• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG DOKTRIN FIDUCIARY DUTY

C. Tuntutan Terhadap Pelanggaran Fiduciary Duty

Berkaitan dengan gugatan pemegang saham perseroan, perlu dibedakan adanya 3 jenis gugatan yang diatur dalam UUPT, yaitu seperti berikut119:

a. Gugatan pemegang saham yang menggunakan lembaga derivative action

b. Gugatan pemegang saham yang bersifat keperdataan

c. Gugatan pemegang saham berkaitan dengan penyelenggaraan RUPS

1. Derivative Action

Istilah derivative action lahir pertama kali di Amerika Serikat dalam putusan perkara Wallersteiner v. Moir (No.2) di tahun 1975 yang dijatuhkan oleh Court of Appeal. Dalam kata tersebut mengandung arti : “the individual shareholder is enforcing a right which is not his or hers but rather is “derived from” the company” (artinya: pemegang saham individu menyelenggarakan sebuah hak yang bukan miliknya tetapi lebih “diperoleh dari” perusahaan. Deskripsi tersebut telah mengakar dan kemudian dirumuskan dalam Peraturan Mahkamah Agung (Supreme Court Rules) sebagai: “begun by writ by one or more shareholders of a company where the cause of action is vested in the company and relief is

119

accordingly sought on its behalf”. Ini berarti dalam derivative action, seorang atau lebih pemegang saham, diberikan hak, untuk bertindak untuk dan atas nama perseroan melakukan tindakan hukum dalam bentuk pengajuan surat gugatan terhadap anggota Direksi Perseroan, yang telah melakukan pelanggaran terhadap

fiduciary dutynya. Derivative action ini berbeda dari gugatan perorangan yang diajukan oleh satu atau lebih pemegang saham untuk kepentingannya sendiri sebagai pemegang saham dalam perseroan120. Selanjutnya dikatakan oleh Davies bahwa di samping perbedaan tersebut, ada beberapa perbedaan lainnya antara gugatan pribadi pemegang saham dengan derivative action. Derivative action dapat dilakukan oleh setiap pemegang saham tanpa memperhatikan apakah suatu tindakan yang digugat, yang dilakukan oleh anggota Direksi Perseroan yang melanggar fiduciary duty, telah dilakukan sebelum ia menjadi pemegang saham dalam perseroan, selama dan sepanjang tindakan yang digugat tersebut memang merugikan kepentingan perseroan. Sedangkan hak gugatan pribadi pemegang saham hanya dapat dilakukan terhadap tindakan anggota direksi yang merugikan kepentingannya. Untuk keperluan ini perlu diperhatikan bahwa derivative action

hanya dapat dilaksanakan dan berlangsung secara penuh di pengadilan jika hal tersebut disetujui oleh pengadilan (as a matter of court’s discretion). The court thought that the standing of the plaintiff to bring the derivative action should be decided as a preliminary matter before the trial of the action121.(artinya: pengadilan berpikiran bahwa pendirian penggugat untuk melakukan gugatan

120

Gunawan Widjaja, Risiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris dan pemilik PT,Op. Cit. hlm 67

121

derivatif seharusnya ditentukan sebagai masalah persiapan sebelum percobaan tindakannya.)

Tidak setiap gugatan yang diajukan oleh pemegang saham untuk dan atas nama Perseroan dapat diakui sebagai derivative action. Ada beberapa syarat yang memungkinkan dilakukannya derivative action122:

a. Pemegang saham tidak dapat mengajukan gugatan dalam bentuk derivative action, jika yang digugat merupakan tindakan atau perbuatan anggota direksi yang dapat disahkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham berdasarkan persetujuan sederhana (ordinary resolution);

b. Walaupun tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh anggota Direksi Perseroan tersebut adalah tindakan atau perbuatan yang tidak dapat disahkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham Perseroan (karena merupakan tindakan yang dikategorikan sebagai “fraud on the minority”), derivative action hanya berhasil apabila anggota Direksi yang melakukan tindakan atau perbuatan yang melanggar fiduciary duty tersebut merupakan anggota Direksi yang dominan dan memegang kendali dalam Perseroan, dan dalam hal tertentu telah disetujui oleh sebagian besar pemegang saham.

Gugatan derivatif merupakan bentuk penyelesaian (remedy) yang paling penting, dimana pemegang saham minoritas yang dirugikan berhak untuk meminta pertanggung jawaban Direksi, karyawan, maupun pemegang saham mayoritas atas kesalahan dalam melakukan pengurusan perseroan

122

Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi Atas Kepailitan Perseroan, Op. Cit., Hlm 44

(mismanagement), pengalihan harta kekayaan Perseroan, dan tindakan manipulasi yang merugikan Perseroan123.

Menurut Cox, O’Neal, dan Hazen, gugatan-gugatan berikut ini termasuk gugatan derivatif 124:

a. An action seeking recovery due to managerial misconduct, producing a proportionate decline in the company’s shares such as the waste of corporate assets or usurpation of corporate opportunities;

b. An action against the purchaser of corporate assets seeking rescission of sale;

c. An action where the corporation has purchased or sold securities and the Individual shareholder is precluded from relief because he is neither a purchaser nor seller of securities;

d. An action to recover for injuries to corporate assets caused by fraud or by third parties;

e. An action to recover damages for an ultra vires act;

f. A suit to compel the directors to dissolve the corporation due to director misconduct;

g. An action on a contract between the corporation and a third party.

(Artinya:

a. Sebuah tindakan mencari ganti rugi atas perbuatan jahat pengelola, menghasilkan penurunan yang sebanding dari saham perusahaan seperti sisa dari aset perusahaan atau perebutan dari kesempatan perusahaan;

b. Sebuah tindakan melawan pembeli aset perusahaan yang mencari membatalkan pembelian;

c. Sebuah tindakan dimana perusahaan telah membeli atau menjual jaminan dan individu pemegang saham dihalangi dari pertolongan, karena ia bukan pembeli maupun penjual jaminan;

d. Sebuah tindakan mengganti rugi kerugian kepada aset perusahaan karena kelalaian dari pihak ketiga;

e. Sebuah tindakan untuk mengganti kerugian yang ditimbulkan dari tindakan di luar maksud dan tujuan perseroan;

f. Sebuah gugatan untuk memaksa direktur untuk membubarkan korporasi didasarkan pada perbutan jahat direktur;

g. Sebuah tindakan dalam sebuah kontrak antara perusahaan dengn pihak ketiga.)

123

Gunawan Widjaja, Risiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris dan pemilik PT,Op. Cit. hlm 70

124

2. Fraud On Minority

Lipton dalam Understanding Company Law mengatakan bahwa termasuk dalam kategori fraud on minority adalah keputusan dalam Rapat Umum Pemegang Saham Perseroan yang tidak dilakukan dengan “Bona fide for the benefit of the company as a whole”, yaitu keputusan yang :

a. Mengambil alih harta kekayaan Perseroan

b. Mensahkan tindakan direksi yang melanggar fiduciary duty;

Seperti telah dijelaskan di atas, secara umum dikatakan bahwa Rapat Umum Pemegang Saham berhak untuk mensahkan setiap tindakan atau perbuatan Direksi yang melanggar fiduciary duty. Namun demikian ternyata tidak semua tindakan atau perbuatan Direksi yang melanggar fiduciary duty yang dapat disahkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham mengikat pemegang saham minoritas. Atas tindakan-tindakan anggota Direksi yang mengutamakan kepentingannya sendiri di atas kepentingan Perseroan dapat digugat oleh pemegang saham minoritas.

c. Mengambil alih harta kekayaan minoritas. Ini dapat terwujud melalui mekanisme dilusi secara tidak sah.

D. Kaitan Fiduciary Duty Dengan Pranata Hukum Lain

Pemberlakuan prinsip fiduciary duty akan banyak bersentuhan dengan prinsip pranata-pranata hukum lain, sehingga berbagai pranata hukum tersebut akan berlaku secara berbarengan. Di samping itu, fungsi direksi sebenarnya unik, dalam arti bahwa hubungan hukum antara direksi dengan perseroannya dapat dilihat dari berbagai segi dalam struktur teori hukum. Misalnya dari segi

fiduciary duty, keagenan, pelayan (servant) terhadap perusahaan, dan hukum perburuhan atau sebagai profesional yang mandiri, seperti juga hubungan antara seorang lawyer/akuntan dengan kliennya125

1. Direksi sebagai pemegang amanah (Trustee) terhadap perseroan

125

Dalam teori ilmu hukum perusahaan dapat dilihat bahwa sebenarnya asal muasal dari teori fiduciary duty dari direksi bersumber dari hukum tentang trust, sehingga direksi perseroan mempunyai kedudukan sebagai trustee terhadap perusahaannya. Karena kedudukannya sebagai trustee maka dia mempunyai

fiduciary duty yang bersumber dari ikatan hukum direksi dengan perseroan yang disebut dengan hubungan fiduciary (fiduciary relation)126.

Sebagai trustee, maka direksi perseroan haruslah menjalankan fiduciary duty, di mana kepedulian dan kemampuan (duty of care and skill), atau itikad baik, atau loyalitas dari direksi tersebut terhadap perusahaan yang dipimpinnya haruslah dengan “derajat yang tinggi”(high degree).dikatakan sebagai Trustee

karena direksi melakukan pengurusan terhadap harta kekayaan perseroan127. Namun demikian, menurut teori hukum perseroan, kedudukan direksi dari suatu perseroan tidaklah persis sama dengan kedudukan trustee dalam hukum trust. Pada prinsipnya, kedudukan direksi perseroan dalam hukum sangat unik. Mirip dengan kedudukan beberapa pranata hukum yang lain, seperti trustee, agen, pemegang kuasa, ataupun pekerja, tetapi tidaklah persis sama dengan kedudukan semua pihak tersebut di atas.dengan demikian, tidak mengherankan jika terdapat banyak perbedaan antara kedudukan direksi sebagai trustee terhadap perseroan dengan trustee terhadap beneficiary dalam pengertian teknis yang terdapat dalam hukum tentang trust. Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut128:

a. Dari segi luasnya tanggung jawab b. Luasnya kewenangan

126

Ibid.

127

Gunawan Widjaja, 150 Tanya Jawab Tentang Perseroan Terbatas,Op Cit. Hlm 65

128

c. Luasnya prinsip kepedulian, loyalitas dan keterampilan

Pemberlakuan prinsip fiduciary duty kepada direksi perseroan mengharuskan direksi dalam menjalankan tugasnya memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut129:

a. Harus selalu beritikad baik

b. Harus jujur (honest) kepada perseroan

c. Memiliki skill yang wajar seperti yang dimiliki secara wajar oleh umumnya orang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang sama dengannya.

d. Mempedulikan perseroan (Duty of Care)

e. Loyalitas (loyalty) yang tinggi

f. Mengambil keputusan yang reasonable secara bisnis, sungguhpun mungkin bukan keputusan yang optimal.

2. Antara prinsip Fiduciary Duty dengan keagenan

Direksi dikatakan sebagai agen ketika direksi bertindak keluar untuk dan atas nama Perseroan Terbatas130. Karena itu, adalah logis jika beberapa prinsip hukum keagenan berlaku juga terhadap direksi dalam menjalankan tugasnya yang demikian. Misalnya, berlaku prinsip bahwa seorang agen tidak dibenarkan memperoleh keuntungan tersembunyi (secret profit). Hal ini saling mengait dengan prinsip fiduciary duty, sebab sebagaimana telah dijelaskan bahwa hubungan fiduciary sebagai konsekuensi logis dari eksistensi teori fiduciary duty

tersebut terdapat bukan hanya dalam hubungan hukum antara trustee dengan

beneficiary, melainkan juga dalam berbagai hubungan hukum lainnya, termasuk hubungan hukum antara direksi dengan perseroannya atau hubungan hukum antara agen dengan prinsipalnya. Dengan demikian, jika diakui bahwa direksi dalam batas-batas tertentu berkedudukan sebagai agen perseroan, demi hukum (by

129

Ibid.

130

the operation of law) prinsip fiduciary duty ikut tertarik juga untuk berlaku, terlepas apakah hukum perseroan yang bersangkutan mengakui atau tidak terhadap berlakunya prinsip fiduciary duty dalam hukum perseroannya131. Akan tetapi, eksistensi hubungan fiduciary duty dari direksi tidak hanya ketika dia bertindak sebagai agen dari perseroan, tetapi juga dalam pelaksanaan manajemen secara keseluruhan. Seperti telah dijelaskan bahwa direksi mempunyai fungsi tidak hanya sebagai representasi (mewakili) perseroan yang kepadanya berlaku prinsip-prinsip hukum keagenan, tetapi juga direksi memiliki fungsi manajemen, yang terhadap fungsi ini tidak berlaku prinsip keagenan, tetapi prinsip fiduciary duty tetap berlaku132.

Hukum di negara-negara Eropa Kontinental memang lebih menekankan direksi dalam hubungan dengan prinsip keagenan dari prinsip fiduciary. Jadi, di negara-negara Eropa kontinental, direksi lebih dianggap sebagai agen ketimbang

trustee dari perusahaan yang dipimpinnya. Konsep direksi sebagai agen dari perseroan ini berasal dari hukum Prancis, tepatnya dari UU Perusahaan Prancis tahun 1867, yang menganggap direktur hanya sebagai agen (mandataries) dari perseroan sehingga kekuasaan direksi diatur oleh hukum keagenan (mandat). Pendekatan keagenan terhadap direksi model Prancis ini diikuti juga oleh banyak negara Eropa lainnya.

Pendekatan hukum keagenan terhadap direksi juga dilakukan oleh hukum Jerman sungguhpun dengan pengertian dan konsep yang berbeda dengan sistem Prancis. Sistem hukum Jerman, yang lebih complicated tersebut, dengan berbagai

131

Munir Fuady, Doktrin Doktrin Modern Dalam Corporate Law, Op. Cit.,Hlm 57

132

modifikasi kemudian diikuti oleh negara-negara Eropa lainnya seperti Swiss dan Italia133.

3. Antara prinsip Fiduciary Duty dengan hubungan perburuhan

Sungguhpun sampai batas-batas tertentu seorang direksi dapat dikategorikan sebagai “pekerja” dalam suatu perseroan, sehingga sampai batas-batas tertentu hukum tenaga kerja berlaku kepadanya, dimana direksi sebagai buruh dan perseroan (bukan pemegang saham) adalah sebagai majikannya. Sehingga sering juga dikatakan bahwa direksi adalah the officer of the company. Akan tetapi, direksi bukanlah pekerja (worker) atau buruh (labor) dalam arti yang

strict. Kedudukan hukum dari direksi lebih mendekati kedudukan para profesional (seperti lawyer, akuntan), sehingga dia berkedudukan mandiri terbebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk perubahan-perubahan yang fundamental dari perseroan merupakan kewenangan organ perusahaan yang lain, atau setidak-tidaknya memerlukan persetujuan dari organ perusahaan yang lain tersebut seperti dari komisaris atau rapat umum pemegang saham. Perubahan fundamental tersebut misalnya perubahan anggaran dasar, merger dan akuisisi, penjualan sebagian besar aset perseroan, dan lain-lain.

Pada prinsipnya direktur dibebani prinsip fiduciary duty terhadap perseroan, bukan terhadap pemegang saham. Karena itu, hanya perusahaan yang dapat memaksa direksi untuk melakukan tugas fiduciary tersebut. Akan tetapi, dalam menjalankan fungsinya sebagai direktur, secara umum dia juga harus

133

memperhatikan kepentingan stakeholders seperti pihak pemegang saham dan buruh perseroan134.

4. Antara Fiduciary Duty direksi dengan hubungan profesional

Hubungan fiduciary antara direksi dengan perseroan yang dipimpinnya juga mirip hubungan fiduciary antara pihak profesional (seperti lawyer, kurator, akuntan, dokter, konsultan dan lain-lain) dengan klien/customernya. Masing-masing mempunyai kewajiban untuk melaksanakan tugas-tugas untuk kepentingan klien/customer-nya dengan baik.

Namun demikian, sungguhpun tanggung jawab hukum antara direksi perseroan dengan pihak profesional serupa, tetapi ada perbedaan yang mencolok antara tanggung jawab keduanya. Secara umum dapat dikatakan bahwa perbedaan tersebut terletak pada derajat tanggung jawabnya. Umumnya diakui dalam ilmu hukum perseroan bahwa tanggung jawab hukum dari pihak profesional relatif lebih tinggi dari tanggung jawab direksi kepada perusahaannya. Hal ini disebabkan adanya keadaan-keadaan sebagai berikut 135:

a. Ada banyak hal yang menyebabkan kesamaan kepentingan antara direksi dengan pemegang saham. Misalnya, jika dalam perusahaan yang dipimpin oleh pemiliknya atau jika direksi ikut memegang saham, atau banyak insentif lain yang akan didapatkan oleh direksi jika perusahaannya berhasil dengan baik.

b. Dalam deal antara para profesional (seperti lawyer, dokter, dan lain-lain). Terdapat adanya janji yang implisit atau eksplisit untuk melaksanakan jasanya dengan sebaik-baiknya (high degree of care), janji mana tidak terdapat pada direksi.

c. Pihak pemegang saham telah melakukan asumsi resiko dengan misalnya mengangkat direksi yang kurang kompeten dan dapat menghindari resiko dengan melakukan investasi di perusahaan lain.

134

Ibid.

135

d. Akan halnya dengan direksi yang berasal dari orang luar perusahaan (outside director), maka akan terdapat waktu yang terbatas dari direksi untuk digunakan untuk kepentingan perseroan.

e. Direksi dari perusahaan terbuka atau perusahaan besar tidak mungkin mengevaluasi atau mengikuti sendiri setiap aktivitas perseroan, tetapi mereka hanya menerima dalam bentuk laporan, yang riskan terhadap terjadinya bottleneck informasi, sehingga informasi yang diterimanya mungkin akan kurang akurat, yang menyebabkan tindakan dan kesimpulan yang diambil oleh direksi menjadi tidak akurat pula.

BAB IV

PENERAPAN DOKTRIN FIDUCIARY DUTY TERHADAP TANGGUNG JAWAB DIREKSI PADA PT.BANK PERMATA TBK

A. Riwayat Singkat PT. Bank Permata Tbk

PermataBank merupakan salah satu bank nasional terbesar di Indonesia dan dikenal sebagai bank dengan pelayanan terbaik.

PermataBank dibentuk sebagai hasil merger dari 5 bank di bawah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yakni PT Bank Bali Tbk, PT Bank Universal Tbk, PT Bank Prima Express, PT Bank Artamedia dan PT Bank Patriot, yang prosesnya berhasil diselesaikan pada tahun 2002. Pada tahun 2004, Standard Chartered Bank dan PT Astra International Tbk mengambil alih PermataBank dan memulai proses transformasi secara besar-besaran di dalam organisasi. Selanjutnya, sebagai wujud komitmennya terhadap PermataBank, kepemilikan gabungan pemegang saham utama ini meningkat menjadi 89,0% pada tahun 2006. Pelayanan prima PermataBank meliputi produk keuangan yang lengkap dan inovatif, kemudahan dan keamanan bagi nasabah yang ditunjang oleh teknologi informasi, sistem manajemen risiko yang canggih dan terdepan, serta sumber daya manusia yang handal.

Pada tahun 2007, jaringan PermataBank telah berkembang dengan pesat. Saat ini Bank memiliki jaringan outlet yang luas, mencakup 253 kantor cabang (termasuk kantor cabang pembantu dan kantor kas), kantor cabang Syariah, lebih dari 200

Adapun visi Permata Bank adalah Menjadi penyedia jasa keuangan terkemuka di Indonesia, yang memiliki fokus pada segmen Usaha Kecil Menengah (UKM) dan

Consumer, dan visi Permata Bank adalah

a. Menjadi mitra pilihan melalui kesempurnaan pelayanan dan pemberian solusi yang optimal

b. Turut serta mendorong pengembangan profesionalisme dan kepribadian c. Aktif berpartisipasi dalam upaya mewujudkan kontribusi yang bermanfaat d. Memberikan hasil investasi terbaik bagi pemegang saham

e. Menjadi panutan dalam penerapan Tata Kelola Perusahaan dan asas ketaatan yang baik.

Kepemilikan saham di Bank Permata yaitu : PT Astra Internasional, Tbk. Memiliki 44,505% saham, Standard Chartered Bank memiliki 44,505% saham dan sisanya (10,990%) dimiliki oleh publik.

Berikut adalah pengurus Bank Permata : Dewan Komisaris

Komisaris Utama : Ray Ferguson

Wakil Komisaris Utama : Gunawan Geniusahardja Komisaris : Mark Spencer Greenberg Komisaris : David Allen Worth Komisaris Independen : Lukita D. Tuwo Komisaris Independen : Inget Sembiring Komisaris Independen : Peter B. Stok Komisaris Independen : I. Supomo

Dewan Direktur

Direktur Utama : Stewart Donald Hall Direktur : Joseph Georgino Godong Direktur : Lauren Sulistiawati

Direktur : Effendi Ibnoe

Direktur : Guy Roland Isherwood Direktur : Honggo Widjojo Kangmasto

Direktur : Herwidayatmo

Budaya Kerja PermataBank adalah way of life bagi setiap PermataBanker. Budaya Kerja PermataBank adalah seperangkat nilai dan perilaku yang harus diamalkan dan dijalankan oleh setiap PermataBanker selama berkarya di PermataBank.

Budaya Kerja PermataBank terdiri dari Nilai-Nilai Budaya PermataBank dan 8 Perilaku PermataBanker yaitu sebagai berikut:

a. Kepercayaan b. Integritas c. Pelayanan d. Kesempurnaan e. Profesionalisme

Untuk dapat mengamalkan Nilai-Nilai Budaya PermataBank dalam keseharian kerja, diperlukan perilaku-perilaku yang mampu mengarahkan tindakan kita ke pengamalan nilai tersebut. Perilaku-perilaku tersebut kemudian dirumuskan ke dalam 8 Perilaku PermataBanker yaitu:

a. Disiplin

b. Bertanggung Jawab

c. Cepat, Tanggap dan Berinisiatif d. Ahli di Bidangnya

e. Mampu Bekerjasama

g. Peka dan Peduli untuk Kebaikan h. Tidak Menyalahgunakan Jabatan

8 Perilaku PermataBanker, bila dilaksanakan dengan konsisten, akan membentuk seorang PermataBanker sejati, PermataBanker yang dapat dipercaya, berintegritas tinggi, mengutamakan pelayanan, selalu berupaya secara optimal dan memiliki kompetensi di bidang kerjanya.

B. Penerapan Doktrin Fiduciary Duty Pada Hubungan Intern Direksi

Direksi adalah lembaga atau organ Perseroan. Sedangkan individunya adalah direktur. Walaupun dalam struktur terbagi dalam direktur utama, direktur resiko, direktur SDM, direktur Legal&Compliance, tetapi sebagai lembaga yang merupakan organ Perseroan Terbatas adalah Direksi.

Direksi sebagai salah satu organ perseroan adalah kolegial. Sebab seperti dinyatakan dalam Pasal 1 angka (5) UUPT, yang menyatakan bahwa direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Dengan demikian, secara asas, bahwa tanggung jawab direksi adalah kolegial136. Sehingga dapat dilihat bahwa doktrin fiduciary duty

yang diterapkan dalam hubungan intern direksi sebagai organ perseroan tidak mungkin dibebankan di pundak satu orang direktur saja melainkan seluruh

136

direktur yang tergabung dalam sebuah lembaga yang dinamakan Direksi, sehingga tanggung jawab yang dipikul direksi yang satu juga dipikul oleh direksi lainnya.

Walaupun tanggung jawab direksi adalah kolegial tidak berarti tidak diperkenankan terjadinya pembagian tugas diantara direksi perseroan137, Pembagian tugas dan wewenang direksi diusulkan oleh direksi berdasarkan rapat direksi dan tentunya memperhatikan struktur organisasi perseroan. Pembagian tugas dan kewenangan anggota direksi tersebut semata-mata untuk mempermudah pengelolaan dan efisiensi. Pembagian tugas dan wewenang tersebut tidak menghilangkan sifat pertanggungjawaban kolegial direksi (seluruh direksi, yakni direktur utama dan direktur-direktur lainnya)138.

Bank Permata membagi direksi menjadi Direktur utama, Direktur perdagangan(Retail Banking Director), Direktur Penjualan(Wholesale Banking Director), Direktur Resiko(Risk Director), Direktur Teknologi dan Operasional(Technology and Operations Director), Direktur Keuangan(Finance Director), Direktur Sumber Daya Manusia(Human Resources Director), Direktur Hukum dan Kepatuhan (Legal and Compliance Director).hal tersebut dilakukan agar pengurusan perseroan menjadi efisien dan ditujukan untuk mencapai garis-garis besar yang telah ditetapkan perusahaan139.

Penerapan doktrin fiduciary duty pada direksi perseroan dapat kita lihat pada ketentuan Pasal 97 UUPT diawali dengan rumusan ayat (1) yang menyatakan bahwa “direksi bertanggung jawab atas pengurusan perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1)”. Jika diperhatikan, ketentuan ini

137

Gunawan Widjaja, Risiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris dan pemilik PT, Op Cit.,hlm 55

138

Try Widiyono, Op. cit., hlm 12

139

Hasil wawancara dengan Staf Legal (Yanty Astari, SH) di PT Bank Permata Tbk. Pada Tanggal 11 Mei 2009.

adalah penegasan dari aturan yang ditetapkan dalam Pasal 92 ayat (1) UUPT, dimana dikatakan bahwa direksi dalam menjalankan kepengurusannya harus: a. Memperhatikan kepentingan perseroan

b. Sesuai dengan maksud dan tujuan PT (intra vires act)

c. Memperhatikan ketentuan mengenai larangan dan batasan yang diberikan

Dokumen terkait