• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tujuan

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 11-100)

BAB 1. PENDAHULUAN

1.2. Tujuan

Tujuan dari Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) yang diselenggarakan oleh Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia yang bekerja sama dengan PT. Kimia Farma Apotek, adalah:

a) Mengetahui dan memahami tugas dan tanggung jawab Apoteker Pengelola Apotek (APA) di apotek baik teknis dan non-teknis farmasi.

b) Mempelajari cara pengelolaan apotek dalam kegiatan administrasi, manajemen pengadaan, penyimpanan, penjualan, dan pelayanan dalam memberikan pelayanan kesehatan di apotek.

c) Mempraktekkan pelayanan kefarmasian di apotek secara professional sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan etika yang berlaku dalam sistem pelayanan kesehatan di Indonesia.

2.1 Definisi Apotek

Menurut Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 yang merupakan pembaruan dari Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1980, apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker. Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, dan obat tradisional. Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika (Peraturan Pemerintah No. 51 tentang Pekerjaan Kefarmasian, 2009). Apotek sebagai salah satu sarana pelayanan kesehatan perlu mengutamakan kepentingan masyarakat dan berkewajiban menyediakan, menyimpan dan menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dan keabsahannya terjamin. Apotek dapat diusahakan oleh instansi pemerintah dengan tugas pelayanan kesehatan di pusat dan daerah, perusahaan milik negara yang ditunjuk oleh pemerintah, dan apoteker yang telah mengucapkan sumpah serta memperoleh izin dari Dinas Kesehatan setempat.

2.2 Tugas dan Fungsi Apotek

Tugas dan fungsi apotek adalah sebagai berikut (Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1980 tentang Apotek, 1980):

a. Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah.

b. Sarana farmasi yang melakukan pengubahan bentuk dan penyerahan obat atau bahan obat.

c. Sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang diperlukan masyarakat secara meluas dan merata.

2.3 Tata Cara Pendirian Apotek

Suatu apotek dapat beroperasi setelah mendapat Surat Izin Apotek (SIA). Pengertian SIA adalah surat yang diberikan Menteri Kesehatan Republik Indonesia kepada apoteker atau apoteker yang bekerja sama dengan Pemilik Sarana Apotek (PSA) untuk menyelenggarakan pelayanan apotek di suatu tempat tertentu.

Apoteker adalah tenaga profesi yang memiliki dasar pendidikan serta keterampilan di bidang farmasi dan diberi wewenang serta tanggung jawab untuk melaksanakan pekerjaan kefarmasian, meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui upaya kesehatan dengan melakukan tindakan komunikasi, informasi, dan edukasi secara tepat. Tempat pengabdian seorang apoteker salah satunya adalah apotek, dimana praktek kefarmasian dilaksanakan sesuai dengan standar dan etika kefarmasian.

Untuk mengajukan permohonan izin pendirian apotek perlu dipenuhi dua macam persyaratan, yaitu persyaratan APA dan persyaratan apotek. Persyaratan APA (Peraturan Menteri Kesehatan No. 922 Tahun 1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin, 1993):

a. Ijazahnya telah terdaftar pada Departemen Kesehatan.

b. Telah mengucapkan sumpah atau janji sebagai seorang apoteker. c. Memiliki Surat Izin Kerja (SIK) dari Menteri Kesehatan.

d. Memenuhi syarat-syarat kesehatan fisik dan mental untuk melaksanakan tugasnya sebagai seorang apoteker.

e. Tidak bekerja di suatu perusahaan farmasi secara penuh dan tidak menjadi APA di apotek lain.

Apabila APA berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka apotek, maka ia dapat menunjuk Apoteker Pendamping, dan apabila APA dan Apoteker Pendamping berhalangan melakukan tugasnya, APA dapat menunjuk Apoteker Pengganti. Penunjukkan tersebut harus dilaporkan kepada Dinas Kesehatan Kota setempat dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi setempat. Apabila APA berhalangan melakukan tugasnya lebih dari dua tahun secara terus-menerus, SIA atas nama apoteker yang bersangkutan dapat dicabut.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 922/Menkes/SK/X/1993, disebutkan bahwa persyaratan-persyaratan apotek adalah sebagai berikut (Peraturan Menteri Kesehatan No. 922 Tahun 1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin, 1993):

a. Untuk mendapatkan izin apotek, apoteker atau apoteker yang bekerja sama dengan pemilik sarana yang telah memenuhi persyaratan harus siap dengan tempat, perlengkapan termasuk sediaan farmasi dan perbekalan farmasi yang lain yang merupakan milik sendiri atau milik pihak lain. b. Sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan pelayanan

komoditi yang lain di luar sediaan farmasi.

c. Apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi yang lain di luar sediaan farmasi.

Beberapa persyaratan yang harus diperhatikan dalam pendirian sebuah apotek adalah:

a. Lokasi dan Tempat

Faktor yang digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk menentukan lokasi usaha apotek pada umumnya adalah mudah diakses oleh masyarakat, keamanan lingkungan, ada atau tidaknya apotek lain, mudah atau tidaknya pasien untuk memarkir kendaraan, jumlah penduduk, jumlah praktek dokter, serta keadaan sosial ekonomi masyarakat setempat (Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1027 Tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, 2004).

b. Bangunan

Apotek harus mempunyai luas bangunan yang cukup dan memenuhi persyaratan teknis sehingga dapat menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsinya. Bangunan apotek sebaiknya terdiri dari ruang tunggu yang nyaman, ruang peracikan dan penyerahan obat, ruang administrasi, ruang penyimpanan obat, tempat untuk memajang informasi bagi pasien termasuk penempatan brosur atau materi informasi, ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien yang dilengkapi dengan meja dan kursi serta lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien, ruang kerja apoteker, serta ruang tempat pencucian alat dan toilet. Bangunan apotek harus dilengkapi

dengan sumber air yang memenuhi syarat kesehatan, penerangan yang memadai, alat pemadam kebakaran, ventilasi dan sanitasi yang baik.

2.3.1 Perlengkapan Apotek

Perlengkapan yang harus tersedia di apotek adalah:

a. Alat peracikan, seperti timbangan, mortir, dan gelas ukur.

b. Perlengkapan dan alat penyimpanan perbekalan farmasi seperti lemari obat dan lemari pendingin.

c. Wadah pengemas dan pembungkus seperti etiket dan plastik pengemas. d. Tempat penyimpanan khusus narkotika, psikotropika, dan bahan beracun. e. Alat administrasi seperti blanko pesanan obat, faktur, kuitansi, dan salinan

resep.

f. Kumpulan peraturan dan perundang-undangan yang berhubungan dengan apotek.

g. Buku standar yang diwajibkan seperti Farmakope Indonesia, ISO, dan MIMS.

2.4 Tenaga Kerja Apotek

Tenaga kerja yang umumnya ada di Apotik adalah:

a. APA adalah apoteker yang telah memiliki Surat Izin Apotek.

b. Apoteker Pendamping adalah apoteker yang bekerja di apotek disamping APA dan atau menggantikan pada jam-jam tertentu pada hari buka apotek. c. Apoteker Pengganti adalah apoteker yang menggantikan APA selama

APA tersebut tidak berada di tempat lebih dari 3 (tiga bulan) secara terus menerus, telah memiliki Surat Izin Kerja dan tidak bertindak sebagai APA di apotek lain.

d. Asisten Apoteker adalah mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai asisten apoteker.

Dalam pengelolaan apotek, apoteker harus memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, kemampuan berkomunikasi antarprofesi, menempatkan diri sebagai pimpinan,

kemampuan mengelola sumber daya manusia secara efektif, selalu belajar sepanjang karier dan membantu memberi pendidikan dan peluang untuk meningkatkan pengetahuan. Agar dapat mengelola apotek dengan baik dan benar, seorang APA dituntut untuk memiliki pengetahuan dan keterampilan memadai yang tidak hanya dalam bidang farmasi tetapi juga dalam bidang lain seperti manajemen.

Prinsip dasar manajemen dalam mengelola suatu usaha adalah (Robbins, 1999): a. Perencanaan, yaitu pemilihan dan penghubungan fakta serta penggunaan

asumsi untuk masa yang akan datang dengan jalan menggambarkan dan merumuskan kegiatan yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan.

b. Pengorganisasian, yaitu menyusun atau mengatur bagian-bagian yang berhubungan satu dengan lainnya, dimana tiap bagian mempunyai suatu tugas khusus dan berhubungan secara keseluruhan.

c. Kepemimpinan, yaitu kegiatan untuk mempengaruhi dan memotivasi pegawainya agar berusaha untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. d. Pengawasan, yaitu tindakan untuk mengetahui hasil pelaksanaan untuk

kemudian dilakukan perbaikan dalam pelaksanaan kerja agar segala kegiatan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sehingga tujuan yang diinginkan dapat tercapai.

Tenaga lainnya yang diperlukan untuk mendukung kegiatan di apotek terdiri dari: a. Juru resep adalah petugas yang membantu pekerjaan asisten apoteker. b. Kasir adalah orang yang bertugas menerima uang, mencatat penerimaan,

dan pengeluaran uang.

c. Pegawai tata usaha adalah petugas yang melaksanakan administrasi apotek dan membuat laporan pembelian, penjualan, penyimpanan, dan keuangan apotek.

2.5 Tata Cara Perizinan Apotek

Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1332/Menkes/SK/X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan

RI No. 922/Menkes/Per/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek adalah sebagai berikut:

a. Permohonan izin apotek diajukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan menggunakan contoh formulir APT-1.

b. Dengan menggunakan formulir APT-2 Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah menerima permohonan dapat meminta bantuan teknis kepada Kepala Balai POM untuk melakukan pemeriksaan terhadap kesiapan apoteker melakukan kegiatan.

c. Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah permintaan bantuan teknis dari kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan hasil pemeriksaan setempat dengan menggunakan formulir APT-3.

d. Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud di dalam butir (b) dan (c), jika tidak dilaksanakan maka apoteker pemohon dapat membuat surat pernyataan siap melakukan kegiatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dengan tembusan kepada Kepala Dinas Provinsi dengan menggunakan formulir APT-4.

e. Dalam jangka waktu 12 (dua belas) hari kerja setelah diterima laporan pemeriksaan sebagaimana dimaksud butir (c) atau pernyataan butir (d) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat mengeluarkan Surat Izin Apotek dengan menggunakan formulir APT-5.

f. Dalam hal hasil pemeriksaan tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM sebagaimana dimaksud pada butir (c) jika masih belum memenuhi syarat, maka Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dalam waktu 12 (dua belas) hari kerja mengeluarkan surat penundaan dengan menggunakan formulir APT-6.

g. Terhadap surat penundaan sebagaimana dimaksud dalam butir (f), apoteker diberi kesempatan untuk melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal surat penundaan.

h. Apabila apoteker menggunakan sarana pihak lain, maka penggunaan sarana dimaksud wajib didasarkan atas perjanjian kerjasama antara apoteker dan pemilik sarana.

i. Pemilik sarana yang dimaksud tersebut harus memenuhi persyaratan tidak pernah terlibat dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang obat sebagaimana dinyatakan dalam surat pernyataan yang bersangkutan.

j. Terhadap permohonan izin apotek dan APA atau lokasi tidak sesuai dengan pemohon, maka Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dalam jangka waktu selambat-lambatnya 12 hari kerja wajib mengeluarkan surat penolakan disertai dengan alasannya dengan menggunakan formulir APT-7.

2.6 Pengelolaan Apotek

Pengelolaan apotek adalah seluruh upaya dan kegiatan apoteker untuk melaksanakan tugas dan fungsi pelayanan apotek. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/Menkes/SK/2002, pengelolaan apotek dapat dibagi menjadi dua, yaitu (Keputusan Menteri Kesehatan No. 1322/Menkes/SK/X/2002, 2002):

a. Pengelolaan teknis kefarmasian meliputi pembuatan, pengelolaan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan, penyerahan obat atau bahan obat, pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyerahan perbekalan farmasi lainnya. Pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi yang meliputi pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi lainnya yang diberikan baik kepada dokter, tenaga kesehatan lainnya, maupun kepada masyarakat, pengamatan, dan pelaporan mengenai khasiat, keamanan, bahaya dan atau mutu obat serta perbekalan farmasi lainnya.

b. Pengelolaan non teknis kefarmasian meliputi semua kegiatan administrasi, keuangan, personalia, pelayanan komoditas selain perbekalan farmasi dan bidang lainnya yang berhubungan dengan fungsi apotek.

Secara garis besar pengelolaan apotek dapat dijabarkan sebagai berikut: 2.6.1 Pengelolaan Perbekalan Farmasi

a. Perencanaan

Perencanaan merupakan kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah, dan harga dalam rangka pengadaan dengan tujuan mendapatkan jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, serta menghindari kekosongan obat. Dalam perencanaan pengadaan sediaan farmasi seperti obat-obat dan alat kesehatan, maka perlu dilakukan pengumpulan data obat-obat yang akan dipesan. Data obat-obat tersebut biasanya ditulis dalam buku defekta, yaitu jika barang habis atau persediaan menipis berdasarkan jumlah barang yang tersedia pada bulan-bulan sebelumnya. Beberapa pertimbangan yang harus dilakukan APA didalam melaksanakan perencanaan pemesanan barang, yaitu memilih Pedagang Besar Farmasi (PBF) yang memberikan keuntungan dari segala segi, misalnya harga yang ditawarkan sesuai (murah), ketepatan waktu pengiriman, diskon, bonus yang diberikan sesuai (besar), jangka waktu kredit yang cukup, dan kemudahan dalam pengembalian obat-obat yang hampir kadaluarsa.

Sesuai Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, maka dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi perlu memperhatikan:

1. Pola penyakit, maksudnya adalah perlu memperhatikan dan mencermati pola penyakit yang timbul di sekitar masyarakat sehingga apotek dapat memenuhi kebutuhan masyarakat tentang obat-obat untuk penyakit tersebut.

2. Tingkat perekonomian masyarakat di sekitar apotek juga akan mempengaruhi daya beli terhadap obat-obat.

3. Budaya masyarakat, dimana pandangan masyarakat terhadap obat, pabrik obat, bahkan iklan obat dapat mempengaruhi dalam hal pemilihan obat-obat khususnya obat-obat tanpa resep. Demikian juga dengan budaya masyarakat yang lebih senang berobat ke dokter,

maka apotek perlu memperhatikan obat-obat yang sering diresepkan oleh dokter tersebut.

b. Pengadaan

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 918/Menkes/Per/X/1993 tentang PBF, pabrik dapat menyalurkan produksinya langsung ke PBF, apotek, toko obat, apotek rumah sakit, dan sarana kesehatan lain (Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 918/Menkes/per/X/1993, 1993). Pengadaan barang di apotek meliputi pemesanan dan pembelian. Pembelian barang dapat dilakukan secara langsung ke produsen atau melalui PBF.

Proses pengadaan barang dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu: 1. Tahap persiapan, dilakukan dengan cara mengumpulkan data

barang-barang yang akan dipesan dari buku defekta, termasuk obat baru yang ditawarkan pemasok.

2. Pemesanan dilakukan dengan menggunakan Surat Pesanan (SP). SP minimal dibuat 2 lembar (untuk pemasok dan arsip apotek) dan ditandatangani oleh APA dengan mencantumkan nomor SIK.

Pengadaan atau pembelian barang di apotek dapat dilakukan dengan cara antara lain (Anief, 2001):

1. Pembelian dalam jumlah terbatas yaitu pembelian dilakukan sesuai dengan kebutuhan dalam waktu pendek, misalnya satu minggu. Pembelian ini dilakukan bila modal terbatas dan PBF berada dalam jarak tidak jauh dari apotek, misalnya satu kota dan selalu siap untuk segera mengirimkan obat yang dipesan.

2. Pembelian berencana dimana metode ini erat hubungannya dengan pengendalian persediaan barang. Pengawasan stok obat atau barang dagangan penting sekali untuk mengetahui obat yang fast moving atau slow moving, hal ini dapat dilihat pada kartu stok. Selanjutnya dilakukan perencanaan pembelian sesuai dengan kebutuhan.

3. Pembelian secara spekulasi merupakan pembelian dilakukan dalam jumlah yang lebih besar dari kebutuhan, dengan harapan akan ada kenaikan harga dalam waktu dekat atau karena ada diskon atau

bonus. Pola ini dilakukan pada waktu-waktu tertentu jika diperkirakan akan terjadi peningkatan permintaan. Apabila spekulasinya benar akan mendapat keuntungan besar, tetapi cara ini mengandung resiko obat akan rusak atau kadaluarsa.

c. Penyimpanan

Penyimpanan obat sebaiknya digolongkan berdasarkan bentuk sediaan, seperti sediaan padat dipisahkan dari sediaan cair atau setengah padat. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari zat-zat yang bersifat higroskopis. Serum, vaksin, dan obat-obat yang mudah rusak atau meleleh pada suhu kamar disimpan dalam lemari pendingin. Penyusunan obat dapat dilakukan secara alfabetis untuk mempermudah dan mempercepat pengambilan obat saat diperlukan. Pengeluaran barang di apotek sebaiknya menggunakan sistem FIFO (First In First Out) dan FEFO (First Expire First Out), sehingga obat-obat yang mempunyai waktu daluarsa lebih singkat disimpan paling depan dan memungkinkan diambil terlebih dahulu.

2.6.2 Pengelolaan Keuangan

Laporan keuangan yang biasa dibuat di apotek adalah: a. Laporan Rugi-Laba

Laporan rugi-laba adalah laporan yang menyajikan informasi tentang pendapatan, biaya, laba atau rugi yang diperoleh perusahaan selama periode tertentu. Laporan rugi-laba biasanya berisi hasil penjualan, Harga Pokok Penjualan, laba kotor, biaya operasional, laba bersih usaha, laba bersih sebelum pajak, laba bersih setelah pajak, pendapatan non usaha, dan pajak.

b. Neraca

Neraca adalah laporan yang menunjukkan keadaan keuangan suatu unit usaha pada waktu tertentu. Keadaan keuangan ini ditunjukkan dengan jumlah harta yang dimiliki yang disebut aktiva dan jumlah kewajiban yang disebut pasiva, atau dengan kata lain aktiva adalah investasi di dalam perusahaan dan pasiva merupakan sumber-sumber yang digunakan untuk investasi tersebut. Oleh karena itu, dapat dilihat dalam

neraca bahwa jumlah aktiva akan sama besar dengan pasiva. Aktiva dikelompokkan dalam aktiva lancar dan aktiva tetap. Aktiva lancar berisi kas, surat-surat berharga, piutang, dan persediaan. Aktiva tetap dapat berupa gedung atau tanah, sedangkan pasiva dapat berupa hutang dan modal.

c. Laporan Utang-Piutang

Laporan utang adalah laporan yang berisi utang yang dimiliki apotek pada periode tertentu dalam satu tahun, sedangkan laporan piutang berisikan piutang yang ditimbulkan karena transaksi yang belum lunas dari pihak lain kepada pihak apotek.

2.6.3 Administrasi

Administrasi yang biasa dilakukan apotek meliputi (Anief, 2001):

a. Administrasi umum, seperti membuat agenda atau mengarsipkan surat masuk dan surat keluar, pembuatan laporan-laporan seperti laporan narkotika dan psikotropika, pelayanan resep dengan harganya, pendapatan, alat dan obat KB, obat generik, dan lain-lain.

b. Pembukuan, meliputi pencatatan keluar dan masuknya uang disertai bukti-bukti pengeluaran dan pemasukan.

c. Administrasi penjualan, meliputi pencatatan pelayanan obat resep, obat bebas, dan pembayaran secara tunai atau kredit.

d. Administrasi pergudangan, meliputi pencatatan penerimaan barang, masing-masing barang diberi kartu stok, dan membuat defekta.

e. Administrasi pembelian meliputi pencatatan pembelian harian secara tunai atau kredit dan mengumpulkan faktur secara teratur. Selain itu dicatat kepada siapa berhutang dan masing-masing dihitung besarnya hutang apotek.

f. Administrasi piutang, meliputi pencatatan penjualan kredit, pelunasan piutang, dan penagihan sisa piutang.

g. Administrasi kepegawaian dilakukan dengan mengadakan absensi karyawan, mencatat kepangkatan, gaji, dan pendapatan lainnya dari karyawan.

2.7 Pelayanan Apotek

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 922/ Menkes/ Per/ X/1993, pelayanan apotek meliputi:

a. Apotek wajib melayani resep dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter hewan. Pelayanan resep ini sepenuhnya atas dasar tanggung jawab APA, sesuai dengan keahlian profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat.

b. Apotek wajib menyediakan, menyimpan, dan menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dan absah.

c. Apotek tidak diizinkan mengganti obat generik yang ditulis dalam resep dengan obat bermerek dagang. Namun resep dengan obat bermerek dagang atau obat paten boleh diganti dengan obat generik.

d. Apotek wajib memusnahkan perbekalan farmasi yang tidak memenuhi syarat mengikuti ketentuan yang berlaku dengan membuat berita acara. Pemusnahan ini dilakukan dengan cara dibakar atau dengan ditanam atau dengan cara lain yang ditetapkan oleh Badan POM.

e. Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang diresepkan, apoteker wajib berkonsultasi dengan dokter penulis resep untuk pemilihan obat yang lebih tepat.

f. Apoteker wajib memberikan informasi yang berkaitan dengan penggunaan obat secara tepat, aman, dan rasional atas permintaan masyarakat.

g. Apabila apoteker menganggap bahwa dalam resep terdapat kekeliruan atau penulisan resep yang tidak tepat, apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis resep. Apabila atas pertimbangan tertentu dokter penulis resep tetap pada pendiriannya, dokter wajib melaksanakan secara tertulis atau membubuhkan tanda tangan yang lazim di atas resep.

h. Salinan resep harus ditandatangani oleh apoteker.

i. Resep harus dirahasiakan dan disimpan di apotek dengan baik dalam jangka waktu 3 tahun.

j. Resep dan salinan resep hanya boleh diperlihatkan kepada dokter penulis resep atau yang merawat penderita, penderita yang bersangkutan, petugas

kesehatan, atau petugas lain yang berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku.

k. Apoteker diizinkan menjual obat keras tanpa resep yang dinyatakan sebagai Daftar Obat Wajib Apotek (DOWA) tanpa resep.

2.7.1 Pelayanan Resep a. Skrining Resep

Apoteker melakukan kegiatan skrining resep yang meliputi:

1. Memeriksa kelengkapan persyaratan administrasi: nama dokter, nomor SIP, alamat dokter, tanggal penulisan resep, tanda tangan atau paraf dokter penulis resep, nama pasien, alamat pasien, umur pasien, jenis kelamin pasien, dan berat badan pasien, nama obat, potensi, dosis, jumlah yang diminta, cara pemakaian yang jelas dan informasi lainnya.

2. Memeriksa kesesuaian farmasetik seperti bentuk sediaan, dosis, inkompatibilitas, stabilitas, cara dan lama pemberian.

3. Melakukan pertimbangan klinis seperti adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan.

b. Penyiapan Obat

Peracikan merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas, dan memberikan etiket pada wadah. Suatu prosedur tetap harus dibuat untuk melaksanakan peracikan obat dengan memperhatikan dosis, jenis, dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar. Etiket harus jelas dan dapat dibaca. Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya.

Pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep harus dilakukan sebelum obat diserahkan kepada pasien. Penyerahan obat

dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien.

c. Informasi Obat

Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas, dan mudah

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 11-100)

Dokumen terkait