• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

E. Uji Daya Antibakteri Ekstrak Etanolik Daun Salam Terhadap

Pengujian daya antibakteri ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana aktivitas suatu bakteri terhadap agen antibakteri. Uji daya antibakteri dengan menggunakan metode difusi sumuran dilakukan untuk menentukan rentang konsentrasi yang akan digunakan dalam penentuan nilai KHM dan KBM. Prinsip

A B C

metode difusi yaitu pengukuran daya antibakteri berdasarkan pengamatan luas zona hambat pertumbuhan bakteri karena berdifusinya obat dari tempat awal pemberian ke daerah difusi. Pada pengujian difusi sumuran ekstrak daun salam dibuat dalam beberapa konsentrasi yaitu 5, 10, 20, 30, dan 50 mg/mL dengan menggunakan pelarut aquadest steril (Lampiran 7). Penentuan konsentrasi ini berdasarkan orientasi yang telah dilakukan peneliti. Berdasarkan hasil orientasi, konsentrasi tertinggi yang dapat larut sempurna adalah konsentrasi 50 mg/mL, sedangkan diatas konsentrasi 50 mg/mL ekstrak tidak dapat larut sempurna sehingga akan berpengaruh pada hasil yang akan didapat.

Pada penelitian ini digunakan kontrol negatif aquadest steril dan kontrol positif adalah klorheksidin 0,2%. Klorheksidin efektif dalam menghambat akumulasi plak gigi terutama karena sifatnya sebagai antibakteri dengan spektrum luas dan poten dalam mempengaruhi pertumbuhan dari Streptococcus mutans (Koo, Hayacibara, Schobel, Cury, Rosalen, Park, Vacca-Smith, and Bowen, 2003). Aquadest digunakan sebagai pelarut ekstrak dan kontrol negatif karena berdasarkan hasil orientasi yang telah dilakukan ekstrak dapat larut sempurna. Selain itu, jika dibandingkan dengan pelarut lainnya seperti DMSO, etanol, CMC-Na maka aquadest merupakan pelarut yang paling aman dan dapat melarutkan ekstrak dengan lebih baik (Lampiran 8). Kontrol negatif digunakan untuk mengetahui apakah pelarut ekstrak yang digunakan memiliki pengaruh terhadap zona hambat yang terbentuk. Kontrol positif digunakan sebagai perbandingan daya antibakteri antara klorheksidin dengan ekstrak etanolik daun salam dengan mengamati diameter zona hambat yang dihasilkan. Apabila zona hambat yang

terbentuk pada ekstrak daun salam lebih besar dibandingkan dengan klorheksidin, maka ekstrak daun salam memiliki potensi yang kuat sebagai antibakteri dan dapat dikembangkan dalam formulasi bahan alam menjadi sediaan farmasi dengan dosis terapi ekstrak etanolik daun salam yang dapat digunakan secara mudah oleh masyarakat.

Pengujian aktivitas antibakteri pada ekstrak etanolik daun salam dilakukan dengan metode difusi sumuran menggunakan media MHA dengan konsentrasi 5, 10, 20, 30, dan 50 mg/mL terhadap bakteri Streptococcus mutans. Kultur bakteri Streptococcus mutans yang digunakan pada penelitian ini merupakan bakteri yang berasal dari Balai Laboratorium Kesehatan Yogyakarta. Perlu dilakukan sterilisasi media dan alat-alat yang akan digunakan dengan menggunakan autoklaf. Prinsip kerja dari autoklaf adalah sterilisasi dengan menggunakan uap panas bertekanan tinggi yaitu 1210C, 1 atm selama 15 menit. Sterilisasi dengan autoklaf akan mendenaturasi protein sel bakteri dan mengkoagulasi protoplasma. Pada saat akan disterilisasi, tutup tabung tidak boleh ditutup terlalu kencang karena digunakannya tekanan tinggi. Tabung yang ditutup terlalu kencang dikhawatirkan akan pecah karena tekanan yang tinggi.

Pemilihan media Mueller Hinton Agar (MHA) pada penelitian ini karena media ini telah direkomendasikan oleh FDA dan WHO untuk uji antibakeri terutama untuk bakteri aerob dan fakultatif anaerob. Media agar ini juga telah terbukti memberikan hasil yang baik dan reprodusibel dengan kandungan sulfonamida, trimethoprim, dan inhibitor tetrasiklin yang rendah sehingga memberikan pertumbuhan bakteri yang memuaskan. Kandungan dari MHA, yaitu

ekstrak daging sapi (2 g), asam hidroksilat dari kasein (17,5 g), pati (1,5 g), dan agar (17 g). Ekstrak daging sapi dan asam hidroksilat dari kasein menyediakan nitrogen, vitamin, karbon, dan asam amino. Pati ditambahkan untuk menyerap metabolit beracun yang dihasilkan, dan agar berfungsi untuk memadatkan media (Acumedia, 2011). Media MHA dibuat dengan cara melarutkan 38 gram bubuk media MHA dalam aquadest sampai volume 1 L. Larutan dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan dipanaskan sampai larutan menjadi jernih dengan bantuan stearer. Pengujian ini dilakukan dengan pengulangan sebanyak 3 kali replikasi dimana setiap replikasi dilakukan 3 kali repetisi. Sebanyak 1-2 ose Streptococcus

mutans dimasukkan ke dalam natrium klorida 0,9% dimana jumlah suspensi

bakteri yang digunakan disetarakan dengan standar 0,5 Mc Farland II (diperkirakan 1,5x108 sel bakteri/mL) dengan menggunakan Densicheck. Penggunaan natrium klorida 0,9% berfungsi untuk menjaga sel bakteri dalam keadaan isotonis, karena jika bakteri dalam keadaan hipotonis atau hipertonis maka selnya akan pecah sehingga bakteri akan mati. Selain itu, natrium klorida 0,9% merupakan sumber mineral yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri. Pada setiap petri yang berisi media MHA dibuat sebanyak 7 lubang dengan menggunakan pelubang berdiameter 6 mm. Sumuran yang terbentuk kemudian ditambal dengan media MHA cair sebanyak 30 µL, dan dibiarkan memadat. Selanjutnya masing-masing lubang ditambahkan sebanyak 50 µL yang berisi 5 konsentrasi larutan uji, 1 kontrol positif, dan 1 kontrol negatif.

Pada pengujian digunakan kontrol kontaminasi media, dan kontrol pertumbuhan bakteri. Kontrol kontaminasi media yang berfungsi untuk

mengetahui apakah proses pengujian yang dilakukan aseptis atau tidak dan juga untuk mengetahui apakah media yang digunakan terkontaminasi atau tidak. Kontrol pertumbuhan bakteri berfungsi untuk mengetahui pertumbuhan

Streptococcus mutans tanpa pemberian agen antibakteri. Dari hasil pengamatan

untuk kontrol media tidak menunjukkan adanya kontaminasi, hal ini berarti media yang digunakan adalah media steril dan pengerjaan dilakukan secara aseptis. Pada kontrol negatif tidak terbentuk zona hambat, hal ini berarti pelarut yang digunakan tidak memberikan pengaruh terhadap zona hambat yang terbentuk pada perlakuan. Apabila pelarut memiliki kemampuan untuk dapat menghambat pertumbuhan bakteri uji maka akan mempengaruhi hasil uji karena zona hambat yang dihasilkan tidak hanya dari larutan uji, tetapi juga dari pelarut yang digunakan. Pada kontrol pertumbuhan menunjukkan adanya pertumbuhan Streptococcus

mutans dilihat dari koloni bakteri yang seragam dan tidak terdapat kontaminasi

dari kapang, khamir, dan bakteri lain. Kontrol positif menunjukkan adanya zona hambat yang berarti bahwa klorheksidin memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan Streptococcus mutans. Inkubasi dilakukan pada suhu 370C selama 24 jam dan saat inkubasi petri tidak diinkubasi terbalik karena jika diinkubasi terbalik maka ekstrak yang telah dimasukkan ke dalam sumuran akan keluar sehingga tidak akan berdifusi ke dalam media agar.

Tabel II. Rata-rata diameter zona hambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans yang dihasilkan pada uji daya antibakteri ekstrak etanolik daun salam

Konsentrasi ekstrak (mg/mL)

Diameter zona hambat (mm)

Rata-rata I II III Kontrol negatif 0 0 0 0 Kontrol positif 11 12 12 12 5 6 6 5 6 10 8 8 7 7 20 9 9 8 8 30 10 10 10 10 50 12 11 12 11

Keterangan : Diameter zona hambat sudah dikurangi dengan diameter sumuran sebesar 6 mm Hasil pengamatan dengan metode difusi sumuran, pada kontrol negatif tidak terbentuk zona hambat. Hal ini menunjukkan bahwa zona hambat yang terbentuk pada konsentrasi 5, 10, 20, 30, dan 50 mg/mL berasal dari kemampuan ekstrak etanolik daun salam bukan karena pengaruh pelarut ekstrak (Lampiran 9). Penghambatan di sekitar pertumbuhan ditunjukkan dengan luasnya diameter zona hambat sumuran. Semakin besar zona hambat yang terbentuk, maka aktivitasnya sebagai antibakteri semakin baik. Zona hambat diukur menggunakan jangka sorong secara vertikal, horizontal, dan diagonal. Pada konsentrasi 5 mg/mL masih terbentuk zona hambat, maka konsentrasi ini digunakan sebagai acuan konsentrasi terendah untuk penentuan nilai KHM dan KBM.

Gambar 8. Zona hambat yang terbentuk pada difusi sumuran ekstrak etanolik daun salam terhadap bakteri Streptococcus mutans

Keterangan :

A : Kontrol Negatif (aquadest) B : Kontrol Positif (klorheksidin) C : Konsentrasi 5 mg/mL D : Konsentrasi 10 mg/mL E : Konsentrasi 20 mg/mL F : Konsentrasi 30 mg/mL G : Konsentrasi 50 mg/mL

Menurut Davis Stout cit Moerfiah dan Supomo (2011), menyatakan bahwa ketentuan antibakteri adalah sebagai berikut :

1. Sangat kuat (diameter zona hambat 20 mm atau lebih) 2. Kuat (diameter zona hambat 10-20 mm)

3. Sedang (diameter zona hambat 5-10 mm) 4. Lemah (diameter zona hambat < 5 mm)

Berdasarkan ketentuan diatas dapat dikatakan bahwa klorheksidin memiliki kekuatan kuat karena lebar daerah hambat yang dihasilkan sebesar 12 mm dan ekstrak etanolik daun salam memiliki kekuatan yang sedang hingga kuat karena diameter zona hambat yang terbentuk pada konsentrasi 5 mg/mL yaitu 6 mm hingga 11 mm pada konsentrasi 50 mg/mL.

Adanya zona hambat di sekitar sumuran karena adanya flavonoid dan tanin berdasarkan analisis fitokimia yang merupakan senyawa golongan fenol yang dapat menyebabkan terjadinya denaturasi dan koagulasi protein sel bakteri. Turunan fenol dapat berinteraksi dengan membran sitoplasma, enzim, dan lipid pada bakteri melalui proses adsorpsi yang melibatkan ikatan hidrogen. Menurut Siswandono dan Soekardjo (2008) fenol pada konsentrasi rendah akan membentuk kompleks protein fenol dengan ikatan lemah dan segera menyebabkan penguraian diikuti penetrasi fenol ke dalam sel bakteri dan menyebabkan presipitasi serta denaturasi protein, sedangkan pada konsentrasi tinggi fenol menyebabkan koagulasi protein membran sehingga membran sel bakteri menjadi lisis dan mengalami kematian. Protein merupakan komponen enzim sehingga jika terjadi kerusakan pada enzim akan mengakibatkan metabolisme menurun yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan sel bakteri dan selanjutnya menyebabkan kematian sel.

Pada bakteri, ion H+ dari senyawa fenol akan menyerang gugus polar (gugus fosfat) pada molekul fosfolipid sehingga akan terurai menjadi gliserol, asam karboksilat, dan asam fosfat. Hal ini mengakibatkan fosfolipid tidak mampu mempertahankan bentuk membran sitoplasma, sehingga membran sitoplasma akan bocor dan menyebabkan zat-zat yang seharusnya digunakan untuk metabolisme sel bakteri keluar dan menyebabkan kematian bakteri (Parwata dan Dewi, 2008). Selain itu, adanya interaksi hidrofobik antara gugus alkil pada fenol dengan lipid menyebabkan terjadinya penurunan permeabilitas membran sehingga

bakteri mengalami kematian sel (McKarns, Hansch, Caldwell, Morgan, Moore, Doolittle, 1997; Hunt, 1975).

Tanin merupakan senyawa fenol maka mempunyai target pada polipeptida dinding sel yang akan menyebabkan kerusakan pada membran sel yaitu hilangnya sifat permeabilitas membran sel, sehingga keluar masuknya zat-zat antara lain air, nutrisi, dan enzim tidak terseleksi. Apabila enzim keluar dari dalam sel, maka akan mengakibatkan terhambatnya pembentukan ATP yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan sel bakteri sehingga akan terjadi kematian sel. Mekanisme kerja tanin sebagai antibakteri berhubungan dengan kemampuan tanin untuk membentuk kompleks dengan karbohidrat dan protein melalui ikatan hidrogen, hidrofobik, dan kovalen. Dengan demikian, tanin dapat menonaktifkan adhesin sel mikroba (molekul yang menempel pada sel inang) yang terdapat pada permukaan sel, enzim yang terikat pada membran sel, sel protein transport, dan mineral. Apabila terbentuk ikatan hidrogen antara tanin dengan protein bakteri kemungkinan yang terjadi adalah denaturasi protein. Protein pada bakteri merupakan salah satu komponen penyusun dinding sel dan membran plasma. Jika protein bakteri terdenaturasi, maka enzim akan menjadi inaktif sehingga metabolisme bakteri terganggu yang berakibat pada kerusakan sel bakteri (Min, Pinchak, Anderson, and Callaway 2007). Selain itu, tanin juga dapat menghambat pembentukan alfa amilase pada saliva yang mengkatalis hidrolisis pati menjadi oligosakarida yang membantu Streptococcus mutans menempel pada enamel gigi sehingga memberikan sumber makanan asidogenik untuk bakteri kariogenik pada permukaan gigi (Petti and Scully, 2009).

Sebagai antibakteri, flavonoid dapat membentuk kompleks dengan protein ekstraseluler dan dinding sel bakteri. Selain itu, flavonoid yang bersifat lipofilik dapat merusak membran bakteri (Cowan, 1999). Menurut Cushnie and Lamb (2005), pada golongan flavonoid, termasuk flavon, flavanon, isoflavon, dan isoflavanon menunjukan aktivitas antibakteri yang berbeda pada metode difusi agar paper disc. Pada 5-hidroksiflavanon dan 5-hidroksiisoflavanon dengan

adanya penambahan satu, dua, atau tiga golongan hidroksil pada posisi 7, 2’ dan 4’ menunjukkan adanya penghambatan pertumbuhan Streptococcus mutans. Selain itu, chalcone 2,4,2’-trihydroxy-5’-methylchalcone dapat menginduksi terjadinya kebocoran substansi Streptococcus mutans seperti nukleotida dengan mengubah permeabilitas membran selular dan menyebabkan kerusakan fungsi membran sitoplasma yang teramati pada panjang gelombang 260 nm.

Analisis secara statistik dilakukan untuk melihat perbedaan bermakna antara variasi konsentrasi ekstrak etanolik daun salam dengan kontrol negatif dan kontrol positif. Menurut Dahlan (2011), analisis diawali dengan menggunakan uji

Shapiro-Wilk yang dilanjutkan dengan uji Kruskal-Wallis terlebih dahulu.

Pemilihan uji Shapiro-Wilk untuk mengetahui apakah data yang didapatkan terdistribusi normal atau tidak dengan syarat jumlah sampel data yang ada berjumlah kurang dari 50 data. Data yang didapatkan dinyatakan terdistribusi normal jika nilai p>0,05 (Dahlan, 2011). Berdasarkan analisis data yang dilakukan didapatkan bahwa data terdistribusi tidak normal karena pada kelompok data kontrol negatif didapatkan data yang tidak normal (Lampiran 10). Karena data terdistribusi tidak normal maka dilakukan uji nonparametrik dengan

menggunakan uji Kruskal-Wallis untuk mengetahui paling tidak terdapat dua kelompok data yang mempunyai perbedaan yang bermakna dengan nilai p<0,05 yang selanjutnya harus dilakukan analisis Wilcoxon (Dahlan, 2011). Hasil uji

Kruskal-Wallis didapatkan nilai p=0,005328 (Tabel III).

Tabel III. Hasil uji statistik keberbedabermaknaan antara diameter zona hambat dengan berbagai variasi konsentrasi ekstrak etanolik daun salam terhadap Streptococcus mutans

dengan metode Kruskal-Wallis

Selanjutnya dilakukan uji Wilcoxon (Lampiran 11) untuk mengetahui kelompok mana yang berbeda secara bermakna. Data hasil uji Wilcoxon dinyatakan berbeda bermakna apabila nilai p<0,05 (Dahlan, 2011). Analisa data yang dilakukan menunjukkan bahwa antara variasi konsentrasi ekstrak etanolik daun salam dengan kontrol positif dan antar variasi konsentrasi ekstrak etanolik daun salam berbeda bermakna dengan nilai p=0,04953, kecuali antara konsentrasi 50 mg/mL dengan kontrol positif tidak berbeda bermakna karena nilai p>0,05 yaitu p=0,2752, antara variasi konsentrasi ekstrak etanolik daun salam dengan kontrol negatif dan antara kontrol positif dan negatif berbeda bermakna dengan nilai p=0,0369.

Tabel IV. Data hasil uji Wilcoxon K.+ K.- 5 10 20 30 50 K.+ - b.b b.b b.b b.b b.b b.b K.- b.b - b.b b.b b.b b.b b.b 5 b.b b.b - b.b b.b b.b b.b 10 b.b b.b b.b - b.b b.b b.b 20 b.b b.b b.b b.b - b.b b.b 30 b.b b.b b.b b.b b.b - b.b 50 tb.b b.b b.b b.b b.b b.b - Keterangan : tb.b p=0,2752 b.b p=0,0369 b.b p=0,04953

Berdasarkan hasil uji Wilcoxon tersebut, berarti semakin besar konsentrasi ekstrak etanolik memberikan aktivitas daya antibakteri yang berbeda bermakna. Pada perbandingan yang dilakukan, antara konsentrasi 50 mg/mL dengan kontrol positif didapatkan hasil yang tidak berbeda bermakna, hal ini berarti konsentrasi 50 mg/mL memiliki kemampuan yang sama dengan klorheksidin dalam menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans. Perbandingan antar variasi konsentrasi ekstrak etanolik daun salam memiliki perbedaan yang bermakna dan ekstrak etanolik daun salam memiliki perbedaan bermakna bila dibandingkan dengan kontrol negatif. Artinya bahwa variasi konsentrasi ekstrak etanolik daun salam memiliki daya antibakteri terhadap bakteri Streptococcus mutans penyebab karies gigi, namun daya antibakteri yang dimiliki tidak sekuat daya antibakteri kontrol positif. Hal ini dimungkinkan karena ekstrak etanolik daun salam masih merupakan campuran dari banyak senyawa yang belum seluruhnya teridentifikasi, sehingga mungkin terbentuk interaksi antar senyawa tersebut yang saling antagonis sehingga menghambat kemampuan antibakteri dari ekstrak etanol daun salam.

F. Penentuan KHM dan KBM Ekstrak Etanolik Daun Salam dengan

Dokumen terkait