• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara body image dan kecenderungan pembelian impulsifpada remaja.

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu psikologi, khususnya pada Psikologi Konsumen yang terkait dalam kecenderungan pembelian secara impulsif (impulsive buying) dan body

image.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, informasi dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi remaja untuk evaluasi diri terkait citra tubuh dan kecenderungan pembelian secara impulsif, sehingga dapat meningkatkan kesadaran diri terhadap perilaku membeli suatu produk secara spontan.

8

BAB II

LANDASAN TEORI

A. PEMBELIAN IMPULSIF

1. Pengertian Pembelian Impulsif

Pembelian impulsif adalah suatu tindakan pembelian yang tidak disadari yang terbentuk ketika memasuki toko (Engel dan Blackwell, 1982 dalam Muruganantham dan Bhakat, 2013). Rook (1987) menambahkan bahwa selama pembelian impulsif, konsumen mengalami keinginan sesaat, kuat dan gigih. Hal tersebut ditandai dorongan membeli yang tidak diinginkan, reaksi non-reflektif yang terjadi setelah terkena rangsangan dalam toko (Rook, 1987).

Pembelian impulsif adalah perilaku yang melibatkan pengambilan keputusan secara cepat dan kecenderungan untuk segera membeli produk (Gardner, 1993 dalam Mukhlis, 2013). Beatty dan Ferrell (1998) menambahkan bahwa pembelian impulsif adalah pembelian yang tiba-tiba dan cenderung spontan tanpa ada niat langsung untuk membeli produk secara spesifik, serta tanpa banyak refleksi atau evaluasi secara lebih mendalam terhadap produk yang dibeli. Pendapat tersebut didukung oleh Rook (1995) dan Verplanken (2001) yang mendefinisikan perilaku impulsif merupakan perilaku yang melibatkan keinginan spontan dan unreflective untuk membeli, tanpa ada pertimbangan mengapa dan untuk apa alasan orang harus memiliki produk. Verplanken dan Herabadi (2001) secara lebih

lanjut berpendapat bahwa pembelian impulsif juga berkaitan dengan orang yang ingin melarikan diri dari konsep diri negatif seperti rendah diri, perasaan atau suasana hati yang negatif.

Hal tersebut berbeda dengan pendapat Kacen dan Lee (2002) yang menjelaskan bahwa pembelian impulsif lebih pada upaya untuk membangkitkan gairah atau emosi.Emosi dari konsumen sering dikaitkan dengan suasana hati, maka perilaku konsumen yang melakukan pembelian impulsif sering ditandai dengan rasa senang hati (Bayley dan Nancarrow, 1998). Pendapat tersebut didukung oleh Sneath et al. (2009, dalam Muruganantham dan Bhakat, 2013) yang menambahkan bahwa pembelian impulsif merupakan upaya dalam meningkatkan mood.

Pembelian impulsif terjadi karena minimnya informasi yang diterima akibat dari pengambilan keputusan yang relatif singkat. Pembelian impulsif terjadi dalam rentang waktu yang lebih singkat daripada pembelian yang direncanakan (Dholakia, 2000 dalam Dawson dan Kim, 2009). Hausman (2000, dalam Dawson dan Kim, 2009) menambahkan pembelian impulsif berkaitan dengan seberapa cepat pengambilan keputusan yang dibuat oleh individu. Keputusan untuk membeli terjadi setelah adanya paparan produk (Dawson dan Kim, 2009) dan keputusan untuk membeli dibuat dengan cepat (Rook, 1987).

Berdasarkan beberapa definisi yang telah dijelaskan, maka dapat disimpulkan bahwa pembelian impulsif merupakan perilaku akibat dari dorongan emosional yang melibatkan pengambilan keputusan secara cepat

dan cenderung spontan, tanpa ada evaluasi lebih mendalam, serta sebagai bentuk upaya dalam meningkatkan mood atau gairah emosi.

2. Aspek-aspek Pembelian Impulsif

Verplanken (2001) mencoba menjelaskan adanya aspek-aspek terjadinya pembelian impulsif. Aspek-aspek tersebut dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

a. Aspek Afektif

aspek afektif atau aspek emosional ini meliputi respon emosional yang muncul terlebih dahulu dan secara serentak. Respon emosional yang dialami oleh konsumen berupa perasaan gembira, sukacita, ketakutan dan kepuasan selama proses membeli (Cinjarevic, 2010). Selain itu, muncul perasaan tiba-tiba dan keinginan untuk segera memiliki sesuatu sebelum melakukan pembelian impulsif (verplanken dan Herabadi, 2001).

Dittmar dan Drury (2000) membantu menjelaskan bahwa konsumen yang melakukan membeli impulsif tidak hanya akan mengalami perasaan bahagia dan gembira setelah melakukan proses belanja tetapi juga perasaan menyesal, hal ini berkaitan dengan uang konsumen yang berkurang. Dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Coley dan Burgess (dalam Pricilia, 2003) menyatakan bahwa dari perpaduan aspek afektif ini perasaan seseorang akan menghasilkan

sebuah dorongan untuk membeli, dan disaat konsumen merasakan perasaan ini maka akan terjadi suatu perilaku pembelian impulsif.

b. Aspek Kognitif

Verplanken dan Herabadi (2001) menyatakan bahwa aspek kognitif yang dimaksud adalah tidak adanya pertimbangan dan perencanaan serta alasan untuk melakukan pembelian suatu barang. Dengan kata lain, konsumen melakukan pembelian tidak dipertimbangkan dan direncanakan terlebih dahulu.

Aspek kognitif selain berkaitan dengan kurang adanya perencanaan juga berkaitan dengan kurang adanya pemikiran secara lebih mendalam ketika melakukan pembelian. Rock (1987) menjelaskan bahwa pihak konsumen kurang adanya evaluasi dalam melakukan pembelian. Selain itu, dalam proses pembelian impulsif konsumen cenderung memproses informasi yang diterima dengan waktu yang sangat cepat sehingga kuantitas dan kualitas dari informasi yang diterima konsumen sangatlah sedikit, sertatidak adanya evaluasi terhadap konsekuensi dalam waktu jangka panjang (Lee dan Kacen, 2008 dalam Činjarević 2010).

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa aspek dari pembelian impulsif adalah aspek afektif yang berkaitan dengan kecenderungan konsumen melakukan pembelian karena ada rasa senang, gembira, dan adanya kepuasan saat melakukan pembelian, serta adanya

aspek kognitif yang berkaitan dengan kecenderungan konsumen yang kurang melakukan pertimbangan dan perencanaan dalam melakukan pembelian. Jadi kedua aspek pembelian impulsif yang ada dalam penelitian ini, yaitu aspek afektif dan kognitif akan dijadikan sebgai acuan dalam skala kecenderungan pembelian impulsif.

3. Faktor-Faktor Pembelian Impulsif

Youn dan Faber (2000 dalam Dawson dan Kim, 2009) mengatakan bahwa seseorang dapat mengalami pembelian impulsif karena dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

a. Faktor Internal

Rook dan Hoch (1985) menekankan bahwa pembelian impulsif dimulai dengan sensasi dan persepsi konsumen yang kemudian didorong oleh stimulus eksternal dan diikuti oleh dorongan tiba-tiba untuk membeli (saya melihat, saya ingin membeli). Sneath et al. (2009 dalam Muruganantham dan Bhakat, 2013) berpendapat bahwa perilaku pembelian impulsif akibat dari individu yang depresi dan berupaya untuk meningkatkan mood. Banyak peneliti telah menunjukkan hubungan antara perilaku pembelian impulsif dan suasana hati konsumen atau keadaan emosional, citra diri, kesejahteraan subjektif, faktor demografi seperti usia dan jenis kelamin, serta harga diri (Činjarević 2010).

Loudon dan Bitta (1993) menyatakan bahwa perilaku pembelian impulsif dipengaruhi oleh demografi, karakteristik sosial ekonomi, kepribadian dan konsep diri. Secara khusus penelitian yang dilakukan oleh Engel (1994) memaparkan bahwa perbedaan perilaku yang terjadi pada konsumen adalah karena perbedaan konsep diri konsumen.

Konsep diri terbagi menjadi beberapa bagian, salah satu bagian dari konsep diri terdiri dari body image, yaitu sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi penampilan dan potensi tubuh saat ini dan masa lalu yang secara berkesinambungan dimodifikasi dengan pengalaman baru setiap individu (Stuart dan Sundeen, 1995).

b. Faktor Eksternal

Konsumen yang berada didalam toko akan menerima berbagai rangsangan baik langsung maupun tidak langsung. Hoyer dan Macinner (1999 dalam Muruganantham dan Bhakat, 2013) menjelaskan bahwa lingkungan toko sangat merangsang pembelian impulsif. Hal ini dikarenakan atmosfer toko dipengaruhi oleh atribut sepertipencahayaan, tata letak, presentasi barang dagangan, perlengkapan, penutup lantai, warna, suara, bau, dan pakaiandan perilaku penjualandan tenaga pelayanan (Muruganantham dan Bhakat, 2013). Pada penelitian sebelumnya, penampilan produk dan penambahan latar belakang musik

didalam toko juga dapat memberi pengaruh pada konsumen (Verplanken dan Herabadi, 2001).

Tidak hanya lingkungan toko, harga suatu produk merupakan faktor utama yang menarik pembelian impuls (Guptaet. al, 2009). Kaur dan Singh (2007) menambahkan bahwa stimulan sensorik seperti bau atau rasa dari produk memainkan peran penting dalam menarik perhatian konsumen. Selain dari citra produk, kegiatan promosi produk yang dilakukan oleh pemasar dapat mendorong terjadinya perilaku pembelian impulsif (Harmanciouglu, 2009, dalam Muruganantham dan Bhakat, 2013). Di dalam toko, teknik promosi digunakan untuk meningkatkan pembelian impuls dari produk. Beberapa contoh teknik promosi tersebut termasuk pengaturan di dalam toko, posisi rak, kupon dan demonstrasi produk di dalam toko (Muruganantham dan Bhakat, 2013).

Selain lingkungan toko dan promosi produk, dengan adanya perkembangan teknologi berupa kartu kredit dan toko online semakin membuat konsumen untuk melakukan pembelian. Perkembangan teknologi seperti layanan diri, tampilan inovatif produk dibandara telah membuat pembeli terbiasa untuk melakukan pembelian impulsif secara berlebihan (Michael et al, 2010). Adanya kartu kredit dan insentif untuk belanja ekstra memberikan kesempatan bagi pembeli online membuat kunjungan ke toko ritel online yang dapat menghasilkan peningkatan pembelian impulsif. Dawson dan Kim (2009) memperkirakan bahwa

dengan potensi pertumbuhan yang luar biasa dari belanja online, ada ruang bagi konsumen untuk terlibat dalam pembelian impulsif.

Jadi dapat disimpulkan, bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembelian impulsif, yaitu faktor eksternal yang terdiri dari lingkungan toko, citra produk, teknik promosi dan perkembangan teknologi.Sedangkan faktor internal terdiri dari faktor demografi, mood, kepribadian dan konsep diri.

B. BODY IMAGE

1. Pengertian Body Image

Konsep diri merupakan cara seseorang untuk melihat diri sendiri, pada saat yang sama seseorang juga menganggap orang lain mempunyai gambaran yang sama (Stanton, 1984).Stuart dan Sundeen (1995) menyatakan bahwa salah satu bagian dari konsep diri adalah body image.

Salah satu pelopor penelitian tentang body image adalah Paul Shilder (1950, dalam Gattario, 2013) yang mendefinisikan body image sebagai gambaran tubuh diri sendiri yang dibentuk dalam pikiran. Sedangkan peneliti lain mendefinisikan body image sebagai suatu gambaran internal individu terhadap penampilan fisik individu dan persepsi unik terhadap tubuhnya (Thompson, 2002).

Perkembangan penelitian pun terus dilakukan oleh beberapa peneliti. Pada tahun 1999, Grogan menambahkan bahwa body image tidak hanya pandangan individu tentang pikiran tetapi juga perasaan terhadap tubuhnya.Perasaan individu terhadap tubuhnya dapat berupa penilaian

positif atau negatif, ini adalah pengertian secara umum mengenai body

image. Cash (dalam Thompson, 2002) mengungkapkan bahwa tampilan

internal seseorang berkaitan juga dengan pikiran dan perasaan sehingga dapat mengubah perilaku individu dalam situasi tertentu. Sebagai contoh, seseorang yang merasa tidak percaya diri dengan penampilannya akan berusaha untuk mengatasi masalahnya tersebut dengan membeli pakaian dengan merk ternama sehingga mampu meningkatkan kepercayaan diri si pemakai.

Gardner (dalam Mukhlis, 2013) mengemukakanbody image sebagai gambaran yang dimiliki seseorang dalam pikirannya tentang penampilan (misalnya ukuran dan bentuk) tubuhnya, serta sikap yang dibentuk seseorang terhadap karakteristik-karakteristik dari tubuhnya.Aziz (2006, dalam Romansyah 2012) menambahkan bahwa body image adalah sikap individu terhadap tubuhnya sendiri, termasuk penampilan fisik, struktur dan fungsinya.

Honigman dan Castle (dalam Bestiana, 2007) menyatakan body

image sebagai gambaran mental seseorang terhadap bentuk dan ukuran

tubuhnya, bagaimana orang tersebut akan mempersepsikan dan memberikan penilaian terhadap apa yang dia pikirkan dan rasakan terhadap ukuran dan bentuk tubuhnya, serta bagaimana kira-kira penilaian orang lain terhadap dirinya.

Berdasarkan beberapa definisi yang telah dijelaskan, maka dapat disimpulkan bahwa body image merupakan gambaran mental yang

menggambarkan persepsi, pikiran dan perasaan, serta perubahan sikap terhadap bagian-bagian tubuh atau penampilan fisik, berdasarkan penilaian terhadap penampilan dirinya, serta memperkirakan bagaimana orang lain menilai dirinya.

2. Aspek-aspekBody Image

Menurut Cash (2004) aspek dalam body image terkait antar satu dengan yang lain, yaitu:

a. Aspek Perseptual

Aspek ini meliputi tentang pola pikir individu dalam melihat tubuhnya yang dikaitkan pada bentuk tubuh secara faktual. Solso & Maclin (2007) menjelaskan bahwa proses persepsi melibatkan proses kognisi dalam penginterpretasian terhadap informasi sensorik. Krech (Miftah Thoha, 2007) menyatakan persepsi adalah proses kognitif yang komplek yang mampu menghasilkan suatu gambar unik tentang keadaan sebenarnya.

b. Aspek Afektif

Aspek ini terkait dengan perasaan individu terhadap penampilan tubuhnya dalam waktu itu juga,

c. Aspek Kognitif

Aspek ini meliputi tentang pikiran dan keyakinan individu dalam memandang bentuk dan penampilan individu tersebut.Banfield & McCabe (2002 dalam Baker dan Gringart, 2009) menjelaskan bahwa

aspek kognitif juga meliputi kepercayaan individu mengenai bentuk tubuh dan penampilan. Sugiarmin (2009) menambahkan bahwa aspek kognitif juga meliputi perkembangan proses berpikir, termasuk atensi, persepsi, daya ingat dan imajinasi.

d. Aspek Perilaku

Aspek perilaku atau kecenderungan perilaku merupakan respon atau reaksi individu yang muncul dikarenakan adanya perasaan, pikiran dak keyakinan individu.Banfield & McCabe (2002 dalam Baker dan Gringart, 2009) menjelaskan bahwa dalam aspek perilaku juga terdapat aspek konatif, yaitu dalam struktur sikap tidak hanya menunjukkan bagaimana perilaku tetapi juga kecenderungan perilaku.

Peneliti menyimpulkan bahwa dalam penelitian akan menggunakan tiga aspek, yaitu aspek afektif, aspek kognitif dan aspek perilaku. Peneliti menggabungkan aspek perseptual dan aspek kognitif karena aspek perseptual dapat diartikan sebagai bagian dari aspek kognitif.Hal tersebut juga sebagai bentuk upaya untuk mempermudah batas penelitian dari setiap aspek tersebut.

3. DampakBody Image

Ketidakpuasan seseorang terhadap tubuhnya bisa muncul karena orang tersebut telah memiliki konsep tubuh ideal dalam pikirannya, namun dia merasa bahwa tubuhnya sendiri tidak atau belum memenuhi kriteria tubuh ideal tersebut (Cash dan Szymansk, 1995). Hal ini berpengaruh

terhadap konsep diri seseorang. Body image akan menentukan cara seseorang menilai dirinya, positif atau negatif. Kalau seseorang menilai dirinya positif, maka seseorang itu juga yakin akan kemampuan dirinya, begitupun sebaliknya (Sloan, 2002 dalam Romansyah 2012). Dengan kata lain, ketika seseorang memandang dirinya positif maka orang tersebut akan menerima keadaan tubuhnya. Begitu juga sebaliknya, ketika seseorang memandang negative tentang dirinya maka cenderung menolak atau tidak puas dengan tubuhnya. Burn (2012 dalam Sari 2012) menambahkan, orang dengan body image yang negatif akan cenderung memiliki kepercayaan diri dan harga diri yang rendah pula. Pada penelitian yang dilakukan oleh Dacey dan Kenny (1994 dalam Sari dan Siregar, 2012) mengemukakan bahwa persepsi negatif remaja terhadap body image akan menghambat perkembangan kemampuan interpersonal dan kemampuan membangun hubungan yang positif dengan remaja lain.

Hurlock (1993 dalam Sari dan Siregar, 2012) menjelaskan bahwa konsep diri berkaitan dengan cara orang memandang body image atau body

image.Individu dengan konsep diri yang negatif akan cenderung

memandang dirinya tidak berharga. Bahkan pada body image akan selalu dipandang negatif. Begitu pula sebaliknya, pada konsep diri positif individu akan cenderung memandang dirinya sebagai juga positif. individu akan lebih menghargai dengan keadaan dirinya (hurlock, 1993 dalam Sari dan Siregar, 2012).

Rice dan Dolgin (2002 dalam Muklis, 2013) menambahkan bahwa pada remaja perempuan, ketidakpuasan terhadap body image berdampak pada harga diri yang lebih rendah dibanding remaja perempuan yang lain. Ketika perempuan memliki harga diri yang rendah maka akan cenderung mengalami depresi. Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian dari Siegel dkk. (dalam Muklis, 2013) yang menemukan bahwa body image yang negatif merupakan penyebab utama remaja perempuan menjadi lebih depresif daripada remaja laki-laki.

C. REMAJA

1. Pengertian Remaja

Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa (Allport, dalam Sarwono, 2006).Pada periode ini berbagai perubahan terjadi baik perubahan fisik, kognitif maupun sosial.Perubahan ini terjadi dengan sangat cepat dan terkadang tanpa kita sadari.Perubahan fisik yang menonjol adalah perkembangan tanda-tanda seks sekunder, serta perubahan perilaku dan hubungan sosial dengan lingkungannya.

Di Indonesia, batasan usia remaja berada pada rentang usia 14 sampai 24 tahun (Sarwono, 2008). Menurut Papalia dan Olds (2008), masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun.

Monks (1982) mengemukakan suatu analisa yang cermat mengenai semua aspek perkembangandalam masa remaja yang secara global berlangsung antara umur 21tahun, denganpembagiannya: 1) 12-15 tahun termasuk masa remaja awal, 2) 12-15-18 tahun termasuk masaremaja pertengahan, dan 3) 18-21 tahun termasuk remaja akhir. Berbeda dengan Monks, Santrock mengkategorikan usia remaja mulai dari usia 10 sampai 21 tahun.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa remaja adalah masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa dengan ditandai adanya perubahan pada perkembangan fisik, kognitif dan sosial. Rentang usia remaja dimulai dari usia 12 tahun sampai 21 tahun yang dibagi menjadi masa remaja awal, remaja pertengahan dan remaja akhir.

2. Aspek-aspek Perkembangan Remaja a. Perkembangan Fisik

Masa remaja diawali dengan perubahan-perubahan pada fisik yang disebut pubertas.Santrock (2003) menjelaskan pubertas adalah suatu periode dimana kematangan kerangka dan seksual terjadi secara pesat terutama pada awal masa remaja.Akan tetapi, pubertas bukanlah suatu peristiwa tunggal yang terjadi tiba-tiba.

Perubahan fisik yang dialami secara umum pada remaja seperti bertambahnya berat badan, tinggi badan dan kematangan seksual.Pada remaja laki-laki akan dimulai dengan tumbuh kumis pertama kali dan

mimpi basah pertama. Pada remaja perempuan ditandai dengan melebarnya pinggul dan menstruasi (Santrock, 2002).

Perubahan yang terjadi pada remaja tak jarang menyebabkan kebingungan dan keragu-raguan, pertanyaan-pertanyaan, ketakutan dan kecemasan.Keadaan fisik yang tidak sesuai dengan harapan remaja dapat menimbulkan perasaan tidak puas dan kurang percaya diri pada diri remaja (Santrock, 2003). Oleh sebab itu, remaja membutuhkan dukungan baik dari lingkungan maupun dari orangtua (Sarwono, 2008)

b. Perkembangan Kognitif

Menurut Piaget (dalam Santrock, 2001), masa remaja masuk ke dalam tahap pemikiran operasional formal dan pengambilan keputusan. Karakteristik dari pemikiran operasional formal adalah remaja akan memiliki pemikiran yang abstrak. Selain abstrak, pemikiran remaja juga idealistis. Remaja akan berpikir tentang cirri-ciri ideal bagi mereka sendiri dan orang lain dan membandingkan diri mereka dan orang lain dengan standar-standar ideal ini. Pemikiran remaja juga sering berupa fantasi sehingga membuat remaja tidak sabar (Santrock, 2002). Kuhn (1991, dalam Santrock, 2002) menambahkan bahwa selain berpikir abstrak dan idealis, mereka juga akan berpikir logis.

Masa remaja merupakan masa dimana pengambilan keputusan meningkat (Santrock, 2002). Hal yang terkait dengan pengambilan keputusan pada masa remaja adalah tentang masa depan, teman-teman

mana yang akan dipilih dan lain sebagainya. Remaja membutuhkan pengalaman dan kesempatan yang lebih banyak untuk mempraktekkan dan mendiskusikan keputusan yang realistis. Kesalahan dalam pengambilan keputusan kemungkinan besar akan dialami pada remaja akibat orientasi dari masyarakat yang berbeda.

c. Perkembangan Sosial dan Emosi

Proses sosial dan emosi meliputi perubahan dalam hubungan individu dengan manusia lain. Dalam prosesnya, remaja akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh orang-orang dalam berbagai konteks sosial, yang meliputi keluarga dan teman-teman sebaya, pacar dan sekolah. Selain itu, pada tahap ini remaja mulai mencari identitas dirinya. Remaja yang tidak berhasil mengatasi krisis identitas akan menderita apa yang oleh Erikson disebut kebingungan identitas (dalam Santrock, 2002). Kebingungan ini muncul dalam satu dari dua pilihan, seperti individu menarik diri, memisahkan diri dari teman-teman sebaya dan keluarga, atau mereka dapat kehilangan identitas mereka dalam kelompok.

Menurut beberapa aspek yang telah dijelaskan tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga aspek yang melekat pada diri remaja, yaitu aspek fisik, kognitif dan sosial emosi.Aspek fisik berkaitan dengan perubahan bentuk tubuh seperti berat badan dan tinggi badan.Aspek kognitif meliputi remaja yang masuk ke dalam tahap pemikiran

operasional formal dan pengambilan keputusan. Pada aspek sosial dan emosi meliputi bagaimana relasi remaja dengan orangtua dan teman sebaya, pacar dan sekolah, serta proses pencarian identitas diri.

D. DINAMIKABODY IMAGE DAN KECENDERUNGAN PEMBELIAN IMPULSIFPADA REMAJA

Ketika individu memasuki usia remaja, penampilan menjadi perhatian utama dibanding aspek lain di dalam dirinya. Hal tersebut didukung oleh Santrock (2003) yang menjelaskan bahwa remaja menjadi amat memperhatikan tubuhnya dan membangun citra tubuh mereka sendiri. Citra tubuh atau body image adalah sikap individu terhadap tubuhnya sendiri, termasuk penampilan fisik, struktur dan fungsinya (Aziz, 2006). Pada masa pubertas, remaja akan lebih tidak puas terhadap keadaan tubuhnya dibandingkan ketika memasuki masa remaja akhir (Hamburg dan Wright, 1989, dalam Santrock, 2003).

Body image juga akan menentukan cara seseorang menilai dirinya,

positif atau negatif. Kalau seseorang menilai dirinya positif, maka seseorang itu juga yakin akan kemampuan dirinya dan menerima apapun keadaan pada dirinya. Sebaliknya, orang yang dengan body image negatif maka akan cenderung tidak yakin dengan kemampuannya dan cenderung tidak menerima atau menolak keadaan fisik dirinya (Sloan, 2002). Tidak jarang remaja akan merasa stres, sedih dan mengalami peningkatan kecemasan karena tidak yakin

dengan kemampuan tubuhnya (Becker, 2001). Keadaan tersebut mendorong remaja untuk melakukan kecenderungan pembelian impulsif.

Sneath et al. (2009) berpendapat bahwa perilaku pembelian impulsif dapat terjadi karena individu yang depresi dan melakukan upaya untuk meningkatkan mood. Keadaaan emosi yang tidak stabil membuat remaja mudah terstimulus dengan berbagai cara yang dapat menunjang proses penampilannya. Pada hasil penelitian Sitohang (2009) menunjukkan bahwa remaja menghabiskan banyak uang dan waktu serta usaha yang sungguh-sungguh untuk menunjang penampilannya agar lebih baik. Persepsi remaja yang mengganggap penampilannya kurang menarik mendorong dirinya untuk melakukan pembelian secara impulsif (Helga, Dittmar, Beattie & Friese, dalam Gani, 2005).

Pembelian impulsif adalah pembelian yang ditandai dengan terjadi secara tiba-tiba, kuat, sering keras hati, dan disertai perasaan senang dan kegembiraan (Rock, 1987, dalam Činjarević, 2010). Beatty dan Ferrell (1998) menambahkan bahwa pembelian impulsif adalah pembelian yang tiba-tiba dan cenderung spontan tanpa ada niat langsung untuk membeli produk secara spesifik, serta tanpa banyak refleksi atau evaluasi secara lebih mendalam terhadap produk yang dibeli. Pembelian impulsif tersebut terkait dengan produk yang dapat menunjang penampilan atau body image pada remaja (Helga, Dittmar, Beattie & Friese, dalam Gani, 2005).

Beberapa peneliti telah melakukan penelitian terkait perilaku kecenderungan pembelian impulsif yang terjadi pada remaja. Penelitian Lin

Dokumen terkait