• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Kondisi Umum Kecamatan Nanggung

4.1.2 Topografi dan Iklim

Kecamatan Nanggung memilki ketinggian tempat rata-rata 450 mdpl dengan bentuk wilayah datar sampai berombak 15%, berombak sampai berbukit 60%, berbukit sampai bergunung 25%. Curah hujan rata-rata 4790 mm/tahun dengan jumlah hari hujan terbanyak 91 hari. Adapun suhu maksimal dan minimal berkisar antara 22-330C.

4.1.3 Sarana dan Prasarana

Secara umum wilayah Kecamatan Nanggung lalu lintas dan pengangkutannya adalah melalui jalur darat. Jalur perhubungan darat tersebut meliputi jalan aspal 79 km, dan jalan tanah 12 km. Untuk sarana perhubungan di kecamatan ini terdapat angkutan umum (angkot), sepeda/ojek, delman. Sarana

angkutan yang umum digunakan dalam pengangkutan kayu rakyat adalah truk diesel dan colt pickup.

4.1.4 Kependudukan

Kecamatan Nanggung memilki 10 desa dengan jumlah penduduk 64.823 jiwa dengan 16.352 KK. Terdiri dari 33.016 orang pria dan 31.807 orang wanita.

4.1.5 Mata Pencaharian Penduduk

Mayoritas penduduk Kecamatan Nanggung bekerja pada sektor industri kecil atau pengrajin sebanyak 129 orang, buruh industri 91 orang, buruh bangunan 322 orang, buruh pertambangan 1668 orang, buruh perkebunan (besar dan kecil) 371 orang, pedagang 4757 orang, pengusaha sedang/besar 5085 orang, PNS 302 orang, ABRI 10 orang, pensiunan 103 orang dan peternak 2244 orang.

4.2 Kondisi Umum Desa Curug Bitung dan Desa Bantar Karet 4.2.1 Batas Wilayah Desa

Desa Curug Bitung sebelah utara berbatasan dengan Desa Nanggung, sebelah selatan dengan Desa Malasari, sebelah barat dengan Kecamatan Sukajaya, dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Cisarua. Desa Bantar Karet sebelah utara berbatasan dengan Desa Pangkal Jaya, sebelah selatan dengan Kabupaten Sukabumi, sebelah barat dengan Desa Cisarua, dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Pabangbon.

4.2.2 Luas Wilayah dan Penggunaan Lahan

Desa Curug Bitung memiliki luas wilayah 1397 Ha. Berdasrkan data monografi desa tahun 2006, tata guna lahan di desa ini menunjukan bahwa sebagian besar daerahnya berupa perkebunan negara seluas 500 Ha (35,8%) dan hutan seluas 473,2 Ha (25,1 %). Sedangkan Desa Bantar Karet memiliki luas wilayah 841 Ha yang sebagian besar terdiri dari hutan 350,5 Ha (56,3%). Diareal hutan tersebut sekarang ini ada yang dikelola oleh PT Aneka Tambang karena mengandung emas.

Tabel 3. Tata Guna Lahan Desa Curug Bitung dan Bantar Karet Tahun 2006 No Jenis Penggunaan Curug Bitung Bantar Karet

Luas (Ha) Persentase (%) Luas (Ha) Persentase (%) 1 Pemukiman 160,0 11,50 62,5 7,43 2 Bangunan 24,5 1,75 24,7 2,94 3 Pertanian Sawah 220,0 15,70 109,0 13,00 4 Ladang/Tegalan 116,5 8,34 72,6 8,63 5 Perkebunan 500,0 35,80 75,0 8,92 6 Hutan Rakyat 473,2 25,10 350,5 56,30 7 Perikanan Darat 7,0 0,50 10,0 1,19 8 Lain-lain 18,5 1,32 14,0 1,66 Jumlah 1519,0 100,00 718,0 100,00

Sumber: Monografi Desa Curug Bitung dan Bantar Karet 2006

4.2.3 Topografi dan Kondisi Geografis

Desa Curug Bitung sebagian besar merupakan daerah perbukitan / pegunungan dengan luas 898,5 Ha (65,72%) dan sisanya merupakan daratan seluas 498,5 Ha (34,27 %). Berdasarkan kondisi geografis desa Curug Bitung terletak di 550 mdpl dengan curah hujan rata 350 mm/tahun dan suhu rata-rata 310 C. Sedangkan Desa Bantar Karet mempunyai curah hujan rata-rata 3500 mm/tahun dan suhu rata-rata 300C.

4.2.4 Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk keseluruhan di desa Curug Bitung sebesar 7210 orang yang terdiri dari 3613 orang laki-laki dan 3597 orang wanita. Kepadatan penduduk desa Curug Bitung 628 orang/km2. Sedangkan desa Bantar Karet memiliki jumlah penduduk sebesar 8178 orang yang terdiri dari 4183 orang laki-laki dan 3904 orang wanita.

4.2.5 Mata Pencaharian Penduduk

Struktur mata pencaharian penduduk di desa Curug Bitung sebagian besar di sektor pertanian dengan jumlah petani 1811 orang yang terdiri dari pemilik tanah sawah 1461 orang, pemilik tanah tegal 150 orang, buruh tani 200 orang, sektor peternakan 984 orang, perikanan 32 orang, buruh perkebunan 12 orang, buruh pertambangan 150 orang, industri kecil 404 orang, industri besar 15 orang dan sektor jasa 604 orang. Sedangkan di desa Bantar Karet mayoritas

penduduknya juga bekerja di sektor pertanian dengan jumlah petani 3452 orang yang terdiri dari pemilik tanah sawah 1807 orang, pemilik tanah tegal 1362 orang, buruh tani 283 orang, buruh pertambangan 72 orang, pensiunan ABRI/ sipil 6 orang, Pegawai BUMN 48 orang, pegawai swasta 16 orang, sektor jasa lain 145 orang.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Responden

Karakteristik responden petani hutan rakyat masing-masing desa contoh dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini:

Tabel 4. Karakteristik Responden Untuk Masing-Masing Desa

Karakteristik Desa Total

Curug Bitung Bantar Karet

Umur (thn) 25-35 N % N % N % 3 10,00 4 13,33 7 11,67 35-45 13 43,33 8 26.67 21 35,00 45-55 8 26,67 12 40,00 20 33,33 >55 6 20,00 6 20,00 12 20,00 Total 30 100,00 30 100,00 60 100,00 Pendidikan SD 19 63,33 27 90,00 46 76,67 SMP 4 13,33 1 3,33 5 8,33 SMA 7 23,33 2 3,33 9 15,00 Total 30 100,00 30 100,00 60 100,00 Pekerjaan Petani 23 76,67 17 56,67 40 66,67 PNS/Pensiunan 2 6,67 2 3,33 4 6,67 Guru SD 1 3,33 2 0 3 5,00 Penambang 0 0 7 3,33 7 11,67 Veteran 0 0 2 3,33 2 3,33 Wiraswasta 4 13,33 0 0 4 6,67 Total 30 100,00 30 100,00 60 100,00 Pekerjaan Istri Tidak Bekerja 25 83,33 24 80,00 49 81,67 Bekerja 5 16,67 6 20,00 11 18,33 Total 30 100,00 30 100,00 60 100,00 Jumlah Tanggungan 0-3 14 46,67 20 66,67 34 56,67 4-6 12 40,00 7 23,33 19 31,67 >6 4 13,33 3 10,00 7 11,67 Total 30 100,00 30 100,00 60 100,00

Dari Tabel 4 tersebut dapat dilihat karakteristik responden pada masing-masing desa contoh. Secara keseluruhan mayoritas responden yang diwawancarai berumur diatas 35 tahun. Responden yang berusia lebih dari 55 tahun yaitu usia yang sudah lanjut dan kurang produktif ada sekitar 20 % sedangkan yang berusia 25-33 tahun ada sekitar 11,67 %. Hal tersebut menunjukan bahwa bagi kalangan muda pengusahaan hutan rakyat dianggap sebagai usaha yang kurang

menguntungkan mengingat daur tanaman yang cukup lama, sehingga mereka lebih menyukai penanaman tanaman yang daurnya relatif pendek.

Mayoritas pendidikan responden adalah Sekolah Dasar (SD) yaitu sekitar 51,67 %. Rendahnya tingkat pendidikan mereka sangat mempengaruhi kegiatan pengelolaan hutan rakyat yang dimiliki. Kurangnya pengetahuan yang cukup bagi petani hutan rakyat akan kegiatan penanaman, pemeliharaan akan mempengaruhi kualitas kayu yang dihasilkan. Pekerjaan utama mayoritas responden yang diwawancarai adalah petani (66,67%). Selain itu ada juga responden yang memiliki pekerjaan utama PNS/Pensiunan sebesar 6,67% dan sebagian lagi mempunyai pekerjaan utama wiraswasta. Untuk responden yang pekerjaan utamanya tidak bertani, hanya pada saat tertentu saja ke lahan dan dalam pengelolaan lahannya sebagian besar mereka mengupah tenaga kerja. Sedangkan untuk responden yang pekerjaan utamanya bertani mayoritas juga memiliki pekerjaan sampingan seperti berdagang. Jadi tidak seluruh waktu mereka untuk mengerjakan lahan pertaniannya.

Sebagian besar para istri responden tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga yaitu sebesar 81,67%. Sedangkan 18,33% istri responden memiliki pekerjaan/usaha. Rata-rata mereka memiliki warung yang ada dirumah sehingga dapat menambah tingkat pendapatan rumah tangga mereka. Sedangkan jumlah tanggungan responden umumnya berkisar antara 0-3 orang yaitu 56,67 % dari seluruh responden yang diwawancarai. Jumlah tanggungan dalam keluarga sangat mempengaruhi dalam usaha hutan rakyat, dimana semakin banyak tanggungan keluarga maka pola pikir mereka lebih kearah usaha yang cepat menghasilkan. Pada usaha kayu rakyat, responden yang memiliki jumlah tanggungan yang banyak dalam penjualan kayunya lebih cepat/sebelum daurnya karena kebutuhan yang mendesak sehingga kayu yang dihasilkan diameternya kecil dan harganya murah.

5.2 Hutan Rakyat

5.2.1 Luas dan Kepemilikan Hutan Rakyat

Hutan rakyat yang ada di lokasi penelitian dapat dibedakan menjadi hutan rakyat campuran dan hutan rakyat monokultur. Hutan rakyat campuran

merupakan hutan rakyat yang dilahan tersebut tanaman kehutanannya lebih dari satu jenis misalnya kayu sengon dan kayu afrika. Sedangkan hutan rakyat monokultur merupakan hutan rakyat yang hanya terdiri dari satu jenis tanaman kehutanan misalnya hanya kayu sengon atau kayu afrika saja. Dari 60 responden petani hutan rakyat terdapat 43 responden yang mengusahakan hutan rakyat jenis tanaman sengon dan kayu afrika seluas 54,95 Ha, 14 responden mengusahakan hutan rakyat jenis tanaman sengon seluas 21,75 Ha dan 3 responden mengusahakan hutan rakyat dengan jenis kayu afrika seluas 4,5 Ha.

Kayu rakyat terbesar pada berbagai bentuk penggunaan lahan antara lain kebun campuran, ladang/tegalan ataupun pekarangan. Kebun campuran merupakan lahan yang mayoritas tanamannnya adalah tanaman berkayu yaitu kombinasi antara tanaman buah-buahan dan tanaman kehutanan. Sedangkan pada lahan/tegalan mayoritas tanamannya adalah tanaman musiman. Penyebaran kepemilikan luas lahan hutan rakyat pada masing-masing desa contoh dapat dilihat pada Tabel 5 berikut:

Tabel 5. Kepemilikan Luas Lahan di Desa Curug Bitung dan Desa Bantar Karet

Luas (Ha)

Curug Bitung Bantar Karet Total N % N % N % 0,5-1 19 63,33 16 53,33 35 58,33 1-2 9 30,00 9 30,00 18 30,00 >2 2 6,67 5 16,67 7 11,67 Total 60 100,00

Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa mayoritas responden (58,33%) mempunyai lahan dengan kisaran luas 0,5-1 Ha. Ada 2 orang responden dari desa Curug Bitung yang memiliki luas lahan 8 Ha. Dengan memperhatikan responden pencilan, rata-rata kepemilikan lahan responden adalah 1,35 Ha. Desa Curug Bitung petaninya mempunyai luas lahan terbesar yaitu 1,66 Ha/responden. Sedangkan Desa Bantar Karet memiliki luas kepemilikan lahan terkecil yaitu 0,65 Ha/responden. Hal ini disebabkan karena di Desa Curug Bitung petani hutan

rakyat memiliki luasan areal yang masih luas jika dibandingkan dengan Desa Bantar Karet.

5.3 Analisis Potensi Hutan Rakyat di Kecamatan Nanggung

Untuk menduga potensi hutan rakyat di Kecamatan Nanggung digunakan metode jumlah batang berdasarkan volume Standing Stock. Metode ini menggunakan perhitungan rata-rata luas lahan, rata-rata jumlah pohon, rata-rata diameter pohon, rata-rata tinggi pohon, volume Standing Stock, dan rata-rata potensi hutan rakyat (Standing Stock). Untuk analisis potensi hutan rakyat di Kecamatan Nanggung pada masing-masing desa contoh dapat disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Potensi Hutan Rakyat (Standing Stock) di Desa Curug Bitung dan Desa Bantar Karet

Desa Curug Bitung

Desa Bantar Karet

Rata-rata luas lahan (Ha) 1,37 1,32

Rata-rata jumlah pohon 936 611

Rata-rata diameter pohon (cm) 19,4 18,7

Rata-rata tinggi pohon (m) 11,86 12,00

VolumeStanding Stock (m3) 237,06 190,08

Rata-rata potensi hutan rakyat (Standing Stock) m3/Ha

173,03 144,00

Berdasarkan pada Tabel 6 jika dilihat berdasarkan luasan kepemilikan lahan rata-rata jumlah pohon dan rata-rata diameter pohon pada Desa Curug Bitung memiliki angka terbesar jika dibandingkan dengan Desa Bantar Karet yakni sebesar 936 pohon. Pada Desa Bantar Karet memiliki rata-rata jumlah pohon yang dapat ditanam sebanyak 611 pohon. Jika dilihat potensi kayu rakyatnya Desa Curug Bitung memiliki potensi kayu rakyat (Standing Stock) terbesar daripada Desa Bantar Karet yakni sebesar 173,03 m3/Ha. Sedangkan Desa Bantar Karet memiliki potensi kayu rakyat (Standing Stock) sebesar 144,00 m3/Ha. Hal ini disebabkan pada Desa Curug Bitung masih memiliki luasan areal

hutan rakyat yang masih cukup luas. Jika dibandingkan dengan Desa Bantar Karet areal hutan rakyatnya sudah terbagi oleh adanya lokasi penambangan emas.

5.4 Analisis Pendapatan Hutan Rakyat

Pendapatan petani dari penjualan kayu rakyat beragam tergantung dari jumlah kayu dan kualitas kayu yang dijualnya. Penjualan kayu ke industri penggergajian dengan harga per m3 berkisar antara Rp 120.000,00 sampai Rp 150.000,00 akan menghasilkan pendapatan yang besar, dengan biaya pemanenan yang ditanggung oleh petani. Sedangkan penjualan dengan sistem borongan dengan harga per m3 Rp 40.000,00 akan menghasilkan pendapatan bersih bagi petani karena biaya pemanenan ditanggung oleh pembeli. Kepraktisan dalam penjualan dengan sistem borongan memberi konsekuensi tingkat keuntungan yang relatif lebih rendah dibandingkan petani yang menjual kayunya langsung ke industri penggergajian. Untuk analisis pendapatan hutan rakyat per tahun di Kecamatan Nanggung pada masing-masing desa contoh dapat disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Pendapatan Hutan Rakyat (Rp/th) berdasarkan kepemilikan lahan di Desa Curug Bitung dan Desa Bantar Karet

Sumber Pendapatan

Luas Kepemilikan Lahan (Ha)

0,5-1 1-2 > 2 Curug Bitung Bantar Karet Curug Bitung Bantar Karet Curug Bitung Bantar Karet Kayu Rakyat 1.764.888 1.001.395 2.246.678 2.151.814 5.998.949 5.152.632 Tanaman Pangan 1.252.300 1.050.125 1.845.623 1.562.346 3.425.618 3.078.562 Tanaman Buah 996.452 845.263 1.010.512 1.235.456 2.425.521 2.126.352 Total 4.013.640 2.896.783 5.102.813 4.949.616 11.850.088 10.357.546 Berdasarkan pada Tabel 7 sumber pendapatan petani hutan rakyat selain berasal dari pendapatan kayu rakyat juga berasal dari tanaman pangan dan tanaman buah-buahan. Jika dilihat berdasarkan luasan areal yang dimiliki oleh petani hutan rakyat maka Desa Curug Bitung memiliki total pendapatan petani hutan rakyat terbesar daripada Desa Bantar Karet. Pada luasan areal 0,5-1 Ha Desa Curug Bitung memiliki total pendapatan sebesar Rp 4.013.640/th, sedangkan Desa Bantar Karet pada luasan yang sama total pendapatannya sebesar

Rp.2.896.783/th. Pada luasan areal 1-2 Ha Desa Curug Bitung memiliki total pendapatan sebesar Rp 5.102.813/th, sedangkan Desa Bantar Karet pada luasan yang sama total pendapatannya sebesar Rp 4.949.616/th. Pada luasan areal > 2 Ha Desa Curug Bitung memiliki total pendapatan sebesar Rp 11.850.088, sedangkan Desa Bantar Karet memiliki total pendapatan sebesar Rp 10.357.410 dengan luasan areal yang sama. Hal ini disebabkan jumlah petani hutan rakyat di Desa Bantar Karet masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan Desa Curug Bitung. Selain itu juga disebabkan pada Desa Curug Bitung petani hutan rakyat dalam penjualan kayu rakyatnya langsung ke industri penggergajian.

Hutan rakyat pada masing-masing desa contoh selain bersifat monokultur juga bersifat campuran. Petani hutan rakyat selain menanam tanaman keras seperti sengon dan kayu afrika, juga menanam tanaman pangan seperti padi, jagung, singkong serta tanaman buah-buahan seperti pisang, pepaya, rambutan. Petani hutan rakyat dalam mengelola lahannnya menggunakan sistem tumpang sari.

5.4.1 Biaya Produksi Hutan Rakyat

Total biaya produksi pengelolaan hutan rakyat merupakan total biaya penanaman, biaya pemeliharaan dan biaya pemanenan. Untuk hutan rakyat campuran karena kondisi tanamannya yang tidak seumur yaitu bervariasi dari 1 tahun sampai 10 tahun maka yang dihitung dalam perhitungan adalah untuk tanaman kayu yang sudah ditebang atau sudah layak tebang (umur 5 tahun sampai 10 tahun). Sedangkan untuk hutan rakyat monokultur dengan penanaman secara bersamaan, penebangan biasanya secara tebang habis keseluruhan pohon yang ada di lahan.

Biaya penanaman yang dikeluarkan petani meliputi biaya persiapan lahan, pengadaan bibit dan kegiatan penanamannya. Biaya pengadaan bibit persentasenya 19.19% terhadap total biaya produksi yang dikeluarkan petani responden. Biaya ini cukup besar karena petani membeli bibit ke penjual tidak membuat bibitnya sendiri. Pembelian bibit oleh petani harganya bervariasi tergantung umur bibit tersebut. Rata-rata biaya pembelian untuk 1 bibitnya Rp500,00.

Tabel 8. Rincian Biaya Produksi Sampai Umur Tebang

Tahun

Total Biaya Penanaman (Rp/Ha)

Total Biaya Pemeliharaan (Rp/Ha)

Total Biaya Pemanenan (Rp/Ha) Persiapan Tanam Pengadaan Bibit Kegiatan

Penanaman Pemupukan Pendangiran

Pemberantasan Hama dan Penyakit Upah Tebang dan Sarad Upah Angkut 1 465.000 280.000 325.000 80.000 50.000 20.000 - -2 60.000 115.000 90.000 70.000 240.000 65.000 - -3 50.000 150.000 48.000 280.000 120.000 87.000 - -4 60.000 150.000 120.000 150.000 200.000 65.638 - -5 90.000 150.000 65.000 50.000 240.000 90.000 500.000 500.000 6 45.000 180.000 260.000 220.000 170.000 70.698 - -7 120.000 3.845.000 1.780.320 1.547.500 800.000 194.500 - -8 60.000 90.000 225.654 80.000 623.456 150.890 - -9 80.000 250.000 135.320 350.000 500.000 150.000 - -10 90.000 150.000 115.000 120.000 205.000 95.000 1.325.000 1.000.000 Total 1.120.000 5.360.000 3.164.294 2.947.500 3.148.456 988.726 1.825.000 1.500.000

Sedangkan biaya pemeliharaan yang dikeluarkan petani meliputi biaya pendangiran, pemberantasan hama dan pemupukan. 68.58% biaya yang dikeluarkan petani responden adalah untuk kegiatan pemeliharaan yang berupa pendangiran. Kegiatan pendangiran rata-rata dilakukan setiap 3 bulan sampai umur tanaman 4 tahun. Jadi rata-rata ada 4 kali kegiatan pendangiran sampai tanaman ditebang. Biaya rata-rata dari kegiatan pendangiran per pohonnya sampai tanaman ditebang Rp 1750. Sedangkan biaya pemeliharaan yang lain seperti pemupukan dan pemberantasan hama persentasenya terhadap biaya produksi sangat kecil. Hal ini disebabkan karena jumlah responden yang melakukan kegiatan tersebut sangat sedikit. Kegiatan pemupukan dilakukan 16 responden (26.67%), dengan biaya rata-rata per pohonnya Rp 250. Kegiatan pemupukan tidak dilakukan secara benar sehingga kualitas terhadap hasil kayunya juga tidak terlalu berpengaruh. Sedangkan kegiatan pemberantasan hama dan penyakit yang dilakukan oleh 5 orang responden (8.33%), dengan biaya rata-rata per pohonnya Rp 300.

Biaya pemanenan dikeluarkan pada tahun ke 5, yaitu pada saat petani akan menjual kayunya. Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa biaya pemanenan merupakan biaya yang paling besar dikeluarkan petani. Biaya tersebut dikeluarkan jika mereka menjual kayunya ke industri yang harga / m3 lebih mahal dibandingkan dengan petani yang menjual kayunya ke tengkulak dan mendapat pendapatan bersih tanpa biaya pemanenan.

Dari 60 responden ada 9 orang responden yang menjual kayunya langsung ke industri penggergajian. Diantara 9 orang tersebut ada 2 orang yang memiliki industri penggergajian sendiri. Rata-rata biaya pemanenan per m3 yang dikeluarkan petani sebesar Rp 55.082 yang meliputi biaya penebangan dan penyaradan per m3 Rp 25.246 serta biaya pengangkutan ke industri penggergajian per m3 Rp 29.835. Akibat besarnya biaya penebangan dan pengangkutan yang harus dikeluarkan oleh petani sebelum mereka menerima penjualan kayunya. Biaya yang sangat besar tersebut sulit disediakan oleh petani sehingga mereka menjual kayunya ke tengkulak.

5.4.2 Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat

Sistem pengelolaan hutan rakyat di dua desa contoh yaitu Desa Curug Bitung dan Desa Bantar Karet sebagian besar sudah menggunakan bentuk Agroforestry dengan pola tanaman tumpangsari, dimana suatu areal lahan ditanami dengan tanaman perkebunan, buah, sayuran dan tanaman keras. Sedangkan sebagian kecil responden memang mengkhususkan menaman tanaman keras. Pada umumnya tanaman keras yang ditanam adalah sengon (Paraserianthes falcataria) dan Kayu afrika (Maesopsis eminii).

Untuk tanaman kayu afrika menurut responden lebih mudah ditanam dibandingkan dengan tanaman sengon. Tanaman kayu afrika sistem permudaannya menggunakan sistem trubusan yaitu bekas tebangan kayu tersebut tumbuh tunas baru lagi dan bijinya sangat mudah tumbuh. Sedangkan untuk tanaman sengon relatif mudah terserang hama seperti uter-uter dibandingkan tanaman kayu afrika.

Kegiatan pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan responden meliputi kegiatan penanaman dan kegiatan pemeliharaan. Sedangkan untuk kegiatan pemanenan dan pemasaran sebagian besar responden tidak melakukannya karena sistem penjualannya melalui tengkulak. Berikut adalah uraian kegiatan-kegiatan pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan oleh responden.

5.4.3 Kegiatan Penanaman

Untuk kegiatan penanaman, masyarakat pemilik lahan biasanya melakukan beberapa tahapan kegiatan yaitu persiapan lahan, pengadaan bibit dan kegiatan penanamannya sendiri.

5.4.3.1 Persiapan Lahan

Kegiatan penyiapan lahan atau persiapan tanam dilakukan dengan cara membersihkan lahan dari semak belukar, tumbuhan penggangu dengan menggunakan sabit. Pembersihan lahan sebenarnya tidak mutlak dilakukan jika areal bekas tebangan sudah bersih. Berbeda dengan lahan yang banyak ditumbuhi tanaman penggangu seperti rumput alang-alang yang dapat menggangu pertumbuhan tanaman. Banyaknya tenaga kerja dan biaya yang digunakan untuk

membersihkan lahan tersebut tergantung banyaknya tanaman yang ditanam. Dari 60 orang responden yang diwawancarai ada 10 orang responden (16,67%) yang tidak membersihkan lahannya sebelum kegiatan penanaman. Hal tersebut dilakukan karena lahannya memang sudah bersih dan sebagian lagi memang lahan tersebut tidak dikelola sama sekali.

5.4.3.2 Pengadaan Bibit

Bibit sengon dan kayu afrika sebagian diperoleh petani dengan cara membeli langsung kepada penjual bibit dengan harga berkisar Rp 100,00 per bibit sampai Rp 500,00 per bibit. Dalam hal ini petani jarang membuat bibit sendiri walaupun sebenarnya lebih menguntungkan bagi petani, akan tetapi karena tingkat pengetahuan petani yang kurang mengenai pembibitan maka mereka tidak mau mengambil resiko. Sebagian juga petani tidak mengeluarkan biaya untuk membeli bibit, karena bibit mereka peroleh dibawah tegakan tanaman yang sudah tua baik dilahan mereka sendiri maupun lahan milik tetangganya. Jadi mereka tinggal mengumpulkannya dan langsung menanamnya di lahan.

5.4.3.3 Penanaman

Kegiatan penanaman dimulai pada saat bibit dan lahan telah siap. Kegiatannya dimulai dari pembuatan lubang tanam kemudian memasukkan bibit ke lubang tersebut. Lamanya kegiatan dan biaya yang dikeluarkan petani pada kegiatan penanaman ini tergantung banyaknya tanaman yang ditanam. Dalam kegiatan penanaman biasanya menggunakan tenaga kerja upahan. Besarnya upah tenaga kerja bervariasi antara Rp 10.000,00 sampai Rp 15.000,00 per hari.

Selain menggunakan bibit, tanaman berkayu seperti sengon dan kayu afrika banyak yang berasal dari tunas yang tumbuh di tunggak bekas tebangan atau biasa disebut sistem trubusan. Tanaman sengon atau kayu afrika yang sudah ditebang dari tunggaknya biasanya tumbuh tunas yang banyak, kemudian oleh petani diambil satu atau dua untuk tumbuh dengan cara memangkas yang lain. Jadi dengan sistem trubusan ini lebih menghemat biaya yang dikeluarkan oleh petani karena tidak ada biaya pengadaan bibit, cuma kegiatan pembersihan di sekitar tanaman tersebut. Menurut keterangan responden tanaman yang berasal

dari sistem trubusan ini lebih mudah tumbuh besar dibandingkan dengan bibit yang sengaja ditanam.

5.4.4 Kegiatan Pemeliharaan

Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan petani meliputi pemupukan, pendangiran dan pemberantasan hama dan penyakit. Untuk kegiatan dan pemberantasan hama dan penyakit jarang dilakukan oleh petani mengingat kendala biaya. Adapun kegiatan-kegiatan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

5.4.4.1 Pemupukan

Kegiatan pemupukan dilakukan untuk memacu pertumbuhan tanaman, sehingga diperoleh hasil kayu yang optimal. Dari 60 responden yang diwawancarai ada 16 orang petani (26.67%) yang sengaja memupuk tanaman kerasnya pada saat awal penanaman. Pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang atau pupuk buatan seperti urea. Rata-rata kegiatan pemupukan hanya dilakukan 1 kali pada saat awal penanaman, itu pun dengan dosis yang tidak seberapa sehingga hasilnya kurang optimal. Sebagian besar petani memang tidak secara langsung melakukan kegiatan pemupukan pada tanaman keras, akan tetapi mereka melakukan pemupukan pada tanaman musiman yang ada dilahan tersebut sehingga secara tidak langsung tanaman keras pun mendapat tambahan hara dari pupuk tersebut.

5.4.4.2 Pendangiran

Kegiatan pendangiran dilakukan dengan cara membersihkan tanaman pengganggu atau pun rumput alang-alang yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Kegiatan pendangiran rata-rata dilakukan 3 bulan sekali sampai tanaman berumur 1 tahun. Setelah tanaman berumur 1 tahun tanaman sudah tumbuh tinggi sehingga pertumbuhan rumput tidak terlalu mengganggu tanaman. Jadi selama daur tanaman rata-rata petani melakukan 4 kali pendangiran. Biaya terbesar yang dikeluarkan petani dalam pengelolaan hutan rakyat adalah pada kegiatan pendangiran ini. Biasanya mereka menggunakan tenaga kerja upahan, sama pada

kegiatan penanaman dengan upah berkisar antara Rp 10.000,00 sampai Rp 15.000,00 per hari dengan rata-rata 6 sampai 7 jam kerja per harinya. Untuk meminimalkan biaya ada sebagian petani yang melakukan pekerjaan ini secara bergilir dengan petani lainnya yang sama-sama mempunyai lahan. Jadi ada semacam gotong royong dalam membersihkan lahan tersebut.

5.4.4.3 Pemberantasan Hama dan Penyakit

Kegiatan pemberantasan hama dan penyakit dilakukan dengan tujuan mencegah terhadap serangan hama dan penyakit supaya tanaman bisa tumbuh dengan baik. Pencegahan terhadap hama dan penyakit dilakukan dengan cara penyemprotan insektisida ke tanaman supaya tanaman tidak mudah terserang

Dokumen terkait