R: Apakah kamu menyadari bahwa kamu membuat kesalahan Grammar pada saat latihan mengajar di kelas Microteaching?
I 5: Hmm. Pas ngajarnya nggak nyadar, Mbak. Maksudnya pas ngomongnya nggak nyadar. Kan ngomong banyak banget tu. Nyadarnya pas udah selesai ngajar biasanya atau tepat setelah diomongin. Kalau nyadarnya pas baru aj selesai
diomongin, biasanya langsung aku ralat, tapi kalau nyadarnya belakangan, yaaah apa mau dikata. Hahaha. Biasanya dulu kalau nggak dosen yang ngasih tahu kesalahannya, ya temen yang jadi fake students itu.
R: Lalu apakah menurutmu menggunakan frasa kata kerja dengan tepat itu penting dalam speaking?
I 5: Penting nggak penting. Kalau dalam konteks education gitu, maksudnya di
English education, ya penting, Mbak. Kan kita sebagai calon guru mestinya bisa
ngomong nggak cuma semantically correct, tapi juga gramatically correct. Tapi kalo speaking cuma sebagai bahasa komunikasi, jadi jembatan kita sama orang lain gitu ya nggak sepenting kalau dalam konteks education, menurutku sih. Selama kita sama orang itu sama-sama ngerti, ya masih bisa ditoleransi. Tapi ya daripada jadi misunderstanding, mungkin lebih baik kalau meskipun bahasa percakapan, dipentingin juga.
R: Ok. Sekarang, kan kita punya bahasa ibu ya, Bahasa Indonesia. Apakah menurutmu Bahasa mempengaruhi produksi kesalahan-kesalahan tadi?
I 5: Iya, banget. Kan struktur yang kita punya sama yang dipunya Bahasa Inggris beda. Kadang-kadang itu mempengaruhi, apalagi buat yang jarang ngomong Bahasa Inggris. Jadinya cuma kayak translating dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris gitu. Translating-nya jadi kayak tiap satuan kata gitu.
R: Ok. Terus kalau untuk kamu pribadi bagaimana?
I 5: Gimana ya ngomongnya? Aku jadi bingung sendri nih. Hahaha! Jadinya kadang kebolak-balik.
R: Hmm,berarti pengaruh yang kamu sebutin tadi bisa dikatakan terjadi pada kamu ya?
I 5: Iya.
R: Ok. Selanjutnya menurut teori, ada 4 penyebab kesalahan. Kesalahan-kesalahanmu cenderung ke mana?
115 I 5: Bentar, Mbak. Tak baca dulu lagi. R: Kamu paham nggak keempatnya? I 5: Kayaknya yang nomer 3. Iya nggak sih?
R: Nomor 3 itu karena kita ingin berkomunikasi saja tanpa harus memakai aturan yang tepat, yang penting orang menangkap apa yang kita katakan.
I 5: Sik, Mbak. Coba deh, Mbak, jelasin dulu. Takutnya aku salah interpretasi gitu.
R: Ok. Nomor 1 itu kita menerapkan aturan tertentu ke situasi atau kalimat yang sama sekali baru. Nomor 2 itu kita kurang pengetahuan tentang adanya batasan-batasan tentang aturan tertentu. Contoh suffix "s" nggak ditambahkan ke plural verb. Nomor 3 itu yang ingin berkomunikasi tanpa menggunakan semua aturan dengan accurate, yang penting orang nangkep isinya. Keempat, karena pengaruh Bahasa, kita kira konsepnya sama, kita bawa ke Bahasa Inggris atau target
language kita. Dari keempat tadi yg mana?
I 5: Iya, Mbak, nomor 3. Kalau yang nomor 4 iya juga, tapi nggak sadar. Pengaruh bahasa ibu, tapi nggak sadar.
R: Mengapa?
I 5: Apanya yang mengapa, Mbak? R: Mengapa nomor 3 dan 4, alasannya?
I 5: Oh. Yang nomor 3 itu karena kan ya itu tadi, banyak yang mau diomongin, jadi sadar nggak sadar, yang penting maksudnya tersampaikan. Kalau yang sadar itu biasanya karena maksudnya mau pake vocabulary yang sederhana.
R: Ya, ya.
I 5: Eh kebalik. Maksudnya yang nggak sadar karena mau pake vocabulary yang sederhana, atau malah karena nggak tahu vocabulary-nya yang tepat itu yang mana, sementara banyak yang mau diomongin. Kalau yang sadar, ya karena emang yang penting tersampaikan.
R: Lalu adakah penyebab-penyebab lain selain keempat tadi?
I 5: Ada. Karena gugup itu bisa, Mbak karena kan kalau Microteaching itu menurutku pribadi, ngerasa diadili, ngerasa diamati, ngerasa di-observe. Kan kalau kita ngelakuin sesuatu tuh dinilai, apakah baik atau kurang baik, pastinya kan kita pengennya baik. Nah perasaan under pressure kayak gitu malah jadi
116
bikin banyak errors, Mbak. Nggak cuma soal Grammar aja, tapi yang lain juga, misalnya salah strategi ngajar, salah ngasih pertanyaan, dll. Kan soalnya nggak bebas, ngerasanya diamati. Kayak seolah-olah orang-orang itu nyari kesalahannya kita. Beda kalau PPL malahan. Jauh lebih enjoy PPL. Kan cuma ada kita plus murid. Kitanya juga nggak secara langsung diamati, jadinya lebih rileks, kalau aku sih.
R: Wah, berarti Microteaching membawa pengaruh nggak bagus?
I 5: Ya, nggak gitu juga sih. Bukan Microteaching-nya sebenernya, tapi perasaan ngerasa diadilinya itu, Mbak. Gini nih misalnya, kalau di Microteaching, kita ngajar, ekspektasi si observers atau para fake students itu kan kayak "nah si anu nih bagus ato nggak ya? Apa yang kurang dari si anu? Kelebihannya apa, dst dst." Kalau di PPL, anak-anak itu ekpektasinya beda, mereka nggak bertujuan menilai kita, tapi mau tau sesuatu dari kita.
R: Hahaha, kalau gitu perasaannya yang diberesin. Terus ada saran nggak untuk anak-anak PBI?
I 5: Saran? Apa ya?
R: Menghadapi masalah produksi kesalahan Grammar. Kan kita teladan tuh, anak-anak meniru kita.
I 5: Hmm, bingung. Hahahaha! Tapi yang pasti banyak latihan speaking. Itulah kenapa harusnya English Speaking Area itu bener-bener dijalanin. Ya kan kita nantinya jadi model buat murid. Kalau yang pada mau jadi guru sih. Written doang nggak cukup emang. Tapi kebanyakan anak PBI sekarang pada males kan, Mbak. English Speaking Area ya cuman papan yang tulisannya dari kapur warna-warni itu. Bener kalau dosen-dosen senior kayak Bu Lanny gitu nggak mau ngomong sama kita kalau kita pake Bahasa Indonesia. Hahaha!
R: Wah,bener-bener berarti harus mulai dari diri sendiri ya?
I 5: Iya, berhubungan sama motivasi juga sih, Mbak. Hmm, aku pernah nyebar kuesioner kecil-kecilan buat 15 anak PBI dari angkatan 2010-2008 buat tugas RPW tentang English Speaking Area gitu. Guess what? Ternyata anak PBI banyak yang males ngomong Bahasa Inggris karena mereka pada dasarnya nggak mau jadi guru, termasuk aku. Hahaha!
R: Terus yang terakhir, ada saran nggak buat para dosen PBI kita yang tercinta? I 5: Hmm, buat dosen, apa ya? Aku rasa dosen udah ngelakuin yang terbaik sih. Lebih memotivasi anak-anaknya aja kali ya.
117
I 5: Kayak Bu Lanny gitu. Misalnya ngasih contoh akibat fatal kalau kita salah
pronunciation atau salah Grammar. Bisa kehilangan pekerjaan yang harusnya
udah di tangan, bisa kehilangan klien yang tiba-tiba jadi nggak respek sama kita, gitu-gitulah. Selama ini kan dosen kita cuman bilang, kita tuh model buat siswa. Gitu terus. Masalahnya, nggak semua anak PBI berniat jadi pendidik. Kurang kena aja di hati kalau motivasinya cuman sebatas "karena kita bakal jadi model buat siswa."
R: Mantap. Ada lagi nggak sarannya? Terutama bagi mereka yang nggak mau jadi pendidik, baiknya dosen harus bagaimana?
I 5: Ya itu tadi, Mbak. Ngasih contoh konkrit, misalnya pengalaman sapa gitu yang salah Grammar atau salah pronunciation pas ngomong pakai Bahasa Inggris, terus dia harus bayar mahal buat kesalahannya. Kalau motivasinya lebih
general kayak gitu kan ntar secara nggak lgsung anak-anak PBI nyadar dengan
sendirinya kalau "oh iya ya, ternyata latihan itu penting. Di atas langit masih ada langit. Bukan berarti kalau aku anak PBI jadi udah pasti lebih oke Bahasa Inggrisnya dibanding yang bukan anak PBI." Ya motivasinya kayak lebih
dikaitkan sama dunia kerja secara general gitulah, Mbak, nggak cuma guru secara spesifik. Soalnya ada lho yang ngambil PBI cuman karena pengen bisa Bahasa Inggris dan punya latar belakang keluarga pebisnis, jadinya sebenernya nggak perlu kuliah juga udah bisa hidup. Hahaha! Tapi penting juga sih, ngingetin kalo kita semua anak PBI dididik untuk jadi calon guru.
R: Ok ok, jadi menurutmu harus spesifik motivasinya? Hmm, oke. Kayaknya pertanyaannya cukup sekian dulu.
I 5: Hahaha! Hmm, ya gitulah, Mbak. Aku jadi ikut bingung nih. Hahaha! R: Hahaha, jangan bingung. Terima kasih untuk kesediannya diwawancara ya? Terima kasih juga untuk masukan-masukannya, waktunya ,dan sukses selalu untuk kuliahnya.
I 5: Hahaha! Oke oke, semangat, Mbak! Semoga lancar, cepat pendadaran, gek cepat lulus.
Note:
R: Researcher I: Interviewee
118