Hasil wawancara dengan Pemkot Solo (Bapak Agus – Dinas Pariwisata Pemkot Surakarta)
1. Strategi yang dilakukan Pemerintah Kota Surakarta dalam melakukan city branding,
terutama branding sebagai Kota Budaya adalah dengan memberdayakan segenap potensi budaya Surakarta, untuk ditampilkan sebagai sebuah identitas kota.
2. Di lapangan, strategi tersebut dilaksanakan dalam bentuk-bentuk pertunjukan
kesenian yang bisa dinikmati dan diapresiasi oleh masyarakat, baik yang tinggal di Surakarta maupun pengunjung atau wisatawan yang sedang berada di Kota Surakarta.
3. Program-program yang telah dilaksanakan dalam upaya city branding sebagai Kota
Budaya adalah dengan menggelar berbagai pertunjukan seni budaya yang semuanya itu menunjang Solo sebagai Kota Budaya , antara lain :
- Solo Batik Carnival (SBC), sebuah karnaval yang menampilkan kostum-kostum
berbahan batik dalam berbagai thema, digelar setiap tahun pada bulan Juni, tahun 2012 ini memasuki penyelenggaraan yang kelima.
- SIEM (Solo International Ethnic Music), pertunjukan seni musik ethnic dari
berbagai negara dan dari Indonesia sendiri juga, digelar bulan Juni setiap 2 tahun sekali.
- SIPA (Solo International Performing Art), pertunjukan seni tari modern,
menampilkan berbagai seni pertunjukan dari mancanegara dan juga dari Indonesia, setiap tahun pada bulan Juli.
- Solo Menari 24 Jam, kegiatan menari selama 24 jam terus menerus, digelar di
berbagai tempat strategis oleh berbagai kelompok tari baik dari dalam maupun luar negeri, digelar tiap tahun pada bulan April.
- Festival Keroncong International, sebuah festival khusus keroncong yang
menampilkan berbagai aliran keroncong dari tanah air maupun mancanegara, digelar setiap bulan September.
- Sendratari Ramayana, sebuah pertunjukan tari mengambil cerita epos Ramayana,
digelar di Panggung Tarbuka Taman Balekambang sebulan sekali, setiap malam bulanj purnama.
- Dll
4. Sasaran city branding adalah seluruh masyarakat Kota Surakarta dan masyarakat di
luar Kota Surakarta yang bisa mengakses Kota Surakarta.
5. Pihak pelaksana yang ikut terlibat dalam program city branding Solo sebagai Kota
Budaya adalah berbagai elemen masyarakat di kota Surakarta, seperti beberapa event organizer dan institusi seni seperti Institut Seni Indonesia (ISI) dan sebagainya.
6. Program city branding Kota Solo sebagai Kota Budaya dilaksanakan di Kota
Singapura dengan mengirimkan team SBC dan Belanda dengan mengirimkan Red Batik.
7. Pemkot Surakarta mempertimbangkan berbagai faktor yang ada di dalam masyarakat,
terutama faktor sosial budaya dan ekonomi, sehingga setiap program yang
dilaksnakan selalu tak bertentangan dengan tatakrama masyarakat dan bisa diakses secara gratis.
8. Pemerintah melibatkan seluruh masyarakat, bahkan kalangan menengah ke bawah,
dengan mempersilakan mereka ikut ambil bagian dalam kegiatan city branding, paling tidak mereka dapat mengakses secara cuma-Cuma.
9. Secara formal tidak dapat ditetapkan, tetapi kegiatan city branding sudah melekat di
program-program SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) terkait, seperti Dinas Pariwisata dan Seni Budaya (Disparsenibud) sejak dahulu.
10.Program city branding dilakukan terus menerus, tidak berbatas waktu.
11.Setiap kota harus memiliki identitas khusus yang membedakan kota satu dengan kota
lainnya, oleh sebab itu Pemerintah Kota Surakarta perlu memiliki identitas khusus itu, yaitu sebagai Kota Budaya, yang diharapkan bisa menunjang kegiatan pariwisata.
12.Masyarakat Sadar Budaya penting, karena itu akan menjadi pendukung Solo sebagai
Kota Budaya.
13.Identitas kota Solo sebagai Kota Budaya sangat penting, untuk membedakan dengan
kota-kota lainnya.
14.Program city branding disusun sesuai dengan identitas masyarakat Solo yang
mencintai dan menjunjung tinggi seni budaya peninggalan leluhur.
15.Cita-citanya adalah Solo menjadi kota yang bertumpu pada seni budaya dan
meningkatkan kegiatan kepariwisataan.
16.Dampaknya adalah masyarakat menyadari mereka tinggal di sebuah kota yang
menjunjung tinggi seni budaya, menghormati budaya peninggalan leluhur dan bertingkah laku sesuai identitas mereka.
17.Kegiatan city branding akan memperkuat identitas masyarakat Kota Solo sebagai
masyarakat budaya. Dengan terus memberi kesadaran dan kebanggaan menjadi masyarakat Kota Solo yang dikenal sebagai Kota Budaya.
Hasil Wawancara dengan SIPA Community (Dra. Irawati Kusumorasri, M.Sn) Peneliti : bisa tolong sedikit diceritakan bagaimana SIPA itu terbentuk?
Ibu Irawati: SIPA pertama kali diselenggarakan pada tahun 2009. Saat itu saya sebagai penggagas pertama sebuah event tari besar di Solo. Gagasan ini berupa, di adakannya sebuah event tari bertaraf internasional di Solo, sekaligus untuk mengenalkan kepada masyarakat dunia bahwa Solo memiliki branding sebagai kota seni atau budaya. Karena basic saya adalah seorang penari, maka ide awal saya adalah sebuah event tari international (Solo International Dance Festival). Ide atau gagasan ini kemudian saya sampaikan kepada Pemkot Solo untuk mendapatkan dukungan dari Pemkot Solo. Ternyata ide atau gagasan saya ini mendapat sambutan yang sangat baik sekali dari Pemkot Solo terutama dari Walikota Solo Pak Jokowi. Pemkot Solo juga memiliki cita-cita untuk membranding kota Solo sebagai kota budaya dengan mengadakan event-event kebudayaan bertaraf internasional. Sejak saat itu, SIPA Community, Semarak Candrakirana Art Center dan Pemkot Solo bekerja sama untuk mewujudkan terlaksananya event kebudayaan. Event kebudayaan yang pada awalnya hanya menampilkan tarian-tarian nasional, lalu berkembang menjadi semua bentuk seni pertunjukan.
Peneliti : siapa saja pihak-pihak yang terlibat dalam setiap event SIPA?
Ibu Irawati : dalam setiap event SIPA, kami selalu membuka pendaftaran untuk kepanitiaan. Karena SIPA Community bukanlah Event Organizer tetapi kepanitiaan. Oleh karena itu setiap tahunnya kami membuka lowongan
volunteer dan setiap tahun pula peminat yang mendaftar menjadi volunteer
berjumlah lebih dari 400 orang dan 80% diantaranya adalah dari kalangan mahasiswa. Akan tetapi kepanitiaan yang dibutuhkan hanya ± 40 orang saja. Selain kami terbuka untuk umum dalam hal kepanitiaan, kami juga bekerjasama dengan kedutaan-kedutaan besar di Indonesia, serta foundation di dalam maupun di luar negri untuk mengundang para delegasi asing yang merupakan para pelaku seni atau seniman di luar negri.
Ibu Irawati : tentunya yang menjadi sasaran atau tujuan kami yang pertama adalah masyarakat Solo. SIPA terutama saya memiliki cita-cita agar masyarakat Solo memiliki kesadaran terhadap kebudayaan yang dimilikinya. Agar masyarakat solo memiliki sense of belongging terhadap kebudayaannya. Sehingga, apabila
sense of belongging ini telah terwujud saya mengharapkan setiap warga solo
terutama para kaum muda seperti kamu dapat paling tidak menceritakan kepada teman, sahabat, saudara kamu baik di dalam maupun di luar negri tentang kekayaan budaya di Solo. Serta yang tak kalah pentingnya agar berbagai sektor baik ekomoni dan pariwisata di kota Solo juga dapat meningkat dengan datangnya peminat, penonton serta delegasi baik dari dalam maupun dari luar negri. Sebagai contoh; banyaknya travel agent menawarkan paket-paket wisata beserta hotel bertepatan dengan diadakannya event Solo International Performing Art (SIPA) ini.
Peneliti : apakah Pemkot Solo sepenuhnya terlibat dalam pelaksanaan dan apakah setiap event Pemkot mengeluarkan SK atau surat keputusan pelenyelenggaraan event?
Ibu Irawati : dalam hal ini Pemkot Solo sebagai penanggung jawab dalam setiap event- event kebudayaan, tidak hanya SIPA tetapi juga event-event kebudayaan yang lain yang diadakan hampir 3 sampai 4 event tiap bulannya. Pemkot hanya ikut merancang tema global setiap event serta membantu kepanitian utama dalam setiap hal yang berkaitan dengan perijinan, keamanan (Kepolisian dan SATPOL PP), bahkan menghubungi pihak kedutaan besar di Indonesia. Dan untuk SK dari Pemkot, Pemkot tidak pernah mengeluarkan SK karena Pemkot Solo sepenuhnya mendukung dan terlibat dengan setiap event yang diadakan di Solo.
Peneliti : bagaimana SIPA Community menyadari betapa pentingnya sebuah identitas
budaya dalam menunjang upaya Branding Solo Kota Budaya yang dicanangkan oleh Pemkot Solo ?
Ibu Irawati: tentu saja. Dalam upaya branding menjadi Solo Kota Budaya yang merupakan cita-cita pribadi saya pribadi, juga sangat menyadari bahwa masyarakat perlu memahami identitas kebudayaan seperti apa yang dimilikinya. Karena menurut saya pribadi, identitas kebudayaan sangat diperlukan ketika kami
menyelenggarakan event. Terutama jika berhadapan langsung dengan delegasi asing, identitas kebudayaan itu sangatlah penting. Karena disitu mereka (delegasi asing) melihat “pesan” tersirat yang tentunya terlihat pada saat kita ikut terlibat dalam acara tersebut. Ikut terlibat disini bukan saja para panitia dan pengisi acaranya, tetapi juga para penonton yang ikut memeriahkan cara tersebut. “pesan” itulah yang akan dibawa dan disebarluaskan kepada masyarakat dunia mengenai identitas kebudayaan yang kita miliki.
Peneliti : bagaimanakah proses pengkomunikasian setiap event baik ke masyarakat maupun ke delegasi-delegasi asing ?
Ibu Irawati : untuk pengkomunikasian dengan delegasi asing, kami pada awalnya menemui langsung para duta besar untuk ikut serta memeriahkan event SIPA ini. Kemudian setelah setuju dan mendapat ijin dari kedutaan besar, maka kami mulai melakukan kontak dengan beberapa foundation serta seniman-seniman luar negri yang telah mendapat referensi dari kedutaan besar. Setelah itu, kami melakukan kontak langsung dengan seniman tersebut by email. Untuk proses pengkomunikasian ini, kami lakukan paling tidak satu tahun sebelum acara akan diselenggarakan karena kami sendiri tidak menyediakan akomodasi transportasi khusus untuk para delegasi asing. Oleh sebab itu kami sudah harus memikirkan masak-masak siapa saja yang akan menjadi delegasi undangan umtuk event SIPA selanjutnya sejak event SIPA sebelumnya selesai. Dan untuk pengkomunikasian event SIPA ke masyarakat selain dari Pemkot sendiri melakukan pendekatan dengan berbagai organisasi penggerak massa, akan tetapi juga kami bekerja sama dengan media parter (Trans TV, Trans 7, TATV, Jogja TV, RBTV Jogja, Solo Radio, PTPN Radio, Ria FM, RRI Solo, Radio H, Metta FM, Suara Slank, Solopos FM, Timlo.net, Radar Solo, Solopos, Joglosemar Suara Merdeka, Kompas)sebagai alat komunikasi dan promosi kami.
Peneliti : bagaimanakah planning programing untuk event selanjutnya dan bagaimana melakukan evaluasi untuk setiap event yang telah terlaksana ?
Ibu Irawati : planning programming untuk event selanjutnya sudah harus dipikirkan dan di godok bahkan sejak event sebelumnya dimulai. Hal ini dilakukan agar persiapan dari panitia lebih matang dan terencana dengan baik. Untuk
kepanitiaan SIPA tahun 2012 telah dibuka pada bulan Febuari 2012 dengan pendaftar panitia volunteer sebanyak ± 400 peserta dan hanya di ambil 40 orang saja sebagai panitia. Dan pada bulan agustus nanti dibuka lowongan untuk 30 orang volunter untuk menjadi Liaison Officer (LO) di hari H event SIPA. Untuk TM SIPA Community telah di adakan pada tanggal 4 Juni 2012 ; pemotretan maskot SIPA juga telah diadakan kemarin pada tanggal 7 Juni 2012; sedangkat untuk Pre-event SIPA 2012 akan di adakan pada tanggal 24 Juni 2012 di Solo Square.
Hasil wawancara dengan SBC (Solo Batik Carnival)
Peneliti : pertama –tama ceritain dulu bagaimana SBC 1 sampai 4 dari awalnya ? Pak Heru : Solo center point bekerja sama dengan pemkot solo menyelenggarakan Solo
Batik Carnival. Dan kemudian mantap saya untuk bisa melaksanakan kegiatan ini. Kemudian memang solo batik carnival di gagas untuk menenguhkan solo menjadi kota batik. Akan tetapi, juga sebuah program yang lebih relatif dan lebih dinamis dan lebih melibatkan masyarakat solo. Dimana paling tidak batik tidak hanya di gunakan sebagai pakaian keseharian, menjadi unsur ekonomi saja. Tetapi batik di rayakan dalam sebuah perayaan kreatifitas masyarakat. Dan solo batik carnival sendiri, sebuah unsur yang baru karena jika di lihat dari kota-kota yang menyelenggarakan carnaval, kebanyakan pemerintah kotanya yang mengeluarkan uang untuk proses produksi kelompok-kelompok itu. Misalnya, ada karnaval apa, lalu di kasih uang oleh pemerintah kota untuk proses produksi. Kalau di solo batik carnival memang saya konsep dari awalnya dibangun dari basis masyarakat. Bagaimana masyarakat itu mengambil peran penting dalam kreatifitasnya. Jadi pemerintah saat itu hanya memfasilitasi misalnya masalah fasilitas workshop nya, masalah pembiayaan perijinan, masalah publikasi, dsb yang tidak berkaitan dengan artistik. Karena artistik itu harus menjadi milik masyarakat. Karena itu ada sebuah kebebasan dalam berkreatifitas. Selama kreatifitas di pengaruhi pemerintah maka kesenian tidak akan berjalan dengan baik. Akhirnya karena SBC ini adalah sebuah karnaval berbasis masyarakat dimana masyarakat membiayai sendiri kostumnya, mengkreasi kostumnya sendiri, dan menggunakan sendiri. Jadi paling tidak memang, yang ikut ini bisa saya katakan adalah masyarakat yang cinta terhadap kotanya. Karena memang tanpa ada rasa cinta terhadap kotanya, agak sulit menggerakkan mereka untuk membiayai lebih dari 2-3 juta, 2-3 juta ini kan mahal sekali, dan mereka tapi, selain berbasis masyarakat, mereka sendiri harus ada program workshop nya sekitar 4 bulan. Workshop untuk mengkreasi kostum itu. Dan setelah mereka menentukan tema, pada tahun 2008 (tahun pertama) tema yang dipakai adalah wayang. Setelah ada tema, masyarakat terus mengadakan workshop, kemudian merancang, mulai belajar merias, belajar koreografi, sampai belajar
kali pertemuan. Dan semua biaya kostumnya masyarakat sendiri yang membiayai, pemerintah hanya sebagai fasilitator saja untuk urusan ijin, publikasi dll selain urusan artistik. Pada tahun 2008 pesertanya hampir 300 orang. 2009 temanya tentang topeng, 2010 temanya tentang flora dan fauna, 2011 temanya tentang keajaiban legenda. Jadi tema tema ini akan menjadi semacam benang merah dalam penciptaan karya-karyanya dalam kostum karnaval itu. Solo Batik Carnival ini di bangun 3 sisi : 1. Masyarakatnya sebagai penciptanya, kreator sekaligus penontonnya juga ; 2. Pemerintah sebagai fasilitator kegiatannya, membiayai masalah sound sistem, publikasi di diluar karya itu sendiri ; 3. Dari pihak swasta (Solo Center Point) membantu membiayai masalah publikasi, penyelenggaraan dll. Jadi 3 peran ini yang sangat penting akan tetapi jika di perhatikan, yang paling besar membiayai event ini adalah masyarakat sendiri. Karena sebagai contoh setiap kostum memakan biaya 2-3 juta, 3 juta di kali 300 peserta hampir 1 milyard. Kalau pemerintah saya yakin tidak sampai 200 juta. Jadi sebenarnya SBC ini peran masyarakatnya jauh lebih besar yang tidak terhitung, dan ini memang sebuah karnaval yang modelnya memang seperti itu. Dari SBC 1,2,3,4 polanya sama seperti itu, jadi panitianya dari masyarakat itu sendiri, bukan event organiser, tetapi saya menggerakkan teman-teman untuk menyelenggarakan program ini, yang tidak mengatas namakan Mattaya. Dan saya harap ini akan bergerak menuju sebuah foundation pada nantinya.
Peneliti : untuk ide awal SBC ini dari komunitas ini atau mas heru secara pribadi
mengajukan ide kepada Pemkot Solo mengenai program SBC ini ?
Pak Heru : ide awalnya bisa saya katakan berasal dari Solo center point saat itu memang memiliki ide ini, kemudian mengajak dina faris dari Jember Fashion Carnival untuk mengagas konsepnya lalu saya masuk kesana untuk mengajak masyarakatnya. Jadi idenya sebetulnya dari masyarakat yang diwakili oleh Solo Center Point. Lalu mulai berbicara dengan pemerintah kota. Akan tetapi SBC tidak akan sampai sejauh ini tanpa dukungan dan peran dari pemerintah kota. Dan yang paling inspiratif adalah kehadiran Pak Jokowi sangat penting sekali untuk memberikan semacam spirit yang luar biasa dalam memotivasi. Karena Pak Jokowi secara pribadi dalam setiap ide maupun gagasannya sangat inspiratif. Bahkan beliau hadir dalam setiap pra event yang kami buat bukan
secara formal sebagai walikota tetapi sebagai individu yang sangat mendukung program SBC ini.
Peneliti : selain 3 pihak tadi apakah ada pihak pihak luar yang turut terlibat ? Pak Heru : setahu saya tidak ada. Jadi memang hanya 3 itu saja yang terlibat.
Peneliti : lalu untuk sasaran dari SBC 1 sampai 4 ini apa dan siapa saja? Apakah
mungkin untuk menyasar pariwisatanya, ekonomi nya ?
Pak Heru : saya pikir begini, jadi SBC ini kan di bangun dari semangat kreatifitas, jdi sebenrnya saat itu kita tidak berfikir untuk menyasar ke pariwisata atau perekonomian bahkan branding kota solo. Lalu ketika itu mulai ada kita berbicara mengenai branding dsb. Sebenarnya kita berfikir untuk membangun masyarakat yang kreatif, sebuah kota di bangun oleh masyarakt yang kreatif. Sasarannya ya paling tidak orang lebih mengenal batik sudah menjadi milik masyarakat kota solo, dengan di rayakan dengan sebuah kreatifitas yang yang meng-kini, remaja-remaja kota solo mulai mencitai batik trus di kembangkan , lalu di harapkan dengan adanya SBC maka banyak tamu-tamu wisata datang ke solo. Dengan begitu otomatis pariwisata dan perekonomian kota solo menjadi meningkat. Jadi semuanya berkaitan. Tapi idealnya memang banyak karnaval di dunia itu kita bicara ketika mulai memasuki tahun ke delapan biasanya. Seperti di Singapore, China, pada saat karnaval ke delapan itu baru terlihat dampaknya.
Peneliti : bagaimana proses awal hingga proses evaluasi dari SBC 1hingga SBC 4 ?
Pak Heru : pelaksanaannya selama 5 bulan, 5 bulan itu pertama kita menggodok tema
besarnya seperti apa. Setelah tema besar selesai, lalu evaluasi tentang tema, kita sosialisasikan ke pak walikota, ke dinas-dinas terkait, setelah itu kita baru membuka pendaftaran peserta untuk mengikuti program ini ke sekolah- sekolah, ke masyarakat umum melalui publikasi itu, setelah seselai pendaftaran lalu kita mulai workshop yang dimulai dari merancang kostum, dll. Lalu masuk ke pra event dan baru masuk ke acara. Setelah acara baru ada evaluasi penyelenggaraan itu. Kebanyakan, evaluasinya itu malah pada pengaturan penonton. Jadi karena penonton yang luar biasa banyaknya, sulit sekali mengatur penonton. Kadang-kadang malah pertunjukkannya sudah
baguis, tetapi karena penonton yang berjubel, jadi tidak kelihatan. Jadi dari tahun ke tahun masalahnya sama. Bagaimana memanage penonton. Dan ini bukan hanya masalah kota solo, tetapi setiap kota yang melakukan karnaval ini juga mengalami kesulitan yang sama.
Peneliti : apakah dari komunitas atau penggagas ide awal ini sendiri menyadari akan pentingnya masyarakat yang sadar akan budayanya untuk upaya branding ini ?
Pak Heru : saya pikir mereka sangat memahami itu, tapi mereka juga tidak berfikir
branding, dsb. Karena branding itu kan istilah ekonomi pariwisata. Saya juga nggak ngerti dan nggak berfikir branding. Kalau idealisme saya sendiri ya adalah bagaimana membangun remaja-remaja yang kreaqtif, membangun karya dan kota kebudayaan, jadi saya tidak berfikir ini arahnya masuk ke industri pariwisata. Saya tidak ingin berbicara mengenai pencitraan, branding, dll. Itu kan produk yang dilahirkan dari dunia pariwisata, dunia kota, kalau saya sendiri bekerja karena saya melihat bahwa kota harus di bangun dari sebuah kreatifitas. Itu saja. Yang terpenting, saya bersama komunitas, masyarakat dan pemerintah menggagas sebuah kegiatan kreatif dan ternyata banyak orang suka, jadi tinggal bagaimana nanti dunia pariwisata memaknai itu.
Peneliti : apakah masyarakat solo yang ada sekarang dengan masyarakat solo yang dulu sebelum ada event-event kebudayaan di solo apakah lebih menyadari sadar dengan kebudayaannya ?
Pak Heru : menurut saya sebenarnya sama saja ya, karena memang ini Pak Jokowi ini
memang kepemimpinannya sangat inspiratif, dia mungkin juga sadar untuk solo semakin dikenal di dunia internasional, di butuhkan sebuah event, event ini sebenarnya hanya sebuah kendaraan saja, di samping sebenarnya kalau kita lihat solo ya ada kampung, ada pasar tradisional, ada sanggar tari, jadi saya pikir event ini hanya sebagai kendaraan saja. Dan saya pikir sesudah dan sebelumnya, solo juga tetap kreatif, tetap tumbuh, tetap cinta dengan kebudayaannya. Cuma dalam event ini lebih di manage, lebih di garap, dengan tujuan lebih terlihat, lebih dirayakan, dsb.
Transkip Wawancara dengan Budayawan (Bapak Didik Bibasari –Padepokan Seni Bibasari Salatiga)
Sumber informan: Pak Didik Bibasari
Peneliti: bagaimana tanggapan budayawan melihat city branding kota solo yang menunjukkan identitas solo kota budaya (Closing identity) dan identitas solo sbg kota seni budaya (opening identity)
Pak didik (budayawan): solo tidak hanya sebagai kota budaya yang artinya sebagai kota sentra budaya jawa / pusat budaya jawa karena ada pusat pemerintahan keraton tetapi juga hidup berkehidupan bangsa dan bernegara yang berdasarkan pancasila, multi etnis, Solo telah merubah pandangan sebagai pusat budaya tertutup tetapi juga memiliki keterbukaan. Di satu sisi sebagai tolak ukur identitas budaya jawa tetapi juga sebagai bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Raja Solo sebagai pemimpin yang menjadi pelopor diadakannya festival seni budaya keraton nusantara. Festival ini menunjukkan sikap Raja Solo yang terbuka dengan kebudayaan di luar budaya Jawa itu sendiri. Raja harus bersikap terbuka sekaligus tertutup untuk menjaga kebudayaan lokal untuk tetap lestari serta terbuka untuk menerima kebudayan luar sebagai proses pengembangan. Nah proses ini yang saya lihat dari kacamata seorang budayawan tidak boleh melunturkan nilai-nilai budaya lokal (budaya Jawa) sebagai bagian hidup seluruh lapisan masyarakat baik di lingkungan keraton, pemerintahan, seniman, serta masyarakat pada umumnya.
Peneliti: jadi menurut bapak, apakah tindakan yang dilakukan oleh Pemkot Solo dalam upaya strategi dengan menunjukkan identitas kota Solo sebagai kota budaya sekaligus kota festival seni budaya ini sudah tepat?