• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.3 Analisis dan Desain Sistem Informasi pada Ranta

4.3.2 Traceability internal

Traceability internal mempunyai peran yang sangat penting dalam mendukung traceability tuna secara keseluruhan (chain traceability) (Thakur dan Hurburgh 2009). Oleh karena itu pengembangan traceability internal pada industri pengolahan tuna penting karena jika terjadi masalah pangan selama jalur distribusinya maka traceability internal dapat digunakan untuk mencari penyebabnya. Traceability internal disini dikembangkan secara teoritis untuk memberikan suatu acuan yang baku dalam pengembangan traceability internal pada dalam suatu organisasi khususnya pada industri pengolahan tuna loin beku menggunakan teknik yang disebut Integrated Definition Modelling (IDEF0).

Berdasarkan standar ISO 22005:2007, suatu sistem traceability dipengaruhi oleh regulasi, karakterisasi produk, dan harapan konsumen. Di Indonesia produk hukum yang mengatur tentang traceability produk perikanan yaitu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.19/MEN/2010 tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan yaitu pada Bab II pasal 3 huruf C. Lebih lanjut ISO 22000:2005 yang merupakan sistem manajemen keamanan pangan bagi organisasi dalam rantai produksi pangan pada klausul 7.9 juga mempersyaratkan adanya sistem mampu telusur (traceability system).

Ikan tuna sebagaimana ikan pada umumnya merupakan bahan pangan yang dikategorikan highly perishable yaitu bahan pangan yang sangat mudah busuk dan membutuhkan penanganan yang baik dalam rantai distribusinya (Venugopal 2006). Teknik penanganan bahan baku tuna segar dilakukan secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,4 oC, sedangkan penanganan bahan baku tuna beku sama seperti halnya tuna segar namun dilakukan dengan menjaga suhu pusat produk maksimal -18 oC (SNI 01- 4103.3-2006). Hal lain yang mempengaruhi sistem traceability adalah harapan konsumen terhadap suatu produk. Sebagai contoh jika konsumen mengharapkan adanya jaminan terhadap produk tuna yang dikonsumsi merupakan ikan yang bebas dari bahaya keamanan pangan, maka produsen akan berusaha untuk mencapai harapan konsumen tersebut. Dari berbagai penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa regulasi, karakterisasi produk, dan harapan konsumen merupakan masukan bagi teknik IDEF0 pengembangan sistem traceability pada tuna.

Suatu sistem traceability dikembangkan untuk memenuhi regulasi yang berlaku (Thakur dan Hurburgh 2009). Sistem traceability produk perikanan Indonesia dilakukan untuk memenuhi PER.19/MEN/2010 tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Pangan, sedangkan dalam penerapannya dibutuhkan suatu standar yang digunakan sebagai batasan untuk menghasilkan keluaran yang tepat yaitu standar Codex Alimentarius Commission (CAC/RPC 1- 1969, Rev. 4-2003) mengenai prinsip umum untuk higiene pangan (General Principles of Food Hygiene). Standar ini dipilih karena merupakan standar internasional dari negara Amerika yang menjadi tujuan ekspor PT X dimana pemilihan standar sebaiknya disesuaikan dengan negara tujuan ekspor atau menggunakan standar yang lebih ketat persyaratannya untuk alasan kesehatan. Oleh karena itu, standar CAC/RPC 1-1969, Rev. 4-2003 dikategorikan sebagai kontrol (control) bagi model ini. Berbagai mekanisme (mechanism) diperlukan untuk mengembangkan sistem traceability, diantaranya standar industri, personal (pihak yang terlibat), dan prosedur-prosedur yang ada. Keluaran (output) dari model ini akan tergantung dari jenis produk akhir tuna yang dihasilkan dan aktor yang terlibat didalamnya. Secara umum, output yang dapat dihasilkan dalam

sistem traceability internal ini adalah adanya berbagai macam dokumentasi seperti dokumentasi proses produksi, sertifikat-sertifikat yang telah divalidasi, dan pemenuhan terhadap regulasi sebagai jaminan kualitas dan keamanan pangan. Model pada sistem ini harus dapat membuktikan klaim terhadap suatu produk, misalnya klaim terhadap ikan tuna yang digunakan dalam proses produksi ditangkap dari daerah penangkapan yang tidak melanggar undang-undang illegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing. Selain itu sistem traceability yang dibuat juga harus menyediakan suatu tolak ukur untuk kepuasan konsumen. Teknik IDEF0 (Integrated Definition Modelling) untuk pengembangan sistem internal traceability pada suatu Unit Pengolahan Ikan (UPI) dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 16 Teknik IDEF0 untuk pengembangan traceability internal pada Unit Pengolahan Ikan (UPI).

Berdasarkan Gambar 16. maka dibuatlah detail dari teknik tersebut untuk menunjukkan langkah-langkah yang dilakukan terkait dengan pengembangan traceability internal pada UPI dalam hal ini PT X yang melakukan pengolahan ikan tuna beku. Model ini digambarkan lebih detail (didekomposisi) untuk memudahkan pemahaman mengenai rangkaian pengembangan traceability internal pada UPI dan ditujukan untuk mendapatkan sertifikasi sistem manajemen keamanan pangan (food safety management system certificate) seperti ISO 22000 oleh Thakur dan Humburgh (2009) dengan tahapan sebagai berikut :

1) Menentukan rencana sistem traceability : langkah pertama untuk pengembangan sistem traceability internal adalah menentukan rencana traceability. Masukan (input) bagi tahapan ini adalah kebutuhan akan regulasi,

Dokumentasi Proses Produksi Sertifikat yang divalidasi

Jaminan Kualitas dan Keamanan Pangan Kepuasan Konsumen Kebutuhan Regulasi PENGEMBANGAN SISTEM TRACEABILITY INTERNAL TUNA A0 Karakteristik Produk Harapan Konsumen Pemenuhan Regulasi Prosedur Personal Standar Industri

karakteristik produk dan harapan konsumen. Kebutuhan akan regulasi ditujukan untuk memenuhi CAC/RPC 1-1969, Rev. 4-2003 yang merupakan regulasi Amerika Serikat karena negara tujuan ekspor PT X. Karakteristik hasil perikanan yang highly perishable mempengaruhi rencana traceability dimana penggunaan bahan-bahan seperti air atau es harus ada jaminan bahwa air berasal dari air dengan kualitas air minum sehingga ikan tidak mudah rusak. Penggunaan kemasan yang khusus bagi produk pangan (food grade) dan peralatan yang digunakan juga perlu diperhatikan mengingat ikan merupakan bahan pangan yang mudah busuk. Hal terakhir yang mempengaruhi suatu sistem traceability adalah harapan konsumen dimana produsen akan senantiasa berusaha memenuhi harapan dari konsumennya. Rencana sistem traceability ditentukan berdasarkan keperluan-keperluan tersebut.

Selain masukan, diperlukan juga suatu standar bagi sistem ini dimana standar CAC/RPC 1-1969, Rev. 4-2003 dapat digunakan sebagai kontrol (control). Berbagai mekanisme (mechanism) diperlukan untuk menentukan sistem traceability, diantaranya standar industri, personal (pihak yang terlibat), dan prosedur-prosedur yang ada. Personal yang terlibat dalam sistem ini harus merupakan tim yang memiliki pengetahuan dan pengalaman multi disiplin, dan merupakan orang-orang yang berasal dari berbagai departemen yang ada pada suatu Unit Pengolahan Ikan (UPI). Selain itu, menurut Derrick dan Dillon (2004) penting bagi suatu UPI menunjuk seseorang yang memiliki kemampuan untuk memimpin tim, memiliki pengetahuan mengenai traceability, dan memiliki posisi penting dalam kegiatan produksi.

Rencana sistem traceability harus didefinisikan secara jelas dalam format yang tetap dan termasuk di dalamnya mengenai informasi yang dibutuhkan untuk dicatat dan informasi yang akan dibagi kepada aktor lain yang terlibat (dalam rantai distribusi produk). Selain itu dalam sistem ini juga perlu didefinisikan parameter yang tepat untuk mengukur kesuksesan sistem. Keluaran (output) pada tahapan ini adalah terbentuknya manual sistem traceability yang mendefinisikan prosedur untuk penerapan rencana sistem traceability dimana secara umum prosedur meliputi dokumentasi proses produksi dan informasi

terkait proses produksi, termasuk perawatan dokumen dan verifikasi (ISO 22005:2007).

2) Penerapan rencana traceability : Keluaran pada tahapan 1 merupakan masukan bagi tahapan ini. Manual sistem traceability yang telah dibuat digunakan untuk diterapkan pada tahapan ini. Tahapan ini memiliki kontrol dan mekanisme yang sama dengan yang ada pada tahap 1. Pada sistem informasi yang dikembangkan, dilakukan desain basis data traceability perusahaan yang direpresentasikan menggunakan entity relationship diagram (ERD). ERD merupakan suatu diagram yang dapat menunjukkan bagaimana data dan informasi akan disimpan di dalam basis data beserta hubungan antar data. Bagian yang digunakan untuk membangun suatu entity relationship diagram adalah entitas (entity), atribut, dan hubungan (relationship). Pengguna (user) dalam hal ini pihak UPI dapat mendesain entitas yang berkaitan dengan aktifitas ikan tuna (per batch) baik kualitas maupun proses yang dikenakan. Entity relationship diagram ini menghubungkan berbagai macam data mulai dari kedatangan bahan baku tuna, proses produksi per batch, dan hasil akhir dari tiap batch yang keluar dari ruang penyimpanan (storage) UPI. Setelah selesai membuat ERD dilanjutkan dengan penerjemahan desain basis data (database) pada sistem yang telah dibuat kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk perintah-perintah yang dimengerti komputer dengan mempergunakan suatu bahasa pemrograman dan penyimpanan ke dalam database tergantung dari keperluan pengguna. Hanya terdapat satu basis data terpusat untuk menyimpan semua informasi yang dibutuhkan. Salah satu bahasa yang dapat digunakan untuk merepresentasikan data adalah XML (Extensible Markup Language). XML dipilih karena dalam industri perikanan terdapat suatu standar yang disebut “tracefish” yang dapat digunakan untuk mencapai sistem traceability secara menyeluruh pada suatu rantai distribusi dimana standar ini menurut Larsen (2003) merupakan suatu konsep yang menggunakan sistem elektronik untuk mencapai penelusuran rantai distribusi (chain traceability). Selanjutnya Folinas et al. (2007) menyatakan bahwa tracefish menggunakan XML (extensible markup language) untuk memfasilitasi pertukaran informasi yang berhubungan dengan sistem traceability secara elektronik (electronic

exchange) antara berbagai pihak atau organisasi dalam suatu rantai distribusi. Setelah tahap ini selesai, sebuah laporan penerapan traceability akan dihasilkan. Laporan ini akan terdiri dari deskripsi detail sistem database dan penggunaannya.

3) Evaluasi pelaksanaan sistem : pelaksanaan sistem traceability akan dievaluasi pada tahap ini. Evaluasi yang dilakukan mencakup evaluasi efisiensi penggunaan database untuk kecepatan reaksi terhadap kasus keamanan pangan. Laporan pelaksanaan sistem manajemen keamanan pangan seperti HACCP atau ISO 22000 dan laporan hasil audit merupakan keluaran dari tahapan ini. Tahapan ini memiliki kontrol dan mekanisme yang sama dengan tahap sebelumnya.

4) Validasi sistem: validasi dibutuhkan untuk memastikan bahwa pelaksanaan sistem sesuai dengan rencana traceability yang telah dibentuk. Laporan pelaksanaan dan laporan hasil audit dari tahap 3 digunakan sebagai dasar untuk pemvalidasian sistem traceability menggunakan standar CAC/RPC 1-1969, Rev. 4-2003 sebagai kontrol dan mekanisme yang sama dengan tahapan- tahapan sebelumnya. Setelah sistem traceability divalidasi, pemenuhan CAC/RPC 1-1969, Rev. 4-2003 dapat dicapai. Dokumentasi lainnya seperti dokumentasi proses produksi, sistem manajemen keamanan pangan, dan validasi sistem (sertifikat) dapat dicapai. Bukti dari kepuasan konsumen juga merupakan keluaran yang diharapkan dari proses pengembangan sistem traceability internal ini.

5) Perawatan sistem: Perawatan dari sistem traceability merupakan tahapan yang sangat penting dari keseluruhan proses. Perawatan dibutuhkan untuk menjaga agar sistem tetap berjalan dan juga untuk melakukan perbaikan terus-menerus. Tahapan ini merupakan proses yang terus-menerus dilakukan (siklus berulang) dan rencana sistem traceability sebaiknya dimodifikasi berdasarkan perubahan regulasi yang ada, permintaan konsumen dan faktor lainnya yang dapat menyebabkan perubahan pada proses bisnis. Tahapan selanjutnya akan dimodifikasi ulang setiap adanya perubahan rencana sistem traceability. Keseluruhan tahapan pengembangan traceability internal ini dapat dilihat pada Gambar 17.

Gambar 17 Teknik IDEF0 untuk pengembangan dan penerapan sistem traceability internal pada UPI (Modifikasi Thakur dan Hurburgh 2009).

51

Laporan Penerapan

traceability

Jaminan kualitas dan keamanan pangan

Penerapan Traceability 2 Evaluasi Pelaksanaan Sistem 3 Validasi Sistem 4 Perawatan Sistem 5 Pemenuhan Regulasi (CAC/RCP 1-1969,Rev. 4-2003) Manual Traceability Standar

Industri Personal Prosedur

Menentukan Rencana

Sistem

Traceability

1

Dokumentasi Proses Produksi Sertifikat yang divalidasi

Kepuasan Konsumen Laporan Penerapan Sistem

Manajemen Keamanan Pangan Laporan Audit

Jenis Produk Akhir (Harapan Konsumen)

Highly Perishable

(Karakterisasi Produk) CAC/RCP 1-1969,Rev. 4-2003 (Kebutuhan Regulasi)

Dokumen terkait