KISAH DAN DAKWAH DALAM AL- QUR’AN
A. Kisah dalam Al- Qur’an
1. Tujuan Kisah dalam Al- Qur’ ân
Ditinjau dari sudut maksud dan tujuan, makna-makna sejarah tidak menjadi agenda maksud dan tujuan al-Qur‟ân. Kesimpulan ini telah difahami oleh para mufassir dan ditegaskan juga oleh al-Qur‟ânsendiri. Oleh karena itu, kisah-kisah al-Qur‟ântidak relevan untuk dijadikan referensi sejarah, karena pada hakikatnya, sejarah tidak menjadi bagian dari unsur ajaran agama.Dan selanjutnya, yang harus diyakini kebenaran dari kisah-kisah tersebut adalah nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.43
Kisah-kisah al-Qur‟ânpada suatu saat juga difungsikan sebagai media untuk melindungi Nabi Muhammad saw dan ajarannya dari serangan orang-orang musyrik yang meragukan validitas wahyu ilahi yang turun kepadanya. Khalafullah menyebut bahwa kisah dalam al-Qur‟ânmemiliki makna sosial 44 dan personal.45Nilai-nilai sosial kemasyarakatan dan psikologis yang dipesankan oleh al-Qur‟ânmelalui ayat-ayatnya adalah sebuah keniscayaan yang harus dibanggakan oleh orang Muslim. Tidak sampai di situ saja, seorang muslim juga berkewajiban menghayati dan menerapkannya dalam relaitas sosial agar terbukti bahwa kaidah-kaidah tersebut adalah bagian dari kemukjizatan al-Qur‟ân. Sesungguhnya aturan-aturan sosial-personal yang umum, tidak akan pernah mengalami perubahan karena perbedaan kondisi, waktu dan tempat. Adapun beberapa kondisi khusus suatu umat yang digambarkan al-Qur‟ânseperti dalam kisah kaum‟Ad, penduduk Madyan dan kaum Nabi Syu‟aib di mana mereka
43 Muhammad A. Khalafullah, al-Fann al-Qashash …, op. cit., h. 55 44
Yang dimaksud dengan makna sosial di sini adalah gagasan-gagasan yang disampaikan al-Qur‟an tentang nilai-nilai tertentu yang berfungsi sebagai lokomotif kemajuan dan dinamisator suatu bangsa atau umat. Gagasan-gagasan tersebut bersifat universal sebagai gambaran dari sunnatullah yang akan selalu relevan pada kondisi, waktu dan tempat yang berbeda dan kapan saja.
45
Adapun yang dimaksud dengan ketentuan-ketentuan personal (kepribadian universal) di sini adalah naluri-naluri atau kondisi kejiwaan , atau emosi atau mental kepribadian yang ikut menentukan berhasil tidaknya sebuah ajakan kemajuan. Artinya fenomena-fenomena psikologis personal yang ikut menentukan keberhasilan sebuah prinsip. Fenomena-fenomena tersebut akan muncul atau terlihat manakala seorang muslim merasakan adanya getaran sebuah peristiwa atau perubahan zaman, seperti ketakjuban yang luar biasa, sikap-sikap konservatif dan radikal.
memiliki kondisi-kondisi khusus yang tidak dimiliki umat lain adalah sebuah realita yang tidak bisa dipukul rata secara umum.46
Makna-makna itulah yang oleh al-Qur‟ândijadikan sebagai ketentuan-ketentuan universal yang digambarkan dalam setiap kisah yang menceritakan pertentangan antara para rasul dan umatnya saat itu.Ketentuan-ketentuan universal tersebut, bila diperhatikan, pada akhirnya menjelma menjadi bagian dari sunnatullah yang selalu relevan untuk setiap tempat dan waktu. Contohnya, seorang rasul selalu diutus kepada suatukaum dengan bahasa kaum tersebut, pada setiap diutus seorang rasul atau nabi, dan setiap umat akan menemui kematian dan masih banyak lagi.47
Mengutip Khalafullah bahwa tujuan terpenting dari kisah dan bahkan menduduki sebagi tujuan utama menurut al-Qur‟ânadalah:48
1. Meringankan beban jiwa atau tekanan para nabi dan orang-orang beriman. Adakalanya beban tersebut sangat berat dan sebabnya sudah dapat dibaca yaitu perkataan orang-orang musyrik dan prilaku serta
46
Muhammad A. Khalafullah, al-Fann…, op. cit., h. 55. 47
Berkaitan dengan spesifikasi hasil akhir dari setiap maksud dan tujuan kisah, telah diketahui bahwa ternyata makna-makna sejarah adalah lahan emas para orientalis, misionaris dan orang-orang kafir untuk mencari kesalahan dan kelemahan ajaran Nabi Muhammad saw. Sementara orientalis berpendapat bahwa kisah-kisah al-Qur‟an adalah cuplikan dari perjanjian
Lama.Menanggapi tuduhan ini, terlebih dahulu perlu digarisbawahi bahwa memang ada persamaan antara kedua kitab suci itu dalam beberapa kisahnya, walau perbedaanya pun ada.Persamaan bukanlah bukti bahwa yang datang kemudian menjiplak dari yang sebelumnya.Persamaan itu adalah akibat persamaan sumber gambar/lukisan.Demikian juga
al-Qur‟an dengan Taurat.Keduanya bersumber dari satu sumber.Pemberi informasi kisahnya sama, yakni dari Allah swt. Ini tentu sebelum terjadinya penyimpangan. Jika ada orang sebelum kita melukis candi Borobudur, lalu suatu ketika kita pun ke sana dan melukisnya, kemudian ternyata bahwa lukisan kita sama dengan lukisan orang sebelumkita, maka itu bukan bukti bahwa kita menjiplak lukisannya, karena memang kita tidak menjiplaknya tetapi persamaan itu lahir karena sumber yang dilukis sama.
Maurice Bucaille, yang belum lama ini telah dikutip pendapatnya tentang Firaun dan Musa, juga menggaris bawahi perbedaan dan beberapa perincian kisah al-Quran dan perjanjian Lama misalnya tentang topan dan air bah yang melanda umat Nabi Nuh. Dalam perjanjian Lama
dinyatakan bahwa air bah tersebut “datang meliputi bumi” (kejadian 7:7) dan bahwa tuhan melalui
air bah akan menghapus dari muka bumi segala yang ada yang ku jadikan itu (kejadian 7:4, kejadian 7:21-22-23). Sedang dalam al-Qur‟an secara tegas di nyatakan bahwa air bah dan penenggelaman tersebut adalah sebagai tindakan Tuhan tehadap kaum Nabi Nuh yang membangkang, bukan seluruh bumi (Qs. Al-fuqan [25]: 30). Disisi lain, berbeda dengan perjanjiannya, al-Quran tidak menetapkan kapan terjadinya air bah tersebut sebagai mana tidak juga menjelaskan beberapa lama ia berlangsung bucaille menyimpulkan bahwa apa yang dikemukakan oleh perjanjian Lama, sama sekali tidak dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
sikap mereka yang suka mendustakan nabi Muhammad saw dan al-Qur‟ânitu sendiri. Ini berarti juga mendustakan ajaran Islam. Itulah faktor utama yang membuat Nabi Muhammad merasa sempit dan merasa beban.
2. Untuk menguatkan keimanan dan keyakinan jiwa tehadap aqidah Islam dan mengorbankan semangat berkorban baik jiwa maupun raga di jalan Allah swt. Artinya, kisah juga dimaksudkan untuk membetuk sebuah jiwa yang militan.49Sentuhan-sentuhan jiwa tadi bila mengena dan mengakar dalam jiwa maka secara otomatis akan menumbuhkan semangat baru yang lebih dahsyat untuk meneruskan dakwah. Atas dasar tujuan tadi, al-Qur‟ânmembimbing jiwa manusia kepada nilai-nilai baru agar diimani dan diamalkan serta ditularkan kepada yang lain. Bila hal itu tercapai maka manusia tidak akan tergoyah imannya walapun diterpa badai sekencang apapun. Dalam memberikan petunjuk kepada hal-hal ini, al-Qur‟ânselalu memperhatikan situasi, kondisi dan waktu. Problem-problem pokok yang berkaitan dengan dengan norma-norma keagamaan dan sosial ini tak lain adalah tauhid, kemanusian para rasul, dan persoalan mukjizat dan masih banyak lagi.
3. Menumbuhkan kepercayaan diri dan ketentraman atau menghilangkan ketakutan dan kegelisahan.Kisah-kisah yang bertujuan seperti ini sangat penting dalam perjuangan dakwah Islam. Faktor-faktor dari segi ini juga yang menjadikan al-Qur‟ânsering melukiskan kemenangan para pejuang Allah dan orang-orang yang beriman dan tak luput juga menceritakan tentang kekalahan dan kehancuran orang-orang kafir yang selalu menentang ajaran Allah. Kisah-kisah ini dapat disaksikan dalam kumpulan kisah-kisah al-Qur‟ânpada surat al-A‟raf, al- Syu‟ara‟
49
Al-Qur‟an bertujuan dengan memaparkan kisah-kisahnya agar manusia dapat mengambil pelajaran dari pengalaman dan kesudahan tokoh atau masyarakat yang dikisahkannya, kalau baik agar diteladani dan kalau buruk agar di hindari. Kisah-kisah dalam al-Qur‟an ada yang
mengibaratkannya dengan kayu gharu,dalam arti kayu tersebut secara berdiri sendiri tidak ubahnya dengan kayu-kayu yang lain, tetapi begitu ia dibakar ia mempersembahkan aroma yang sangat harum yang tidak dipersembahkan oleh jenis kayu-kayu lain.
dan al-Qamar.Dalam kumpulan kisah-kisah tersebut akan kita dapatkan bahwa al-Qur‟ânhanya membidik hal-hal tertentu dari berita umat terdahulu yang diketahui secara umum sehingga tidak semua unsur diceritakan.Al-Qur‟an hanya mengambil bagian kejadian yang hanya dapat digunakannya untuk sampai pada tujuan yaitu menumbuhkan rasa ketakutan dan kegelisahan di hati orang-orang kafir dan kaum musyrik, serta sekaligus menumbuhkan rasa tentram dan percaya diri di hati orang-orang beriman.
4. Untuk membuktikan kerasulan Nabi Muhammad dan wahyu yang diturunkan Allah kepadanya. Mayoritas kisah-kisah bertujuan seperti ini melukiskan bahwa kondisi Nabi Muhammad sebagai seorang rasul adalah sama dengan kondisi dan pengalaman para rasul terdahulu seperti Nabi Ibrahim, Nabi Musa dan lain-lainnya.
Dalam bukunya, al-Tashwir al-Fanni fi al-Qur‟an, Sayyid Quthb lebih detail menjelaskan tujuan-tujuan kisah al-Qur‟an sebagai berikut:50
1. Untuk mengukuhkan wahyu dan risalah dari Allah. Muhammad bukanlah seorang penulis dan bukan pula seorang pembaca. Tidak pernah diketahui bahwa beliau pernah duduk dan bergaul dengan rahib-rahib Yahudi dan pendeta-pendata Nasrani. Kemudian datanglah kisah-kisah dalam al-Qur‟an ini.
2. Untuk mengetengahkan bahwa agama itu sepenuhnya dari sisi Allah dari masa Nabi Nuh hingga masa Nabi Muhammad. Dan bahwa semua mukmin adalah satu umat yang Tuhannya hanya Allah semata. Sering disebutkan kisah beberapa orang Nabi dihimpunkan dalam satu surat, disampaikan dengan metode yang khusus untuk mengukuhkan hakikat ini. Dan mengingat hal ini adalah tujuan pokok dalam dakwah, maka dakalanya pemaparan kisah-kisah ini diulang-ulang seperti yang telah lazim ada dalam al-Qur‟an, tetapi dengan adanya perbedaan dalam
50 Sayyid Quth, al-Tashwir al-Fanni Fi al-Qur‟an, (Cairo: Dar el-Ma‟ruf, 1994), h. 120-128.
ungkapan guna menguatkan hakikat tauhid ini dan memperkuat kesannya dalam jiwa manusia.
3. Untuk menerangkan bahwa semua agama samawi pada dasarnya berlandaskan kepada keesaaan yang datang dari Allah yang Maha Satu. Karena itu, kebanyakan kisah para Nabi dihimpun dalam satu kisah dan diulang-ulang di dalamnya tentang aqidah ini.
4. Untuk menerangkan bahwa sarana yanng digunakan oleh para Nabi dalam berdakwah adalah sama, dan bahwa tanggapan kaumnya kepada mereka adalah serupa, walaupun agama yang disampaikan berasal dari sisi Allah dan bahwa agama itu berdiri di atas landasan yang sama. Karena itu, kisah-kisah kebanyakan para Nabi diketengahkan secara bersamaan pula dan di dalamnya diulang-ulang tentang metode dakwah mereka.
5. Untuk menerangkan pokok ajaran yang menyatukan antara agama Muhammad dan agama Ibrahim secara khusus, kemudian agama-agama Bani Israil secara umum.
6. Untuk menerangkan bahwa Allah pada akhirnya menolong para Nabi-Nya dan membinasakan orang-orang yang mendustakan. Demikian itu untuk mengokohkan hati Muhammad dan mempengaruhi jiwa orang-orang yang diserunya kepada keimanan.
7. Untuk membenarkan berita gembira dan peringatan, dan memaparkan contoh nyata dari pembenaran ini.
8. Dalam banyak kisah, nampak jelas bahwa Allah berpihak kepada para Nabi dan menimpakan azab yang pedih kepada kaum-kaum yang mendustakan.
9. Untuk menerangkan nikmat Allah yang telah dilimpahkan-Nya kepada para Nabi dan orang-orang pilihan-Nya. Maka terbentuklah serial kisah para Nabi yang di dalamnya menampakkan nikmat Allah pada semua adegannya.
10.Untuk mengingatkan anak-anak Adam akan penyesatan yang dilakukan oleh setan dan menampakkan permusuhan abadi antara setan dan manusia sejak masa Nabi Adam.
11.Untuk menunjukkan kekuasaan Allah yang selalu menyertai peristiwa luar biasa dalam setiap kejadian.