• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRANSFORMASI BUDAYA

3.2 Biografi Pengarang

3.3.2 Bentuk dan Dampak Transformas

3.3.2.7 Transformasi Ekonom

Penduduk desa Lamalera zaman dahulu 90% bermatapencaharian sebagai nelayan, sisanya adalah tukang dan pegawai negeri sipil. Secara ekonomi masyarakat Lamalera masih sangat sederhana, terlihat dari masih bertahannya budaya pasar barter yang sekaligus menjadi atraksi wisata. Pasar barter berlangsung setiap hari sabtu dimulai pukul 09.00 waktu setempat. Sesuai dengan

namanya maka pasar ini sama sekali tidak menggunakan uang sebagai alat tukar- menukar, hanya mengandalkan kesepakatan antara pembeli dan penjual seperti apa yang akan ditukarkan. Masyarakat Lamalera mengandalkan paus dan olahannya untuk dijual. Selain daging paus, minyak dari lemak paus pun dijual sebagai obat luka bakar maupun bahan bakar lampu tradisional.

Curah hujan yang sangat terbatas (hanya 81 hari hujan dalam setahun) serta tanah yang tidak produktif, mereka menggantungkan kehidupannya dari hasil pertanian di pedalaman yang diperoleh lewat barter atau tukar menukar- barang dengan barang itu. Pendapatan keluarga nelayan sangat sulit diukur. Hal ini disebabkan karena semua tangkapan akhirnya dibarter untuk mendapat bahan makanan. Hasil barter yang didapatkan, selebihnya disimpan di matagapu sebagai stok mengahadapi paceklik.

Dengan prinsip hidup hemat, tiap keluarga bisa membuat matagapu, yakni wadah dari anyaman daun lontar yang agak besar, tempat menyimpan jagung hasil barter. Tiap keluarga paling kurang punya satu matagapu dan itu cukup untuk melewati masa paceklik menunggu panen di pedalaman tiba. Mereka juga menanam jagung di sekitar rumah atau kebun di Lamalera, tapi hasilnya tidak seberapa.

Mata pencaharian orang Lamalera, yaitu pertama, menangkap ikan (ola- nue atau tuba feda), dan kedua, barter di pasar atau pedalaman (fule-pnete). Berdasarkan pembagian kerja secara seksual, Ola –nue dijalankan oleh laki-laki,

laki-laki dalam memperlacar proses pembagian hasil penangkapan di pantai, sampai pengawetan dan penyimpanan.

a. Ola-Nue

Ola nue berarti kerja mencari ikan di laut, sedangkan tuba-feda menunjukan pada penangkapan dengan teknologi tradisional (tuba=menikam ikan-ikan besar; feda= memancing ikan –ikan kecil). Pledang dan Jhonson merupkan kerja kolektif untuk menangkap ikan-ikan besar (kotoklema ‘paus’ dan lumba-lumba, sampai hiu, pari, dan penyu). Jhonson atau skoci bisa menangkap ikan dengan teknologi tradisional pada pledang, maupun dengan cara modern (pukat).

Sampan dan berok lebih bersifat individual karena hanya melibatkan paling banyak dua orang, dengan alat-alat yang masih tradisional (memancing) maupun modern semua di atas merupakan pekerjaan kaum pria. orang-orang lain, termasuk perempuan serta anak-anak, menangkap kepiting, mengambil rumput laut, siput, kerang di batu-batu sepanjang pantai. Banyak keluarga juga memasak garam dan kapur sirih, semuanya kemudian dibarter di pedalaman atau di pasar.

Leluhur telah menetapkan bahwa kotoklema dan ikan-ikan besar diangkap untuk pau lefo (memberi makan seluruh kampung), terkhusus kaum kide-knuke (yatim piatu/fakir miskin) dan para janda. Etika ini tercermin pada pola pembagian tradisional yang memungkinkan sebanyak-banyaknya orang di kampung memperoleh bagiannya. Pada kotoklema, misalnya, selain para awak peledang, pemilik perahu (tena alep), pembuat perahu (labaktilo), pemilik layar,

bahkan tuan tanah (suku Langowujo dan Tufaone) mendapat bagian, ada bagian yang dinamakan lefoalep yang diperuntukan bagi siapa saja. Biasanya para kide- knuke dan para janda mendapat bagian dari Lefoalep.

Bagi mereka yang mendapat bagian wajib memberikan juga kepada orang lain lewat bfene (pemberian kepada keluarga atau orang-orang terdekat), lamma (barter antar keluarga Lamalera) atau secara tidak langsung lewat tukar menukar ikan dengan rokok tuak, kue bolu, dll. Konsep Ile Gole terwujud lewat barter antar-kampung melalui fule-pnete), atau semakin banyak terjadi akhir-akhir ini orang pedalaman turun langsung ke pantai. Juga lewat prefo yang dianggap saudara atau keluarga tanpa hubungan darah ikan dapat dibagi-bagikan.Daerah kegiatan penangkapan oleh nelayan Lamalera adalah Laut Sawu.

b. Fule-Pnete

Fule-pnete dilakukan oleh kaum perempuan. Kegiatan fule ‘pasaran’ dilakukan di pasar barter yang biasanya diadakan sekali dalam seminggu. Pnete dilakukan setiap hari ke daerah pedalaman di seluruh Lembata. Daerah terdekat adalah Wulandoni (Sabtu), dan Lebala (Rabu). Ada juga orang yang mengikuti pasar di Loang (Selasa), dan Lewoleba (Senin dan kamis), bahkan pasar Bao dan hadakewa (Rabu dan Sabtu).

Berdasarkan jauh-dekanya tempat tujuan, lamanya perjalanan pnete juga berfariasi. Kalau dekat biasanya langsung kembali ke Lamalera hari itu juga. Ke tempat yang agak jauh, seperti Atadei, pnete Alep harus menginap semalam di

Kalikasa, pnete alep menginap dua malam. Kalau ke Ile Ape harus menginap tiga malam. Bahkan , ada juga yang menggunakan waktu 5-6 hari di tempat tujuan.

Seperti yang disinggung sebelumnya bahwa Orang Lamalera tidak pernah mengalami kelaparan dengan adanya matagapu. Ada keluarga yang bisa menimbun jagungnya sangat banyak, sehingga dapat membantu orang lain pada saat kesulitan. Bahkan, pada waktu paceklik justru orang –orang dari kampung- kampung di pedalaman datang ke Lamalera untuk membeli jagung. Dengan ikan dan jagung/beras hasil barter itu mereka juga dapat menyekolahkan putra-putri mereka di Lamalera dan untuk tingkat lebih tinggi di Lewoleba atau Larantuka. Hal-hal diatas diperjelas dengan melihat tabel dibawa ini.

Tabel 1: Transformasi Budaya

NO Bidang Tradisional Modern

1. Kemasyarakatan • Kolektivitas (hasil tangkapan dibagi)

• Tetap (statis)

• Orientasi ke masa lalu

• Individualitas (hasil tangkapan dimiliki sendiri-sendiri)

• Berubah (Dinamis) • Orientasi ke masa depan 2. Ekonomi • Nelayan (90%) 9 Pengetahauan lingkungan (ilmu alam) • Sistem barter • Nelayan (20%) 9 TK,SD,SMP,SM A, S1,S2,S3 9 PNS • Sistem uang

3. Pengetahauan • Alam • Teknologi

4. Etika/Moral • Rumah kecil (ada ruang tamunya)

• Menyapa orang asing • Menghargai tempat

kramat (ékke Glarê)

• Rumah besar (tidak ada rung tamunya)

• Tidak menyapa orang asing

• Tidak menghargai tempat kramat 5. Teknologi & Peralatan • Alat Tradisional 9 Pendayung 9 Tempuling‘to mbak’ • Alat Modern 9 Mesin ‘jhonson’ atau sekoci 9 Jaring atau potas

Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa transformasi yang terjadi di Lamalera hampir merata pada semua bidang kehidupan. Sehingga dapat dikatakan bahwa perubahan yang satu membawa perubahan pada bidang lain. Dalam hal ini masyarakat Lamalera bukan hanya menanggapi suatu perubahan namun juga proses dalam arus perubahan itu. Dengan demikian, transformasi atau perubahan yang terjadi di Lamalera membawa masyarakat pada kehidupan baru yang lebih modern terlepas dari adat-istidat atau kebiasaan yang dilestarikan dan dipertahankan. Namun, kenyatannya perubahan itu bukanlah titik akhir melainkan sebagai awal persoalan sebagaimana terungkap di depan bahwa perubahan tersebut seolah-olah menggeser identitas yang dititipkan leluhur untuk anak cucunya (masyarakat Lamalera).

3.4 Rangkuman

Kearifan lokal atau tradisional yang dilihat dari pandangan penyair terhadap realitas kampung halamannya sesungguhnya merupakan bagian dari etikadan moralitas yang membantu manusia untuk menjawab petanyaan moral apa yang harus dilakukan, bagaimana harus bertindak, khususnya dalam adat-istiadat atau kebiasaan, lingkungan dan prilaku yang sebagaimana diajarkan oleh nenek moyang. Pernyataan itu sangat membantu dalam hal melestarikan apa yang sudah dititipkan leluhur seperti mempertahankan identitas sebagai nelayan, menjaga lingkungan yang dianggap sakral, berprilaku baik secara individu maupun secara kelompok, dan permainan tradisional terus dipertahankan agar tidak terjadi kemunduran dan pergeseran atau lebih jelasnya lagi terjadi transformasi budaya.

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Bertolak dari analisis yang telah dilakukan, penulis mengambil kesimpulan bahwa dalam antologi puisi Pukeng Moe, Lamalera, karya Yoseph Arakiê Ulanaga Bruno Dasion memilki pandangan terhadap transformasi budaya yang terjadi dalam lingkungan dimana ia dibesarkan dan tinggal. Dari sikap yang tegas, prihatin, sedih, sinis, dan sebagainya itu, penyair Yoseph Arakiê Ulanaga Bruno Dasion berusaha semampuhnya agar kehidupan masyarakat yang dihiasi berbagai macam adat-istiadat dan kebiasaan tersebut terus dipelihara atau dilestarikan. Singkat saja, dari hal tersebut, ia ingin budaya leluhur tetap terjaga sebagaimana kehidupan zaman dulu. Dengan itu penyair bukan sekedar membatasi ruang lingkup masyarakat dari berbagai pengaruh dari dalam atau dari luar, namun, pengaruh-pengaruh tersebut harus dipertimbangkan sehingga tidak menghilangkan budaya aslih.

Sebelum menganalisis transformasi budaya, pada Bab II penulis menganalisis ciri-ciri struktur pembangun puisi, yaitu berupa struktur lahir dan struktur batin dalam antologi puisi Pukeng Moe, Lamalera. Dalam menganalisis struktur lahir, penulis menemukan berbagai unsur pembangun puisi dalam antologi puisi Pukeng Moe, Lamalera. Dalam bab tersebut penulis memilih puisi- puisi yang dianggap mewakili unsur lahir atau struktur lahir puisi, seperti (1.)

perwajahan puisi (tipografi); (2.) diksi; (3.) imaji; (4.) kata konkret; (5.) bahasa figuratif; (6.) versifikasi, yaitu menyangkut rima, ritme, dam metrum.

Selanjutnya, berdasarkan analisis struktur batin dalam puisi ini ditemukan struktur batin puisi terdiri dari (1.) tema/makna (sense); (2.) rasa (feeling) (3.) nada (tone) (4.) amanat/tujuan/maksud (intention). Struktur tersebut berkaitan erat dengan penyair itu sendiri. Artinya dengan struktur batin, penyair dapat menciptakan sebuah puisi yang dapat penulis katakan keluar dari hati atau batin penyair yang paling tulus dan dalam.

Dalam Bab III. Sebelum penulis menguraikan transformasi budaya Lamaleradalam antologi puisi Pukeng Moe, Lamalera, terlebih dahulu penulis menguraikan biografi pengarang. Dalam biografi pengarang, penulis menemukan adanya sikap yang ditunjukan penyair dalam menegakkan dalam arti mempertahankan dan melawan dalam arti tidak ingin perubahan tersebut terjadi dalam lingkungan yang telah membesarkannya. Lalu ada pula visi dan misi penyair terhadap transformasi budaya tersebut sehingga memudahkan penulis untuk menganalisis perubahan budaya melalui tokoh atau orang yang menciptakan puisi tersebut, penyair.

Penulis menganalisis transformasi budaya dalam masyarakatnya, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal tersebut timbul dari dalam masyarakat sendiri, sedangkan sebab faktor eksternal karena pengaruh dari luar yang datang mempengaruhi masyarakat sebagai pemilik kebudayaan tersebut.

berdasarkan puisi yang ditulisnya tersebut terlihat atau berdampak dalam berbagai bidang kehidupan, namun penulis memperlihatkan dari awal sebelum transformasi sampai dengan saat ini terjadi transformasi dalam masyarakat Lamalera, seperti transformasi sosial budaya dalam melaut, transformasi lingkungan, transformasi sikap, dan transformasi ekonomi. Jadi dari sikap penyair terhadap transformasi budaya dalam antologi puisi Pukeng Moe, Lamalera, penulis memaparkan segala macam transformasi baik dari faktor dalam dan luar bentuk dan dampak transformasi, awal transformasi, dan transformasi dalam berbagai bidang kehidupan.

Dari analisis yang telah dilakukan, maka dapat ditangkapbahwa penyair melihat banyak realitas yang dianggap menyimpang dari adat atau kebiasaan- kebiasaan tersebut. Penyair mengecam kemunduran-kemunduran dan penyimpangan budaya tersebut. Penyair pada akhirnya mengajak masyarakat Lamalera untuk kembali melaut. Penyair juga mengecam para pendatang seperti WWF, yang disebutnya sebagai “pencuri” yang telah merusak adat Lamalera. Penyair ingin agar nilai-nilai budaya tradisional seperti: menghormati manusia, menghargai alam, sikap memberi tanpa mengharap imbalan, sikap menghargai tamu, para janda dan yatim piatu direvitalisasi kembali.

Setiap masyarakat harus memiliki keberanian dalam menjalani hidup terutama berani dalam menghadapi berbagai perubahan budaya dalam masyarakat apalagi warisan dari leluhur. Hal itu merupakan sebuah amanah yang harus dipertahankan dan dilestarikan. Perlu diketahui bahwa segalah yang diwariskan leluhur seperti sebuah “cendramata”. Artinya segala yang dititipkan atau

diberikannenek moyang merupakan apa yang dilakukan waktu masih hidup sehingga kebiasaan-kebiasaan atau adat istiadat tersebut patut dijaga dan dipertahankan agar berguna bagi kelangsungan hidup setiap masyarakat yang tentunya tidak terlepas dari budaya aslihnya.

4.2 Saran

AntologiPukeng Moe, Lamalera ini masih memiliki banyak permasalahan yang dapat dikaji lebih tepat. Antologi ini, sebenarnya dapat diteliti lagi dengan menggunakan pendekatan psikologi sastra. Pendekatan ini untuk mengkaji persoalan yang terkait dengan visi dan misi penyair sendiri dengan lebih mendalam.

Dokumen terkait