• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUALANG ANAK PEDALAMAN Muhammad Randi Sukamto

Dalam dokumen Tubuh buyut dan cerita-cerita lainnya (Halaman 112-118)

Namaku Muhammad Randi Sukamto Bin Yuhengky. Aku sedang menikmati kopi, sedang menulis cerita, dan aku sedang sendiri. Kurasa, malam ini cukup adil untukku memulai bercerita dan berimajinasi. Karena sendiri adalah kesempatan emas, datangnya sifat malas yang membuat diri enggan untuk bekerja lebih keras. Namun, sendiri juga kesempatan emas, untuk berpikir lebih keras lalu menghasilkan sebuah kreativitas.

Saya dibesarkan di pedalaman, tepatnya di PT SMI (Sumarco Makmur Indah), Desa Dalil, Kecamatan Bakam, Kabupaten Bangka Induk, Provinsi Bangka-Belitung. Meluluskan Sekolah Dasar di SD Negeri 9 Sumarco.

Malam itu, saya bersama Ayah Ibuku duduk terpaku di depan sebuah kotak kecil yang memancarkan cahaya yang bisa menyakitkan mata. Kotak kecil itu berukuran 15”. Beberapa objek dapat bergerak di dalam benda itu. Ya, kau tahu maksudku, benda itu adalah televisi. Di dalam Televisi itu menceritakan tentang anak sekolahan. Tentu saja aku iri melihat anak-anak itu yang begitu rapi di setiap pagi. Niatku untuk sekolahpun begitu besar. Beruntungnya, aku memiliki orang tua yang baik-baik saja, tidak sakit jiwa. Beruntung lagi, Tuhan memberikan jalan untuk itu. Aku sangat bersyukur.

Setiap pulang sekolah, hari-hariku kuisi dengan bermain bersama teman-teman. Terkadang belajar, terkadang juga membaca buku-buku yang seadanya. Namun, aku lebih sering bermain dan bertualang ke hutan. Mencari biji-biji karet, mencari burung, mencari belalang, memetik berondol (biji kelapa sawit. Untuk dijual), mencari getah latek (untuk dijadikan pulut), bermain sepak bola, berenang di sungai, dan banyak hal lagi. Begitu indah

masa kecil yang ditemani permainan-permainan tradisonal yang begitu menyehatkan.

Ada suatu ketika, pernah ku menyendiri, duduk di bawah pohon kelapa. Menunggu Sunan dan Nopi. Tidak ada kebisingan di sini, tidak ada kendaraan berlalu-lalang, tidak ada teriakan-teriakan atau suara sirene dari pedagang-pedagang, yang ada hanya getaran suara yang dihasilkan oleh udara atau angin yang berhembus, menghantam beberapa benda di sekitarku, termasuk pohon kelapa.

Sesekali ada suara burung gereja, namun itu hanya sebatas sesekali saja. Aku hanya merenung dan berimajinasi. Suara-suara angin yang menenangkan membuatku terbuai bak mendengarkan musik klasik. Aku semakin tenang. Dan tiba-tiba ada suara besar dari belakangku yang bersumber dari suatu benda membuatku seketika berlari, dan beberapa langkah setelah itu aku melihat ke belakang, ternyata itu hanyalah buah kelapa tua yang sudah keriput. Aku pun berhenti berlari, dengan hati yang perlahan tenang.

“Gravitasi,” kata Sunan yang tiba-tiba di belakangku. Membuat aku terkejut lagi.

“Juga kinetik” kata Nopi, sedikit berteriak, dari atas pohon kelapa.

“Terserah” kataku.

Kami memetik kelapa tua waktu itu untuk dijual ke toko Bang Lim. Dan hasilnya cukup banyak, cukup untuk uang jajan beberapa hari. Dengan syarat tidak boros.

Sorenya, aku dan tiga temanku pergi memancing ikan di sungai. Sungai pemandian, yang tidak begitu dalam. Hanya sekitar 1.8 meter dalamnya. Temanku, Sunan, seketika baur pancingnya melengkung ke bawah, ditarik benda yang memiliki tenaga yang

begitu besar, membuat pemilik pancing itu hampir tercebur ke dalam sungai.

“Tolong...” teriak Sunan.

Aku dan Nopi tertegun melihat tingkah lakunya yang seperti orang ketakutan. Kulihat wajahnya yang begitu pucat, tubuhnya bergemetar, sandal sebelah kanannya meloncat ke sungai, sebelah kirinya menyusul. Baur pancingnya terus menari-nari di atas sungai. Kadang ke bawah, kadang ke atas, kadang ke kiri, kadang ke kanan, kadang ke belakang.

“Bantu aku...” teriaknya lagi.

Aku dan Nopi tetap konsisten, terus terdiam, melongo melihat aksi itu. Begitu mengagumkan. Lebih mengagumkan dari film-film di televisi yang pernah kutonton saat itu.

Sunan hampir tercebur ke dalam sungai itu. Namun serentak datangnya Kakek Dullah yang langsung menarik kerah bagian belakang bajunya Sunan, membuat Sunan tercekik. Baur pancing yang ia genggam begitu erat sedari tadi hampir terlepas dari genggamannya, namun langsung disambut oleh Kakek Dullah.

Kakek Dullah mengangkat pancing Sunan. Mahluk hidup yang tarik menarik dengan Sunan tadi ternyata benar-benar ikan. Ikan itu cukup besar, sebesar lengannya Kakek Dullah.

“Wah!” decakku kagum sambil menyadarkanku yang takjub sedari tadi.

Kulihat pancingku. Lepas dari genggamanku, hilang dari tatapan dan lenyap meninggalkanku. Kulihat ke arah 7 meter di sebelahku, mulut Nopi masih ternganga. Kulempar ia dengan genggaman tanah. Ia menatapku, lalu melihat pancingnya. Sama, raib tanpa jejak. Aku dan Nopi kehilangan pancing tanpa mendapatkan ikan. Kemudian, aku dan Nopi menghampiri Sunan dan Kakek Dullah.

“Ini namanya Ikan Baung” kata Kakek Dullah. “Hati-hati. Jangan sampai kena siripnya. Sengatannya berbisa. Menyakitkan.” lanjutnya lagi.

Kami hanya diam. Masih kagum melihat ikan itu. Kakek Dullah beranjak, melanjutkan pekerjaannya di kebunnya. Aku dan Nopi memutuskan untuk pulang, karena pancing kami telah hilang. Sedang Sunan, dengan sombongnya ia menolak untuk pulang, dan mempersilahkan kami pulang duluan.

Aku dan Nopi langsung beranjak. Beberapa langkah kaki kami beranjak, Sunan bergegas menyusul, meninggalkan pancingnya di tepian sungai itu, di tempat duduknya tadi. Kami bertiga memiliki kesamaan atas pengalaman ini. Yang pertama, ini pengalaman pertama kali kami memancing ikan. Yang ke dua, kami pulang tidak membawa pancing. Aku dan Nopi, ditinggalkan pancing. Sementara Sunan, meninggalkan pancing. Ya, seperti itulah nasib orang yang kurang tampan dan kurang cerdas seperti aku dan Nopi.

Esoknya, kami ke sekolah. Kemudian menceritakan ke teman-teman sekelas tentang hal yang terjadi kemarin. Aku tidak ikut bercerita. Hanya Sunan dan Nopi saja yang bercerita ke teman-teman sekelas. Aku hanya menjwab “iya”, saat aku mendengar Sunan atau Nopi berkata dalam betuk pertanyaan “Iya kan, Ran?”

Terserah, apa yang mereka bicarakan. Mereka berkata aku jelek pun, pasti ku iyakan. Karena mataku selalu menuju wanita anggun yang dari awal masuk, duduk di sebelah kiri setelah dua bangku dari bangkuku. Namanya Saadah, artinya kebahagiaan, dan aku setuju. Dia adalah kebahagiaan untukku. Namun sekarang, tidak. Dia pergi, entah ke mana? Ada yang mengatakan bahwa ia pergi ke Madura, untuk melanjutkan pendidikannya. Mungkin juga ia sudah punya pacar, sekarang. Namun, entahlah.

Pernah, kutulis puisi untuknya. Seperti berikut kira-kira. “Terserah, Siapa pacarmu?

Satu hal yang kutahu Kau tulang rusukku Meski kau tak setuju”

BIODATA PENULIS

Nama : Muhammad Randi Sukamto Tempat, tanggal lahir : Dalil, 17 November 1995 Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Jalan Pangkal Pinang-Muntok Km. 42, RT 08, Desa Dalil, Kecamatan Bakam

Agama : Islam

Profesi : Mahasiswa

No. ponsel :0857-1458-4924/0857-6939-7147

NGANGGUNG

Dalam dokumen Tubuh buyut dan cerita-cerita lainnya (Halaman 112-118)

Dokumen terkait