• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.6 Transportasi Ramah Lingkungan dan Global Warming

Bumi semakin panas yang sudah dapat dirasakan di kota Jakarta selain akibat kurangnya tumbuhan peneduh, berkembangnya pabrik skala besar dan yang lebih jelas dan berlalu lalang adalah akibat meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor pribadi dan cenderung mengakibatkan kemacetan, dari kemacetan lalulintas jalan raya mesin terus tetap hidup dengan putaran yang tidak stabil menambah tingginya emisi pencemaran dari sumber kendaraan bermotor (sumber pencemar bergerak). Sektor transportasi yang didominasi kendaraan bermotor berpotensi menyumbang emisi gas

rumah kaca berupa CO2 sejumlah 25% pada proses global warming Wright (2005)

dalam Onagawa (2007:2)

Puncak dari perubahan iklim pada abad ini sudah dirasakan pada tanggal 24 sampai dengan 31 Agustus 2005, menurut Rusbiantoro (2008:1) daerah Mississippi, Lousiana dan Albama dihempas badai Katrina dengan cakupan luas daerah 200.000 km² berselang empat hari kawasan New Orleans dilanda banjir yang cukup dahsyat dengan meluluhlantahkan kota berpenduduk padat denga korban jiwa tercatat 10.000 jiwa meninggal dan setengah juta jiwa masyarakat New Orleans kehilangan tempat tinggal akibat rumah masyarakat terhanyut gelombang air laut. Kerugian tercatat US $ 200 milyar.

Adanya badai Katrina membuat pemerintah Amerika tidak berdaya mengevakuasi

warganya walaupun tentara dan veteran dengan jumlah besar telah dikerahkan. Ilmu dan teknologi negara Amerika cukup diperhitungkan dalam mitigasi bencana namun dengan

adanya badai Katrina negara Amerika samasekali tidak berkutik. Pada kejadian bencana

badai Katrina orang nomor satu yang disalahkan adalah Direktur Agen Federal

Manajemen Bencana (FEMA) bernama Joe Allbaugh. Sang direktur tidak memiliki

pengalaman dalam menangani bencana sedahsyat badai Katrina demikian juga pada

tahun 2003 Joe Allbaugh digantikan dengan orang yang sama tidak mempunyai kemampuan yang tinggi mengatasi mitigasi bencana bernama Michael Brown dan disebut sebut sebagai orang yang dikorbankan dalam ketidak tanggapan dari Agen Federal Manajemen Bencana (Rusbiantoro, 2008:3). Warning atau peringatan dini badai Katrina sudah didengungkan pada tahun 2001 tetapi pemerintah Amerika ada kesalahan dalam pengalokasian dana untuk keperluan yang lain seperti halnya untuk pembangunan bendungan di New Orleans dananya dihapus (Rusbiantoro, 2008:3).

Menurut Al Gore dalam Rusbiantoro (2008:4) dalam pengujian suhu temperatur tahunan yang berasal dari lapisan es dikutub Antartika dikorelasikan dengan tingkat CO2 di udara selama 650.000 tahun guna menjelaskan proses mencairnya es di kutub utara dan selatan yang akan menenggelamkan kota didaerah pesisir dengan prediksi kenaikan muka air laut 6 meter dan menyebabkan 100 juta penduduk dunia terpaksa hidup dalam pengungsian. Dari dokumen pemantauan temperatur sejak 1880 menunjukkan 10 tahun terpanas telah terjadi pada 14 tahun terahir. Selanjutnya menurut Al Gore dalam

Rusbiantoro (2008:5) kerusakan terumbu karang di Bumi mengalami Bleacing karena

perubahan iklim dilain pihak Burton menyatakan perubahan iklim bukan satu satunya

penyebab, karena kegiatan over fishing dan polusi merupakan penyebab utama yang

belum disebutkan.

Pemanasan global pada dasarnya merupakan peningkatan suhu rata rata di atmosfir, daratan dan lautan. Penyebab utama dari global warming karena pembakaran BBM fosil seperti batubara, minyak bumi (minyak tanah, bensin, avtur dan solar). Akibat pembakaran BBM tersebut akan menghasilkan karbondioksida, NOx dan lebih dikenal dengan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) akan menghalangi keluar masuknya cahaya dan energi matahari di atmosfir Bumi.

Ratifikasi konvensi perubahan iklim kemudian ditindak lanjuti dengan keikutsertaan pada Protokol Kyoto melalui Undang Undang nomor 17 Tahun 2004. Protokol Kyoto pada prinsipnya mengatur kerangka kerja Konvensi Perubahan Iklim. Annex A Protokol ini mengidentifikasi jenis Gas Rumah Kaca yang harus direduksi

meliputi : CO2, CH4, N2O, CFC, PFC dan SF6 (Samekto, 2007: 14). Ada tiga mekanisme yang diatur dalam Protokol Kyoto (Samekto, 2007: 15) yaitu :

(a). Join Implemetation;

(b). Clean Development Mechanism (CDM);

(c). Emission Trading (perdagangan emisi);

Secara konsep bangsa Indonesia banyak menerima keuntungan dari keikutsertaannya dalam Protkol Kyoto. Melalui dana yang disalurkan, Indonesia akan

meningkatkan kemampuannya untuk beradaptasi dengan perubahan iklim. Lewat Clean

Development Mecanism Indonesia memiliki potensi pengurangan emisi sampai 300 juta

ton (Samekto, 2007: 15). Di Kota Mataram pengurangan emisi karbon dengan memfungsikan transportasi “cidomo” sebagai sarana transportasi jarak dekat memiliki potensi yang cukup cerah.

Tentang pengelolaan lingkungan hidup diatur pada UU No. 23 tahun 1997 dan

menjadikan payung hukum lingkungan di Negara Indonesia. Sustainable development

menjadi landasan konsep pengelolaan lingkungan di tingkat Nasional.

Sebuah kerusakan lingkungan (dalam kontek hukum) disebabkan oleh perbuatan manusia, dengan demikian tindakan manusia yang merusak tersebut harus dikendalikan (Samekto, 2007: 65). Perangkat pengendali adalah hukum (dalam hal ini adalah hukum lingkungan). Hukum lingkungan merupakan sekumpulan ketentuan ketentuan dan prisip hukum yang diberlakukan untuk melindungi dan kepentingan pengelolaan lingkungan.

Pada hakekatnya hukum mengandung ide atau konsep (Samekto, 2007: 2) dan dengan demikian dapat digolongkan kepada sesuatu yang abstrak kedalam kelompok yang abstrak ini termasuk ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial. Dengan demikian apabila berbicara mengenai penegakan hukum, maka pada hakekatnya berbicara mengenai penegakan ide atau konsep yang abstrak itu. Menurut Rahardjo (1981) dalam Samekto (2007: 2) dirumuskan secara lain, bahwa penegakan hukum adalah usaha untuk mewujudkan ide tersebut menjadi kenyataan. Ditambahkan menurut Samekto (2007: 2) penegakan hukum lingkungan sesungguhnya bukan satu satunya cara atau alat penata (compliance tool). Penataan dapat ditempuh melalui jalan lain seperti halnya instrumen ekonomi, public pressure yang efektif, company rating, pendekatan negosiasi dan mediasi serta perijinan.

Menurut Santoso (1994) dalam Samekto (2007: 3) bahwa program utama diundangkannya peraturan perundang undangan dibidang lingkungan hidup yaitu melindungi setiap orang atas lingkungan yang baik dan sehat serta perlindungan pelestarian daya dukung lingkungan akan berjalan efektif apabila dilaksanakan secara taat asas melalui penegakan hukum.

Menurut Suparmoko dan Suparmoko (2000:28) ekonomi lingkungan menganalisis pencemaran sebagai eksternalitas. Sebuah eksternalitas adalah sebuah dampak terhadap tingkat kesejahteraan pihak ketiga yang timbul karena tindakan seseorang tanpa dipungut kompensasi atau pembayaran.

Sebuah penegakan hukum akan memberikan hasil apabila hukum tersebut ditegakkan oleh kelembagaan yang memang benar benar siap dari segi kemampuan dan sarana fasilitas untuk menegakkan hukum lingkungan secara adil dan berdasarkan prinsip equality before the law, semua sama didepan hukum (Samekto, 2007: 9). Apakah Dinas Perhubungan Kota Mataram benar benar telah mempersiapkan sumberdaya manusia, fasilitas, serta dana yang mendukung? Dalam hal ini guna menegakkan ketentuan hukum pada transportasi “cidomo”.

Setelah menyimak kesiapan dari kelembagaan tersebut diatas selanjutnya apakah kultur di Kota Mataram cukup mendukung?. Persoalan penegakan hukum lingkungan tidak sekedar penyiapan substansi hukum kelembagaan yang memadai namun sampai juga pada kultur (dalam hal ini kultur hukum) (Samekto, 2007: 11).

Transportasi “cidomo” yang merupakan warisan turun temurun yang sampai pada permulaan abad 21 masih dapat diandalkan untuk transportasi jarak dekat di Kota Mataram merupakan sebuah anugrah yang tidak kecil. Hal ini akan mungkin dapat terlihat manakala saat ini dunia pada berlomba menanggulangi global warming melalui pengurangan emisi gas karbon, pada kaitannya “cidomo” sebagai transportasi jarak dekat sama sekali tidak menghasilkan emisi gas karbon dan tidak tergantung pada BBM fosil. Dalam penanggulangan global warming Indonesia telah meratifikasi konvensi

tentang perubahan iklim (convention on the climate change) dengan Undang Undang

nomor 6 tahun 1994 yang mulai berlaku 23 Agustus 1994. Kesepakatan ini mengatur kesepakatan untuk kestabilan jumlah Gas Rumah Kaca di atmosfir pada tingkat kondisi yang membahayakan.

Dokumen terkait