• Tidak ada hasil yang ditemukan

Transgender Ditinjau Dari Aspek Etika Klinis

Dalam dokumen Transgender Ditinjau Dari Berbagai Aspek (Halaman 30-39)

Secara sederhana, etika merupakan kajian mengenai moralitas - refleksi terhadap moral secara sistematik dan hati-hati dan analisis terhadap keputusan moral dan perilaku baik pada masa lampau, sekarang atau masa mendatang. Moralitas merupakan dimensi nilai dari keputusan dan tindakan yang dilakukan manusia. Bahasa moralitas termasuk kata-kata seperti ’hak’, ’tanggung jawab’, dan ’kebaikan’ dan sifat seperti ’baik’ dan ’buruk’ (atau ’jahat’), ’benar’ dan ’salah’, ’sesuai’ dan ’tidak sesuai’. Menurut dimensi ini, etika terutama adalah bagaimana mengetahuinya (knowing), sedangkan moralitas adalah bagaimana melakukannya (doing). Hubungan keduanya adalah bahwa etika mencoba memberikan kriteria rasional bagi orang untuk menentukan keputusan atau bertindak dengan suatu cara diantara pilihan cara yang lain.14

Etika klinis adalah disiplin praktis yang membahas pendekatan struktural untuk membantu dokter dalam mengidentifikasi, menganalisis, dan menyelesaikan isu etika dalam kedokteran klinis. Praktek kedokteran klinis memerlukan pengetahuan mengenai isu-isu etika seperti informed consent, kejujuran, kerahasiaan, end-of-life care, dan hak-hak pasien. Dalam mengambil keputusan tindakan medis, dari segi etik dianjurkan untuk mengamalkan etika klinis yang merupakan etika terapan untuk mengenal, menganalisis, dan menyelesaikan masalah etik dalam pelayanan klinik. Pada tahun 1982, Jonsen, Siegler, dan Winslade mempublikasikan Clinical Ethics, dimana mereka mendeskripsikan pendekatan “empat kuadran”, sebuah metode untuk menganalisis kasus etika klinis. Pendekatan empat kuadran tersebut menggunakan empat topik yaitu:10, 11, 12

1. Indikasi medis (medical indications) 2. Preferensi pasien (patient preferences) 3. Kualitas hidup (quality of life)

4. Gambaran kontekstual (contextual features)

Indikasi Medis

Indikasi medis menganut prinsip beneficence dan nonmaleficence, dan merupakan seluruh temuan klinis, mencakup diagnosis, prognosis, dan pilihan penatalaksanaan, serta penilaian tujuan perawatan. Pokok pembicaraan ini mencakup konten umum diskusi klinis: diagnosis dan penatalaksanaan kondisi patologis pasien. “Indikasi” merujuk pada hubungan antara keadaan patofisiologi pasien dengan diagnosis dan intervensi terapeutik yang “diindikasikan”, yang tepat untuk mengevaluasi dan mengurangi masalah. Walaupun hal ini sering diulas pada presentasi masalah klinis setiap pasien, diskusi etika tidak hanya akan meninjau fakta-fakta medis, namun juga membahas tujuan dari intervensi yang diindikasikan.11

1. Apakah masalah medis pasien? Apakah masalah tersebut tergolong akut? Kronik? Kritis? Reversible? Darurat? Teminal?

2. Apa tujuan dari penatalaksanaan?

3. Dalam keadaan seperti apa penatalaksanaan medis tidak diindikasikan? 4. Bagaimana probabilitas keberhasilan berbagai pilihan penatalaksanaan? 5. Sebagai ringkasan, bagaimana cara pasien agar perawatan medis

menguntungkan bagi pasien dan bagaimana cara mencegah terjadinya kerugian?

Kasus transgender berdasarkan DSM (Diagnostic and Statistical Manual of

Mental Disorder) IV disebut juga dengan gender identity disorder (GID).

Penyakit ini termasuk gangguan psikiatris. Protokol pengobatan untuk GID adalah terapi hormonal (cross-gender hormonal treatment) dan terapi pembedahan (sex

reassignment surgery). Tujuan dari terapi-terapi tersebut adalah pengubahan

gender dan perubahan organ kelamin. Terapi hormonal diberikan selama 2 tahun, setelah itu baru dilakukan terapi pembedahan, dan kembali dilanjutkan terapi hormonal hingga 5 tahun. Setelah terapi hormonal dan terapi pembedahan, penyesuaian hingga pembentukan sikap dan gaya yang sesuai pun tetap harus dilakukan dan memakan waktu sampai tahunan. Pada operasi pengubahan jenis kelamin perempuan menjadi laki-laki sulit dilakukan dan memiliki angka kegagalan dan kematian pasien yang tinggi. Namun, bukan berarti operasi laki-laki menjadi perempuan pun tidak berisiko.13

Menurut Fitzgibbons, Sutton, dan O’Leary (2009), SRS melanggar prinsip dasar medis dan etika, dan maka dari itu tidak tepat secara etis ataupun medis. Alasan yang dikemukakan antara lain:29

(1) SRS ‘merusak’ suatu tubuh sehat yang tidak berpenyakit. Melakukan pembedahan pada tubuh yang sehat melibatkan risiko yang tidak perlu; oleh karena itu, SRS melanggar prinsip primum, non nocere, “first, do no harm”.29

(2) Pasien yang akan dilakukan SRS beranggapan bahwa mereka terjebak dalam tubuh yang memiliki jenis kelamin yang salah, dan karenanya menginginkan dan menuntut dilakukannya SRS; anggapan ini terbentuk akibat gangguan persepsi pada diri sendiri. Anggapan yang menetap dan irasional lebih tepatnya disebut dengan delusi. Maka dari itu, SRS merupakan “sesuatu yang

salah”–hal tersebut memberikan solusi pembedahan untuk masalah psikologis seperti kegagalan untuk menerima maskulinitas atau feminitas, kurangnya kedekatan hubungan antara seorang anak dengan teman sebayanya atau dengan orangtuanya, penolakan diri sendiri, gangguan identitas gender (gender identity

disorder/gender dysphoria) yang tidak diobati, kecanduan masturbasi dan fantasi,

citra tubuh yang buruk, kemarahan yang berlebih, dan psikopatologis berat pada orangtua.29

(3) SRS tidak mencapai apa yang dituntut untuk dicapai. Secara fisiologis, tidak mungkin mengubah jenis kelamin seseorang, dimana jenis kelamin pada tiap individu dikode oleh gen–XX pada wanita, dan XY pada pria. Pembedahan hanya menciptakan gambaran jenis kelamin lain, namun tidak mengubah jenis kelamin seseorang; oleh karenanya, tidak memberikan manfaat yang berarti. George Burou, seorang dokter di Maroko yang telah mengoperasi lebih dari tujuh ratus laki-laki Amerika, menjelaskan, “Saya tidak mengubah laki-laki menjadi perempuan. Saya mengubah alat kelamin laki-laki menjadi alat kelamin yang memiliki aspek perempuan. Selebihnya terdapat dalam pemikiran pasien.”29

(4) SRS merupakan suatu upaya bedah yang “permanen” dan sering tidak memuaskan, yang dilakukan untuk mengubah sesuatu yang mungkin hanya sebuah kondisi psikologis/psikiatris sementara.29

Preferensi Pasien

Preferensi dan nilai-nilai pasien menganut prinsip respect for autonomy, dan merupakan alasan utama dalam menentukan penatalaksanaan terbaik untuk pasien. Dalam semua penatalaksanaan medis, preferensi pasien berdasarkan

nilai-nilai pasien sendiri dan penilaian personal mengenai manfaat dan bahaya yang relevan secara etika. Pada setiap kasus klinis, pertanyaan yang pasti timbul adalah: “Apa tujuan pasien? Apa yang pasien inginkan?” Ulasan sistematis pada topik ini memerlukan pertanyaan lebih lanjut. “Apakah pasien telah diberikan infomasi yang cukup? Apakah pasien mengerti? Apakah pasien paham adanya ketidakpastian pada setiap rekomendasi medis dan beragam pilihan yang ada? Apakah pasien setuju secara sukarela? Apakah pasien dipaksa?” Pada beberapa kasus, jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini mungkin adalah “Kami tidak tahu karena pasien tidak mampu menyatakan suatu preferensi.” Apabila pasien tidak mampu secara mental pada saat keputusan harus dibuat, kita harus bertanya, “Siapa yang memiliki kewenangan untuk menentukan keputusan pada pasien ini? Bagaimana batas-batas etika dan legal pada kewenangan tersebut? Apa yang harus dilakukan apabila tidak ada seorangpun yang dapat mewakilkan?”11

1. Apakah pasien telah diinformasikan mengenai manfaat dan risiko, mengerti informasi ini, dan memberikan persetujuan?

2. Apakah pasien kompeten secara mental dan legal, dan adakah tanda-tanda ketidakmampuan?

a. Apabila pasien mampu secara mental, terapi seperti apa yang lebih dipilih pasien?

b. Jika tidak mampu, apakah pasien telah menyatakan keinginannya sebelumnya?

c. Siapa wakil yang tepat untuk membuat keputusan bagi pasien yang tidak mampu?

penatalaksanaan medis? Jika ya, mengapa?

Sebelum dilakukannya terapi hormonal dan SRS (sexual reassignment

surgery), dokter harus memberitahu pasien mengenai apa itu terapi hormonal dan

SRS beserta manfaat dan efek samping yang mungkin terjadi setelah pemberian terapi dan pembedahan. Pasien harus dipastikan mengerti akan informasi tersebut. Setelah pasien benar-benar paham, barulah diminta untuk menandatangani lembar

informed consent yang disediakan.14

Pasien juga harus kompeten secara mental, atau dengan kata lain pasien sadar penuh dan memang ingin melakukan terapi tersebut atas kemauannya sendiri, bukan atas paksaan orang lain. Pasien juga harus dipastikan statusnya sah secara legal untuk dilakukannya terapi. Di Thailand, pasien yang dibolehkan untuk melakukan terapi adalah yang berusia di atas 18 tahun. Sedangkan di Indonesia, belum ada undang-undang yang mengatur tentang terapi penggantian gender tersebut.15

Kualitas Hidup

Kualitas hidup menganut prinsip beneficence, nonmaleficence, dan respect

for autonomy. Tujuan utama dari seluruh temuan klinis adalah untuk

meningkatkan kualitas hidup pasien. Adanya trauma atau penyakit yang mencederai pasien yang dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup, bermanifestasi pada gejala dan tanda penyakit mereka. Tujuan dari seluruh intervensi medis adalah untuk mengembalikan, memelihara, atau meningkatkan kualitas hidup. Maka dari itu, pada setiap situasi medis, pembahasan mengenai kualitas hidup pasti muncul. Beberapa pertanyaan mengenai hal ini antara lain:

“Apa yang dimaksud dengan “kualitas hidup” secara umum? Bagaimana seharusnya hal tersebut dipahami pada kasus-kasus tertentu? Bagaimana cara orang selain pasien mempersepsikan kualitas hidup pasien dan bagaimana relevansi etis pada persepsi mereka? Yang terpenting, bagaimana kaitan antara kualitas hidup dengan penilaian etika?” Pada topik ini, yang tidak banyak dibahas di literatur etika medis dibanding dua topik sebelumnya, sangat berisiko untuk terjadinya bias dan prasangka. Namun, hal ini tetap harus dikemukakan pada analisis masalah etika klinis.11

1. Bagaimana prospek ke depannya, dengan atau tanpa penatalaksanaan, untuk kembali ke kehidupan normal, dan apa saja defisit fisik, mental, dan sosial yang mungkin dialami pasien apabila penatalaksanaan berhasil? 2. Atas dasar apa seseorang dapat berpendapat bahwa kualitas hidup pasien

tidak akan seperti yang diinginkan pada pasien yang tidak dapat menyatakan pendapatnya?

3. Apakah terdapat bias terhadap penilaian yang diberikan penyelenggara pelayanan kesehatan terhadap kualitas hidup pasien?

4. Apakah isu etik yang timbul mengenai peningkatan atau perbaikan kualitas hidup pasien?

5. Apakah penilaian kualitas hidup menimbulkan pertanyaan terkait perubahan rencana penatalaksanaan, seperti melepas terapi penopang-hidup?

6. Apa rencana dan dasar pemikiran untuk melepas terapi penopang-hidup? 7. Bagaimana status legal dan etika bunuh diri?

Pada pasien transgender, setelah dilakukan terapi hormonal serta terapi pembedahan, kualitas hidupnya mungkin akan membaik dibandingkan saat sebelum dilakukannya terapi. Sebelum terapi, pasien akan merasakan pergolakan batin di dalam dirinya, karena apa yang dia rasakan berbeda dengan apa yang ada pada dirinya saat itu. Pasien akan merasa tidak nyaman ataupun tidak puas dengan tubuhnya sendiri, terutama dengan anatomi alat kelaminnya. Ketidakpuasan dan ketidaknyamanan ini tentu akan mengganggu aktivitas hidupnya sehari-hari. Apabila terapi hormonal dan terapi pembedahan berhasil, kualitas hidup pasien akan meningkat karena pasien merasa puas dengan jenis kelamin barunya saat ini yang memang sesuai dengan keinginannya. Pasien akan lebih nyaman menjalani hidup karena sudah menemukan jati dirinya.11

Gambaran Kontekstual

Topik ini menganut prinsip justice dan fairness. Seluruh temuan klinis yang terjadi di dalam konteks sosial yang lebih luas selain dokter dan pasien, mencakup keluarga, hukum, kultur, aturan rumah sakit, perusahaan asuransi dan hal finansial lain, dan sebagainya. Pasien datang ke dokter karena mereka memiliki masalah yang mereka harapkan dokter dapat membantu mengatasinya. Dokter melakukan perawatan terhadap pasien dengan tujuan berusaha untuk membantu mereka. Pembahasan mengenai indikasi medis, preferensi pasien, dan kualitas hidup merupakan hal yang penting pada kasus medis. Namun, setiap kasus juga dicampurtangani oleh sekumpulan orang, institusi, aturan finansial, dan aturan sosial. Perawatan pasien, baik secara positif maupun negatif, dipengaruhi oleh hal-hal tersebut. Pada saat yang sama, hal-hal-hal-hal tersebut pun dipengaruhi oleh

keputusan yang dibuat oleh pasien: keputusan ini berdampak psikologis, emosional, finansial, legal, ilmiah, edukasional, agama pada orang lain. Pada setiap kasus, relevansi fitur kontekstual harus ditentukan dan dinilai. Fitur kontekstual ini sangat penting untuk pemahaman dan penyelesaian kasus.11

1. Apakah terdapat kepentingan profesional, luar profesional, atau bisnis yang dapat menimbulkan konflik kepentingan penatalaksanaan klinis pasien? 2. Apakah terdapat pihak selain dokter dan pasien, seperti anggota keluarga,

yang memiliki kepentingan dalam keputusan klinis?

3. Apa saja batas-batas kerahasiaan pasien yang dikenakan oleh kepentingan sah pihak ketiga?

4. Apakah terdapat faktor finansial yang menimbulkan konflik kepentingan dalam keputusan klinis?

5. Apakah terdapat masalah alokasi sumber daya yang langka yang dapat mempengaruhi keputusan klinis?

6. Apakah terdapat isu agama yang dapat mempengaruhi keputusan klinis? 7. Isu legal apa yang dapat mempengaruhi keputusan klinis?

8. Apakah terdapat pertimbangan mengenai riset klinis dan pendidikan yang dapat mempengaruhi keputusan klinis?

9. Apakah terdapat isu kesehatan dan keamanan masyarakat yang mempengaruhi keputusan klinis?

10. Apakah terdapat konflik kepentingan dengan institusi atau organisasi (seperti rumah sakit) yang dapat mempengaruhi keputusan klinis dan kesejahteraan pasien?

Pada kasus transgender, perlu dianalisis apakah terdapat kepentingan pihak-pihak lain selain pasien, seperti dari pihak-pihak keluarga maupun institusi profesional. Selain itu, kasus ini juga perlu dianalisis dari isu legal serta isu agama. Di Indonesia belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai terapi hormonal dan terapi pembedahan pada pasien transgender. Isu legal ini jelas akan mempengaruhi keputusan klinis dokter. Dari sudut pandang agama di Indonesia, agama Islam, Protestan, dan Katolik memandang transgender merupakan sesuatu yang tidak diperbolehkan, apalagi hingga dilakukan terapi untuk pengubahan gender. Namun, menurut agama Hindu dan Buddha, operasi penggantian alat kelamin tidak masalah untuk dilakukan. Perbedaan sudut pandang dari beberapa agama ini juga akan mempengaruhi keputusan klinis dokter dalam menatalaksana pasien transgender.11,15

Thailand saat ini merupakan pusat operasi transgender di dunia dan menjadi salah satu negara yang paling ‘bersahabat’ dengan perihal homoseksual dan transeksual, dengan dibuatnya konstitusi yang melindungi hak-hak para homoseksual dan transeksual. Berdasarkan instruksi dari dewan medis di Thailand, persyaratan untuk operasi penggantian kelamin antara lain (1) pasien setidaknya berusia 18 tahun; (2) dokter bedah hanya boleh mengoperasi pasien yang terdiagnosis mengalami gender identity disorder oleh dua psikiater dan diindikasikan untuk menjalani pembedahan. Dari persyaratan tersebut jelas diasumsikan bahwa operasi penggantian kelamin merupakan terapi untuk gender

identity disorder.15

Dalam dokumen Transgender Ditinjau Dari Berbagai Aspek (Halaman 30-39)

Dokumen terkait