A. Hama Kutu Putih
2. Uji Anova satu faktor tiap perlakuan
Uji ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh tiap konsentrasi pada
masing-masing perlakuan yang diberikan dengan kontrol. Hasil yang
diperoleh adalah sebagai berikut:
a. Umbi Gadung
Dari pengujian statistik menggunakan uji anova satu faktor diperoleh
hasil F hitung (1,387) < F tabel (2,866) sehinggga dikatakan tidak
pengaruh perbandingan konsentrasi terhadap hama kutu putih pada
tanaman cabai (Lihat lampiran II bagian D 1).
b. Daun nimba
Dari pengujian statistik menggunakan uji anova satu faktor diperoleh
hasil F hitung (1,308) < F tabel (2,866) sehinggga dikatakan tidak
signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan
pengaruh perbandingan konsentrasi terhadap hama kutu putih pada
tanaman cabai (Lihat lampiran II bagian D 2).
c. Daun Tembakau
Dari pengujian statistik menggunakan uji anova satu faktor diperoleh
hasil F hitung (2,005) < F tabel (2,866) sehinggga dikatakan tidak
signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan
pengaruh perbandingan konsentrasi terhadap hama kutu putih pada
tanaman cabai (Lihat lampiran II bagian D 3).
Maka dapat dikatakan bahwa perlakuan perbedaan tanaman dan variasi
konsentrasi pestisida organik yang digunakan tidak memiliki perbedaan nyata tiap
perlakuan terhadap intensitas serangan hama kutu putih pada tanaman cabai.
Beberapa hal yang menyebabkan tidak adanya perbedaan pengaruh antara
perlakuan-perlakuan yang diberikan terhadap tingkat intensitas serangan hama
kutu putih dapat dianalisis sebagai berikut:
Menurut Anto dan Yul (2014) tanaman cabai merupakan salah satu tanaman
inang untuk hama kutu putih (Bemisia tabaci). Tanaman inang menjadi media
makanan. Pada umur 3 hari setelah tanam (HST), hama kutu putih (Bemisia
tabaci) menyerang semua tanaman cabai yang ditanam (lihat Lampiran VI
bagian B). Hama ini menempati bagian bawah daun pada semua tanaman
cabai. Setiap daun terdapat 8-10 imago kutu putih dan bertambah hingga dua
kali lipat pada 7 HST. Telur yang diletakkan di bagian bawah daun akan
menetas setelah 5 hari sejak telur diletakkan. Hal ini diperkuat dengan teori
menurut Mau and Kessing dalam Nasution (2010) yang mengatakan bahwa
Imago dapat meletakkan telur sebanyak 28-300 butir telur. Imago yang
berumur 1-4 hari dapat langsung menghasilkan telur tanpa melakukan
perkawinan (Sanderson dalam Nasution, 2010). Kecepatan
perkembangbiakan kutu putih berbanding lurus dengan kecepatan kerusakan
yang ditimbulkan karena imago dan nimfa kutu putih memperoleh makanan
dengan mengisap cairan daun dan menimbulkan becak nekrotik pada daun
sehingga mengakibatkan kerusakan sel-sel dan jaringan daun. Selain itu,
isapan imago dan nimfa juga menjadi vektor penyebaran gemini virus (Diltin
Hortikultura dalam Nasution, 2010) yang mengakibatkan kerusakan yang
lebih parah pada tanaman cabai (lihat Lampiran VI bagian C).
Keadaan iklim ketika masa tanam berlangsung juga dapat menjadi penyebab
tingginya intensitas serangan hama kutu putih. Penelitian dilakukan pada
awal Oktober - Desember 2014. Pada masa itu, keadaan iklim di daerah
Yogyakarta berada pada akhir musim panas dan mulai memasuki musim
penghujan. Ketika musim hujan, pestisida yang diberikan kemungkinan
pestisida dilakukan pada sore hari antara pukul 16.00 WIB – 18.00 WIB. Pada awal musim penghujan, hujan turun pada waktu malam hari. Hal ini
dapat mengakibatkan semprotan pestisida yang diberikan pada tanaman cabai
terbawa oleh air hujan sehingga efek pestisida yang disemprotkan tidak
berpengaruh.
Perbedaan sumber pengambilan bahan yang digunakan sebagai pestisida
berpengaruh terhadap kandungan zat yang terdapat dalam bahan yang
digunakan. Daun nimba yang digunakan pada penelitian tidak diambil dari
tanaman yang sama. Hal ini tentu berpengaruh juga terhadap umur daun
antara daun yang muda dan daun yang tua. Sama halnya dengan umbi gadung
yang digunakan. Variasi umur umbi yang digunakan juga berbeda sehingga
berpengaruh terhadap jumlah atau takaran zat yang terkandung. Selain itu
perbedaan penggunaan antara bahan fresh (umbi gadung dan daun nimba) dan
bahan kering (daun tembakau) juga berpengaruh terhadap senyawa yang
terkadung sehingga hasil yang diberikan juga kemungkinan berbeda (lihat
Lampiran VI bagian D).
Walaupun data menunjukkan bahwa setiap perlakuan tidak memberikan
pengaruh yang berbeda, namun jika dilihat dari intensitas serangan hama
yang ditunjukkan pada tabel 4.2, intensitas serangan hama tiap perlakuan
berada pada kategori sedang. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga bahan yang
digunakan cukup memberikan efek yang baik sehingga intensitas serangan
hama dikategorikan sedang. Sedangkan pada kontrol, intensitas serangan
Bila dilihat dari tingkat intensitas serangan hama, perlakuan ekstrak tembakau
dengan konsentrasi 1:4 (P3K1) menunjukkan intensitas serangan hama kutu
putih yang paling rendah. Seperti yang telah dikemukakan di awal bahwa
perlakuan yang menunjukkan intensitas serangan hama kutu putih paling
rendah adalah perlakukan yang lebih efektif sehingga dapat dikatakan bahwa
perlakuan ekstrak tembakau dengan konsentrasi 1:4 (P3K1) memberikan hasil
yang paling baik dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Hal ini
dimungkinkan karena bahan daun tembakau yang digunakan seragam
sehingga berpengaruh terhadap jumlah zat metabolik sekunder yang
terkandung. Daun tembakau yang digunakan berasal dari tanaman yang sama
dan memiliki umur yang sama. Dari ketiga bahan yang digunakan, aroma
ekstrak daun tembakau paling menyengat dan memiliki rasa paling pahit. Carl
Friedrich Wilhelm Meissner dalam Sinaga (2014) mengemukakan bahwa
secara organoleptik rasa pahit dan sepat yang dirasakan pada tanaman
disebabkan oleh adanya alkaloid yang terkandung pada tanaman tersebut.
Kandungan alkaloid merupakan senyawa metabolik sekunder yang dihasilkan
tanaman yang berperan sebagai mekanisme pertahanan diri dari serangan
hama maupun menyakit pada tanaman. Pada daun tembakau metabolik
sekunder yang terkandung berupa nikotin dan neurotoksin. Nikotin adalah
senyawa kimia antiherbivora dan kandungan neurotoksinnya sensitif bagi
serangga. Hal ini yang memungkinkan mempengaruhi kecepatan populasi
hama kutu putih sehingga laju pertumbuhannya dapat ditekan. Perlakuan
P3K2 dan P3K3 sehingga kandungan nikotin dan neurotoksinnya lebih tinggi
yang menyebabkan hasil yang diberikan lebih baik.