• Tidak ada hasil yang ditemukan

LEMBAR LAMPIRAN

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian di atas maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengidentifikasi pengaruh pembangunan jalan terhadap harga input yang dibayarkan oleh UKM tas dan harga output yang diterima UKM tas. 2. Untuk mengidentifikasi hasil produksi UKM tas setelah pembangunan

jalan.

1.4. Manfaat dan Ruang Lingkup Penelitian

Hasil yang didapatkan dari penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk :

1. Masukan bagi pengambil keputusan untuk menentukan efektivitas dari intervensi kebijakan pembangunan infrastruktur jalan yang telah dilakukan.

2. Masukan bagi kalangan akademis, peneliti dan praktisi yang tertarik pada pengembangan UKM tas.

Kajian dibatasi pada UKM Tas di desa Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor yang berpopulasi sekitar 100 UKM. Lokasi ini merupakan salah satu sentra produksi tas skala UKM di Kecamatan Ciampea.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Industri Rumah Tangga

Industri rumah tangga banyak diistilahkan dengan berbagai frase seperti industri mikro, industri kecil, home industry, home production, dan lain sebagainya. Berbagai definisi industri rumah tangga telah dikemukakan oleh para ahli dan lembaga-lembaga terkait dengan kriteria – kriteria tertentu.

Menurut Undang-Undang No. 9/1995 tentang Usaha Kecil, usaha yang diklasifikasikan sebagai usaha kecil adalah yang memenuhi kriteria : (a) memiliki aset kurang dari atau sama dengan Rp. 200 Juta diluar tanah dan bangunan, (b) omzet tahunan kurang dari atau sama dengan Rp. 1 Milyar, (c) dimiliki oleh orang Indonesia, (d) independen, tidak terafiliasi dengan usaha menengah-besar, dan (e) boleh berbadan hukum, boleh tidak.

Badan Pusat Statistik (BPS) lebih menspesifikkan jenis usaha dengan membaginya menjadi usaha mikro, usaha kecil dan usaha menengah berdasarkan jumlah pekerjanya. Usaha mikro adalah usaha dengan jumlah pekerja kurang dari 5 orang termasuk tenaga keluarga yang tidak dibayar. Usaha kecil adalah usaha dengan jumlah pekerja 5 – 19 orang. Berdasarkan aset usahanya, Badan Pusat Statistik (BPS), kriteria usaha kecil adalah yang memiliki nilai kekayaan (aset) bersih dibawah Rp 200 Juta di luar tanah dan bangunan usaha atau di bawah penjualan (omzet) maksimal Rp 1 miliar.. Data tahun 2008 dari Biro Kementrian Koperasi dan UKM Indonesia (2010) mencatat terdapat 51.257.537 unit UKM di Indonesia.

Definisi dan kriteria industri kecil dari berbagai departemen disajikan pada Tabel 1. Namun demikian, para ahli ekonomi dan pembangunan di Indonesia seringkali menggeneralisasikan industri rumah tangga sebagai sektor usaha kecil menengah (UKM).

Tabel 1. Definisi Jenis Usaha dari Berbagai Departemen

Organisasi Jenis Usaha Keterangan Kriteria

Menneg Koperasi & PKM

Usaha Kecil (UU No. 9/1995)

Aset ≤ Rp. 200 Juta diluar tanah dan bangunan

Omzet tahunan < Rp. 1 Milyar Usaha Menengah

(Inpres 10/1999)

Aset antara Rp. 200 - Rp. 10 Milyar Bank Indonesia Usaha Mikro (SK Dir BI No. 31/24/KEP/DIR tgl 5 Mei 1998)

Usaha yang dijalankan oleh rakyat miskin atau mendekati miskin.

Dimiliki oleh keluarga Sumberdaya lokal dan Teknologi sederhana

Lapangan usaha mudah untuk exit dan entry

Usaha Kecil (UU No. 9/1995)

Aset ≤ Rp. 200 Juta diluar tanah dan bangunan

Omzet tahunan ≤ Rp. 1 Milyar Menengah (SK

Dir BI No. 30/45/Dir/UK tgl 5 Januari 1997)

Aset ≤ Rp. 5 Milyar untuk sektor industri

Aset ≤ Rp. 600 juta diluar tanah dan bangunan untuk sektor non industri manufakturing

Omzet tahunan < Rp. 3 Milyar Bank Dunia Usaha Mikro

Kecil-Menengah

Pekerja < 20 Orang

Pekerja 20-150 orang

Aset ≤ US$. 500 ribu diluar tanah dan bangunan

Sumber : Hidayat (2004)

2.2. Peran Industri Rumah Tangga

Realitas membuktikan bahwa sejak terjadinya krisis ekonomi, sektor Usaha Kecil dan Menegah (UKM) mampu bertahan bahkan menjadi penyelamat perekonomian nasional. UKM yang saat ini jumlahnya diperkirakan 51 juta unit usaha memberi kontribusi yang sangat signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Untuk pemberdayaan masyarakat, UKM memegang peran krusial yaitu melalui : (1) keterlibatan masyarakat sekitar sebagai tenaga kerja, yang berarti menjamin keberlangsungan pendapatannya, (2) adanya transfer pengetahuan baru bagi masyarakat baik ilmu produksi, organisasi. manajemen maupun pemasaran dapat diartikan sebagai pengembangan sumber daya manusia, dan (3) keterlibatan institusi-institusi pembangunan menjamin adanya transfer pengetahuan yang lebih luas bagi masyarakat lokal dan menjamin adanya proses pembelajaran masyarakat.

2.3. Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian yang dilakukan di negara-negara berkembang telah menunjukkan arti penting infrastrukturtransportasi bagi pembangunan ekonomi. Pengaruh pembangunan jalan baru cukup kuat seperti yang ditunjukkan dalam studi yang dilakukan World Bank di India, Pakistan and Brazil (Creightney, 1993 and Lall dan Shalizi 2001).

Transportasi adalah salah satu faktor dalam produksi barang dan jasa, menimbulkan biaya bagi produsen. Menurut logika ekonomi tradisional, perbaikan infrastruk akan menurunkan biaya transportasi (melalui singkatnya waktu perjalanan dan biaya operasional kendaraan) yang membuat produsen dapat menjual barangnya lebih murah dan diimbangi dengan peningkatan permintaan dna produksi.

Menurut Ernst dan Young Consultancy (1996), lebih dari 20% perusahaan melaporkan bahwa perubahan infrastruktur memberikan keuntungan perusahaan dalam bentuk penurunan biaya persediaan, terbukanya akses pasar baru, dan mempermudah ketersediaan tenaga kerja.

Aschauer (1989) mengargumentasikan bahwa investasi publik pada infrastruktur berpengaruh positif signifikan terhadap GDP, karena meningkatkan profitabilitas perusahaan atau rate of return dari modal privat. Produsen akanmerespon meningkatnya modal investasi yang menyebabkan lebih tingginya produktivitas tenaga kerja dan peningkatan output.

Ahmed dan Hossein (1990) dalam penelitian dampak pembangunan infrastruktur pedesaan di Bangladesh, menyatakan bahwa pada pasar kompetitif, variabel harga bersifat eksogenus. Pembangunan infrastruktur mempengaruhi biaya transportasi dan margin yang didapatkan produsen (pedagang) karena dengan semakin tipisnya pasar semakin tinggi margin per unit yang harus dipertahankan oleh pedagang dalam bisnisnya. Harga yang diterima produsen bervariasi antar produsen, tergantung pada lokasi konsumen, produsen, pemasok input dan kondisi pembangunan infrastruktur. Infrastruktur mempengaruhi pasar tenaga kerja dengan mengubah komposisi lapangan kerja. Pembangunan infrastruktur menghasilkan peluang bagi lapangan kerja lainnya. Secara tidak langsung, pembangunan infrastruktur mempengaruhi lapangan kerja melalui difusi teknologi modern intensif tenaga kerja.

National Bank for Agriculture and Rural Development (2004) dalam studi dampak pembangunan jalan dan jembatan pedesaan di Mumbai, India, menyatakan bahwa investasi pembangunan jalan dan jembatan menyebabkan meningkatnya akses ke praktek agronomi modern, mempermudah akses ke pasar input, dan menurunkan biaya transportasi. Investasi pembangunan jalan berpengaruh positif pada manfaat tidak berujud seperti perubahan pola kepemikian aset, meningkatnya lapangan kerja, meningkatnya serapan kredit,

perbaikan akses ke pendidikan dan kesehatan, peningkatan kualitas hidup dan sebagainya.

Minten (1999) untuk kasus Madagaskar menyatakan bahwa pada masyarakat yang terbatas infrastruktur dasar menunjukkan harga lebih rendah selama musim panen dan variasi harga musiman lebih tinggi. Jarak jalan lebih berpengaruh dibandingkan kualitas jalan selama periode panen dimana tidak ada hubungan yang kuat antara kualitas jalan dan harga produsen. Keberadaan jalan menyebabkan relatif lebih tingginya harga produsen, namun investasi pada infrastruktur fisik (hard infrastructure) tidak mencukupi dalam meningkatkan akses pasar. Diperlukan investasi pada soft infrastructure untuk lebih dapat meningkatkan harga produsen, menurunkan keragaman harga dan meningkatkan integrasi pasar.

Perbaikan infrastruktur transportasi berpengaruh pada produksi dan konsumsi rumah tangga melalui penurunan biaya transportasi dan/atau waktu perjalanan sehingga meningkatkan aksesibilitas pasar dan input. Pada gilirannya ini akan memberikan pengaruh redistribusi pada kelompok ekonomi dan antar wilayah. Perbaikan infrastruktur transportasi berimplikasi ekonomi regional dapat menggunakan faktor produksi privat secara lebih produktif. Lebih baiknya infrastruktur transportasi berarti lebih rendahnya kebutuhan modal dan tenaga kerja (Rietveld dan Nijkamp, 1992).

Dalam studinya di Tamil Nadu, India investasi pada infrastruktur pedesaan seperti jaringan irigasi, pasar pedesaan dan jalan menyebabkan peningkatan produktivitas (total factor productivity) pada sektor pertanian. Namun hasil penelitian menunjukkan dampaknya pada diversifikasi masih beragam. Hasil

penelitian secara tegas menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur adalah determinan penting total factor productivity dan efisiensi produksi pertanian. (Ashok dan Balasubramanian, 2006)

Ivanoca (2003) dengan menggunakan model Spatial General Equilibrium

(SGE) untuk Norwegia menemukan bahwa penyediaan infrastruktur transportasi berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan dalam konteks moneter dan peningkatan pertumbuhan produksi di masa datang.

2.4. Kerangka Teoritis

Secara teoritis, pengaruh pembangunan jalan terjadap kinerja industri kecil tas dapat dilihat pada Gambar 1. Pada gambar bagian bawah sumbu x adalah harga output (p) dan sumbu y adalah harga input (r). Sebelum pembangunan jalan, harga input sebesar r1 dan harga output sebesar p1. Setelah pembangunan jalan, biaya transportasi menjadi lebih murah, sehingga harga input yang dibayarkan pengrajin turun dari r1 menjadi r2, Harga input di pasar sebelum dan sesudah pembangunan jalan tidak berubah. Namun karena biaya transportasi setelah pembangunan jalan lebih murah,maka harga input output yang dibayarkan pengrajin di tempat pengrajin menjadi lebih murah. Demikian juga halnya dengan output, walaupun harga output di pasar tidak berbeda, tetapi karena biaya transportasi yang lebih murah maka harga output yang diterima pengrajin di tempat pengrajin menjadi lebih tinggi. Turunnya rasio harga input/output menyebabkan penggunaan input meningkat dari x1 ke x2 ( gambar di atas ) dan output juga meningkat dari y1 ke y2. Dengan asumsi bahwa harga dari faktor-faktor input lain tidak mengalami perubahan (ceteris paribus) maka keuntungan

maksimum dicapai pada saat produk marginal sama dengan rasio harga input-output.

Gambar 1. Kurva Hubungan Infrastruktur Jalan dan Rasio Harga Input output

MPP Y X y1 y2 x1 x2 r1/p1 r2/p2 TP MP r1 r r2 p1 p2 p

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Bojong Rangkas Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor. Penelitian dilaksanakan selama lebih kurang 4 (empat) bulan, dimulai pada Februari sampai dengan Mei 2010. Penentuan lokasi ini dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa wilayah tersebut merupakan salah satu sentra UKM tas di Kabupaten Bogor.

3.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif, antara lain :

1. Jenis data primer

Data primer diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan, hasil pengisian kuisioner dan wawancara pelaku UKM tas. Jenis data primer yang digunakan mencakup : pemberian kuisioner dan wawancara kepada responden UKM. 2. Jenis data sekunder

Data sekunder diperoleh dari instansi terkait seperti Kantor Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Bogor, Dinas Tenaga Kerja dan Sosial, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi, Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, dan instansi terkait lainnya. Jenis data sekunder yang digunakan mencakup : Kompilasi data dari Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor, data Potensi Wilayah Pemerintah Kabupaten Bogor dan data lain yang menunjang.

3.3. Metode Pengumpulan Data

Data/informasi yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh dengan beberapa cara, yaitu :

a. Observasi, yaitu melihat secara langsung keadaan lapangan sehingga dapat secara langsung melihat dan merasakan situasi dan kondisi yang ada di lapangan.

b. Studi literatur, yaitu mengetahui informasi penting, alat yang digunakan adalah dengan mengomentari literatur dari berbagai teori, pendapat yang berkaitan upaya optimalisasi tanah-tanah terlantar, data sosial dan ekonomi di kota Depok, dan data-data lain yang menunjang penelitian ini.

c. Wawancara dan pengisian kuisioner, yaitu pengumpulan fakta dan data dengan cara melakukan tanya jawab dengan pihak-pihak yang berhubungan dengan masalah penelitian ini, secara intensif dan mendalam, yaitu dengan

Dalam penelitian ini populasi penelitian adalah UKM tas di desa Desa Bojong Rangkas Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor yang berjumlah 100 UKM. Responden Penelitian yang digunakan adalah sebanyak 30 responden. Pemilihan responden dilakukan secara acak. Data penelitian diambil sebelum pembangunan jalan (tahun 2008) dan setelah pembangunan jalan (tahun 2009). Jumlah responden ini dipertimbangkan cukup mewakili dengan pertimbangan populasi sampel relatif homogen.

3.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Sesuai dengan data yang diperoleh dari soal panduan observasi, telaahan dokumen, wawancara dan pengisian kuisioner yang berupa data kualitatif selanjutnya data ditranskripsikan secara tertulis. Setelah proses transkripsi

selesai maka data tersebut dianalisis. Analisis karakteristik usaha dan kinerja dengan metode persentase biasa dan rata-rata menggunakan program MS. Excell 2007. Pengaruh pembangunan jalan baru dikaji menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas menggunakan program SPSS ver.16 for Win dengan membandingkan fungsi tahun 2008 (sebelum pembangunan jalan) dan 2009 (sesudah pembangunan jalan).

Untuk mencapai tujuan penelitian, dilakukan analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kuantitatif digunakan model fungsi produksi Cobb-Douglass, yang dituliskan sebagai :

Dimana :

Y = Output atau nilai produksi tas (juta rupiah) X1 = Tenaga kerja yang digunakan (orang) X2 = Biaya Bahan (juta rupiah)

X3

Tenaga Kerja. Input tenaga kerja merupakan faktor penting dalam proses produksi tas. Diasumsikan bahwa dengan bertambahnya tenaga kerja maka

= Aset (juta rupiah)

e = Bilangan natural (2,718)

D = 1 untuk 2009 (sesudah pembangunan jalan) = 0 untuk 2008 (sebelum pembangunan jalan)

Output atau nilai produksi. Output utama dari industri kecil ini adalah beragam jenis tas yang dihitung dalam setahun dalam satuan buah. Untuk menghasilkan nilai produksi maka jumlah output dikalikan dengan harga ouput selama setahun dalam satuan juta rupiah.

produksi semakin tinggi. Tenaga kerja dalam produksi tas berupa tenaga kerja keluarga, tenaga kerja borongan dan harian yang jumlahnya tergantung pada pesanan yang diterima industri kecil tas. Satuan yang digunakan adalah orang. Tenaga kerja dalam proses produksi tas terdiri dari tenaga kerja untuk pembuatan pola, jahit, seset kulit, gunting bahan, pemasangan asesories, dan finishing.

Bahan. Tersedianya bahan baku yang cukup merupakan faktor penting guna menjamin kelancaran proses produksi. Bahan dalam pembuatan tas berupa bahan TC, kulit, spon, benang, asesories, lem, latek, dan sebagainya. Input bahan dihitung dengan mengkalikan harga pembelian bahan dengan jumlah bahan yang dipakai dalam satu tahun.

Aset. Aset-aset yang digunakan dalam produksi tas adalah mesin jahit bahan, mesin seset, cangklong, mesin pon, mesin embos, mesin potong, motor, mobil dan lain-lain. Nilai aset ini dihitung dengan mengkalikan jumlah aset yang dimiliki dengan nilai jual aset pada saat penilaian. Satuan yang digunakan adalah juta rupiah.

BAB IV

INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH DI KABUPATEN BOGOR

4.1. Perkembangan Industri Kecil dan Menengah

Perkembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) mengalami pertumbuhan yang signifikan. Data dari Biro Kementrian Koperasi dan UKM Indonesia (2010) menunjukkan bahwa selama tahun 2007 dan 2008, usaha mikro mengalami pertumbuhan 2,86% dari 49.287.276 unit pada tahun 2007 menjadi 50.697.659 unit pada tahun 2008. Selama periode yang sama usaha kecil mengalami pertumbuhan yang lebih tinggi yaitu 4,34% dari 498.565 unit pada tahun 2007 menjadi 520.221 unit. Usaha menengah juga mengalami pertumbuhan dari 38.282 unit pada tahun 2007 menjadi 39.657 unit pada tahun 2008, suatu pertumbuhan sebesar 3,59% . Data Pertumbuhan Unit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) tahun 2007-2008 disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Pertumbuhan Unit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) tahun 2007-2008.

Skala Usaha Tahun Perkembangan

(%)

2007 2008

Usaha Mikro (unit) 49.287.276 50.697.659 2,86

Usaha Kecil (unit) 498.565 520.221 4,34

Usaha Menengah (unit) 38.282 39.657 3,59

Total (unit) 49.824.123 51.257.537

Sumber : Biro Kementrian Koperasi dan UKM Indonesia (2010)

Jumlah Usaha Kecil Menengah (UKM) yang dibina oleh Kantor Koperasi dan UKM Kabupaten Bogor mengalami peningkatan sebesar 276 % selama tahun 2003-2007, yaitu dari 997 unit usaha pada tahun 2003 menjadi 3.751 unit usaha pada tahun 2007. Sampai dengan tahun 2007, berdasarkan kriteria permodalan

dan omzet, dari 203 UKM yang dievaluasi, 37 UKM diklasifikasikan sebagai UKM Unggul, 104 UKM Mandiri, dan 62 UKM Tangguh.

4.2. Kontribusi UKM terhadap PDRB

Usaha Kecil Menengah (UKM ) memberikan kontribusi Rp 2.121,3 triliun atau 53,6 persen dari Total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada 2007 yang mencapai Rp 3.957,4 triliun. Jadi dibandingkan 2006, pertumbuhan PDB UKM hanya 5,7% dan PDB usaha besar hanya 5,2%. Sementara itu, pertumbuhan PDB UKM 2007 terjadi pada semua sektor ekonomi. Dari sisi ekspor, hasil ekspor produksi UKM selama 2007 mencapai Rp 142,8 triliun atau 20 persen terhadap ekspor non-migas nasional sebesar Rp 713,4 triliun. Nilai investasi fisik UKMB yang dinyatakan dengan angka Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) pada 2007 mencapai Rp 462,01 triliun atau 46,96 persen terhadap total PMTB Indonesia.

Terkait dengan Kabupaten Bogor, pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Bogor Tahun 2002-2005.

No Tahun Laju Pertumbuhan Ekonomi (%)

1 2002 4,48

2 2003 4,81

3 2004 5,56

4 2005 5,85

Sumber: Kabupaten Bogor Dalam Angka (2005)

Perekonomian Kabupaten Bogor pada tahun 2005 ditandai dengan laju pertumbuhan ekonomi sebesar 5,85% meningkat bila dibandingkan tahun 2005 sebesar 5,56%. Pada tahun 200, sektor yang mengalami pertumbuhan paling

tinggi adalah sektor keuangan dan jasa (perusahaan) dengan pertumbuhan sebesar 9,69%, naik bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 6,08%. Sedangkan sektor yang mengalami pertumbuhan paling rendah adalah sektor pertambangan dan penggalian dengan pertumbuhan sebesar minus 10,11%. Tabel 4 menunjukkan laju pertumbuhan PDRB Kabupaten Bogor berdasarkan lapangan usaha adalah sebagai berikut:

Tabel 4. Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Bogor Berdasarkan Lapangan Usaha Tahun 2002-2005

No Lapangan Usaha Tahun

2002 2003 2004 2005 1 Pertanian -0,08 -5,41 0,15 2,95 2 Pertambangan -2,27 8,22 -7,50 -10,11 3 Industri 4,85 5,34 5,96 5,82 4 LGA 4,86 5,11 5,92 7,23 5 Bangunan 5,22 5,81 6,68 5,12 6 Perdagangan 5,26 6,20 6,69 8,01 7 Angkutan 5,62 6,46 7,34 7,30 8 Keuangan 5,22 5,68 6,08 9,69 9 Jasa-jasa 5,02 5,44 6,19 4,25 PDRB 4,48 4,81 5,56 5,85

Sumber: Kabupaten Bogor Dalam Angka (2005)

Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bogor dapat dikelompokkan menurut sektor yaitu sektor primer, sektor sekunder, dan sektor tersier. Tabel 5 menunjukkan laju pertumbuhan PDRB Kabupaten Bogor menurut kelompok sektor selama 2002-2005. Dari Tabel 5 nampak bahwa sektor tersier mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pertumbuhan sektor tersier pada tahun 2005 sebesar 7,39% bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 6,63%. Kelompok sektor sekunder tumbuh melambat pada tahun 2005 sebesar 5,87% bila

dibandingkan tahun 2004 sebesar 5,99%. Sektor primer dari tahun ke tahun cenderung mengalami pertumbuhan negatif, tetapi pada tahun 2005 terjadi pertumbuhan positif sebesar 0,47%. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 5 berikut:

Tabel 5. Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Bogor Menurut Kelompok Sektor Tahun 2002-2005

No Kelompok Sektor Tahun

2002 2003 2004 2005

1 Primer -0,48 -2,94 -1,39 0,47

2 Sekunder 4,87 5,35 5,99 5,87

3 Tersier 5,26 6,06 6,63 7,39

PDRB 4,48 4,81 5,56 5,85

Sumber: Kabupaten Bogor Dalam Angka (2005)

Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan komponen pendapatan pemerintah daerah kabupaten yang sangat penting, terutama dengan otonomi di daerah kabupaten. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bogor yang tinggi tentunya merupakan potensi yang sangat menguntungkan bagi pemerintah daerah untuk menaikkan PAD-nya dari tahun ke tahun. Perbandingan PDRB dan PAD Kabupaten Bogor ditunjukkan pada Tabel 6 berikut..

Tabel 6. Perbandingan PDRB dan PAD Kabupaten Bogor Tahun 2002-2005

Tahun Nilai Absolut (juta Rp.) % terhadap

PDRB PAD PDRB 2002 122.394,33 22.566.874,32 0,54 2003 148.921,78 25.369.472,89 0,59 2004 166.260,11 28.832.435,46 0,58 2005 198.923,70 35.893.216,72 0,55

Pada tahun 2004, PAD Kabupaten Bogor tercatat sebesar Rp. 166.260,11 juta meningkat menjadi Rp. 198.923,70 juta pada tahun 2005 atau naik sebesar 19,65 %. Jika dihitung persentase PAD terhadap PDRB cenderung mengalami peningkatan, namun pada tahun 2005 persentase PAD terhadap PDRB sebesar 0,55%, turun bila dibandingkan dengan tahun 2004 yang sebesar 0,58%

Perkembangan unit usaha industri kecil di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 7 berikut.

Tabel 7. Perkembangan Unit Usaha Industri Kecil Kabupaten Bogor dari 2004-2008

Kelompok Komoditas

Jumlah Unit Usaha 200

4 2005 2006 2007 2008

Industri Logam 136 141 149 156 161

Industri mesin 60 61 65 68 68

Industri Alat Angkut 20 23 26 33 40

Industri Elektronika 3 4 5 6 6

Industri tekstil dan produk tekstil 333 333 339 347 352

Industri Aneka 17 17 7 9 10

Industri barang dari kulit 136 137 137 145 153

Industri kimia dan barang kimia 37 44 50 56 62

Industri plastik dan barang plastic 11 18 18 20 20

Industri karet dan barang karet 2 3 3 3 3

Industri kertas dan barang kertas 56 77 78 80 90

Industri bahan bangunan dan bahan galian

24 40 40 43 46

Industri agro 256 263 276 296 313

Industri hasil hutan 95 96 98 106 185

Jumlah 118

6

1257 1291 1368 1509

Persen (%) 5.65 2.63 5.63 9.34

Tabel 7 di atas menunjukkan bahwa terjadi peningkatan julah unit usaha industri kecil di kabupaten selama periode 2004–2008. Jumlah industri pada tahun 2004 adalah 1.186 unit, meningkat 5.65% menjadi 1.257 unit pada tahun 2005. Terjadi peningkatan sebesar 2.63% menjadi 1.291 unit dari 2005 ke 2006,. Jumlah ini terus mengalami peningkatan sebesar 5.63% pada tahun 2007 dan meningkat kembali sebesar 9.34% pada tahun 2008. Hal ini menunjukkan bahwa industri kecil mengalami pertumbuhan signifikan di Kabupaten Bogor.

Dari sisi penyerapan tenaga kerja, industri kecil di Kabupaten Bogor mampu menyerap tenaga kerja cukup besar. Data mengenai perkembangan penyerapan tenaga kerja industri kecil di Kabupaten Bogor dari 2004 - 2008 ditunjukkan pada Tabel 8.

Tabel 8. Perkembangan Penyerapan tenaga kerja Industri Kecil Kabupaten Bogor dari 2004 - 2008

Kelompok Komoditas Penyerapan Tenaga Kerja ( orang )

2004 2005 2006 2007 2008

Industri Logam 1.625 1.690 1.723 1.788 1.815

Industri mesin 971 979 1.012 1.039 1.039

Industri Alat Angkut 236 267 280 359 417

Industri Elektronika 34 39 42 55 55

Industri tekstil dan produk

tekstil 7.775 7.775 7.828 7.940 8.045

Industri Aneka 172 78 92 110 114

Industri barang dari kulit 3.158 3.168 3.168 3.251 3.472

Industri kimia dan barang

kimia 115 119 163 88 135

Industri plastik dan barang

plastic 182 199 163 55 55

Industri karet dan barang

karet 3 4 10 10 10

Industri kertas dan barang

kertas 64 68 94 102 144

Industri bahan bangunan

dan galian 113 120 163 189 217

Industri agro 7.839 1.941 2.030 2.207 2.384

Industri hasil hutan 644 654 676 782 861

Jumlah 22.931 17.101 17.444 17.975 18.763

Persen (%) -34.09 1.97 2.95 4.20

Sumber : Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kab. Bogor (2009)

Pada tahun 2004, serapan industri kecil terhadap tenaga kerja di Kabupaten Bogor mencapai 22.931 orang, jumlah ini menurun sebesar -34.09 % menjadi 17.101 orang pada tahun 2005, meningkat kembali (1.97%) menjadi17.444 orang pada tahun 2006, meningkat menjadi 17.975 pada tahun 2007 dan meningkat kembali menjadi 18.763 pada tahun 2008. Hal ini menunjukkan bahwa industri kecil mampu menyerab tenaga kerja cukup besar sehingga turut menciptakan lapangan kerja dan menurunkan pengangguran.

Perkembangan nilai investasi industri kecil di Kabupaten Bogor ditunjukkan pada Tabel 9. Perkembang nilai investasi menunjukkan trend positif selama periode 2004–2008.

Tabel 9. Perkembangan Nilai Investasi Industri Kecil Kabupaten Bogor dari 2004-2008

Kelompok Komoditas Nilai Investasi ( dalam juta Rupiah ) 2004 2005 2006 2007 2008

Industri Logam 35285

42 3978 4331 4843 5251

Industri mesin 2923 2973 3360 3677 3677

Industri Alat Angkut 1174 1339 1440 1863 2362

Industri Elektronika 176 268 318 367 367

Industri tekstil dan produk

tekstil 13159 13159 13443 13955 14262

Industri Aneka 661 231 781 850 1

Industri barang dari kulit 5365 5465 5465 5808 6670

Industri kimia dan barang

kimia 767 1077 1265 1612 2092

Industri plastik dan barang

plastik 583 821 821 917 917309

Industri karet dan barang

karet 24 38 38 38 37834

Industri kertas dan barang

kertas 1283 1547 1552 1651 2048

Industri bahan bangunan

dan galian 339 659 659 829 1

Industri agro 10101 10463 19937 20926 0

Industri Hasil Hutan 6921 6964 7182 7855 8296

Jumlah 47004 48981 60591 65191 69973

Persen (%) 4,04 19,16 7,06 6,83

Sumber : Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kab. Bogor (2009)

Tabel 9 di atas menunjukkan terjadinya peningkatan nilai investasi sebesar 4.04% dari tahun 2004 ke 2005 yaitu dari 47.004 milyar menjadi 48.980 milyar. Dari tahun 2005 ke 2006, terjadi peningkatan nilai investasi yang cukup besar

yaitu 19.16%, menjadi 60.591 milyardan terus meningkat menjadi 65.191 milyar dan pada tahun 2008 menjadi 69.972 milyar.

Menurut jenis komoditi industri, terdapat delapan kelompok industri kecil di Kabupaten Bogor. Data mengenai jenis komoditi industri kecil Kabupaten

Dokumen terkait