• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEOR

2.4 Penyakit AIDS

2.4.2 Transmisi Infeksi AIDS

Transmisi HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui 3 cara, yaitu :

1. Secara Vertikal dari ibu yang terinfeksi HIV ke anak (selama megandung, persalinan, menyusui).

2. Secara Transeksual (homoseksual maupun heteroseksual).

3. Secara Horizontal yaitu kontak antardarah atau produks darah terinfeksi (asas sterilisasi kurang diperhatikan terutama pada pemakaian jarum suntik bersama sama secara bergantian, tato, tindik, transfusi darah, transplantasi organ, tindakan hemodialisis, perawatan gigi).

HIV dapat diisolasi dari darah, semen, cairan serviks, cairan vagina, ASI, air liur, serum, urin, air mata, cairan alveolar, cairan serebrospinal. Dan, sejauh ini transmisi secara efisien terjadi melalui darah, cairan semen, cairan vagina, dan serviks, ASI.

2.4.2.1 Transmisi melalui Kontak Seksual

Studi Kohort yang dilakukan Lifson pada pria homoseksual dan biseksual di California yang seropositif HIV sebelum Januari 1981, ternyata 52% di antaranya mengidap AIDS pada tahun 1989. Diperkirakan 54% individu dengan seropositif HIV akan menjadi AIDS dalam 8-10 tahun kemudian.

Di Indonesia waktu yang diperlukan menjadi AIDS dapat lebih singkat karena penderita hidup pada lingkungan dengan kejadian berbagai infeksi. Kontak seksual merupakan salah satu cara utama transmisi HIV di berbagai belahan dunia. Virus ini dapat ditemukan dalam cairan semen, cairan vagina, cairan serviks, terutama bila terjadi peningkatan jumlah limfosit dalam cairan, seperti pada keadaan peradangan

genitalia misalnya uretritis, epididimitis, dan kelainan lain yang berkaitan dengan

penyakit menular seksual.

Transmisi infeksi HIV melalui hubungan seksual lewat anus lebih mudah karena hanya terdapat membrane mukosa rectum yang tipis dan mudah robek, anus sering terjadi lesi. Pada kontak seks pervaginal, kemungkinan transmisi HIV dari laki- laki ke perempuan diperkirakan sekitar 20 kali lebih besar dari pada perempuan ke laki-laki. Hal ini disebabkan oleh paparan HIV secara berkepanjangan pada mukosa vagina, serviks, serta endometrium dengan semen yang terinfeksi.

2.4.2.2 Transmisi melalui Darah

HIV dapat ditransmisikan melalui darah dan produk darah, terutama pada individu pengguna narkotika itravena dengan pemakaian jarum suntik secara bersama dalam

satu kelompok tanpa mengindahkan asas sterilisasi. Dapat juga pada individu yang menerima transfusi darah atau produk darah yang mengabaikan tes penapisan HIV. Namun pada saat ini hal tersebut jarang terjadi dengan semakin meningkatnya perhatian dan semakin baiknya tes penapisan terhadap darah yang ditransfusikan.

Diperkirakan bahwa 90% sampai 100% orang yang mendapat trasfusi darah yang tercemar HIV akan mengalami infeksi. Transfusi darah lengkap (whole blood), sel darah merah (packed red blood), trombosit, leukosit, dan plasma semuanya berpotensi menularkan HIV.

Suatu penelitian di Amerika Serikat melaporkan resiko infeksi HIV-1 melalui transfusi darah dari donor yang terinfeksi HIV berkisar antara 1 per 750.000 hingga 1 per 835.000. Pada proses bayi tabung dan transplantasi organ dilaporkan beberapa kasus penularan HIV melalui semen yang digunakan dalam inseminasi buatan dan jaringan yang digunakan pada transplantasi organ sehingga sekarang setiap donor harus diperiksa akan kemungkinan infeksi HIV sebelum transplantasi.

2.4.2.3 Transmisi secara Vertikal

Transmisi secara vertikal dapat terjadi dari ibu yang terinfeksi HIV kepada janinnya sewaktu hamil, sewaktu persalinan, dan setelah melahirkan melalui pemberian Air Susu Ibu (ASI).

Angka penularan selama kehamilan sekitar 5-10%, sewaktu persalinan 10- 20%, dan saat pemberian ASI 10-20%. Namun, diperkirakan penularan ibu kepada janin atau bayi terutama terjadi pada masa perinatal. Hal ini didasarkan saat identifikasi infeksi oleh teknik kultur atau Polymerase Chain Reaction (PCR) pada bayi setelah lahir (negatif saat lahir dan positif beberapa bulan kemudian).

2.4.2.4 Transmisi melalui Cairan Tubuh Lain

Walaupun HIV pernah ditemukan dalam air liur pada sebagian kecil orang yang terinfeksi, tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa air liur dapat menularkan infeksi HIV baik melalui ciuman biasa maupun paparan lain misalnya sewaktu bekerja sebagai petugas kesehatan.

Selain itu, air liur dibuktikan mengandung inhibitor terhadap aktivitas HIV. Demikian juga belum ada bukti bahwa cairan tubuh lain misalnya air mata, keringat, dan urin dapat merupakan media transmisi HIV. Namun, cairan tubuh tersebut tetap harus diperlakukan sesuai tindakan pencegahan melalui kewaspadaan universal.

2.4.3 Reseptor CD4 (Cluster of Differentiation 4)

Perjalanan infeksi HIV di dalam tubuh manusia diawali dari interaksi gp120

(glycoprotein 120) pada selubung HIV berikatan dengan reseptor spesifik CD4 yang

terdapat pada permukaan membran sel target (kebanyakan limfosit T-CD4). Sel target utama adalah sel target yang mampu mengekspresikan reseptor CD4

Setelah 4-11 hari sejak paparan pertama HIV dapat dideteksi di dalam darah. Selama dalam sirkulasi sistemik terjadi viremia dengan disertai gejala dan tanda infeksi virus akut seperti panas tinggi mendadak, nyeri kepala, nyeri sendi, nyeri otot, mual, muntah, sulit tidur, batuk-pilek, dan lain-lain. Keadaan ini disebut retroviral akut. Pada fase ini mulai terjadi penurunan CD4 dan peningkatan HIV-RNA Viral

load. Viral load (beban yang disebabkan oleh virus; pneumonia radang paru) akan

meningkat dengan cepat pada awal infeksi dan kemudian akan menurun sampai pada suatu titik tertentu. Dengan semakin berlanjutnya infeksi, viral load secara perlahan cenderung terus meningkat. Keadaan tersebut akan diikuti dengan penurunan hitung CD4 secara perlahan dalam waktu beberapa tahun dengan laju penurunan CD4 yang lebih cepat pada kurun waktu satu setengah tahun sampai dua setengah tahun, sebelum akhirnya jatuh ke stadium AIDS.

Fase selanjutnya HIV akan berusaha masuk ke dalam sel target. Sel yang menjadi target HIV adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor CD4. Untuk bisa masuk ke sel target, gp120 HIV perlu berikatan dengan reseptor CD4. Reseptor CD4 ini terdapat pada permukaan limfosit T, monosit-makrofag, Langerhan’s, sel

dendrit, astrosit, microglia. Selain itu, untuk masuk ke sel HIV memerlukan chemokine reseptor yaitu CXCR4 dan CCR5.

Mikroorganisme lain yang memicu infeksi sekunder dan memengaruhi jalannya replikasi adalah bakteri, virus, jamur, maupun protozoa. Dari keempat golongan mikroorganisme tersebut yang paling besar pengaruhnya terhadap percepatan replikasi HIV adalah virus non-HIV, terutama adalah virus DNA.

Secara perlahan namun pasti, limfosit T penderita akan tertekan dan semakin menurun dari waktu ke waktu. Individu yang terinfeksi HIV mengalami penurunan jumlah limfosit T-CD4 melalui beberapa mekanisme sebagai berikut :

1. Kematian sel secara langsung karena hilangnya integritas membran plasma akibat adanya penonjolan dan perobekan oleh virion, akumulasi DNA virus yang tidak berintegrasi dengan nukleus, dan terjadinya gangguan sintesis

makromolekul.

2. Syncytia formation, yaitu terjadinya fusi antar membran sel yang terinfeksi

HIV dengan limfosit T-CD4 yang tidak terinfeksi.

3. Respons imun humoral dan seluler terhadap HIV ikut berperan melenyapkan virus dan sel yang terinfeksi virus. Namun respons ini bisa menyebabkan disfungsi imun akibat eliminasi sel yang terinfeksi dan sel normal di sekitarnya

(innocent-bystander).

4. Mekanisme autoimun dengan pembentukan autoantibodi yang berperan untuk mengeliminasi sel yang terinfeksi.

5. Kematian sel yang terprogram (apoptosis). Peningkatan antara gp120 di bagian V3 dengan reseptor CD4 Limfosit T merupakan sinyal pertama untuk menyampaikan pesan kematian sel melalui apoptosis.

6. Kematian sel target terjadi akibat hiperaktivitas Hsp70 (40-kDa heat-shock

protein), sehingga fungsi sitoprotektif, pengaturan irama dan waktu folding

protein terganggu, terjadi missfolding dan denaturasi protein, dan kematian sel.

Dengan berbagai proses kematian limfosit T tersebut terjadi penurunan jumlah

limfosit T-CD4 secara dramatis dari normal berkisar 600-1200/mm3 menjadi 200/mm3 atau lebih rendah lagi. Semua mekanisme tersebut menyebabkan penurunan sistem imun sehingga pertahanan individu dan meningkatkan resiko terjadinya infeksi sekunder sehingga masuk ke stadium AIDS. Masuknya infeksi sekunder menyebabkan munculnya keluhan dan gejala klinis sesuai jenis infeksi sekundernya.

Dokumen terkait