• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

2.2 Potensi Tumbuhan Berguna di Indonesia

2.2.3 Tumbuhan aromatik

Tumbuhan penghasil aroma atau wangi-wangian yang juga disebut tumbuhan penghasil minyak atsiri memiliki ciri-ciri berbau dan aroma karena fungsi utamanya adalah sebagai pengharum baik parfum, kosmetik, penyegar ruangan, sabun, pasta gigi, pemberi rasa pada makanan maupun produk rumah lainnya (Kartikawati 2004).

Indonesia merupakan penghasil sejumlah minyak atsiri, seperti minyak sereh, minyak daun cengkeh, minyak kenanga, minyak akar wangi, minyak kayu cendana, minyak nilam, dan sebagainya. Indonesia memiliki lebih kurang 40 jenis tanaman penghasil minyak atsiri, tetapi yang dikenal di pasaran dunia hanya 12 jenis saja (Rusli et al. 1988).

Menurut Heyne (1987), tumbuhan yang menghasilkan minyak atsiri dapat dijumpai dari beberapa famili seperti Lauraceae, misalnya kulit kayu manis (Cinnamomum burmanii); Poaceae, misalnya akar wangi (Andropogon zizanoides); Annonaceae, misalnya kenanga (Canagium odoratum) dan sebagainya.

2.2.4 Tumbuhan penghasil pangan

Tumbuhan penghasil pangan adalah segala sesuatu yang tumbuh, hidup, berakar, berdaun, dan dapat dikonsumsi oleh manusia jika pada hewan disebut pakan. Contohnya buah-buahan, sayur-sayuran, gandum dan padi (Purnawan 2006).

Menurut Saepudin (2005), spesies kawung (Arenga pinnata) merupakan salah satu sumber pakan yang memiliki banyak manfaat, antara lain dapat dibuat gula aren, kolang kaling, dan sagu. Buah honje (Etlingera hemisphaerica) dapat diolah menjadi kue.

2.2.5 Tumbuhan penghasil pakan ternak

Menurut Mannetje dan Jones (1992) diacu dalam Kartikawati (2004), pakan ternak adalah tanaman konsentrasi rendah dan mudah dicerna yang merupakan pakan bagi satwa herbivora. Sedangkan tumbuhan penghasil pakan ternak adalah seluruh spesies tumbuhan yang diberikan kepada hewan pemeliharaan baik langsung maupun dicampur.

2.2.6 Tumbuhan penghasil pestisida nabati

Pestisida diartikan sebagai suatu zat yang dapat bersifat racun, menghambat pertumbuhan/perkembangan, tingkah laku, perkembangbiakan, kesehatan, mempengaruhi hormon, penghambat makan, membuat mandul, sebagai pemikat, penolak, dan aktivitas lainnya yang mempengaruhi organisme pengganggu tanaman (OPT) sedangkan pestisida nabati itu sendiri adalah suatu pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan, bersifat mudah terurai di alam sehingga tidak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan ternak (Kardinan 2002).

Menurut Sudarmo (2005), pestisida nabati adalah pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tanaman atau tumbuhan. Penggunaan pestisida nabati memiliki beberapa kelebihan, yakni dapat mengurangi pencemaran lingkungan, harganya relatif lebih murah apabila dibandingkan dengan pestisida sintetis/kimia. Beriku adalah beberapa spesies tumbuhan yang dapat dijadikan sebagai pestisida nabati, yaitu akar tuba (Derris eliptica), biji srikaya (Annona squamosa), daun pepaya (Carica papaya), dan banyak lagi tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai pestisida nabati.

2.2.7 Tumbuhan bahan pewarna dan tanin

Pewarna nabati adalah pewarna yang berasal dari tumbuhan. Bahan diekstrak dengan jalan fermentasi, direbus atau secara kimiawi dari sejumlah kecil zat kimia tertentu yang terkandung di dalam jaringan tumbuhan. Sedangkan tanin merupakan bahan dari tumbuhan, rasanya pahit dan kelat seringkali berupa ekstrak dari pegagan terutama daun, buah, dan puru yang biasanya digunakan untuk kegiatan penyamakan (Husodo 1999) diacu dalam (Bintang 2011).

Pemanfaatan tumbuhan tidak hanya sebatas untuk penghasil pangan, sebagai obat atau sebagai tumbuhan hias melainkan juga memiliki manfaat untuk menghasilkan warna. Pewarna nabati merupakan bahan pewarna yang berasal dari tumbuhan. Kadang-kadang warna pewarna ini sudah tampak pada tumbuhan hidup misalnya sapran (saffron) yang diekstrak dari kepala putik Crocus sativus

yang berwarna jingga. Akan tetapi, pewarna nabati penting berasal dari bagian tumbuhan yang dalam keadaan alaminya tidak berwarna, atau warna itu tersembunyi di dalam tumbuhan (Lemmens et al. 1999).

2.2.8 Tumbuhan penghasil bahan bangunan

Menurut Kartikawati (2004), pemilihan jenis-jenis kayu untuk bahan bangunan didasarkan atas pertimbangan kekuatan kayu dan ketahanan terhadap rayap. Spesies-spesies yang umum digunakan adalah sengon (Paraserianthes falcataria), jati (Tectona grandis), ulin (Eusideroxylon zwageri), dan sebagainya.

2.2.9 Tumbuhan keperluan ritual adat dan keagamaan

Pemanfaatan tumbuhan yang dimiliki oleh masyarakat tidak hanya untuk keperluan makan, bangunan, dan sebagainya tetapi juga dimanfaatkan untuk keperluan yang bersifat magis, spiritual, ritual, dan upacara-upacara adat lainnya. Pada berbagai etnis budaya, pemanfaatan tumbuhan yang dipakai dalam upacara berbeda-beda menurut pengetahuan mereka masing-masing. Tumbuhan Sereh (Piper betle L.) biasanya digunakan dalam prosesi upacara adat sadranan, Tesek (Dodonaea viscosa Jacq) digunakan sebagai bahan dasar pembuatan gagang keris, dan dipercaya memiliki kemampuan untuk menolak serangan dari ilmu hitam, sedangkan potongan kayu dapat digunakan sebagai jimat untuk bepergian (Susantyo 2011).

2.2.10 Tumbuhan penghasil tali, anyaman, dan kerajinan

Tumbuhan penghasil tali, anyaman, dan kerajinan merupakan tumbuhan yang biasa digunakan untuk membuat tali, anyaman maupun kerajinanan. Bahan dasar kerajinan yang digunakan masyarakat biasanya terbuat dari bambu dan rotan. Masyarakat sekitar kawasan TAHURA Pancoran Mas menggunakan empat spesies yang dapat dijadikan sebagai bahan anyaman, tali, dan kerajinan tangan yaitu, langkap (Arenga obtusifolia), paku hata (Lygodium circinatum), bambu tali (Gigantichloa apus), dan Tetracera indica (Purbasari 2011).

Kajian etnobotani pada kehidupan suku Arfak di Irian jaya menggunakan pandan sebagai bahan untuk pembuatan tikar atau tudung hujan. Spesies yang biasa digunakan adalah P. concavus dan P. danckelmannianus. Spesies ini dimanfaatkan sebagai bahan penghasil anyaman dan kerajinan karena daunnya bila diasapkan menjadi lentur atau lemas, tidak mudah patah, dan mudah untuk disusun seperti membuat atap (Sadsoeitoeboen 1999).

2.2.11 Tumbuhan penghasil kayu bakar

Semua spesies tumbuhan berkayu dapat dijadikan bahan untuk kayu bakar, namun ada beberapa kriteria sebagai bahan kayu bakar ini, seperti, kayunya menghasilkan energi yang tinggi dan tahan lama, tahan terhadap kekeringan dan toleran terhadap iklim, pertumbuhan tajuk baik, pertumbuhan cepat, kadar air rendah, dan sebagainya (Sutarno 1996).

Menurut Saepudin (2005) masyarakat Kasepuhan Banten Kidul pada umumnya masih menggunakan hawu sebagai alat memasak, karena itu mereka masih menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar. Sebelumnya kayu tersebut dipotong-potong kecil sesuai dengan ukuran hawu, lalu kayu tersebut dijemur agar kering sehingga mudah untuk dibakar dan tidak mengeluarkan asap yang terlalu banyak.

2.3 Pengembangan Pemanfaatan Tumbuhan

Masyarakat Indonesia yang bertempat tinggal di daerah pedesaan di sekitar hutan sudah sejak dahulu kala memanfaatkan tumbuhan untuk kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat dijelaskan bahwa sumberdaya keanekaragaman hayati yang telah dimanfaatkan oleh manusia berabad-abad lamanya adalah sebuah bukti

bahwa keanekaragaman hayati merupakan komponen vital kepentingan hidup manusia (Haryanto 1995 diacu dalam Inama 2008).

Upaya untuk mengetahui dan mempelajari kelompok masyarakat dalam memanfaatkan tumbuhan tidak hanya untuk keperluan ekonomi tetapi juga untuk keperluan spiritual dan nilai budaya lainnya. Pemanfaatan yang dimaksud disini adalah pemanfaatan baik sebagai bahan obat, sumber pangan, dan sumber kebutuhan hidup lainnya (Fakhrozi 2009).

Pada masyarakat Dayak Meratus telah menyadari arti pentingnya menjaga kelestarian sumberdaya hutan dengan melakukan usaha pelestarian yaitu dengan upaya budidaya beberapa jenis tumbuhan yang biasa dimanfaatkan dan dipungut di hutan seperti binjai, manggis, langsat, mampalam, cempedak, sukun, asam, rotan sega, dan rotan manau. Untuk budidaya rotan sega dan rotan manau sudah dicoba tetapi belum terlihat tingkat keberhasilannya. Budidaya dilakukan dengan sistem menanam biji buah rotan pada bekas ladang. Dengan adanya upaya pelestarian terhadap sumberdaya hutan dan lingkungannya merupakan salah satu upaya pengembangan pemanfaatan tumbuhan yang dapat menopang keberlanjutan kehidupan masyarakat Dayak Meratus (Kartikawati 2004).

2.4 Interaksi Masyarakat dengan Hutan

Menurut Soekanto (1987) diacu dalam Saragih (2007), masyarakat berasal dari kata latin socius yang berarti “kawan”. Istilah masyarakat sendiri berasal dari akar bahasa Arab yang berarti “ikut serta”. Masyarakat merupakan sekumpulan manusia yang saling “bergaul” atau dengan istilah ilmiah “berinteraksi”.

Menurut Wiratno et al. (2004) diacu dalam Purbasari (2011) interaksi antara masyarakat dan kawasan dibutuhkan agar masyarakat mengetahui dan merasakan secara langsung manfaat dari kawasan. Salah satu yang menjadi penyebab kesadaran masyarakat yang rendah terhadap perlindungan kawasan konservasi adalah keterbatasan pengetahuan mengenai berbagai manfaat jangka panjang kawasan dan sumberdayanya.

Interaksi manusia dengan lingkungan alamnya termasuk kawasan hutan dapat dikaji berdasarkan persepsi dari masyarakat tersebut yang ditunjukkan melalui perilaku dan tindakan dalam pemanfaatan kawasan hutan sesuai dengan daya dukungnya. Sebagai contoh, mata pencaharian orang Dayak selalu ada

hubungannya dengan hutan. Hutan digunakan sebagai tempat berburu, berladang, mengusahakan tanaman perkebunan, seperti karet, rotan, tengkawang, dan sejenisnya. Kecendrungan seperti itu merupakan suatu refleksi dari hubungan yang akrab yang telah berlangsung berabad-abad dengan hutan dan segala isinya. Hutan menjadi basis utama dari kehidupan, sosial, ekonomi, budaya, dan politik kelompok etnik dayak (Florus et al. 1994 diacu dalam Afrianti 2007).

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasim wilayah bagian Kelurahan Muara Fajar Kecamatan Minas Kabupaten Siak pada bulan Mei-Juni 2012. Lokasi penelitian tersaji pada Gambar 1.

Sumber: Dishut Riau

Gambar 1 Denah lokasi penelitian.

Kec. Tapung Hilir 

Kec. Minas

Kec. Rumbai 

Lokasi  Penelitian 

3.2 Bahan dan Alat Penelitian

Alat yang digunakan adalah buku panduan lapang tentang tumbuhan (Field guide), kamera, kertas koran, kantong plastik, tally sheet, meteran gulung, kompas, tambang/tali rafia, meteran jahit, kuisioner, label gantung, gunting, selotip, alkohol 70%, alat tulis menulis dan komputer beserta perlengkapannya, dan dokumen terkait lainnya.

3.3 Metode Penelitian

3.3.1. Jenis data yang dikumpulkan

Pada penelitian ini, data yang dikumpulkan meliputi data potensi tumbuhan berguna di TAHURA SSH, pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat sekitar, dan kondisi umum lokasi penelitian serta sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat setempat. Jenis dan teknik pengumpulan data dan informasi dalam penelitian ini dapat dilihat dalam (Tabel 1).

Tabel 1 Jenis dan metode pengumpulan data

No. Jenis data Aspek yang dikaji Sumber data Metode pengumpulan

data

1. Kondisi umum

Lokasi Penelitian

a. Letak dan Luas b. Topografi c. Iklim

d. Flora dan Fauna

e. Kondisi ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat

Literatur Studi literatur

2. Potensi tumbuhan di TAHURA SSH

a. Nama spesies lokal b. Nama ilmiah c. Famili d. Habitus TAHURA SSH wilayah Kec. Minas Kab. Siak Analisis vegetasi 3. Pemanfaatan tumbuhan berguna oleh masyarakat

a. Nama spesies lokal b. Nama ilmiah c. Famili d. Habitus e. Manfaat

f. Bagian tumbuhan yang digunakan Masyarakat sekitar TAHURA SSH (Kel.Muara Fajar Kec. Minas Kab. Siak) Wawancara, dokumentasi

3.3.2 Teknik pengumpulan data

3.3.2.1 Potensi tumbuhan di TAHURA Sultan Syarif Hasyim 3.3.2.1.1 Analisis vegetasi

Metode analisis vegetasi yang digunakan merupakan kombinasi jalur garis berpetak dengan jumlah jalur sebanyak 9 jalur dan jarak antara jalur sepanjang 100 m. Ukuran jalur yang digunakan berukuran 20mx200m (1 jalur = 10 petak contoh) dan jumlah total plot sebanyak 90 plot. Untuk setiap petak ukur dilakukan pengukuran dan pencatatan terhadap semua tingkat tumbuhan, yaitu :

1. Petak 2 m x 2 m dilakukan pengukuran dan pencatatan untuk tingkat semai dan tumbuhan bawah (tinggi < 1,5 m, diameter < 3 cm).

2. Petak 5 m x 5 m dilakukan pengukuran dan pencatatan untuk tingkat pancang (tinggi > 1,5 m, diameter < 10 cm).

3. Petak 10 m x 10 m dilakukan pengukuran dan pencatatan untuk tingkat tiang (diameter 10-19 cm).

4. Petak 20 m x 20 m dilakukan pengukuran dan pencatatan untuk tingkat pertumbuhan pohon (diameter ≥ 20 cm).

  Gambar 2 Petak contoh analisis vegetasi.

Keterangan

a : 2m x 2m (semai) b : 5m x 5m (pancang) c : 10m x 10 m (tiang) d : 20m x 20 m (pohon)

Data yang dikumpulkan meliputi nama spesies, jumlah individu setiap spesies untuk tingkat pertumbuhan semai, tumbuhan bawah, dan pancang,

sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon dicatat nama spesies, jumlah individu, dan diameter batang.

3.3.2.1.2 Pembuatan herbarium

Herbarium adalah koleksi spesimen tumbuhan yang terdiri dari bagian-bagian tumbuhan (ranting lengkap dengan daun, kuncup yang utuh, serta lebih baik kalau ada bunga dan buahnya). Herbarium dibuat dengan cara kering yang berguna untuk memudahkan proses identifikasi spesies tumbuhan yang belum diketahui jenisnya.

Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam pembuatan herbarium ini adalah :

• Pengambilan contoh herbarium yang terdiri dari ranting lengkap dengan daunnya, kalau ada bunga dan buahnya juga diambil.

• Contoh herbarium tadi dipotong dengan menggunakan gunting dengan panjang kurang lebih 40 cm.

• Kemudian contoh herbarium dimasukkan ke dalam kertas koran dengan memberikan label gantung yang berukuran (3 x 5) cm 2. Label gantung berisi keterangan tentang nomor spesies, tanggal pengambilan, nama lokal, lokasi pengumpulan, dan nama pengumpul/kolektor.

• Contoh herbarium yang telah diberi label kemudian dirapikan dan dimasukkan ke dalam lipatan kertas koran untuk kemudian lipatan kertas koran tersebut dimasukkan ke dalam plastik.

• Selanjutnya beberapa herbarium disusun di atas sasak yang terbuat dari bambu dan disemprot dengan alkohol 70% yang selanjutnya dibawa dan dikeringkan dengan menggunakan oven.

• Herbarium yang sudah kering, lengkap dengan keterangan-keterangan yang diperlukan diidentifikasi untuk mendapatkan nama ilmiahnya.

3.3.2.1.3 Kajian pustaka

Pengumpulan data dasar mengenai kondisi umum kawasan, meliputi letak dan luas, iklim dan curah hujan, geologi dan tanah, topografi, flora dan fauna, serta kondisi sosial ekonomi masyarakat TAHURA SSH dilakukan dengan studi literatur dan studi pustaka. Pengumpulan data dilakukan dengan merekapitulasi data-data dari literatur yang ada, baik penelitian yang dilakukan oleh pihak

pengelola maupun dari hasil penelitian pihak lain (instansi/mahasiswa). Studi literatur ini dilakukan di berbagai tempat.

3.3.2.2 Pemanfaatan tumbuhan 3.3.2.2.1 Penentuan responden

Penentuan responden dilakukan di Kelurahan Muara Fajar Kecamatan Minas Kabupaten Siak dengan menggunakan teknik snowball sampling, yaitu menentukan responden kunci (key person). Responden kunci adalah orang yang memiliki pengetahuan luas mengenai nama lokal tumbuhan dan manfaat atau kegunaan tumbuhan tersebut serta memiliki intensitas tinggi dalam pemanfaatan tumbuhan. Jumlah responden yang akan diwawancarai adalah tidak ditentukan jumlahnya melainkan sampai data yang didapat jenuh atau tidak ada lagi penambahan pengetahuan/informasi tentang pemanfaatan tumbuhan.

3.3.2.2.2 Wawancara

Wawancara dilakukan untuk mendapatkan data mengenai bentuk pemanfaatan beserta spesies-spesies tumbuhan berguna yang dimanfaatkan oleh masyarakat desa sekitar TAHURA SSH. Wawancara dilakukan secara semi terstruktur dan dengan pengisian kuisioner dengan pendalaman pertanyaan sesuai keperluan. Hal-hal yang akan ditanyakan meliputi spesies tumbuhan dan jenis pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat.

3.4 Analisis Data

3.4.1 Indeks nilai penting

Indeks Nilai Penting (INP) suatu spesies dalam suatu tingkat pertumbuhan dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Soerianegara & Indrawan 1998):

• Kerapatan (K) (ind/ha)

K = Jumlah individu suatu spesies Luas petak contoh

• Frekuensi (F)

F = Jumlah petak ditemukan suatu spesies Jumlah seluruh petak contoh

• Dominasi (D)

D = Luas bidang dasar suatu spesies Luas petak contoh

• Kerapatan Relatif (KR)

KR = Kerapatan suatu spesies ×100% Kerapatan seluruh spesies

• Frekuensi Relatif (FR)

FR = Frekuensi suatu spesies ×100% Frekuensi seluruh spesies

• Dominansi Relatif (DR)

DR = Dominansi suatu spesies ×100% Dominansi seluruh spesies

• Indeks Nilai Penting (INP) untuk tingkat pohon dan tiang adalah KR + FR + DR (%)

• Indeks Nilai Penting (INP) untuk tingkat pancang, semai, tumbuhan bawah, liana, dan epifit adalah KR + FR (%)

3.4.2 Indeks keanekaragaman spesies (H’)

Indeks keanekaragaman spesies dihitung dengan menggunakan Shannon-wienner Index (Ludwig 1988), yaitu :

H’ = -∑[(pi) ln (pi)] ; dimana pi = ni/N Keterangan :

H’ = Indeks keanekaragaman spesies

ni = INP setiap spesies pada tingkat tertentu

N = Total INP seluruh spesies pada tingkat tertentu 3.4.3 Indeks kemerataan spesies (E)

Derajat kemerataan kelimpahan individu antara setiap spesies dapat ditentukan dengan indeks kemerataan spesies tumbuhan (Magurran 1988). Berikut adalah rumusnya :

E = H’ Ln S Keterangan :

E = Nilai Eveness

H’ = Indeks keragaman Shannon-Wiener S = Logaritma natural dari jumlah spesies

Nilai eveness berkisar antara 0 dan 1, jika nilainya 0 menunjukan tingkat kemerataan spesies tumbuhan pada tingkat sangat tidak merata sedangkan jika nilainya mendekati 1 maka hampir seluruh spesies yang ada mempunyai kelimpahan yang sama (Magurran 1988)

3.4.4 Identifikasi tumbuhan

Spesies tumbuhan hasil analisis vegetasi diidentifikasi kegunaannya berdasarkan beberapa literatur, seperti Heyne (1987), Ipor (2001), Lemmens (2003), Jansen (1992), dan Oemiyati et al. (2003).

3.4.5 Persentase habitus

Besarnya suatu jenis habitus yang digunakan terhadap seluruh habitus yang ada dapat ditelaah dengan menggunakan persentase habitus. Habitus tersebut meliputi pohon, semak, perdu liana, dan herba. Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung persentase habitus (Atok 2009), yaitu sebagai berikut:

Presentase habitus = ∑ spesies habitus tertentu %

∑ seluruh habitus 3.4.6 Persentase potensi tumbuhan berguna

Berdasarkan hasil analisis vegetasi dihitung persen potensi tumbuhan berguna (Hidayat 2009), dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Potensi tumbuhan berguna = ∑ spesies tumbuhan berguna %

∑ seluruh spesies 3.4.7 Persentase bagian yang dimanfaatkan

Presentase bagian tumbuhan yang digunakan meliputi bagian tumbuhan yang dimanfaatkan mulai dari bagian tumbuhan yang paling atas/daun sampai ke bagian bawah/akar. Rumus untuk menghitung persentase bagian yang dimanfaatkan (Atok 2009), yaitu :

Bagian yang dimanfaatkan = ∑ bagian yang dimanfaatkan %

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak dan Luas

Secara administratif, lokasi TAHURA SSH Provinsi Riau berada di Kecamatan Minas Kabupaten Siak seluas 767,81 ha (12,44% dari luas keseluruhan Tahura SSH), Kecamatan Tapung Hilir Kabupaten Kampar seluas 2.323,33 ha, dan Kecamatan Rumbai Kota Pekanbaru seluas 3.080,66 ha.

Secara geografis kawasan ini terletak pada koordinat 0037 LU- 0044 LU dan 101020BT- 101028 BT. Adapun luas kawasan sesuai dengan keputusan Menteri Kehutanan No. 349/Kpts-II/1996 tanggal 5 Juli 1996 adalah sebesar 5.920 ha dan ditetapkan dengan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 348/Kpts-II/1999 tanggal 26 Mei 1999 dengan luas 6.172 ha setelah dilakukan pengukuran dan penataan batas kawasan.

4.2 Topografi

Secara umum kawasan Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim merupakan grup dataran dengan kondisi fisiografi berombak dan bergelombang berbukit kecil di sebelah timur sungai Takuana Buluh, datar hingga bergelombang di sebelah baratnya, di kanan kiri sungai bagian hilir berupa grup alluvial.

Ketinggian tempat kawasan Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim dari permukaan laut berkisar 10 – 25 meter dengan topografi bervariasi dari datar hingga bergelombang dengan bukit kecil.

4.3 Iklim

Berdasarkan Badan Meteorologi dan Geofisika Pekanbaru, maka kawasan TAHURA SSH digolongkan kepada daerah iklim tropika basah dengan curah hujan rata-rata tahunan antara 2.094-2.496 mm per tahun dan jumlah hari hujan antara 131-171 hari. Menurut Schmidt dan Ferguson (1951) diacu dalam Yoza (2005), wilayah ini tergolong dalam tipe curah hujan A (sangat basah), yaitu tidak mempunyai bulan kering (curah hujan < 60 mm) dan curah hujan basah sepanjang tahun (curah hujan > 100 mm). Suhu bulanan rata-rata sekitar 26,70C dan suhu maksimum dapat mencapai 34,90C

4.4 Kondisi Hidrologi

Aliran sungai yang terdapat di dalam kawasan Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim, terbagi dalam 3 kelompaok Sub DAS yaitu Sub DAS I seluas 3.642,4 ha, Sub DAS II seluas 1.239,7 ha dan Sub DAS III seluas 1.037, 9 ha. Pada Sub DAS I, sungai terbesar yang mengalir melalui kawasan Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim adalah sungai Takuana Buluh yang bermuara langsung ke sungai Siak. Sedangkan pada Sub DAS II dan Sub DAS III umumnya merupakan anak–anak sungai yang keduanya bermuara pada Sungai Tapung yang merupakan anak dari Sungai Siak.

Salah satu yang menjadi alasan ditunjuknya kelompok hutan Takuana menjadi kawasan Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim adalah banyaknya anak sungai yang berhulu di kawasan Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim sehingga diharapkan kawasan Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim dapat berfungsi sebagai pengaman dan pemelihara Daerah Aliran Sungai (DAS) Takuana dan DAS Siak dalam rangka penanggulangan banjir di hulu Sungai Siak.

4.5 Flora dan Fauna

Vegetasi di TAHURA SSH merupakan vegetasi hutan hujan tropika dataran rendah. Flora yang terdapat di Tahura ini adalah meranti (Shorea leprosula), kapur (Dryobalanops oblongifolia), keruing (Dipterocarpus spp.), merawan (Hopea mengarawan), dan sebagainya. Jenis-jenis pohon yang dominan di areal Tahura SSQ ini adalah suku Dipterocarpaceae, dimana vegetasinya termasuk zone barat yang meliputi pulau Sumatera, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya (Yoza 2005).

Fauna/satwa yang berhabitat di Kawasan Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim beberapa diantaranya merupakan satwa yang termasuk dalam kategori satwa langka seperti Harimau sumatera (Panthera tigris sumatraensis), Gajah Sumatera(Elephans Sumatraensis), Tapir(Tapirus indicus), siamang(Hylobathes syndactylus) dan beberapa jenis satwa yang dilindungi seperti Kancil (Muntiacus muntjak), Beruang Madu, Ungko tangan hitam (Hylobathes agilis), Burung Rangkong (Rhyticeros undulate) dan sebagainya.

Selain menjadi habitat satwa langka dan dilindungi, kawasan Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim juga memiliki salah satu jenis burung yang merupakan

salah satu satwa ciri khas Provinsi Riau yaitu Burung Serindit (Loriculus galgulus).

Satwa–satwa yang hidup dan berhabitat di dalam kawasan Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim yang masih berhutan umumnya dengan aktifitas pada pagi hari dan sore hari sehingga pada waktu tertentu dapat dijumpai beberapa satwa yang berkeliaran di sekitar area kunjungan diantaranya jenis monyet, burung, dan tupai.

4.6 Kondisi Umum, Sosial, dan Budaya Masyarakat

Kawasan TAHURA SSH berada di tiga wilayah kabupaten dan kota, yaitu Kota Pekanbaru Kecamatan Rumbai, Kabupaten Siak Kecamatan Minas, dan Kabupaten Kampar Kecamatan Tapung Hilir. Berdasarkan hasil Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk di Kecamatan Rumbai berjumlah 65.306 orang (BPS Kota Pekanbaru 2011). Jumlah penduduk di Kecamatan Minas berjumlah 24.053 orang (BPS Kab. Siak 2010) . Sedangkan menurut BPS Kab. Kampar (2009) jumlah penduduk di Kecamatan Tapung Hilir 48.824 orang. Penduduk terbanyak sepanjang tahun berada di Kota Pekanbaru dan diikuti Kabupaten Kampar. Tingginya laju pertumbuhan penduduk di daerah ini lebih disebabkan oleh migrasi penduduk yang masuk (imigrasi) ke daerah ini. Secara garis besar masyarakat di sekitar kawasan Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim terdiri dari suku Melayu, Minang, Batak dan beberapa berasal dari Pulau Jawa yang awalnya merupakan perpindahan transmigrasi. Migrasi penduduk ke daerah ini, sebagian besar dilatarbelakangi oleh faktor sosial ekonomi dan budaya. Secara sosial ekonomi, sumberdaya kayu hutan untuk bahan bangunan di daerah ini yang sangat besar dapat menopang kehidupan mereka, terlebih dengan dibukanya jalan minyak oleh PT. Caltex Pacific Indonesia semakin memperlancar akses untuk masuk ke daerah ini namun pada kenyataannya etnis ini lebih suka menguasai tanah/lahan dibanding sumberdaya kayu. 

Mata pencaharian masyarakat sekitar umumnya berdagang dan berkebun kelapa sawit. Sedangkan dari nilai pendidikan, masyarakat sekitar kawasan umumnya sudah berpandangan maju. Hal ini dapat dilihat dari adanya 2 sekolah

Dokumen terkait