laju kemampuan daya pulihnya. Oleh karena itu rezim pemanfaatan secara terbuka, sebagaimana yang umumnya dianut di Indonesia, sudah saatnya ditinggalkan dan sudah seharusnya disusun suatu pola pemanfaatan sumber daya udang jerbung yang berkelanjutan.

Implikasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Udang Jerbung di Cilacap

Karakteristik umum dari nelayan (fishers) yaitu pertama, nelayan berbeda menurut latar belakang sosial seperti tingkat umur, pendidikan, status sosial dan tingkat kohesitas dalam komunitas mikro (antar nelayan dalam satu kelompok) atau dalam komunitas makro (nelayan dengan anggota masyarakat pesisir lainnya). Kedua, dalam komunitas nelayan komersial, nelayan dapat bervariasi menurut ocupational commitment-nya seperti nelayan penuh, nelayan sambilan utama dan nelayan sambilan, atau menurut occupational pluralism-nya seperti nelayan dengan spesialisasi tertentu, nelayan dengan sumber pendapatan beragam dan lain sebagainya. Ketiga, nelayan dapat bervariasi menurut motivasi dan perilaku dimana maximezers yaitu nelayan yang aktif menangkap ikan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dan cenderung berperilaku seperti layaknya “perusahaan” dan kelompok nelayan satisficers atau nelayan yang aktif menangkap ikan untuk mendapatkan hasil yang cukup. Dengan mengetahui dan memahami tipologi atau karakteristik nelayan yang akan mengalami diversifikasi usaha pada subsektor perikanan lainnya, diharapkan permasalahan teknis dan sosial yang sering menjadi penghambat program relokasi dapat diselesaikan dengan baik. Untuk itu menurut Adrianto (2005) salah satu key factor dalam dinamika sosial ekonomi nelayan adalah informasi dan pengetahuan tentang hak (rights) karena pola relokasi nelayan tetap harus mempertimbangkan konsep perikanan berbasis hak (right-based fisheries) untuk menjamin keadilan dan keberlanjutan komunitas nelayan sebelum dan sesudah relokasi. Menurut Ostrom and Schlanger (1996) dalam Adrianto (2005) bahwa paling tidak ada dua tipe hak yang penting dala m konteks pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam termasuk sumberdaya perikanan yaitu (1) use (operational-level) rights, dan (2) collective-choice rights. Tipe hak yang pertama mengacu pada hak yang melekat pada operasionalisasi perikanan atau dalam konteks perikanan tangkap adalah yang terkait dengan proses dan dinamika penangkapan ikan (udang jerbung). Dalam tipe beberapa hak penting antara lain adalah hak akses (access rights) yaitu hak untuk masuk (entry) kedalam wilayah perikanan tangkap baik dala m konteks daerah penangkapan (fishing ground) atau dalam salah satu struktur usaha perikanan seperti penyediaan bahan baku, pengolahan perikanan dan lain sebagainya. Sementara tipe hak yang kedua (collective-choice rights) lebih menitikberatkan pada hak pengelolaan

Dokumen terkait