• Tidak ada hasil yang ditemukan

Banyak metode rehabilitasi yang telah dilakukan untuk memperbaiki kondisi terumbu karang Indonesia seperti rockpile, biorock, ecoreef, reefball, dan transplantasi karang (Soedharma dan Subhan 2007). Hariot dan Fisk (1988)

dalam Subhan (2003) menyatakan bahwa, transplantasi koral adalah suatu metode

penanaman dan penumbuhan suatu koloni karang dengan fragmentasi dimana koloni tersebut diambil dari suatu induk koloni tertentu. Transplantasi koral bertujuan untuk mempercepat regenerasi dari terumbu karang yang telah mengalami kerusakan atau sebagai cara untuk memperbaiki daerah terumbu karang. Proses pengangkutan berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan transplantasi. Pengangkutan koral di atas dek kapal yang terlindung selama satu jam, tidak berbeda nyata dengan pengangkutan di dalam air. Bila terkena udara selama dua jam, tingkat keberhasilan berkisar antara 50-90% dan bila terkena udara selama tiga jam, maka tingkat keberhasilan menjadi 40-70%.

Metode transplantasi karang di alam merupakan cara yang paling banyak digunakan terutama untuk rehabilitasi dan persediaan stok karang hias. Penggunaan teknik ini juga mengalami banyak variasi, misalnya pada bahan yang digunakan baik dalam hal bentuk, ukuran maupun bahan. Begitu pula pada bahan yang digunakan untuk membuat rak dapat menggunakan besi, kayu, atau pipa paralon. Munculnya berbagai variasi dalam teknik transplantasi berhubungan dengan jenis karang dan lokasi.

2.7.1. Manfaat terumbu karang

Terumbu karang mempunyai nilai dan arti yang sangat penting baik dari segi sosial, ekonomi, dan budaya karena hampir sepertiga penduduk Indonesia yang tinggal di daerah pesisir menggantungkan hidupnya dari perikanan laut dangkal. Terumbu karang mempunyai berbagai fungsi yang antara lain sebagai gudang keanekaragaman hayati biota-biota laut, tempat tinggal sementara atau tetap, tempata mencari makan, berpijah, daerah asuhan, dan tempat berlindung bagi hewan laut lainnya. Terumbu karang juga berfungsi sebagai tempat

berlangsungnya siklus biologi, kimiawi, dan fisik secara global yang mempunyai tingkat produktivitas yang sangat tinggi. Terumbu karang merupakan sumber bahan makanan langsung maupun tidak langsung dan sumber obat-obatan serta sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak-ombak (Suharsono 1996). Transplantasi karang adalah suatu metode penanaman dan penumbuhan suatu koloni karang dengan metode fragmentasi. Koloni tersebut diambil dari suatu induk koloni tertentu. Transplantasi karang bertujuan untuk mempercepat regenerasi dari terumbu karang yang telah mengalami kerusakan atau sebagai cara untuk memperbaiki daerah terumbu karang. Transplantasi karang secara umum dapat dikatakan berhasil jika tingkat kelangsungan hidupnya sebesar 50% sampai dengan 100% (Harriot dan Fisk 1988 dalam Dhahiyat 2003).

Beberapa hasil penelitian mengungkapkan bahwa telah terjadi perubahan fungsi pulau-pulau di wilayah Kepulauan Seribu. Dalam konteks pendaya gunaannya menunjukkan semakin rendahnya tingkat adaptasi pulau-pulau ini terhadap gangguan. Kerusakan-kerusakan yang terjadi adalah seperti penurunan kualitas air, kerusakan ekosistem terumbu karang, dan pengikisan pantai pada pulau-pulau tertentu. Penyebabnya bukan semata-mata karena fenomena alami tertentu (biogenik), namun labih merupakan akibat langsung dari perbuatan manusia (anthropogenik) (Pemda DKI 1992 dalam Boli 1994).

Herianto (2007) menggolongkan nilai dan manfaat terumbu karang menjadi 3, yaitu manfaat bio-ekologi, nilai sosio-ekonomi, dan nilai budaya. Sedangkan manfaat dari transplantasi karang menurut Soedharma dan Arafat (2006) dalam Soedharma dan Subhan (2007) adalah :

1. Mempercepat regenerasi terumbu karang yang telah rusak. 2. Rehabilitasi lahan-lahan kosong atau yang rusak.

3. Menciptakan komunitas baru dengan memasukkan spesies baru kedalam ekosistem terumbu karang di daerah tertentu.

4. Konservasi plasma nutfah, disebut juga konservasi dari sumber keanekaragaman hayati.

5. Pengembangan populasi karang yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan atau langka.

6. Menambah karang dewasa ke dalam populasi sehingga produksi larva di ekosistem karang yang rusak tersebut dapat ditingkatkan.

7. Keperluan perdagangan.

2.7.2. Penyebab kerusakan terumbu karang

Perkiraan terakhir menunjukkan bahwa 10% dari terumbu karang dunia telah mengalami degradasi yang tak dapat dipulihkan dan 30% lainnya dipastikan akan mengalami penurunan berarti dalam kurun waktu 20 tahun mendatang (Jameson et al. 1995 dalam Wesmacott et. al. 2000). Menurut Estradivari et. al. 2009, secara umum telah terjadi degradasi habitat secara besar-besaran di pulau-pulau paling selatan yang berdekatan dengan atau di Teluk Jakarta dibandingkan 1 dekade lalu.

Faktor penyebab stress pada terumbu karang dapat timbul secara eksternal maupun internal. Faktor internal dapat berasal dari faktor genetik biota karang tersebut sehingga sejak awal kehidupannya sudah mengalami kelainan pada sistem-sistem fisiologisnya. Faktor eksternal penyebab stress pada terumbu karang lebih banyak berasal dari adanya perubahan pada karakteristik perairan sehingga memberikan tekanan lingkungan pada terumbu karang dan menyebabkan terumbu karang tersebut mengalami stress. Faktor-faktor tersebut sebagian besar bersumber dari polutan yang masuk ke dalam sistem perairan, disamping itu fenomena-fenomena alam yang terjadi juga memberikan pengaruh.

Wilayah perairan kepulauan Seribu memiliki potensi pertambangan yang cukup besar, khususnya minyak dan gas bumi, serta pertambangan umum berupa pasir laut dan batu karang (Estradivari et. al. 2009). Kegiatan pertambangan ini juga menjadi salah satu ancaman kerusakan terumbu karang. Tumpahan minyak baik kecelakaan kapal di laut, kebocoran pipa penyalur atau tumpahan ketika pengisian bahan bakar dapat mengganggu kesehatan karang (Supriharyono 2007). Kerusakan dan kematian karang akibat ulah manusia dapat disebabkan secara langsung dan tidak langsung. Kerusakan secara langsung, misalnya penambangan karang, penangkapan ikan dengan bahan peledak dan racun sianida, meningkatnya populasi Achanthaster planci akibat musnah atau menurunnya populasi biota pemangsanya serta dari kegiatan pariwisata bahari. Kerusakan secara tidak langsung antara lain disebabkan oleh penebangan hutan, pencemaran lingkungan,

dan penambangan pasir atau batu karang (Reksodihardjo 1995 dalam Reflus 2010).

Faktor-faktor yang timbul akibat ulah manusia di kategorikan sebagai polutan. Polutan adalah sesuatu bahan yang dimasukan oleh manusia secara langsung atau tidak langsung dari bahan atau energi kepada lingkungan laut yang menyebabkan efek racun sehingga membahayakan sumberdaya hayati, berbahaya bagi kesehatan manusia, dan menghalangi aktivitas kelautan (Clark 1986 dalam Sabarini 2001).

Di Indonesia suhu air laut mencapai lebih dari 30°C, karang-karang di Kepulauan Seribu, Jakarta, banyak yang mengalami bleaching (pemutihan karang) dan diikuti kematiannya (Brown 1987 dalam Supriharyono 2007). Pemutihan karang disebabkan karena pigmen dalam zooxanthellae berkurang atau bahkan hilang sama sekali. Jika karang kehilangan seluruh zooxanthellae maka warna kerangka yang umumnya cokelat kehijauan ini akan berubah menjadi putih. Jika beberapa zooxanthellae dapat bertahan di polipnya maka karang akan kembali ke kondisi normal dalam beberapa bulan, tetapi jika pemutihan yang terjadi cukup berat maka koloni karang akan mati (Wells dan Hanna 1992 dalam Reflus 2010). Sedangkan menurut Randall (1983) dalam Boli (1994), suhu diatas 33°C biasanya mendatangkan suatu gejala yang disebut pemutihan karang (coral

bleaching), yaitu keluarnya zooxanthellae dari jaringan karang secara paksa oleh

hewan karang sehingga warna karang menjadi putih yang bila berlanjut maka akan menyebabkan kematian karang. Salah satu sebab terjadinya pemutihan secara besar-besaran menurut Wells dan Hanna (1992) dalam Reflus (2010) adalah fenomena El-Nino. Fenomena El-Nino adalah peristiwa terjadinya perubahan pola pergerakan air di Pasifik, biasanya terjadi 3 hingga 5 tahun sekali.

Pada kondisi normal, angin bertiup dari arah timur dan air dingin menyebar ke arah barat menuju Pasifik dari pesisir Amerika Selatan. Selama terjadinya fenomena El-Nino terjadi perubahan arah angin, angin di wilayah tropis Pasifik bertiup dari arah barat dan penyebaran air dingin berubah menjadi air hangat. Pemutihan dapat menjadi sesuatu hal yang biasa dibeberapa daerah. Selama peristiwa pemutihan, karang kehilangan 60–90% dari jumlah zooxanthellae-nya dan zooxanthellae yang masih tersisa dapat kehilangan 50–80% dari pigmen

fotosintesinya (Glynn 1996 dalam Westmacott et. al. 2000). Selama musim angin barat (Desember-Mei), air tawar yang mengalir dari Jawa, Sumatera, dan Kalimantan membawa kandungan nutrien yang berpengaruh bagi terumbu karang. Kandungan nutrien tersebut menyebabkan jumlah fitoplankton, zooplankton, dan tutupan alga meningkat sehingga menekan karang dan menyebabkan karang memutih dan mati (Tomascik et. al. 1997 dalam Estradivari et. al. 2009).

Proses sedimentasi juga dapat memberikan dampak terhadap stressnya terumbu karang. Sedimentasi dapat berasal dari limpasan air daratan, aktivitas penggalian, dan saluran pembuangan limbah. Sedimentasi dapat menyebabkan berhentinya proses pertumbuhan pada biota karang. Hal ini disebabkan karena sedimentasi menurunkan penetrasi cahaya, menyebabkan pengikisan, dan menutupi polip-polip karang sehingga sebagian besar energi biota karang digunakan karang untuk mekanisme penolakan sedimen dari tubuhnya (Hawker dan Connell 1992 dalam Sabarini 2001). Menurut Loya (1976) dalam Boli (1994), pengaruh sedimentasi yang terjadi pada terumbu karang telah disimpulkan oleh beberapa peneliti terdiri atas: 1) menyebabkan kematian karang apabila menutupi atau meliputi seluruh permukaan karang dengan sedimen; 2) mengurangi pertumbuhan karang secara langsung; 3) menghambat planula karang untuk melekatkan diri dan berkembang di substrat; 4) meningkatkan kemampuan adaptasi karang terhadap sedimen.

Dalam bukunya, Supriharyono (2007) menerangkan bahwa di samping faktor fisika, faktor biologis yaitu para predator karang juga tidak kalah penting pada kerusakan karang. Beberapa contoh predator karang adalah bintang laut berduri, bulu babi, dan Drupella rugosa (sejenis gastropoda). Beberapa jenis ikan karang yang diketahui juga merupakan perusak karang adalah ikan kakak tua (Scarrus spp) dan ikan kepe-kepe (Chaetodon spp). Faktor biologis yang dapat merusak ekosistem terumbu karang menurut Herianto (2007) adalah seperti adanya predasi dari predator yang bersifat aktif dan agresif untuk mendapatkan makanan, sehingga dapat menghambat atau mematikan pertumbuhan karang yang lainnya. Sama halnya dengan penangkapan ikan menggunakan bom, terjadi kerusakan terumbu karang, juga menyebabkan ikan dan avertebrata lain hilang dan digantikan oleh komunitas yang didominasi oleh karang jenis Fungia, bulu

babi, dan sejumlah spesies teripang (Langham dan Mathias 1977 dalam Boli 1994).

2.7.3. Pengelolaan terumbu karang

Pemulihan atau coral recovery karena adanya terjangan badai ketika musim peralihan dari musim barat ke musim timur yang terjadi pada bulan Juli – Agustus biasanya membutuhkan waktu yang cukup lama. Akibat dari musim peralihan ini adalah terangkatnya gugusan karang ke permukaan karena begitu kuatnya angin yang berhembus (Supriharyono 2007). Kemampuan pemulihan terumbu karang adalah kemampuan dari suatu koloni individual atau suatu sistem terumbu karang (termasuk semua penghuninya), untuk mempertahankan diri dari dampak lingkungan serta menjaga kemampuan untuk pemulihan dan berkembang (Moberg dan Folke 1999 dalam Westmacott et. al. 2000).

Tindakan pengelolaan dalam skala lokal mungkin kurang berhasil tanpa disertai usaha yang sifatnya global, karena penyebab umum dari pemutihan karang tidak bersifat lokal. Oleh karena itu diperlukan tindakan yang bersifat global, yaitu aksi bersama (kebijakan tingkat internasional) tentang bagaiamana menekan peningkatan efek rumah kaca akibat aktivitas manusia. Namun demikian, dalam skala lokal perlu juga dilakukan tindakan untuk mengurangi tekanan antropogenik sehingga akan meningkatkan kemampuan karang dalam beradaptasi terhadap perubhana alam dan juga dapat meningkatkan kemampuan karang dalam pemulihan (Rani 2007). Pemulihan ekosistem terumbu karang setelah berlalunya gangguan sangat tergantung pada memori ekologis ekosistem tersebut. Memori ekologis adalah komposisi dan distribusi organisme serta interaksinya dalam ruang dan waktu, termasuk pengalaman sejarah hidupnya (Nystrom dan Folke 2001 dalam Bachtiar 2009).

Dokumen terkait