• Tidak ada hasil yang ditemukan

True Digestibility (TD), Biological Value (BV), dan Net Protein Utilization

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.5 True Digestibility (TD), Biological Value (BV), dan Net Protein Utilization

diperoleh dengan cara mengoleksi volume urin, dan berat feses (yang telah dikeringkan) dari masing-masing kelompok tikus percobaan (Lampiran 11).

Daya cerna protein adalah jumlah fraksi nitrogen dari bahan makanan yang dapat diserap oleh tubuh. Tidak semua protein dapat dihidrolisis oleh enzim pencernaan menjadi asam-asam amino.

0

2

4

6 4.85

b

5.13

b

3.71

a

3.63

a NPR

Net Protein Ratio

22 Daya cerna akan menentukan ketersediaan asam amino secara biologis. Daya cerna ini berarti kemampuan suatu protein untuk dihidrolisis menjadi asam-asam amino oleh enzim-enzim protease (Muchtadi, 2010). Gambar 7 menjelaskan perbandingan nilai daya cerna protein pada percobaan ini.

Gambar 7. Perbandingan nilai daya cerna protein

Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda sangat nyata (p<0.01) dengan uji jarak Duncan.

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 12) menunjukkan bahwa TD kelompok ransum kasein tidak berbeda nyata dengan TD kelompok ransum daging sapi dan TD kelompok ransum isolat protein kedelai (p>0.01 dengan uji jarak Duncan). Ketiga nilai TD-nya bernilai lebih dari 90%. Hal ini berarti lebih dari 90% protein pada masing-masing sampel dapat dicerna oleh tubuh. Sementara itu, TD kelompok ransum FSB (52.73%) berbeda sangat nyata dengan TD kelompok lainnya (>90%) (p<0.01 dengan uji jarak Duncan). Secara verbal, angka 52.73% menunjukkan proporsi protein yang dapat dicerna oleh tubuh, atau tidak terbuang bersama feses.

Nilai biologis (BV) untuk menentukan jumlah berat nitrogen tubuh yang terbentuk dari setiap 100 bagian nitrogen yang telah diserap dari suatu makanan yang diperiksa. Nilai biologis dapat didefinisikan sebagai presentase protein terabsorpsi yang diubah menjadi protein tubuh. Semakin banyak protein yang ditahan di dalam tubuh semakin tinggi nilai biologisnya. Sejumlah protein yang telah dicerna dan diserap oleh usus tidak semuanya dapat dimanfaatkan oleh tubuh sehingga daya cerna tinggi tidak menjamin nilai biologis akan tinggi pula. Gambar 8 menjelaskan perbandingan nilai BV pada percobaan ini.

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 12) menunjukkan bahwa BV kelompok ransum kasein tidak berbeda nyata dengan BV kelompok ransum daging sapi dan BV kelompok ransum isolat protein kedelai (p>0.01 dengan uji jarak Duncan). Sementara itu, BV kelompok ransum daging sapi tidak berbeda nyata dengan BV kelompok ransum FSB (p>0.01 dengan uji jarak Duncan). Secara verbal, nilai BV kelompok ransum FSB sebesar 76.71% memiliki arti sejumlah 76.71% nitrogen terabsorpsi oleh tubuh atau tidak terbuang bersama urin.

Suatu makanan dengan nilai BV lebih dari 65% itu dapat dikatakan baik. Semakin besar nilai BV, maka semakin kecil jumlah protein yang diubah menjadi urea (melalui proses deaminasi). Seandainya urea berlebihan dalam darah, harus dibuang melalui ginjal dalam bentuk urin. Hal ini

0

20

40

60

80

100

93.26

b

94.22

b

91.45

b

52.73

a Pro te in Dig estib il ity (% )

True Digestibility

23 mengakibatkan makin keras kerja ginjal untuk membuang urea tersebut dan membahayakan kesehatan (Muchtadi, 2010).

Gambar 8. Perbandingan nilai BV

Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda sangat nyata (p<0.01) dengan uji jarak Duncan.

Net Protein Utilization adalah cara lain yang digunakan untuk mengukur kualitas protein, yang memperhitungkan juga kecernaan protein. NPU adalah persentase protein dalam susunan makanan yang diubah menjadi protein tubuh. Menurut Hawab (2002), asam amino yang masuk ke dalam sel akan dirakit kembali menjadi makromolekul protein sesuai dengan yang dibutuhkan sel. Gambar 9 menjelaskan perbandingan nilai NPU dalam percobaan ini.

Gambar 9. Perbandingan nilai NPU

Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda sangat nyata (p<0.01) dengan uji jarak Duncan.

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 12) menunjukkan bahwa NPU kelompok ransum kasein (84.30%) tidak berbeda nyata dengan NPU kelompok ransum daging sapi (78.81%) dan NPU

0

20

40

60

80

100

90.36

b

83.63

ab

86.30

b

76.71

a BV ( %)

Biological Value

Casein Beef Soy Protein Isolate Fruit Soy Bar

0

20

40

60

80

100 84.30

b

78.81

b

78.93

b

40.64

a NP U (%)

Net Protein Utilization

24 kelompok ransum isolat protein kedelai (78.93%) (p>0.01 dengan uji jarak Duncan). Sementara itu, NPU kelompok ransum FSB (40.64%) berbeda sangat nyata dengan NPU kelompok lainnya (>75%) (p<0.01 dengan uji jarak Duncan). Secara verbal, angka 40.64% pada NPU kelompok ransum FSB menunjukkan sebanyak 40.64% nitrogen dikonsumsi dari susunan makanan yang dapat tertahan dalam tubuh, atau tidak terbuang bersama feses dan urin. Kecilnya nilai NPU kelompok ransum FSB disebabkan oleh daya cerna terhadap protein FSB kecil, dimana nilai NPU sendiri merupakan perkalian dari nilai TD dengan nilai BV.

Secara umum nilai gizi protein kelompok tikus FSB berbeda nyata dengan nilai gizi protein kelompok-kelompok lainnya. Hal ini wajar terjadi karena kandungan serat FSB sangat tinggi (11.97% pada sampel). Ketika penyusunan ransum pun tidak ditambahkan serat dari luar (CMC), bahkan melebihi kadar serat yang direkomendasikan AOAC yang hanya sebesar 1% dalam ransum.

Kandungan serat diduga dapat memberikan pengaruh negatif terhadap aktivitas enzim protease. Penurunan aktivitas enzim protease tersebut diduga disebabkan adanya pengikatan (interaksi) oleh serat pangan (Muchtadi 2001). Hal ini sejalan dengan penelitian Syarief et al (2000) tentang evaluasi mutu gizi produk ekstrusi dari bekatul yang menyatakan bahwa semakin bertambah proporsi serat kasar pada produk tersebut, akan semakin terhambat pencernaan protein di dalam tubuh. Akibat tingginya serat FSB adalah semakin singkat waktu transit makanan di dalam usus, lalu terbuang bersama feses sehingga jumlah nitrogen feses kelompok ini menempati posisi paling tinggi dibandingkan dengan jumlah nitrogen feses kelompok lainnya (Lampiran 11).

Selain akibat dari tingginya kandungan serat FSB, hal ini diduga karena reaksi Maillard yang terjadi saat pengolahan FSB. Muchtadi (2010) menjelaskan bahwa reaksi antara protein dengan gula-gula pereduksi, yang disebut reaksi Maillard, merupakan sumber utama menurunnya nilai gizi protein pangan selama pengolahan dan penyimpanan. Dalam bahan pangan, reaksi ini biasanya berlangsung antara gula pereduksi dengan grup amino asam-asam amino atau protein (terutama grup epsilon-amino lisin dan grup alfa-amino asam amino N-terminal).

Muchtadi (2010) menjelaskan bahwa secara umum akan terjadi penurunan ketersediaan asam amino secara biologis, termasuk leusin, suatu asam amino yang mempunyai sisi rantai yang inert secara kimia. Hal ini terjadi akibat terbentuknya suatu ikatan silang (cross-linkage) antara bermacam-macam amino, yang tahan terhadap serangan enzim protease. Ikatan silang tersebut akan mengurangi kecepatan pencernaan protein, yang mungkin dengan cara mencegah penetrasi enzim atau dengan cara menutupi sisi yang dapat diserang oleh enzim protease.

Dokumen terkait