• Tidak ada hasil yang ditemukan

Panitia Tata Batas Kawasan Hutan

Dalam dokumen PENGUKUHAN DAN PENATAGUNAAN KAWASAN HUTAN (Halaman 12-68)

BAB II

PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN

Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta diklat dapat menjelaskan proses Pengukuhan Kawasan Hutan

1. Pengertian

Kegiatan pengukuhan hutan merupakan kegiatan yang sangat penting dalam bidang kehutanan sebagai dasar dalam menentukan status hukum hutan, apakah menjadi hutan lindung, hutan produksi, hutan suaka alam, maupun hutan wisata. Pengukuhan hutan merupakan kegiatan yang berhubungan dengan penataan batas suatu wilayah yang telah ditunjuk sebagai wilayah hutan guna memperoleh kepastian hukum mengenai status dan batas kawasan hutan. Perintah pengukuhan hutan diatur dalam pasal 14 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, yang berbunyi: “Berdasarkan inventarisasi hutan, pemerintah menyelenggarakan Pengukuhan Kawasan Hutan, kegiatan pengukuhan kawasan hutan dilakukan untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan”.

Ketentuan ini dijabarkan lebih lanjut dalam pasal 16 tentang peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan. Berdasarkan hasil inventarisasi hutan, Menteri menyelenggarakan pengukuhan kawasan hutan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah. Pengukuhan kawasan hutan diselenggarakan oleh Menteri Kehutanan untuk memberikan kepastian hukum mengenai status, fungsi, letak, batas dan luas kawasan hutan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan pada pasal 2, menyatakan pengukuhan hutan dilakukan melalui tahapan:

a. Penunjukan kawasan hutan;

b. Penataan batas kawasan hutan; dan c. Penetapan kawasan hutan.

Sedangkan pemetaan kawasan hutan dilakukan pada setiap tahapan pengukuhan kawasan hutan di atas. Proses pengukuhan kawasan hutan dapat dikelompokkan menjadi dua kegiatan yaitu pekerjaan fisik definitif di lapangan dan kegiatan administratif.

Kegiatan pekerjaan fisik di lapangan berupa pemancangan dan penataan batas berupa pemancangan patok batas, pemasangan pal batas dan pengukuran pal batas yang telah dipancang.

Kegiatan administratif merupakan legal aspek atau bukti hukum tertulis atas bukti hukum fisik yang telah dilaksanakan di lapangan yaitu berupa penyusunan dan penandatanganan Berita Acara Tata Batas oleh Panitia Tata Batas dan dilanjutkan dengan penetapan kawasan hutan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan.

2. Dasar Hukum Pelaksanaan Pengukuhan Kawasan Hutan Pelaksanaan Pengukuhan Kawasan Hutan didasarkan pada peraturan dan perundangan sebagai berikut:

a. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;

b. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan;

c. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan;

d. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 399/Kpts-II/1990 Jo.

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 634/Kpts-II/1996 tentang Pedoman Pengukuhan Hutan;

e. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 32/Kpts-II/2001 tentang Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan;

f. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 292/Kpts-II/2001 tentang Tukar Menukar kawasan Hutan, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.16/Menhut-II/2009;

g. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 900/Kpts-II/1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kegiatan Survei Potensi, Pengukuran dan Penataan Batas Areal Kerja Hak Pengusahaan di Bidang Kehutanan;

h. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 57/Kpts-II/1994 tentang Pedoman Penataan Batas Fungsi Hutan;

i. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor P.50/Menhut-II/2009 tentang Penegasan Status dan Fungsi Kawasan Hutan;

j. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan;

k. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.62/Menhut-II/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan;

l. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.25/Menhut-II/2014 tentang Panitia Tata Batas Kawasan Hutan;

m. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.27/Menhut-II/2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.32/Menhut-II/2010 tentang Tukar Menukar Kawasan Hutan;

n. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.28/Menhut-II/2014 tentang Perubahan ketiga atas peraturan menteri kehutanan Nomor P.33/Menhut-II/2010 tentang tata cara pelepasan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi;

o. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.29/Menhut-II/2014 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.34/Menhut-II/2010 tentang Tata Cara Perubahan Fungsi Kawasan Hutan;

p. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.16/Menhut-II/2014 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan;

q. Keputusan Direktur Jenderal Inventarisasi, Tata Guna Hutan dan Kebun Nomor 82/VII-1/1998 tanggal 25 Juni 1998 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengukuhan Hutan;

r. Keputusan Direktur Jenderal Inventarisasi, Tata Guna Hutan dan Kebun Nomor 130/Kpts/VII-1/1998 tanggal 18 Agustus 1998 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan dan Prosedur Pembiayaan Tata Batas Areal Kerja HPH, HPHTI, HPPA, HPTB, dan Pengusahaan hutan lainnya;

s. Surat Direktur Jenderal Inventarisasi, Tata Guna Hutan Nomor 467/A/VII-3/96 tanggal 17 Mei 1996 perihal tata batas kawasan hutan yang bersekutu dengan batas HPH;

t. Surat Direktur Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan Nomor 420/A/VII-3/96 tanggal 10 Mei 1996 perihal penyelesaian berita acara tata batas;

u. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan, sebagaimana telah diubah dengan Nomor 48/Menhut-II/2004;

v. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 613/Kpts-II/1997 tentang Pedoman Pengukuhan Kawasan Suaka Alam dan kawasan Pelestarian Alam Perairan.

3. Penunjukan Kawasan Hutan

Penunjukan kawasan hutan merupakan proses awal suatu wilayah tertentu menjadi kawasan hutan. Pada jaman Hindia Belanda, penunjukan kawasan hutan didasarkan pada Government Besluit (GB), selanjutnya dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Undang-Undang Pokok Kehutanan dan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Huta, penunjukan kawasan hutan didasarkan pada peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, pelaksanaan penunjukan kawasan hutan didasarkan pada peta hasil padu serasi antara Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP).

Penunjukan kawasan hutan meliputi penunjukan Wilayah Provinsi dan penunjukan wilayah tertentu secara parsial. Penunjukan kawasan hutan wilayah provinsi didasarkan atas Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan atau pemaduserasian Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP). Penunjukan wilayah tertentu secara parsial merupakan konsekuensi dari kegiatan penunjukan areal bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan, meliputi:

a. Areal pengganti dari tukar menukar kawasan hutan,

b. Areal kompensasi dari izin pinjam pakai kawasan hutan dengan kompensasi lahan,

c. Areal bukan kawasan hutan seperti tanah timbul, d. Tanah milik yang diserahkan.

Penunjukan kawasan hutan wilayah tertentu secara parsial menjadi kawasan hutan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Usulan atau rekomendasi gubernur dan bupati/walikota, b. Secara teknis dapat dijadikan hutan.

Penunjukan wilayah tertentu untuk dapat dijadikan kawasan hutan dapat dilakukan oleh Menteri dan dapat dilampiri oleh peta penunjukan kawasan hutan.

a. Kriteria Penunjukan Kawasan Hutan

Kriteria penunjukan kawasan hutan dirinci menurut status, keadaan, letak, batas dan luas areal yang akan ditunjuk. Kriteria status areal yang ditunjuk sebagai kawasan hutan adalah:

1) Belum pernah ditunjuk atau ditetapkan Menteri sebagai kawasan hutan (penunjukan parsial),

2) Tidak dibebani hak-hak atas tanah,

3) Tergambar dalam peta penunjukan kawasan hutan dan perairan provinsi yang ditetapkan oleh Menteri atau Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi/Kabupaten (RTRWP/RTRWK).

Kriteria keadaan areal yang ditunjuk sebagai kawasan hutan adalah:

1) Berhutan dan/atau tidak berhutan (%), 2) Dapat dihutankan secara konvensional.

Kriteria letak, batas dan luas areal yang ditunjuk sebagai kawasan hutan adalah:

1) Daratan dan perairan,

2) Batas dan luasnya jelas dan terukur.

Kriteria fungsi hutan areal yang akan ditunjuk sebagai kawasan hutan adalah:

1) Ditentukan berdasarkan PP No. 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional sepanjang menyangkut Taman Buru (TB), Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi Terbatas (HPT), Hutan Produksi Tetap (HP) dan Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK);

2) Ditentukan berdasarkan PP No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) sepanjang menyangkut Cagar Alam (CA), Suaka Margasatwa (SM), Taman Nasional (TN), Tahura dan Taman Wisata Alam (TWA).

b. Standar Penunjukan Kawasan Hutan

Standar penunjukan kawasan hutan terhadap areal yang akan ditunjuk adalah diusulkan oleh Pemda dan DPRD berdasarkan Peta Penunjukan Kawasan Hutan (dan Perairan) Provinsi dan atau Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi/Kabupaten (RTRWP/RTRWK) dan nama kelompok hutannya. Peta Penunjukan dibuat dengan minimal skala 1:

250.000 tergantung luas kawasan yang ditunjuk serta memenuhi kaidah-kaidah pemetaan.

Keputusan penunjukan kawasan hutan oleh Menteri apabila Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Suaka Alam dan Taman Buru dan Hutan Lindung serta Hutan Produksi lintas provinsi. Gubernur apabila Hutan Lindung dan Hutan Produksi dalam wilayah provinsi.

4. Penataan Batas Kawasan Hutan

Setelah dilakukan penunjukan kawasan hutan, maka proses selanjutnya adalah penataan batas kawasan hutan. Penataan batas kawasan hutan di lapangan merupakan proses yang sangat krusial dan banyak permasalahan yang dijumpai yang sulit dan kadang tidak bisa diselesaikan dengan baik.

Tahapan-tahapan dalam kegiatan penataan batas meliputi:

a. Pemancangan patok batas sementara;

b. Pengumuman hasil pemancangan patok batas sementara;

c. Inventarisasi dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga yang di sepanjang trayek batas dan di dalam kawasan hutan;

d. Penyusunan berita acara hasil pemancangan pato sementara;

e. Penyusunan Berita acara pemancangan batas sementara yang disertai dengan pemancangan patok sementara;

f. Pemasangan Pal batas yang dilengkapi dengan lorong batas;

g. Pemetaan hasil penataan batas;

h. Pembuatan dan penandatanganan berita acara tata batas dan peta tata batas;

i. Pelaporan kepada menteri dengan tembusan kepada gubernur Dalam Pasal 14 ayat 3 dalam Permenhut No.P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Hutan, bahwa penataan batas dilakukan terhadap:

1) Batas luar kawasan hutan, 2) Batas fungsi kawasan hutan, 3) Batas kawasan konservasi perairan.

Pemasangan tanda batas dan pengukuran batas kawasan hutan dilakukan oleh:

a. Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) secara swakelola; atau b. Rekanan pelaksana yang mempunyai kompetensi di bidang

pengukuran tanah dan pemetaan.

Sebelum pelaksanaan batas kawasan hutan di lapangan perlu dilakukan kegiatan persiapan-persiapan di antaranya:

a. Persiapan Instansi Pemerintah

Unit Eselon I Kementerian Kehutanan yang mempunyai tugas pokok dan fungsi dalam pengukuhan/penataan batas kawasan hutan adalah Direktorat Jenderal Planologi dengan Unit Pelaksana Teknis (UPT) di Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH). Pengajuan pelaksanaan penataan batas diajukan oleh pengelola kawasan hutan di daerah provinsi/kabupaten/kota kepada Ditjen Planologi melalui BPKH.

b. Pembentukan Panitia Tata Batas

Panitia Tata Batas dibentuk oleh Menteri yang wewenang pembentukannya dilimpahkan kepada Gubernur (Permenhut No.P.47/Menhut-II/2010). Persiapan administrasi pembentukan Panitia Tata Batas dilakukan oleh Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan dan disampaikan kepada Kepala Dinas Provinsi yang membidangi kehutanan untuk diusulkan kepada Gubernur. Panitia Tata Batas dibentuk untuk melakukan penyelenggaraan tata batas di setiap kabupaten/kota.

Panitia Tata Batas Kawasan Hutan bertanggung jawab kepada Menteri melalui Gubernur. Panitia Tata Batas Kawasan Hutan terdiri dari:

1) Panitia Tata Batas Luar Kawasan Hutan,

2) Panitia Tata Batas Fungsi Kawasan Hutan, dan 3) Panitia Tata Batas Kawasan Konservasi Perairan.

Panitia Tata Batas Luar Kawasan Hutan terdiri dari:

1) Bupati/Walikota sebagai ketua merangkap anggota;

2) Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi kehutanan sebagai sekretaris merangkap anggota untuk kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung atau Kepala Unit Pelaksana Teknis yang menangani urusan kawasan hutan konservasi sebagai sekretaris merangkap anggota untuk kawasan hutan konservasi;

3) Unsur Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, sebagai anggota;

4) Unsur Balai Pemantapan Kawasan Hutan, sebagai anggota;

5) Unsur Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten/Kota, sebagai anggota;

6) Camat setempat, sebagai anggota; dan

7) Kepala Desa/Lurah setempat, sebagai anggota.

Penyelenggaraan penataan batas areal kerja izin pemanfaatan hutan yang berimpit dengan batas luar kawasan hutan yang belum ditata batas, dilakukan oleh pemegang izin yang bersangkutan serta hasilnya dinilai dan disahkan oleh Panitia Tata Batas Luar Kawasan Hutan. Penyelenggaraan penataan batas izin penggunaan kawasan hutan dan perubahan peruntukan kawasan hutan yang berimpit dengan batas luar kawasan hutan yang belum ditata batas, dilakukan oleh pemohon yang bersangkutan serta hasilnya dinilai dan disahkan oleh Panitia Tata Batas Luar Kawasan Hutan.

Panitia Tata Batas Fungsi Kawasan Hutan terdiri dari:

1) Bupati/Walikota sebagai ketua merangkap anggota;

2) Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi kehutanan sebagai sekretaris merangkap anggota untuk kawasan hutan produksi dan hutan lindung atau Kepala Unit Pelaksana Teknis yang menangani urusan hutan konservasi sebagai sekretaris merangkap anggota untuk hutan konservasi;

3) Unsur Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten/Kota sebagai anggota; dan

4) Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan, sebagai anggota.

Penyelenggaraan penataan batas areal kerja izin pemanfaatan hutan yang berimpit dengan batas fungsi kawasan hutan yang belum ditata batas, dilakukan oleh pemegang izin yang bersangkutan serta hasilnya dinilai dan disahkan oleh Panitia Tata Batas Fungsi Kawasan Hutan. Penyelenggaraan penataan batas izin penggunaan kawasan hutan dan perubahan peruntukan kawasan hutan yang berimpit dengan batas fungsi kawasan hutan yang belum ditata batas, dilakukan oleh pemohon yang bersangkutan serta hasilnya dinilai dan disahkan oleh Panitia Tata Batas Fungsi Kawasan Hutan. Hasil tata batas sekaligus merupakan batas fungsi kawasan hutan.

Panitia Tata Batas Kawasan Konservasi Perairan terdiri dari:

1) Bupati/Walikota sebagai ketua merangkap anggota;

2) Kepala Unit Pelaksana Teknis yang menangani urusan hutan konservasi sebagai sekretaris merangkap anggota;

3) Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi kehutanan, sebagai anggota;

4) unsur Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, sebagai anggota;

5) unsur Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten/Kota, sebagai anggota;

6) unsur Balai Pemantapan Kawasan Hutan, sebagai anggota;

7) unsur Distrik/Sub Distrik Navigasi setempat, sebagai anggota;

8) unsur Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi Kelautan dan Perikanan, sebagai anggota;

9) unsur Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi Perhubungan, sebagai anggota;

10) Camat setempat, sebagai anggota; dan

11) Kepala Desa/Kelurahan setempat, sebagai anggota.

Panitia Tata Batas Kawasan Hutan mempunyai tugas:

1) Melakukan persiapan pelaksanaan penataan batas dan pekerjaan pelaksanaan di lapangan;

2) Memantau pekerjaan dan memeriksa hasil-hasil pelaksanaan pekerjaan tata batas di lapangan;

3) Mengidentifikasi dan menginventarisasi hak-hak pihak ketiga di sepanjang trayek batas dan di dalam kawasan hutan;

4) Memberi arahan kepada pelaksana dalam membuat trayek batas berdasarkan peta penunjukan kawasan hutan (dan perairan) provinsi dan hasil inventarisasi hak-hak pihak ketiga;

5) Mengesahkan rencana trayek batas dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah rapat pembahasan trayek batas; dan 6) Menilai hasil tata batas.

Pelaksanaan pekerjaan tata batas di lapangan dikoordinasikan oleh Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan. Dalam melaksanakan tugasnya, Panitia Tata Batas berwenang:

1) menetapkan trayek batas kawasan hutan;

2) menentukan langkah penyelesaian terhadap masalah-masalah terkait hak-hak atas lahan/tanah di sepanjang trayek batas dan hak-hak atas lahan/tanah di dalam kawasan hutan;

3) menandatangani Berita Acara Tata Batas Kawasan Hutan dan Peta Tata Batas Kawasan Hutan; dan

4) mengesahkan hasil tata batas.

Lebih lanjut dapat dipelajari Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.25/Menhut-II/2014 tentang Panitia Tata Batas Kawasan Hutan.

c. Persiapan Masyarakat

Persiapan masyarakat dilakukan terutama masyarakat yang berada di sekitar atau berbatasan langsung dengan kawasan hutan. Tahapan yang dilakukan dalam persiapan masyarakat adalah:

1) Penggalian aspirasi masyarakat, berkaitan dengan batas kawasan hutan dan akses masyarakat ke dalam kawasan hutan, terutama berhubungan dengan pemanfaatan lahan dan sumber daya hutan.

2) Sosialisasi penataan batas kawasan hutan dilakukan agar masyarakat dapat mengetahui dan memahami proses penataan batas, mengetahui maksud dan tujuan serta tahapan pelaksanaan penataan batas, termasuk hak dan peran aktif masyarakat.

3) Sebagai wakil masyarakat dalam keanggotaan Panitia Tata Batas (PTB) adalah kepala desa dan tokoh masyarakat/ketua adat masyarakat setempat.

d. Persiapan Proyeksi Batas

Persiapan proyeksi batas perlu dilakukan terlebih dahulu dengan melihat bukti-bukti fisik dan nonfisik batas-batas wilayah yang ada.

Langkah-langkah persiapan proyeksi batas, sebagai berikut:

1) Penyiapan konsep proyeksi batas sebagai bahan rencana trayek batas. Konsep proyeksi batas disusun oleh Ditjen Planologi/BPKH untuk membuat rencana tata batas dan peta kerja berdasarkan kompilasi proyeksi peta-peta yang ada, terutama peta penunjukan kawasan hutan (sesuai Keputusan Menteri Kehutanan) dan peta-peta batas kawasan yang telah dikukuhkan (Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan). Selain itu terdapat juga rencana penyelesaian hak-hak pihak ketiga berdasarkan data sekunder (hasil pengkajian desa) selanjutnya peta proyeksi batas dibahas dalam rapat Panitia Tata Batas. Peta Proyeksi Batas yang disetujui di tingkat Provinsi akan dibahas kembali di tingkat Kabupaten/Kota dalam rapat Panitia Tata Batas.

2) Rapat Panitia Tata Batas untuk membahas rencana proyeksi batas.

Rapat Panitia Tata Batas dilakukan untuk membahas persiapan pelaksanaan penataan batas sekaligus menyampaikan trayek batas.

Pada pertemuan ini wakil masyarakat yang hadir akan menyampaikan permasalahan dan aspirasi masyarakat yang terkait dengan batas, pemanfaatan lahan dan sumber daya hutan di dalam kawasan hutan yang ditunjuk. Hasil pembahasan dari rapat Panitia Tata Batas digunakan sebagai dasar pelaksanaan penataan batas.

e. Pelaksanaan

Setelah semua persyaratan dan prosedur sudah tercukupi dan terpenuhi, pelaksanaan penataan batas dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1) Pertemuan Teknis dan Sosialisasi rencana kerja.

Sebelum pembuatan batas, baik sementara maupun definitif, dilakukan pertemuan teknis untuk membahas rencana kerja pembuatan batas, permasalahan batas, pemanfaatan lahan dan sumber daya hutan di dalam kawasan hutan, serta hasil pembahasan dari rapat Panitia Tata Batas yang digunakan sebagai acuan awal

penyesuaian batas di atas peta. Selain itu, dilaksanakan sosialisasi rencana kerja kepada masyarakat untuk menyampaikan rencana kerja pembuatan batas berdasarkan peta proyeksi batas, termasuk di dalamnya bentuk keterlibatan masyarakat, penggalian permasalahan pihak ketiga (bila masih ada), serta konsekuensi dari pembuatan batas terhadap pemanfaatan lahan masyarakat dan sumber daya hutan di dalam kawasan hutan.

2) Pembuatan batas sementara.

Pengukuran dan pemancangan patok batas sementara dilakukan oleh Panitia Tata Batas didampingi pengelola kawasan hutan dengan melibatkan/mengikutsertakan pemerintah desa dan tokoh masyarakat setempat yaitu masyarakat yang mengetahui trayek batas TGHK dan masyarakat yang memiliki lahan dalam kawasan.

Dengan keterlibatan masyarakat desa dalam pembuatan batas sementara maka dapat diketahui ada atau tidaknya hak-hak pihak ketiga di sepanjang trayek batas yang didasarkan atas data sekunder hasil pengkajian desa dan data hasil sosialisasi. Bila ternyata terdapat hak-hak pihak ketiga dan dapat dibuktikan dengan alat bukti hak (seperti sertifikat atau tanda-tanda lapangan), maka areal tersebut akan diupayakan untuk dikeluarkan dari kawasan hutan.

Untuk mengetahui luasan yang masuk ke dalam kawasan hutan, maka dilakukan dua kali pengukuran dan pemancangan patok batas sementara yaitu berdasarkan:

a) Buku ukur atau TGHK; dan

b) Usulan masyarakat atau lahan yang masuk ke dalam kawasan hutan, dalam hal ini lahan yang berbatasan langsung dengan batas kawasan hutan.

Hasil dari kegiatan pengukuran dan pemancangan batas sementara adalah data jalur batas sementara dan data hak-hak pihak ketiga berdasarkan kondisi di lapangan. Setelah pembuatan batas sementara, dilakukan sosialisasi hasil penataan batas sementara termasuk perubahan yang terjadi berdasarkan usulan masyarakat, baik yang disetujui maupun yang belum atau tidak disetujui. Hal ini dilakukan untuk memperoleh persetujuan dan keberatan dari pihak ketiga, dalam hal ini masyarakat.

Persetujuan dan keberatan pihak ketiga serta hasil penataan batas sementara dimasukkan dalam Berita Acara Pembuatan Batas Sementara. Berita Acara tersebut menjadi bahan pemeriksaan trayek batas di lapangan oleh Panitia Tata Batas apabila ada keberatan dari pihak ketiga. Hasil penataan batas dan pemeriksaan trayek batas oleh Panitia Tata Batas akan dibahas pada Rapat Panitia Tata Batas.

3) Rapat Panitia Tata Batas (PTB)

Hasil penataan batas dan pemeriksaan trayek batas sementara oleh Panitia Tata Batas dibahas kembali pada rapat Panitia Tata Batas. Hal yang dibahas adalah mengenai:

a) Perubahan batas yang terjadi berdasarkan usulan masyarakat;

b) Penyelesaian pihak-pihak ketiga; dan

c) Memutuskan trayek batas definitif serta bentuk pemanfaatan lahan dan sumber daya hutan yang berada di dalam kawasan hutan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu sesuai kebijakan yang berlaku dan diterima oleh masyarakat dan pemerintah.

Keputusan dari rapat Panitia Tata Batas definitif, di mana ada kemungkinan trayek batas akan definitif sesuai dengan trayek batas sementara atau terjadi perubahan sesuai kesepakatan bersama, namun bila permasalahan terlalu besar, maka akan dibawa ke tingkat pemerintah pusat untuk dibahas dan diputuskan lebih lanjut.

Selanjutnya dilakukan pembuatan dan penandatanganan Berita Acara Tata Batas sementara oleh seluruh anggota PTB

4) Pembuatan Batas Definitif

Pengukuran dan pemancangan pal batas definitif dilakukan oleh Panitia Tata Batas (PTB) didampingi oleh pengelola kawasan hutan dengan mengikutsertakan pemerintah desa, tokoh masyarakat dan wakil masyarakat yang ditunjuk pada saat pengukuran dan pemancangan patok batas sementara. Kegiatan pemancangan pal batas definitif dilakukan berdasarkan keputusan rapat Panitia Tata Batas yang dituangkan dalam peta trayek batas definitif. Hasil penataan batas definitif dimasukan dalam Berita Acara Pembuatan Tata Batas Definitif. Berita Acara tersebut menjadi bahan dalam pembuatan Berita Acara Tata Batas.

5) Pembuatan dan Penandatanganan Berita Acara Tata Batas (BATB) Berita Acara Tata Batas (BATB) dibuat dan ditandatangani oleh seluruh anggota Panitia Tata Batas (PTB) sebagai bahan dalam pengesahan batas kawasan hutan secara parsial dan penetapan kawasan hutan.

f. Kriteria Penataan Batas

Kriteria penataan batas dirinci menurut status, trayek batas, patok dan pal batas, dan Panitia Tata Batas Kawasan Hutan. Kriteria status areal

Kriteria penataan batas dirinci menurut status, trayek batas, patok dan pal batas, dan Panitia Tata Batas Kawasan Hutan. Kriteria status areal

Dalam dokumen PENGUKUHAN DAN PENATAGUNAAN KAWASAN HUTAN (Halaman 12-68)

Dokumen terkait