• Tidak ada hasil yang ditemukan

129-157 mm IP Proporsi Pi^2 Pi*Pj Jenis Organisme Pi Pj Pi Pj Pi^2 Pj^2 Bactriastrum 0,5797 2,4691 0,0058 0,0247 0,0000 0,0006 0,000143137 Calanus 0,0675 0,2297 0,0007 0,0023 0,0000 0,0000 1,54964E-06 Ceratium 0,8617 3,5176 0,0086 0,0352 0,0001 0,0012 0,000303116 Ceratorys 0,0000 0,0882 0,0000 0,0009 0,0000 0,0000 0 Chaetoceros 0,2485 1,7299 0,0025 0,0173 0,0000 0,0003 4,29928E-05 Corethron 0,0000 0,0570 0,0000 0,0006 0,0000 0,0000 0 Coscinudiscus 19,4126 23,1876 0,1941 0,2319 0,0377 0,0538 0,045013132 Favella 0,4636 0,8493 0,0046 0,0085 0,0000 0,0001 3,93737E-05 Guinardia 29,1860 22,8088 0,2919 0,2281 0,0852 0,0520 0,066569814 Hemialus 3,8997 3,6858 0,0390 0,0369 0,0015 0,0014 0,001437347 Melosira 0,2110 0,8621 0,0021 0,0086 0,0000 0,0001 1,81923E-05 Nauplis 0,0646 0,3705 0,0006 0,0037 0,0000 0,0000 2,39231E-06 Navicula 1,5132 2,8146 0,0151 0,0281 0,0002 0,0008 0,000425913 Nitzchia 7,3309 13,2079 0,0733 0,1321 0,0054 0,0174 0,009682573 Peridinium 28,9742 18,6126 0,2897 0,1861 0,0840 0,0346 0,053928612 Pleurosigma 2,3863 1,7599 0,0239 0,0176 0,0006 0,0003 0,000419965 Rhizoselonia 3,9272 2,7704 0,0393 0,0277 0,0015 0,0008 0,001087999 Sagitta 0,0000 0,0176 0,0000 0,0002 0,0000 0,0000 0 Skeletonema 0,3971 0,8378 0,0040 0,0084 0,0000 0,0001 3,32659E-05 Tintinnopsis 0,4761 0,1237 0,0048 0,0012 0,0000 0,0000 5,88762E-06 100,0000 100,0000 1,0000 1,0000 0,2162 0,1635 0,1792

CHPiPj = ((2* ∑ PiPj)/((∑ Pi^2)+(∑ Pj^2))) = ((2*0,1792)/((0,2162+0,1635))) = 0,9436

Lampiran 10. Indeks Similaritas ikan tembang jantan dan betina di PPP Labuan Banten pada setiap bulan pengamatan

Jantan A B C D E F A 1 0,629691 0,648244 0,553403 0,584198 0,530754 B 0,629691 1 0,648561 0,505883 0,536993 0,514264 C 0,648244 0,648561 1 0,670691 0,681771 0,681207 D 0,553403 0,505883 0,670691 1 0,838218 0,755287 E 0,584198 0,536993 0,681771 0,838218 1 0,780704 F 0,530754 0,514264 0,681207 0,755287 0,780704 1 Betina A B C D E F A 1 0,550252 0,683947 0,616191 0,524588 0,59329 B 0,550252 1 0,613768 0,536491 0,52021 0,511132 C 0,683947 0,613768 1 0,716558 0,587221 0,681207 D 0,616191 0,536491 0,716558 1 0,782899 0,802149 E 0,524588 0,52021 0,587221 0,782899 1 0,70094 F 0,59329 0,511132 0,681207 0,802149 0,70094 1

1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perairan Selat Sunda yang terletak di sebelah barat Provinsi Banten memiliki potensi perikanan yang cukup tinggi dan aktifitas perikanan yang cukup padat. Hal tersebut dapat dilihat dari tingkat kesibukan kegiatan pendaratan ikan yang ada di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan, Kabupaten Pandeglang yang terletak di sisi timur perairan Selat Sunda.

Selain PPP Labuan, di sekitar wilayah perairan Selat Sunda juga terdapat 3 Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI), yaitu PPI Sukanegara, PPI Carita, dan PPI Panimbang. Dari keempat Pelabuhan atau Pangkalan Pendaratan Ikan tersebut, PPI Panimbang dan PPP Labuan tergolong sebagai sentra pengembangan perikanan laut di wilayah ini yang tingkat aktifitasnya tinggi (Rahardjo et al. 1999 in Sjafei & Robiyani 2001). PPP Labuan memiliki tiga tempat pelelangan ikan (TPI), yaitu TPI lama, TPI baru, dan TPI pasar. Aktifitas perikanan di PPP Labuan didukung oleh banyaknya jumlah armada penangkapan ikan yang melakukan kegiatan bongkar muat. Tingginya aktifitas perikanan di wilayah ini kemudian menjadikannya sebagai pusat penelitian dan usaha perikanan lainnya oleh berbagai pihak.

Salah satu hasil tangkapan nelayan yang banyak didaratkan di PPP Labuan adalah ikan tembang (Sardinella fimbriata), yang tertangkap hampir setiap waktu dan relatif selalu tersedia. Ikan tembang merupakan salah satu ikan pelagis kecil yang berada di perairan Indonesia dan tergolong ikan ekonomis penting yang banyak dikonsumsi. Hal ini dapat mendorong pada upaya penangkapan ikan tembang yang makin tinggi. Beberapa alat tangkap yang digunakan untuk penangkapan ikan ini adalah purse seine, dogol, rampus, dan sejenisnya. Ikan tembang yang didaratkan di PPP Labuan sebagian besar berasal dari perairan Selat Sunda.

Sebagai ikan ekonomis penting dan banyak dikonsumsi masyarakat dapat menjadikan ikan tembang sebagai salah satu sumber bahan pangan berprotein tinggi. Oleh karena itu, ketersediaan ikan tersebut dalam jangka panjang harus tetap

dipertahankan dan untuk hal tersebut. Ketersediaan makanan ikan tembang harus selalu tersedia di alam. Dalam konsep ekosistem, makanan menjadi salah satu penentu kelangsungan hidup ikan dan ketersediaan populasi dan stok ikan. Keberadaan suatu jenis ikan di alam memiliki hubungan yang sangat erat dengan keberadaan makanan yang ada di alam (Lagler 1972 in Febyanti & Syahailatua 2008). Makanan yang dikonsumsi ikan, akan digunakan dalam siklus metabolisme tubuhnya dan hasil metabolisme tubuh akan mempengaruhi proses pertumbuhan, reproduksi, dan tingkat keberhasilan hidup untuk tiap-tiap individu ikan (Effendie 2002). Sejauh ini informasi tentang biologi ikan tembang yang berasal dari perairan Selat Sunda masih terbatas, salah satunya adalah informasi tentang aspek kebiasaan makanan.

1.2 Perumusan Masalah

Penangkapan ikan tembang yang berlebihan dikhawatirkan akan mengakibatkan populasi menurun. Untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan tembang ini, maka diperlukan adanya pengelolaan yang baik. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kelestarian ikan tembang adalah ketersediaan makanan, baik jumlah maupun mutu, secara terus-menerus. Oleh karena itu, informasi mengenai kebiasaan makanan ikan tembang diperlukan sebagai dasar yang mendukung dalam upaya pengelolaan sumberdaya ikan tembang. Kajian mengenai makanan ikan akan membantu kita untuk mengetahui peran sumberdaya ikan dalam rantai makanan di perairan. Selain itu juga penting untuk mengetahui tingkat daya dukung pertumbuhan populasi ikan tersebut. Informasi mengenai hasil kajian ini akan sangat diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya ikan tembang di masa mendatang. Hasil kajian kebiasaan makanan ikan tembang di perairan Selat Sunda ini dapat melengkapi hasil kajian kebiasaan ikan tembang yang sudah dilakukan di perairan lainnya, yaitu di perairan Ujung Pangkah, Jawa Timur (Robiyanto 2006; Rosita 2007). Dengan demikian, diharapkan informasi tentang kebiasaan makanan ikan tembang menjadi lebih lengkap dan utuh sehingga dapat membantu dalam menyusun kebijakan pengelolaan ikan tembang yang efektif dan lebih tepat.

1.3 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji makanan tiap kelompok ikan tembang di perairan Selat Sunda untuk merumuskan rencana pengelolaan di masa mendatang.

1.4 Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dasar dan sebagai salah satu acuan dalam upaya pengelolaan sumberdaya ikan tembang (Sardinella fimbriata) di perairan Selat Sunda ke arah yang lebih baik dan berkelanjutan pada masa mendatang.

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Tembang Sardinella fimbriata (Cuvier and Valenciennes 1847) 2.1.1 Klasifikasi dan Tata Nama

Klasifikasi ikan tembang menurut Cuvier and Valenciennes 1847 (Gambar 1) dalam Persitiwady (2006) berdasarkan tingkat sistematikanya adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Actinopterygii Ordo : Clupeiformes Famili : Clupeidae Subfamili : Incertae sedis Genus : Sardinella

Spesies : Sardinella fimbriata (Cuvier and Valenciennes 1847) Nama umum : Fringle-scale sardinella, fimbriated sardinella

Nama lokal : Tembang (Jakarta), Mangida (Bali), Tembang lakara (Bugis), Sintring (Madura), Jurung (Pekanbaru)

(Peristiwady 2006)

Gambar 1. Ikan Tembang

2.1.2 Morfologi

Ikan tembang memiliki bentuk tubuh memanjang dan pipih serta memiliki duri di bagian bawah badan. Lengkung kepala bagian atas ikan tembang sampai di atas mata hampir lurus, dan dari setelah mata sampai awal dasar sirip punggung agak cembung. Tinggi badan ikan tembang lebih besar daripada panjang kepala dengan mata tertutup oleh kelopak mata. Awal dasar sirip punggung ikan tembang terletak sebelum pertengahan badan, sedangkan dasar sirip dubur sama panjang dengan dasar sirip punggung. Kepala dan badan bagian atas ikan tembang berwarna hijau kebiruan, sedangkan bagian bawah berwarna putih keperakan. Adapun sirip-sirip berwarna keputihan. Sirip punggung (dorsal) ikan tembang mempunyai 18 jari-jari lemah, sirip dada (pectoral) mempunyai 15 jari-jari lemah, sirip dubur (anal) memiliki 18 jari-jari lemah, dan sirip perut (ventral) memiliki 8 jari-jari lemah (Peristiwady 2006).

Ikan tembang (Sardinella fimbriata) memiliki ciri-ciri rangka yang terdiri dari tulang benar dan tulang bertutup insang. Ikan tembang mempunyai bentuk kepala simetris, bentuk badan tidak seperti ular dan seluruh sisik tidak terbungkus dalam kelopak tebal. Bagian ekor ikan tembang tidak bercincin dan hidung tidak memanjang ke depan serta pipi atau kepala tidak mempunyai kelopak keras dan duri. Sirip punggung ikan tembang terdiri dari jari-jari lemah yang berbuku dan berbelah, bersisik dan tidak bersungut, dan tidak berjari-jari keras pada tulang punggung. Ikan tembang tidak mempunyai sirip punggung tambahan seperti kulit, tidak berbercak-bercak yang bercahaya, bertulang dahi belakang, dan sirip dada senantiasa sempurna. Perut ikan tembang sangat pipih dan bersisik tebal yang bersiku. Ikan tembang mempunyai sirip perut sempurna, rahang sama panjang, daun insang satu sama lain tidak melekat, bentuk mulut ikan tembang ini terminal, tajam serta bergerigi dan gigi-giginya lengkap pada langit-langit, serta terdapat sambungan tulang rahang dan lidah (Saanin 1984).

2.1.3 Kebiasaan Makanan

Kebiasaan makanan adalah jenis, kuantitas, dan kualitas makanan yang dimakan oleh ikan. Sedangkan cara makan adalah segala sesuatu yang berhubungan

dengan waktu, tempat, dan cara makanan yang diperoleh oleh ikan. Kebiasaan makanan ikan secara alami tergantung pada lingkungan tempat ikan hidup, dan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain habitat, kesukaan terhadap jenis makanan tertentu, musim, ukuran, umur ikan, periode harian mencari makan, dan spesies kompetitor (Febyanti & Syahailatua 2008).

Berbagai jenis makanan ikan tersedia di alam. Ikan dapat dikelompokkan berdasarkan variasi makanannya (Nikolsky 1963). Eurifagus adalah ikan yang memakan berbagai jenis makanan, sebagai contoh yaitu ikan buntal (Tetraodon reticularis) di perairan Ujung Pangkah yang memakan berbagai jenis makanan, yaitu bivalvia (kerang hijau), Crustacea (udang, balanus), kepiting, gastropoda, dan ikan (Lubis 2001); ikan tipe stenofagus adalah ikan yang memakan makanan yang sedikit jenisnya, sebagai contoh ikan biji nangka (Upenus moluccensis) yang terdapat di perairan Teluk Labuan karena ikan ini variasi jenis makanannya sedikit berupa udang-udangan, ikan kecil, dan detritus (Susilawati 2000); dan ikan tipe monofagus adalah ikan yang hanya memakan satu jenis makanan saja, sebagai contoh ikan kapasan (Gerres kapas) jantan dan betina yang terdapat di perairan Pantai Mayangan, Subang, hanya memakan Tellina (Sarjono 2005). Setiap hewan membutuhkan energi yang didapatkan dari makanan antara lain untuk reproduksi selain hidup, tumbuh, dan perawatan (Royce 1972 in Krismono et al. 2008).

Ketersediaan makanan merupakan salah satu faktor yang menentukan jumlah populasi, pertumbuhan, reproduksi, dan dinamika populasi serta kondisi ikan yang ada di perairan (Nurmawati 2007 in Satia et al. 2009). Dalam satu spesies, ikan mungkin makanannya berbeda-beda dari waktu ke waktu. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu perubahan lingkungan. Beberapa faktor yang mempengaruhi kebiasaan makanan ikan diantaranya penyebaran suatu organisme makanan dan ketersediaan makanan di lingkungan perairan tersebut (Effendie 2002). Penyebaran jenis makanan yang paling banyak di suatu perairan akan menyebabkan pengambilan dari jenis makanan tersebut bertambah (Effendie 1979 in Widyorini 2010). Kebiasaan makanan ikan-ikan dapat berbeda sesuai perubahan waktu meskipun penangkapannya dilakukan pada tempat yang sama (Lagler 1972 in Simanjuntak & Rahardjo 2001).

Berdasarkan kelompok ukuran, terlihat perbedaan jumlah dan jenis organisme yang dimakan. Perbedaan ini antara lain diduga oleh perbedaan tapis insang, ukuran makanan, tingkat kelaparan ikan, dan frekuensi pengambilan makanan (Pradini et al.

2001). Dengan mengetahui kebiasaan makanan ikan, kita dapat melihat hubungan ekologis antar organisme pada perairan tersebut, misalnya bentuk-bentuk pemangsaan, persaingan, dan rantai makanan.

Ikan tembang, seperti ikan clupeid lainnya memanfaatkan plankton sebagai makanannya (Pradini 1998 in Rosita 2007). Makanan utama ikan tembang di perairan Ujung Pangkah pada bulan Juli - Desember adalah Bacillariophyceae, makanan pelengkap adalah kelompok Crustacea, dan makanan tambahannya berupa Cilliata dan Dinophyceae (Robiyanto 2006). Dari jenis makanan yang dimakan, dapat diketahui bahwa ikan tembang tergolong omnivora cenderung herbivora.

Bacillariophyceae (diatom) merupakan kelompok fitoplankton yang sering dijumpai selama pencacahan sampel. Bacillariophyceae (Diatom) merupakan kelompok fitoplankton dengan jumlah terbesar di perairan laut dan berperan penting sebagai produsen primer di perairan laut (Sachlan 1983 in Subiyanto et al. 2008). Bacillariophyceae mempunyai ukuran yang sangat halus sehingga sangat mudah dicerna di dalam saluran pencernaan (Rosita 2007). Pertumbuhan diatom yang dominan tersebut dipengaruhi oleh parameter lingkungan. Salah satu parameter yang berperan adalah suhu perairan. Suhu optimal untuk pertumbuhan diatom adalah sekitar 20-300C (Effendi 2003 in Agustini et al. 2008).

2.1.4 Habitat dan Penyebaran

Ikan tembang termasuk ikan pelagis yang hidup di lautan terbuka, lepas dari dasar perairan dan pada zona kedalaman sampai 100 – 150 meter, yang merupakan zona yang masih dapat ditembus cahaya (zona epipelagik) (Nybakken 1988). Telur dan larva ikan tembang ditemukan di sekitar perairan mangrove atau bakau. Saat juvenil, ikan ini masih ada yang hidup di mangrove dan mulai memasuki daerah yang memiliki kadar garam sedang. Ketika dewasa, spesies ini hidup bergerombol bersama ikan lemuru dan banyak ditemukan di dekat pantai sampai ke arah laut (www. fishbase.org). Gunarso (1985) in Monintja et al. (1994) menyatakan bahwa

terdapat beberapa faktor yang menyebabkan ikan membentuk kelompok, antara lain sebagai perlindungan dari pemangsa, mencari dan menangkap mangsa, untuk tujuan pemijahan, bertahan pada musim dingin, untuk melalukan ruaya dan pergerakan serta terdapatnya suatu pengaruh dari faktor-faktor yang ada sekelilingnya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran suatu jenis ikan di perairan diantaranya adalah kompetisi antar spesies dan intra spesies, heterogenitas lingkungan fisik, reproduksi, ketersediaan makanan, arus air, dan angin (Hanson in

Pradini 1998). Pergerakan vertikal terjadi karena perubahan siang dan malam, dimana pada malam hari gerombolan ikan cenderung berenang ke permukaan dan berada pada permukaan sampai matahari sudah akan terbit dan pada waktu malam terang bulan gerombolan ikan tersebut agak berpencar atau berada tetap di bawah permukaan air (Dwiponggo 1978 in Monintja et al. 1994).

Menurut Hutomo et al. 1975 in Monintja et al. 1994, pada saat akan memijah,

Sardinella fimbriata beruaya dari perairan pesisir ke perairan lepas pantai. Ikan ini penyebarannya meliputi perairan Indonesia menyebar ke utara sampai Taiwan, ke selatan sampai ujung utara Australia, dan ke barat sampai Laut Merah.

2.2 Luas Relung dan Tumpang Tindih Relung Makanan

Persaingan terhadap makanan sering terjadi antar individu dalam satu spesies atau antar spesies. Persaingan terhadap makanan merupakan perebutan antara dua spesies ikan atau lebih terhadap organisme makanan yang sama (Effendie 1997 in

Robiyanto 2006).

Luas relung makanan mengindikasikan adanya perbedaan sumberdaya makanan yang dimanfaatkan oleh suatu organisme (Oktaviani 2006). Luas relung makanan dapat membantu dalam menentukan posisi suatu spesies ikan dalam rantai makanan yang berguna dalam pengelolaan sumberdaya perikanan.

Luas relung makanan dapat dipengaruhi oleh jenis kelamin dan ukuran ikan. Luas relung ikan memiliki kecenderungan menurun di setiap kelas ukuran panjang. Perubahan nilai luas relung ada pada setiap kelompok ukuran ikan, dimana ikan berukuran kecil akan menggunakan luas relung yang sempit (Effendie 1997 in Satia

jantan di perairan Pantai Mayangan, Subang, lebih luas dari pada ikan blama betina. Berdasarkan ukuran panjang, ikan blama pada kelompok ukuran 261 – 300 mm mempunyai luas relung makanan paling besar (Djapari 2003). Luas relung makanan yang besar menandakan bahwa ikan-ikan tidak selektif dalam memilih makanan yang tersedia (Satia et al. 2009). Semakin besar ukuran panjangnya, pola kebiasaan makannya juga akan berubah dan akan menggunakan luas relung yang besar. Perbedaan luas relung makanan ikan antar kelompok ukuran menunjukkan bahwa pertambahan panjang ikan tidak berkaitan dengan kelimpahan dan kemampuan ikan dalam memanfaatkan makanan yang tersedia di perairan (Nurnaningsih et al. 2005). Namun variasi makanan yang banyak tidak menjamin akan memberikan luas relung yang besar (Satia et al. 2009).

Tumpang tindih relung adalah penggunaan bersamaan atas satu sumberdaya atau lebih oleh dua kelompok atau lebih, sedangkan tumpang tindih relung makanan adalah pemanfaatan jenis makanan yang sama oleh dua kelompok atau lebih. Jika tumpang tindih tinggi (berkisar 1), kedua kelompok yang dibandingkan mempunyai jenis makanan yang sama, sebaliknya jika nilai tumpang tindih sama dengan nol, berarti tidak didapatkan makanan yang sama diantara kedua kelompok (Colwell et al. 1971 in Mahyasopha 2007). Besarnya nilai tumpang tindih menunjukkan bahwa ikan tersebut mempunyai kesamaan jenis makanan sehingga peluang terjadinya persaingan makanan akan menjadi tinggi, sedangkan kecilnya nilai tumpang tindih yang terjadi akan mengurangi persaingan antar kelompok ukuran ikan karena ikan tidak memanfaatkan makanan yang sama (Nurnaningsih et al. 2005).

Persaingan dalam memanfaatkan ruang dan sumberdaya makanan yang sama oleh dua atau lebih spesies dapat menimbulkan kematian atau kepunahan jenis ikan tertentu. Hal ini disebabkan karena terbatasnya sumberdaya makanan di suatu perairan, dimana persediaan makanan di perairan akan mempengaruhi pertumbuhan ikan dan hanya ikan-ikan yang kuat dalam persaingan yang dapat tumbuh dengan baik (Weatherley 1972).

2.3 Kondisi Umum Perairan Selat Sunda

Daerah penangkapan ikan tembang oleh para nelayan di sekitar perairan Selat Sunda yang berada pada titik koordinat 105015’E/6054’S sampai dengan 104035’E/5059’S (Heriawan 2006). Selat Sunda terletak diantara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera yang merupakan penghubung antara Laut Jawa di sebelah utara dengan Samudera Hindia di sebelah selatan. Kedalaman maksimum di Selat Sunda adalah 1.575 m dan luas perairannya lebih kurang 8.138 km2 (Birowo 1983 in

Silalahi 2000).

Perairan Selat Sunda merupakan perairan yang unik, karena kondisi perairannya dipengaruhi oleh karakteristik oseanik Samudera Hindia dan sifat perairan dangkal Laut Jawa. Topografi dasar laut Selat Sunda beragam bentuknya, yaitu berbentuk paparan, berbagai kedalaman (slope), berupa mangkuk (deep sea basins), gunung di bawah laut (sea mount), dan pemunculan dasar perairan (throughs). Dasar perairan Selat Sunda pada kedalaman hingga 30 m umumnya adalah lumpur berpasir dan bahan organik yang belum terurai, sedangkan pada kedalaman antara 30 hingga 100 m umumnya adalah campuran pasir dan karang (Heriawan 2006).

Iklim di Selat Sunda dipengaruhi oleh angin muson, yaitu Muson Tenggara dan Muson Barat Laut. Angin Muson Tenggara biasanya terjadi pada musim kemarau (April – September), sedangkan angin Muson Barat Laut terjadi pada musim penghujan (Oktober – Maret) (Silalahi 2000). Pada angin Muson Tenggara, angin bertiup dari arah timur sampai tenggara dengan kecepatan yang lemah sehingga laut tidak bergelombang besar. Pada angin Muson Barat Laut, angin bertiup dari arah barat sampai barat laut dengan membawa hujan dan musim ini merupakan musim paceklik bagi para nelayan karena angin berkecepatan tinggi dan hujan badai (Heriawan 2006). Kondisi perairan laut sekitar Selat Sunda di Pasauran, Kabupaten Serang menurut Yusfiandayani (2004) in Heriawan (2006) disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kondisi fisik lingkungan di sekitar perairan Selat Sunda

Parameter Kisaran Keterangan

Suhu 27-31oC Umumnya 29oC atau lebih

Kecepatan arus air 3-25 m/menit Umumnya kurang dari 15 m/menit

Salinitas 29-31o/oo Umumnya 30 o/oo

Kecerahan 3,5-13,0 meter Kedalaman maksimum sechii disk dapat terlihat dari permukaan; Umumnya antara 6-10 meter.

2.4 Jenis Makanan Ikan Tembang

Karakteristik beberapa organisme makanan ikan tembang menurut Nontji (2008) adalah sebagai berikut :

1. Diatom (Kelas Bacillariophyceae)

Diatom merupakan kelompok fitoplankton yang paling umum dijumpai di laut. Diatom terdapat di mana saja, dari tepi pantai hingga tengah samudera. Di dunia, fitoplankton dari kelompok ini diperkirakan ada sekitar 1400 – 1800 jenis, tetapi tidak semua jenis hidup sebagai plankton.

Diatom merupakan tumbuhan mikroskopis di laut yang merupakan tumpuan hidup (langsung atau tidak langsung) bagi sebagian besar biota di laut. Oleh sebab itu, diatom memiliki beberapa julukan, yaitu marine pasture, invisible forest, dan

jewel of the sea. Diatom terbagi atas dua ordo, yakni Centrales dan Pennales. Diatom sentrik bercirikan bentuk sel yang mempunyai simetri radial atau konsentrik dengan satu titik pusat. Selnya bisa berbentuk bulat, lonjong, atau silindris dengan penampang bulat, segitiga, atau segi empat. Diatom penat umumnya memanjang

atau berbentuk sigmoid seperti huruf “S”. Disepanjang median sel diatom penat terdapat jalur tengah yang disebut rafe (raphe).

Struktur umum sel diatom dapat dijelaskan secara sederhana dengan model dari diatom sentrik. Sel dengan kerangka silikanya disebut frustul. Di dalam frustul terdapat sitoplasma yang mengandung inti sel dan vakuola yang besar. Di dalam sitoplasma juga terdapat kromatofor yang umumnya berwarna kuning-cokelat karena adanya pigmen karotenoid. Diatom dapat hidup sebagai individu sel tunggalyang soliter, atau terhubung dengan sel lainnya membentuk koloni bagaikan

rantai, dengan rangkaian antar selnya bervariasi menurut jenis. Gelombang laut yang kuat dapat membuat rantai yang semula panjang pecah menjadi rantai yang lebih pendek. Ukuran diatom cukup beragam dari 5 µm – 2 mm. Distribusi plankton diatom bervariasi secara temporal dan spasial, yang banyak ditentukan oleh faktor- faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Sebaran horizontal misalnya banyak ditentukan oleh faktor suhu, salinitas, dan arus. Di perairan Ugahari (temperate) yang mengalami perubahan musim panas dan musim dingin yang nyata, variasi musiman suhu, hara, dan cahaya akan mempengaruhi keberadaan dan suksesi plankton diatom.

2. Dinoflagellata (Dinophyceae)

Dinophyceae merupakan kelas utama dari Dinoflagellata, yang merupakan kelompok fitoplankton yang sangat umum ditemukan di laut setelah diatom. Ciri khas yang terdapat pada kelompok fitoplankton ini adalah kandungan pigmen dalam selnya, yang tidak saja mengandung klorofil-a dan klorofil-c, tetapi yang sangat spesifik adalah kandungan pigmen klorofil-â-carotene. Kehadiran pigmen ini menyebabkan warna fitoplankton dari kelompok ini umumnya coklat kekuningan. Ciri lain dari Dinophyceae adalah adanya organ untuk bergerak berupa flagella yang memiliki bentuk seperti bulu cambuk. Berdasarkan kebiasaan hidupnya dan lokasi flagellanya, Dinophyceae dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yakni Desmokontae dan Dinokontae. Dinding sel pada Dinophyceae ada yang berupa dinding selulosa yang tebal dan kuat ada yang berupa pelat-pelat yang melindungi sel, dan adapula dinophyceae tipe telanjang yang tidak mempunyai pelat perisai. Dinophyceae memiliki ukuran 5 – 200 µm, tetapi beberapa spesies dari kelas ini terkadang tumbuh dalam rantai lebih besar atau pseudocoloni. Dinophyceae mendominasi komunitas fitoplankton di perairan sub tropik dan tropik. Kelompok yang mewakili kelas ini umumnya berasal dari genera peridinales yang meliputi

Ceratium, Gonyaulax, dan Peridinium dan dari genera Gymnodiniales yang meliputi

Amphidinium, Ptychodiscus dan Gyrodinium.

Menurut Kennish (1190) in Sunarto (2008), beberapa fitoplankton dari kelompok spesies Dinophyceae menghasilkan racun. Ketika terjadi blooming

dimana kepadatannya dapat mencapai 5 x 105 sel/L, racun yang bertumpuk akan mematikan ikan, kekerangan dan organisme lain. Beberapa jenis fitoplankton dari kelompok Dinophyceae mempunyai kemampuan yang dapat menghasilkan sebuah cahaya antara lain Noctiluca, Gymnodinium dan Pycrocystis. Umumnya Dinophyceae bereproduksi secara aseksual dengan melalui pembelahan sel, meskipun ada beberapa individu bereproduksi secara seksual.

3. Tintinid (Cilliata)

Tintinid merupakan hewan yang hidup sebagai plankton yang paling primitif adalah hewan dari filum protozoa. Hewan ini bersel tunggal, yang mempunyai sitoplasma, sitomembran, dan satu atau lebih inti. Salah sau ciri utama tintinid adalah tubuhnya membentuk kantong dari gelatin atau kitinyang disebut lorika. Bentuk lorika masing-masing jenis berbeda sehingga bagian tubuh hewan ini digunakan sebagai ciri utama untuk identifikasi. Tintinid mempunyai banyak jenis yang hidup sebagai plankton. Ukuran tubuh tintinid beragam, yang umumnya berkisar dari 30 – 150 µm. Dari sebaran vertikalnya, tintinid umumnya hidup di lapisan permukaan, tidak lebih dari kedalaman 100 meter. Persebaran tintinid ada juga yang mengalami perubahan musiman. Tintinid mempunyai peran yang penting

Dokumen terkait