• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

B. Tujuan penelitian

Menghasilkan nanokrim kojic acid dipalmitate yang stabil secara fisik dengan kombinasi surfaktan Tween 80 dan kosurfaktan polietilen glikol 400 dengan menggunakan mixer.

7 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Kojic Acid Dipalmitate (KAD)

Gambar 1. Struktur molekul kojic acid dipalmitate (KAD) (Balaguer, Salvador, and Chisvert, 2008)

KAD (gambar 1) berupa serbuk putih yang bersifat liposoluble, stabil terhadap panas dan cahaya, serta stabil dalam rentang kondisi pH yang lebar yaitu dalam rentang pH 4 hingga pH 9 yang secara in situ akan terhidrolisis oleh enzim esterase pada sel kulit menjadi KA (Cho et al., 2012; Gonçalez et al., 2015). KA merupakan antioxidant scavenger dan agen anti-tirosinase yang baik karena memiliki kemampuan sebagai agen pengkelat logam transisi seperti Cu2+ dan Fe3+

(Gonçalez et al., 2013). Antioxidant scavenger adalah salah satu mekanisme penetralan radikal bebas yang bersifat tidak stabil dan reaktif dalam mencari elektron. Keberadaan radikal bebas dalam tubuh dapat menyebabkan terjadinya aging (Ardhie, 2011).

Formulasi dengan KA sebagai zat aktif memiliki beberapa kendala, diantaranya diperlukan KA dalam dosis tinggi (di atas 2%) untuk mencapai aktivitasnya, kesulitan dalam formulasi pada sediaan berbasis minyak karena sifatnya yang tidak liposoluble, serta sifat KA yang tidak stabil terhadap suhu dan

cahaya. Karena kendala tersebut, KA dibuat dalam bentuk ester agar memiliki aktivitas lebih tinggi karena bersifat liposoluble, dan stabil terhadap suhu dan cahaya, di mana salah satu bentuk ester dari KA adalah KAD (Cho et al., 2012;

Lajis, et al., 2013; Gonçalez, et al., 2015).

KAD menunjukkan sifat antioksidan dalam konsentrasi 1,25% dalam sediaan emulsi W/O/W. Sifat antioksidan dibuktikan dengan menggunakan uji DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl) dan menunjukkan hasil bahwa sediaan emulsi W/O/W yang mengandung 1,25% KAD dapat melakukan inhibisi DPPH.

Sifat antioksidan KAD akan meningkat jika KAD terdapat dalam suatu sediaan yang stabil, dibuktikan dari hasil perbandingan nilai % inhibisi yang diperoleh antara % inhibisi KAD bebas (tidak di dalam suatu sediaan), % inhibisi KAD yang terkandung dalam sediaan bukan emulsi W/O/W, dan % inhibisi KAD dalam sediaan emulsi W/O/W yang menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan, dan nilai % inhibisi KAD pada sediaan emulsi W/O/W menujukkan nilai yang terbesar (Gonçalez et al., 2015).

B. Nanokrim

Nanokrim adalah sediaan nanoemulsi yang berbentuk semisolid.

Nanoemulsi merupakan dispersi koloid oil in water (O/W) atau water in oil (W/O) yang memiliki rentang diameter droplet sebesar 20-500 nm, terbentuk dari proses dispersi dari satu fase cair ke dalam fase cair lainnya untuk membentuk droplet (Usón et al., 2004). Krim adalah sediaan setengah padat (semisolid) mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai

(Anonim, 2013). Sehingga pengertian nanokrim secara lengkap adalah suatu dispersi koloid O/W atau W/O berbentuk semisolid yang terdiri dari fase minyak yang terdispersi ke dalam fase air atau sebaliknya membentuk droplet dengan diameter sebesar 20-500 nm. Nanoemulsi memiliki sistem dispersi O/W jika fase minyak (oil) terdispersi sebagai droplet dalam fase air (water), atau begitu pula sebaliknya (McClements, 2012).

Terdapat banyak keuntungan dari penggunaan nanoemulsi sebagai sediaan topikal dalam sistem penghantaran obat. Keuntungan yang pertama dan utama adalah lebih banyaknya zat aktif yang dapat diformulasikan dalam satu sediaan dikarenakan adanya peningkatan kapasitas kelarutan zat aktif sehingga membuat aktivitas termodinamik zat aktif pada kulit juga meningkat. Keuntungan kedua yaitu laju permeasi zat aktif yang dapat meningkat karena adanya efek sinergis dari berbagai komponen yang dapat membantu proses penghantaran zat aktif yang melewati kulit. Keuntungan ketiga adalah komponen utama nanoemulsi yang berupa fase minyak, fase air, dan kombinasi surfaktan kosurfaktan dapat menjadi satu yang secara sinergis dapat meningkatkan flux zat aktif (Abdulkarim et al., 2010c). Selain itu, sebagai sediaan semisolid seperti krim, nanokrim juga memiliki manfaat yang sangat baik untuk mengatasi aging karena dapat melembapkan dan memperbaiki garis halus serta kerutan pada kulit (Duraivel et al., 2014).

Nanoemulsi memiliki beberapa kelemahan yaitu seperti dibutuhkannya surfaktan dan kosurfaktan dalam jumlah yang besar agar dapat membentuk droplet berukuran nano yang stabil, dan stabilitas nanoemulsi yang dipengaruhi oleh

kondisi lingkungan seperti pH dan suhu (Haritha, Basha, Rao, and Vedantham, 2013).

Komponen nanoemulsi terdiri dari minyak, air, surfaktan, dan kosurfaktan.

Surfaktan dan kosurfaktan merupakan komponen penting dalam pembuatan nanoemulsi karena dapat menurunkan tegangan antar muka antara fase air dan fase minyak sehingga dapat terbentuk sebuah sistem emulsi. Surfaktan memiliki ekor non polar yang akan menjulur ke dalam inti lipofilik dari fase minyak. Bagian kepala surfaktan yang bersifat polar akan menonjol ke luar yaitu ke bagian fase air, sehingga surfaktan dapat menurunkan tegangan antar muka antara fase air dan fase minyak (McClements, 2012). Tipe nanoemulsi yang terbentuk bergantung pada nilai hidrofil lipofil balance (HLB) yang dimiliki surfaktan (Sevcikova, Vltavska, Kasparkova, and Krejci, 2011). Surfaktan dengan nilai HLB < 7 akan cenderung membentuk emulsi tipe W/O, sedangkan surfaktan dengan nilai HLB > 7 akan cenderung membentuk emulsi dengan tipe O/W (Tadros, Izquierdo, Esquena, and Solans, 2004). Surfaktan dengan nilai HLB > 10 merupakan surfaktan yang sangat sesuai dalam membentuk droplet berukuran nano (Kotta, Khan, Ansari, Sharma, and Ali, 2014).

Penggunaan kosurfaktan dibutuhkan karena kosurfaktan dapat menurunkan tegangan muka antar fase lebih lanjut serta menfluidisasi lapisan film surfaktan, sehingga penggunaan kosurfaktan dapat menurunkan jumlah surfaktan yang digunakan (Yadav et al., 2012; Tsai et al., 2014).

C. Metode Pembuatan Nanokrim

Proses pembuatan suatu nanoemulsi membutuhkan energi eksternal untuk dapat menyatukan semua bahan menjadi suatu sistem dispersi koloid (McClements, 2012). Metode pembuatan nanokrim terdiri dari metode emulsifikasi energi tinggi dan metode emulsifikasi energi rendah. Metode emulsifikasi energi tinggi meliputi high-shear stirring, emulsifikasi ultrasonik, homogenisasi bertekanan tinggi, mikrofluidisasi, dan emulsifikasi membran. Sedangkan metode emulsifikasi energi rendah meliputi metode phase inversion temperature (PIT), emulsion inversion point (EIP), dan emulsifikasi spontan (Koroleva and Yurtov, 2012).

1. Metode emulsifikasi energi tinggi

Pembuatan nanoemulsi menggunakan metode emulsifikasi energi tinggi (gambar 2) memerlukan konsumsi energi yang tinggi untuk pembentukan dispersi, terutama jika nanoemulsi yang dibuat memiliki viskositas yang tinggi.

Ukuran droplet yang terbentuk bergantung pada jumlah surfaktan yang digunakan karena surfaktan adalah bahan yang berfungsi untuk menurunkan tegangan antar muka fase dispersi agar dapat terdispersi dalam medium dispersi, kurangnya surfaktan akan membuat ukuran droplet menjadi lebih besar karena terjadinya koalesens (Gupta, Pandit, Kumar, Swaroop, and Gupta, 2010).

Gambar 2. Representasi skematik dari metode emulsifikasi energi tinggi: (a) sistem rotor-stator, (b) homogenisasi bertekanan tinggi, (c) emulsifikasi ultrasonik, dan (d)

emulsifikasi membran (Koroleva and Yurtov, 2012)

a. High-shear stirring

Alat yang digunakan dalam high-shear stirring adalah alat yang memiliki sistem rotor-stator, salah satunya adalah mixer. Penurunan ukuran droplet terjadi seiring dengan peningkatan intensitas pengadukan (mixing).

Ketika media emulsi yang akan dibuat sangat kental, efisiensi dari sistem high-shear stirring akan menurun dan ukuran droplet emulsi yang dihasilkan dapat mencapai lebih dari satu mikrometer (Koroleva and Yurtov, 2012).

b. Emulsifikasi ultrasonik

Pembentukan droplet berukuran nanometer terjadi melalui proses sonikasi. Pada proses sonikasi terjadi pembentukan gelembung udara dari aliran nanoemulsi (kavitasi) akibat dari pelepasan sejumlah energi secara local (Gupta et al., 2010).

c. Homogenisasi bertekanan tinggi

Sistem ini merupakan sistem yang paling sering digunakan dalam membuat emulsi yang memiliki viskositas rendah hingga sedang.

Pembentukan droplet terjadi karena adanya shear forces, turbulensi, dan kavitasi. Hal yang mempengaruhi besar ukuran droplet tergantung dari desain alat, viskositas, dan tekanan yang dihasilkan oleh alat (Gadhave, 2014).

d. Mikrofluidisasi

Mekanisme emulsifikasi pada sistem ini terjadi karena adanya tumbukan antar cairan yang tidak saling campur di dalam microchannels yang bertekanan tinggi (Gupta et al., 2010)

e. Emulsifikasi membran

Pada sistem ini, pembentukan droplet terjadi dengan cara ekstrusi atau pendorongan keluar fase dispersi melalui pori atau microchannels pada membran. Ukuran droplet yang terbentuk bergantung pada ukuran pori yang terdapat pada membran (Schultz, Wagner, Urban, and Ulrich, 2004).

2. Metode emulsifikasi energi rendah

Teknologi emulsifikasi energi rendah berdasar pada inversi fase pada emulsi yang terjadi karena adanya perubahan komposisi dan suhu (Koroleva and Yurtov, 2012).

a. Phase inversion temperature (PIT)

Metode emulsifikasi PIT bergantung pada sifat surfaktan yang digunakan. Surfaktan yang digunakan biasanya adalah surfaktan nonionik

ethoxylated yang dapat merubah afinitas air dan minyak berdasarkan suhu.

Surfaktan nonionik ethoxylated akan bersifat lipofob (larut dalam air) di suhu rendah karena adanya hidrasi dari gugus polar, dan akan membentuk lapisan monolayer dan menghasilkan emulsi O/W. Peningkatan suhu akan membuat gugus ehoxylated pada surfaktan berubah menjadi bersifat lipofil, dan akan membentuk emulsi dengan jenis W/O (Gadhave, 2014).

b. Emulsion inversion point (EIP)

Pada metode ini, proses emulsifikasi bergantung pada perubahan substansi yang memicu terjadinya perubahan nilai HLB pada sistem pada suhu yang tetap. Metode EIP juga sering disebut dengan metode phase inversion composition (PIC) atau terkadang disebut dengan metode titrasi.

Nanoemulsi O/W akan terbentuk ketika jumlah air yang ditambahkan telah melebihi batas titik perubahan tipe nanoemulsi (Koroleva and Yurtov, 2012).

c. Nanoemulsifikasi spontan

Nanoemulsifikasi spontan terjadi dengan melakukan pengadukan berkelanjutan terhadap fase minyak yang telah bercampur dengan surfaktan ke dalam fase air (Gullota, Saberi, Nicoli, and McClements, 2014).

D. Stabilitas Nanokrim

Nanokrim dan nanoemulsi merupakan tipe sediaan emulsi yang dapat berubah menjadi bentuk yang tidak stabil terkait dengan adanya faktor pengaruh lingkungan dan penyimpanan nanoemulsi dalam jangka panjang. Secara umum,

bentuk ketidakstabilan emulsi dapat berupa creaming, flokulasi, koalesens, dan Ostwald ripening (Ali, Alam, Alam, Anwer, and Safhi, 2013).

1. Creaming dan flokulasi

Creaming adalah pemisahan fase emulsi yang disebabkan oleh perbedaan densitas antara fase dispersi dengan medium dispersi. Creaming bersifat reversible dan dapat dihilangkan dengan perlakuan penggojogan.

Creaming dapat dicegah dengan mengecilkan perbedaan densitas antara fase dispersi dengan medium dispersi (Ali et al., 2013).

Flokulasi adalah keadaan di mana droplet saling bergabung karena adanya ikatan antar droplet yang lemah. Flokulasi bersifat reversible dan dapat dihilangkan dengan perlakuan penggojogan yang kuat. Droplet yang terflokulasi ditandai dengan kemampuannya untuk mempertahankan bentuk dan ukuran. Flokulasi juga dapat menyebabkan terjadinya koalesens yang bersifat irreversible (Ali et al., 2013).

Pada sistem emulsi yang menggunakan surfaktan non-ionik, terdapat gaya tarik-menarik antar droplet yang disebabkan oleh adanya gaya van der Waals, tetapi gaya itu dapat dilemahkan dengan menurunkan jarak antar droplet. Seiring dengan peningkatan konsentrasi surfaktan, maka lapisan film antar muka yang membentuk droplet juga akan semakin menebal dan menandakan bahwa halangan sterik antar droplet juga membesar. Halangan sterik yang besar berfungsi dalam mencegah terjadinya penyatuan droplet yang bersifat irreversible atau mencegah terjadinya koalesens, sehingga dapat dikatakan penggunaan konsentrasi surfaktan dalam jumlah tinggi dapat

menghasilkan suatu emulsi yang lebih stabil, dan pada pembuatannya nanoemulsi membutuhkan konsentrasi surfaktan dalam jumlah tinggi sehingga flokulasi bukan merupakan bentuk ketidakstabilan utama yang terjadi dalam nanoemulsi (Abdulkarim et al., 2010b; Ali et al., 2013).

2. Koalesens

Koalesens terjadi ketika droplet-droplet saling menyatu dan membentuk suatu droplet baru yang memiliki ukuran lebih besar dan bersifat irreversible (Abdulkarim et al., 2010b).

3. Ostwald ripening

Ostwald ripening merupakan bentuk ketidastabilan yang utama pada nanoemulsi. Ostwald ripening atau difusi molekuler muncul dari adanya polidispersitas dan perbedaan kelarutan antara droplet yang berukuran besar dengan droplet yang berukuran kecil. Terdapat beberapa hal yang dapat mengurangi kecepatan terjadinya Ostwald ripening seperti peningkatan konsentrasi surfaktan dan penyimpanan nanoemulsi di tempat dengan suhu optimum. Peningkatan konsentrasi surfaktan dapat mengurangi kecepatan terjadinya Ostwald ripening karena dengan meningkatnya kuantitas misel pada medium dispersi dapat mencegah molekul minyak untuk berdifusi ke dalam medium dispersi sehingga dapat membentuk droplet kecil yang memiliki tegangan permukaan yang rendah dan bersifat monodispers (Gadhave, 2014).

Uji stabilitas perlu dilakukan untuk mengetahui kualitas sediaan terhadap waktu dengan beberapa pengaruh dari lingkungan seperti suhu, kelembapan, dan

cahaya sehingga dapat diketahui shelf-life dari sediaan tersebut (Abdulkarim et al., 2010b).

Pengujian stabilitas suatu sediaan jangka panjang (real time stability testing) dapat dilakukan dalam waktu minimal selama enam bulan, di mana membutuhkan waktu dan biaya dalam melakukannya. Oleh karena itu, uji stabilitas dilakukan dengan metode uji stabilitas dipercepat atau accelerated stability testing yang dapat memprediksi stabilitas sediaan dengan perlakuan penyimpanan produk pada kondisi tertentu, yaitu untuk penyimpanan sediaan nanoemulsi dilakukan pada suhu 40 ± 2°C dengan relative humidity (RH) sebesar 75 ± 5% selama satu bulan atau 30 hari (Kumar, Sasikanth, Sabareesh, and Donabaru, 2011).

Parameter yang diukur dalam uji stabilitas meliputi sifat fisikokimia nanoemulsi meliputi:

1. Sifat organoleptis

Sifat organoleptis meliputi pengamatan secara visual terhadap bau, warna, bentuk sediaan nanokrim. Sifat organoleptis dapat mencerminkan keadaan fisik sediaan yang dirasakan oleh indra manusia (Abdulkarim et al., 2010b).

2. Homogenitas

Homogenitas menunjukkan ketercampuran yang baik dari bahan-bahan sediaan. Sediaan yang homogen menunjukkan keberadaan zat aktif yang merata dan kesamaan dosis di setiap penggunaan. Jika terjadi perubahan homogenitas menandakan terjadinya ketidak-rataan bahan dan zat aktif (Gonçalves, Srebernich, and Souza, 2011).

3. pH

Perubahan yang terjadi pada pH sediaan mengindikasikan terjadinya degradasi atau ionisasi dari salah satu atau lebih bahan dalam sediaan. Efek yang dapat ditimbulkan dari degradasi bahan dalam sediaan adalah jika bahan terdegradasi menjadi senyawa bersifat toksik yang membahayakan (Abdulkarim et al., 2010b). pH sediaan topikal disesuiakan dengan pH kulit yaitu sebesar 4,5-7 untuk mencegah terjadinya iritasi (Swastika, Mufrod, and Purwanto, 2013).

4. Tipe nanokrim

Suatu sediaan nanokrim dapat memiliki tipe oil in water (O/W) atau tipe water in oil (W/O). Perubahan tipe nanokrim mengindikasikan terjadinya ketidakstabilan emulsi (Abdulkarim et al., 2010b).

5. Ukuran droplet

Pengukuran droplet merupakan faktor terpenting dalam melihat stabilitas emulsi karena perubahan ukuran droplet yang terjadi dapat menunjukkan langsung terjadinya ketidakstabilan emulsi (Abdulkarim et al., 2010b).

6. Viskositas

Penurunan nilai viskositas setelah masa penyimpanan dapat mengindikasikan ketidakstabilan emulsi secara kinetika, di mana droplet dapat bergerak bebas dan saling bergabung dan memiliki kecenderungan untuk berkoalesens (Abdulkarim et al., 2010b).

7. Daya sebar

Uji daya sebar dilakukan untuk mengetahui kelunakan krim saat digunakan pada kulit sehingga dapat diketahui area kulit yang terpapar oleh sediaan saat sediaan digunakan atau dioleskan ke kulit. Nilai daya sebar berbanding terbalik dengan nilai viskositas. Jika viskositas rendah, maka daya sebar akan tinggi, begitu pula sebaliknya (Prasad, Kumar, and Prabhudutta, 2012). Daya sebar sediaan krim dengan diameter ≤ 5 cm menunjukkan jenis semistiff krim, sedangkan diameter yang bernilai > 5 cm sampai < 7 cm menunjukkan sifat semifluid krim (Garg, Aggarwal, Garg, and Singla, 2002).

8. Daya lekat

Uji daya lekat dilakukan untuk mengetahui konsistensi dan kenyamanan pada saat sediaan digunakan. Sediaan topikal yang lebih disukai pasien adalah sediaan yang tidak berlemak dan memiliki daya lekat yang rendah (Yadav et al., 2014). Perubahan yang terjadi pada nilai daya lekat menunjukkan perbedaan sifat fisik sediaan yang tidak diinginkan terkait dengan estetika dan tujuan sediaan (Gonçalves et al., 2011).

9. Rasio pemisahan fase

Uji rasio pemisahan fase dilakukan jika terjadi pemisahan fase emulsi pada nanokrim. Uji rasio pemisahan fase dilakukan untuk mengetahui dan menghitung rasio volume emulsi yang memisah dibandingkan volume total emulsi. Hubungan antara viskositas emulsi dan ukuran droplet terhadap kecepatan pemisahan dapat dilihat dari hukum Stokes. Kecepatan pemisahan berbanding terbalik dengan viskositas. Semakin tinggi viskositas emulsi, maka

semakin lambat kecepatan pemisahan fase dan semakin stabil emulsi yang dihasilkan. Sedangkan kecepatan pemisahan berbanding lurus dengan ukuran droplet, semakin besar ukuran droplet menandakan kecepatan pemisahan emulsi yang meningkat (Aulton, 2003).

E. Rheologi

Rheologi merupakan ilmu tentang aliran yang ditunjukkan melalui sifat viskositas dari sediaan serbuk, cairan, dan semisolid (Sinko and Singh, 2011).

Viskositas adalah sifat tahanan atau resistensi suatu cairan untuk mengalir atau bergerak. Semakin besar viskositas, semakin besar pula resistensinya untuk mengalir (Aulton, 2003). Rheologi penting untuk dipelajari karena rheologi terkait dengan analisa kriteria sediaan yang meliputi proses pencampuran dan sifat alir bahan, pengisian sediaan ke dalam kemasan, dan cara pengeluaran sediaan dari kemasan seperti pada saat pengeluaran sediaan dari dalam kemasan tube, botol, atau jarum suntik (Allen, Popovich, and Ansel, 2011). Selain itu, pemilihan alat, proses, dan cara pembuatan dari suatu sediaan juga dipengaruhi oleh sifat rheologi sediaan (Sinko and Singh, 2011).

Berdasarkan sifat alir yang dimiliki suatu bahan atau sediaan, rheologi terbagi menjadi dua kategori yaitu Newtonian dan non-Newtonian. Aliran Newtonian akan menunjukkan nilai viskositas yang konstan (tidak berubah) terhadap peningkatan shear rate, sedangkan aliran non-Newtonian akan menunjukkan perubahan viskositas seiring terjadinya peningkatan shear rate.

Aliran non-Newtonian terdiri dari tiga tipe yaitu tipe plastik, tipe pseudoplastik, dan tipe dilatan (Allen et al., 2011).

1. Newtonian

Gambar 3. Ilustrasi konsep Newtonian (Allen et al., 2011)

Tipe Newtonian (gambar 3) digambarkan melalui perumpamaan cairan sebagai balok yang terdiri dari lapisan-lapisan paralel, seperti setumpuk kartu dengan lapisan dasar yang tertempel pada dasar. Ketika tekanan diberikan pada lapisan atas, maka lapisan atas tersebut akan berpindah dalam kecepatan yang tetap. Setiap lapisan akan berpindah dengan dengan suatu kecepatan yang berbanding lurus dengan jarak dengan lapisan dasar yang diam, sehingga dapat dikatakan bahwa semakin besar viskotas, maka semakin besar pula tekanan (shear stress) yang dibutuhkan untuk memperoleh rate of shear tertentu (Allen et al., 2011; Sinko and Singh, 2011).

2. Non-Newtonian

Tipe aliran New-Newtonian adalah tipe aliran yang tidak mengikuti prinsip hukum Newton seperti pada tipe Newtonian. Tipe non-Newtonian biasanya dimiliki oleh sediaan cair dan padat yang heterogen seperti larutan koloid, emulsi, suspensi, dan salep (Sinko and Singh, 2011).

a. Plastik

Gambar 4. Ilustrasi konsep non-Newtonian tipe plastik (Allen et al., 2011)

Bahan yang bersifat plastik (gambar 4) atau disebut Bingham bodies tidak akan mengalir sebelum shear stress yang diberikan melampaui yield value tertentu, dan selama shear stress belum melampaui yield value maka bahan akan bersifat elastis. Sifat plastik dapat dihubungkan dengan terjadinya flokulasi, semakin besar flokulasi yang terjadi maka semakin besar pula yield value (Allen et al., 2011; Sinko and Singh, 2011).

b. Pseudoplastik

Gambar 5. Ilustrasi konsep non-Newtonian tipe pseudoplastik (Allen et al., 2011)

Bahan bersifat pseudoplastik (gambar 5) akan mengalami pergeseran ketika terdapat shear stress, hal ini menandakan tidak

terdapatnya yield value seperti pada tipe plastik. Pada tipe pseudoplastik, peningkatan shear stress akan membuat rate of shear juga meningkat sehingga bahan dengan tipe ini juga sering disebut shear-thinning system (Allen et al., 2011).

c. Dilatan

Gambar 6. Ilustrasi konsep non-Newtonian tipe dilatan (Allen et al., 2011)

Bahan yang bersifat dilatan (gambar 6) adalah bahan yang akan mengalami peningkatan volume saat diberikan shear stress, serta mengalami peningkatan viskositas seiring dengan meningkatnya shear rate. Bahan dengan tipe dilatan juga sering disebut shear-thickening system (Allen et al., 2011).

F. Pemerian Bahan 1. Tween 80

Gambar 7. Struktur molekul Tween 80 (Rowe, Sheskey, and Quinn, 2009)

Tween 80 (gambar 7) memiliki rumus molekul C64H124O26, bobot molekul 1310 g/mol, warna dan bentuk pada suhu 25°C yaitu cairan berminyak warna kuning, dengan HLB sebesar 15, dan viskositas 425 mPas. Tween 80 larut dalam etanol dan air, namun tidak larut dalam mineral oil. Tween 80 bersifat stabil terhadap elektrolit, asam atau basa lemah, tetapi incompatible dengan basa kuat karena dapat menyebabkan terjadinya saponifikasi. Selain itu, dapat terjadi pengendapan atau perubahan warna pada Tween 80 karena adanya senyawa fenol, tanin, dan antimikroba golongan paraben (Rowe et al., 2009).

Tween 80 dapat berfungsi sebagai surfaktan karena dapat menurunkan tegangan antar muka antara fase minyak dengan fase air dalam pembuatan suatu sistem nanoemulsi (Tsai et al., 2014). Tween 80 telah digunakan secara luas di bidang kosmetik maupun farmasetik karena sifatnya yang tidak iritatif dan tidak toksik. Penggunaan Tween 80 pada bidang farmasi selain sebagai surfaktan adalah sebagai solubilizing agent (agen pelarut) dan wetting agent (agen pembasah) dalam konsentrasi 0,1–15% (Rowe et al., 2009).

2. Polietilen glikol (PEG) 400

Gambar 8. Struktur molekul PEG 400 (Rowe et al., 2009)

PEG 400 (gambar 8) merupakan cairan jernih tidak berwarna, dengan nilai viskositas sebesar 105-130 mPas., dan nilai HLB sebesar 13,1. PEG 400 merupakan senyawa tidak toksik dan tidak iritatif yang bersifat hidrofilik, larut dalam air, alkohol, heksan, aseton, dan sedikit larut dalam hidrokarbon alifatik.

PEG digunakan dalam formula sediaan farmasi sebagai basis, suspending agent, solubilizing agent dan emulsifier (Rowe et al., 2009). Penggunaan PEG 400 sebagai kosurfaktan suatu nanoemulsi berfungsi pada stabilisasi lapisan film pada droplet nanoemulsi dalam konsentrasi 6-19% (Suciati et al., 2014).

3. Virgin Coconut Oil (VCO)

VCO merupakan minyak nabati yang diperoleh dari kelapa (Cocos nucifera L.), dengan atau tanpa penggunaan panas, dan tanpa proses pemutihan atau penambahan aroma. Beberapa cara dalam ekstraksi minyak kelapa antara lain melalui proses kering mapun basah. VCO yang diperoleh dari proses ekstraksi basah lebih disukai karena tidak memerlukan bahan kimia maupun perlakuan panas yang tinggi (Sanjeewani and Sakeena, 2013; Suraweera et al., 2014).

VCO merupakan minyak yang tidak mengiritasi kulit, dan telah dikenal di kalangan peneliti maupun masyarakat karena manfaatnya bagi kesehatan tubuh (Sanjeewani and Sakeena, 2013). Asam laurat yang terkandung dalam VCO memiliki manfaat sebagai pemberi asupan vitamin, serta memiliki aktivitas sebagai anti mikroba dan anti virus. VCO dapat digunakan dalam produk makanan maupun produk kosmetik dan farmasi (Mansor, Che, Shuhaimi, Abdul, and Ku, 2012). VCO dapat diaplikasikan sebagai fase minyak dalam pembuatan sediaan nanokrim (Al-Edresi and Baie, 2010).

4. Aquadest

Aquadest digunakan sebagai pelarut dan pembawa pada formulasi farmasetika. Pada aplikasi farmasi, air dimurnikan dengan cara destilasi, pertukaran ion, reverse osmosis (RO), atau beberapa proses lain yang sesuai untuk menghasilkan aquadest. Karakteristik aquadest adalah cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa (Rowe et al., 2009).

G. Landasan Teori

KAD memiliki sifat sebagai antioxidant scavenger yang baik. Sifat liposoluble yang dimiliki oleh KAD membuat KAD dapat diformulasikan dalam bentuk sediaan nanokrim. Nanokrim adalah sediaan nanoemulsi yang berbentuk semisolid. Kelebihan sistem nanoemulsi sebagai sediaan topikal yaitu adanya

KAD memiliki sifat sebagai antioxidant scavenger yang baik. Sifat liposoluble yang dimiliki oleh KAD membuat KAD dapat diformulasikan dalam bentuk sediaan nanokrim. Nanokrim adalah sediaan nanoemulsi yang berbentuk semisolid. Kelebihan sistem nanoemulsi sebagai sediaan topikal yaitu adanya

Dokumen terkait