• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

DAFTAR ISTILAH

3.2. Metode Pengolahan dan Analisis Data

3.2.7. Metode Analisis Data

3.2.7.2 Uji Kesesuaian Model

Untuk menguji kesesuaian atau kebaikan model dari ketiga metode pada teknik estimasi model dengan data panel digunakan uji-F dan uji Hausman. Uji-F digunakan untuk menguji kesesuaian model antara model yang diperoleh dari metode pooled OLS dengan model yang diperoleh dari metode fixed effect. Selanjutnya dilakukan uji Hausman terhadap model terbaik yang diperoleh dari hasil uji-F dengan model yang diperoleh dari metode random effect.

a) Uji-F (Chow Test)

Untuk menentukan model yang lebih baik antara model yang dihasilkan dari metode pooled OLS dengan model yang dihasilkan dari metode fixed effect dapat digunakan uji-F. Pengujian ini meliputi perbandingan jumlah kuadrat galat (error sum of square) dari metode pooled OLS dan fixed effect. Karena ada lebih banyak pembatasan parameter pada metode pooled OLS dibandingkan pada metode fixed effect, diharapkan jumlah kuadrat galat dari metode pooled OLS

lebih tinggi. Apabila peningkatan jumlah kuadrat galat tidak signifikan ketika ditambahkan pembatasan parameter maka dapat disimpulkan bahwa model yang dihasilkan dari metode pooled OLS layak dan dapat digunakan. Namun, apabila jumlah kuadrat galat banyak berubah dengan adanya penambahan pembatasan parameter maka dapat dipilih dari metode fixed effect. Uji-F dapat dirumuskan sebagai berikut: F = ) ( ) 1 ( ) ( K N NT URSS N URSS RRSS − − − − dimana:

RRSS : Restricted Residual Sum Square (merupakan Sum of Square Residual yang diperoleh dari estimasi data panel dengan metode Pooled Least Square/ Common Intercept).

URSS : Unrectricted Residual Sum Square (merupakan Sum of Square Residual yang diperoleh dari estimasi data panel dengan metode fixed effect).

N : Jumlah data cross section. T : Jumlah data time series. K : Jumlah variabel penjelas.

Dalam pengujian ini dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut: H0123 =...=αi

H1= terdapat satu atau lebih intersep yang berbeda pada setiap unit cross section statistik F yang mengikuti sebaran F dengan N+T-2 dan NT-N-T derajat bebas.

b) Uji Hausman

Pada teknik estimasi menggunakan data panel, uji Hausman digunakan untuk membandingkan metode fixed effect dengan metode random effect. H0 pada uji Hausman yaitu asumsi bahwa estimasi dengan metode fixed effect dan random effect tidak berbeda. Statistik uji Hausman mengikuti distribusi statistic Chi Square dengan degree of freedom sebanyak k dimana k adalah jumlah variabel independen. Jika nilai statistik Hausman lebih besar dari nilai kritisnya maka model yang tepat adalah model Fixed Effect sedangkan sebaliknya bila nilai statistik Hausman lebih kecil dari nilai kritisnya maka model yang tepat adalah model Random Effect.

semakin meningkatkan sinkronisasi business cycle negara-negara tersebut. Dengan menggunakan hasil olahan Microsoft Excel dapat dilihat perbandingan variabel intensitas perdagangan ekspor, impor dan total perdagangan serta perdagangan intra industri terhadap output negara-negara ASEAN+3. Penelitian ini akan melihat bagaimana pengaruh integrasi perdagangan terhadap sinkronisasi business cycle ASEAN+3 dengan menggunakan metode panel data pada software E-views 5.1.

Tabel 1. Rata-rata Korelasi output, Intensitas Perdagangan dan

Perdagangan Intra Industri China terhadap ASEAN-5 dari tahun 1993 s.d. 2007

Indonesia Filipina Malaysia Singapura Thailand CORR 0.257905 0.827262 0.746805 0.473135 0.335783 WX 0.008006 0.005624 0.008576 0.018528 0.007257 WM 0.007766 0.004148 0.012156 0.024294 0.011868 WT 0.007897 0.004905 0.010253 0.021002 0.00942 IIT 0.823314 0.768035 0.877831 0.774506 0.79258 Sumber: CEIC (2007), diolah.

Rata-rata korelasi output, intensitas perdagangan dan perdagangan intra industri China terhadap ASEAN-5 dapat dilihat pada Tabel (1). Output China berkorelasi positif dengan semua negara ASEAN-5 dimana Filipina dan Malaysia memiliki korelasi yang paling tinggi diikuti oleh Singapura, Thailand dan Indonesia dengan masing-masing bernilai 0.8272, 0.7468, 0.4731, 0.3357 dan 0.2579. Variabel intensitas perdagangan total Filipina memiliki nilai yang paling

rendah sedangkan Singapura memiliki nilai intensitas perdagangan total yang paling tinggi dengan China dengan masing-masing bernilai 0.0049 dan 0.021, hal ini menunjukkan tingginya nilai intensitas perdagangan belum tentu menyebabkan korelasi output yang tinggi antara China dengan negara ASEAN-5.

Tabel 2. Rata-rata Korelasi output, Intensitas Perdagangan dan Perdagangan Intra Industri Jepang terhadap ASEAN-5 dari tahun 1993 s.d. 2007 Indonesia Filipina Malaysia Singapura Thailand CORR -0.02296 0.867246 0.481197 0.525748 0.648495 WX 0.013455 0.015374 0.02126 0.032574 0.027731 WM 0.013275 0.013946 0.030977 0.034831 0.035148 WT 0.013356 0.014692 0.025746 0.033738 0.031186 IIT 0.853256 0.888234 0.881679 0.826049 0.93287 Sumber: CEIC (2007), diolah.

Tabel 2 menunjukkan rata-rata korelasi output, intensitas perdagangan dan perdagangan intra industri Jepang terhadap ASEAN-5. Output Jepang berkorelasi positif dengan Filipina, Thailand, Singapura dan Malaysia namun berkorelasi negatif dengan Indonesia. Variabel intensitas perdagangan total Jepang terhadap Indonesia memiliki nilai yang paling rendah, hal ini menunjukkan masih rendahnya korelasi output dan intensitas perdagangan antara Jepang dan Indonesia.

Rata-rata korelasi output, intensitas perdagangan dan perdagangan intra industri Korea terhadap ASEAN-5 dapat dilihat pada (Tabel 3). Output Korea berkorelasi positif dengan semua negara ASEAN-5 dimana Filipina dan Malaysia memiliki korelasi yang paling tinggi diikuti oleh Singapura, Thailand dan Indonesia.

Variabel intensitas perdagangan total Thailand dan Filipina memiliki nilai yang paling rendah sedangkan Singapura memiliki nilai intensitas perdagangan total yang paling tinggi, hal ini menunjukkan rendahnya hubungan antara korelasi output dengan intensitas perdagangan antara Korea dengan ASEAN-5.

Tabel 3. Rata-rata Korelasi output, Intensitas Perdagangan dan Perdagangan Intra Industri Korea terhadap ASEAN-5 dari tahun 1993 s.d. 2007 Indonesia Filipina Malaysia Singapura Thailand CORR 0.063004 0.914141 0.670549 0.586025 0.494262 WX 0.014624 0.01303 0.01364 0.025037 0.010472 WM 0.011498 0.011637 0.016024 0.02303 0.01155 WT 0.013084 0.012324 0.014727 0.023887 0.010953 IIT 0.779078 0.895884 0.911153 0.807964 0.924628 Sumber: CEIC (2007), diolah.

Tabel 4 menunjukkan rata-rata korelasi output, intensitas perdagangan dan perdagangan intra industri Indonesia terhadap ASEAN+3.

Tabel 4. Rata-rata Korelasi output, Intensitas Perdagangan dan Perdagangan Intra Industri Indonesia terhadap ASEAN+3 dari tahun 1993 s.d. 2007

Filipina Malaysia Singapura Thailand China Jepang Korea CORR -0.1079 0.4473 0.2261 -0.2133 0.2579 -0.0230 0.0630

WX 0.0093 0.0116 0.0277 0.0089 0.0083 0.0238 0.0174 WM 0.0098 0.0191 0.0152 0.0131 0.0131 0.0333 0.0238 WT 0.0094 0.0149 0.0215 0.0107 0.0104 0.0281 0.0203 IIT 0.8777 0.8843 0.2570 0.8679 0.8236 0.9104 0.9020 Sumber: CEIC (2007), diolah.

Output Indonesia berkorelasi positif dengan Malaysia, Singapura, China dan Korea namun berkorelasi negatif dengan Filipina, Thailand dan Jepang. Variabel intensitas perdagangan total Jepang, Singapura dan Korea memiliki nilai yang tinggi dengan masing-masing bernilai 0.0281, 0.0215, 0.0203. Korelasi

output Jepang yang negatif dan nilai intensitas perdagangan yang tinggi menunjukkan lemahnya hubungan antara korelasi output dengan intensitas perdagangan Indonesia terhadap Jepang. Variabel perdagangan intra industri Jepang, Korea dan Malaysia memiliki nilai yang tinggi dengan masing-masing bernilai 0.9104, 0.9020, 0.8843. Korelasi output yeng negatif dan nilai perdagangan intra industri yang tinggi juga menujukkan lemahnya hubungan korelasi output dengan perdagangan intra industri Indonesia terhadap Jepang.

4.1 CHINA

Hasil uji signifikansi dengan menggunakan uji hausman pada metode panel data didapatkan bahwa model (1), model (2) dan model (3) untuk China menggunakan estimasi regresi dengan pendekatan random effect. Tabel 5 menunjukkan pengaruh integrasi perdagangan terhadap sinkronisasi business cycle China dengan ASEAN+3.

Tabel 5. Sinkronisasi Business Cycle China dengan ASEAN+3

Wx Wm Wt IIT Dspill Mon ER

Model 1 -2.9696 0.4761* 0.0001 0.1836 0.0897* Model 2 2.0723 0.3924** -0.0001 0.1794 0.0926* Model 3 -0.0648 0.4603* 0.0001 0.1806 0.0912* Keterangan:

* Signifikan pada 1 persen ** Signifikan pada 5 persen *** Signifikan pada 10 persen Sumber: CEIC (2007), diolah.

Dapat dilihat pada model (1), model (2) dan model (3) variabel intensitas perdagangan tidak memiliki nilai yang signifikan pada taraf nyata 1, 5 atau 10

persen baik dari sisi ekspor, impor maupun total perdagangan. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya intensitas perdagangan antara China dengan ASEAN+3 belum mempengaruhi sinkronisasi business cycle China dengan ASEAN+3. Variabel perdagangan intra industri memiliki nilai yang signifikan pada taraf nyata 1 persen untuk model (1) dan model (3) serta memiliki nilai yang signifikan pada taraf nyata 5 persen untuk model (2) dengan masing-masing koefesien sebesar 0.4761, 0.4603 dan 0.3924. Hasil tersebut menunjukkan bahwa meningkatnya perdagangan intra industri akan semakin meningkatkan sinkronisasi business cycle China dengan ASEAN+3.

Variabel koordinasi kebijakan nilai tukar juga memiliki nilai yang signifikan pada taraf nyata 1 persen untuk model (1), model (2) dan model (3) menunjukkan meningkatnya koordinasi kebijakan nilai tukar China dengan ASEAN+3 akan meningkatkan sinkronisasi business cycle China dengan ASEAN+3. Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa meningkatnya sinkronisasi business cycle China dengan ASEAN+3 lebih dipengaruhi oleh meningkatnya perdagangan intra industri serta semakin terkoordinasinya kebijakan nilai tukar antara China dengan ASEAN+3.

4.2 JEPANG

Hasil uji signifikansi dengan menggunakan uji hausman pada metode panel data didapatkan bahwa model (1), model (2) dan model (3) untuk Jepang menggunakan estimasi regresi dengan pendekatan fixed effect. Tabel 6

menunjukkan pengaruh integrasi perdagangan terhadap sinkronisasi business cycle Jepang dengan ASEAN+3.

Tabel 6. Sinkronisasi Business Cycle Jepang dengan ASEAN+3

Wx Wm Wt IIT Dspill Mon ER

Model 1 4.067 0.198 0.0001 0.3174* -0.0017 Model 2 1.291 0.1173 0.0001 0.3359* -0.0012 Model 3 2.6851 0.1333 0.0001 0.3267* -0.0014 Keterangan:

* Signifikan pada 1 persen ** Signifikan pada 5 persen *** Signifikan pada 10 persen Sumber: CEIC (2007), diolah.

Dari tabel terlihat bahwa variabel intensitas perdagangan memiliki koefesien yang positif baik dari sisi ekspor, impor maupun total perdagangan namun semua model tersebut tidak memiliki nilai yang signifikan baik pada taraf nyata 1, 5 dan 10 persen untuk semua model. Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh variabel perdagangan intra industri dimana nilai dari perdagangan intra industri tidak signifikan pada model (1), model (2) dan model (3). Dari ketiga model tersebut hanya variabel koordinasi kebijakan moneter yang memiliki nilai signifikan pada taraf nyata 1 persen dengan masing-masing koefisien sebesar 0.3714, 0.3359 dan 0.3267. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya volume perdagangan dan perdagangan intra industri antara Jepang dan ASEAN+3 belum meningkatkan sinkronisasi business cycle Jepang dan ASEAN+3 dimana meningkatnya sinkronisasi business cycle lebih dipengaruhi oleh semakin terkoordinasinya kebijakan moneter antara Jepang dengan ASEAN+3.

4.3 KOREA

Hasil uji signifikansi dengan menggunakan uji hausman pada metode panel data didapatkan bahwa model (1), model (2) dan model (3) untuk Korea menggunakan estimasi regresi dengan pendekatan fixed effect. Tabel 7 menunjukkan pengaruh integrasi perdagangan terhadap sinkronisasi business cycle Korea dengan ASEAN+3.

Tabel 7. Sinkronisasi Business Cycle Korea dengan ASEAN+3

Wx Wm Wt IIT Dspill Mon ER

Model 1 -7.9884* 0.0508 0.0011* 0.0869* 0.001 Model 2 -7.278* 0.0015 0.0012* 0.0824* 0.0016** Model 3 -9.105* 0.0012 0.0012* 0.0821* 0.0014***

Keterangan:

* Signifikan pada 1 persen ** Signifikan pada 5 persen *** Signifikan pada 10 persen Sumber: CEIC (2007), diolah.

Dari tabel dapat diketahui variabel intensitas perdagangan memiliki pengaruh yang negatif terhadap sinkronisasi business cycle Korea dengan ASEAN+3 dimana variabel intensitas perdagangan signifikan pada taraf nyata 1 persen untuk model (1), model (2) dan model (3) namun memiliki nilai koefesien yang negatif baik dari sisi ekspor, impor maupun total perdagangan dengan masing-masing koefisien sebesar -7.9884, -7.278, -9.105, hal ini menunjukkan meningkatnya volume perdagangan akan mengurangi sinkronisasi business cycle Korea dengan ASEAN+3. Variabel perdagangan intra industri memiliki koefisen positif untuk semua model namun tidak memiliki nilai yang signifikan baik pada taraf nyata 1, 5 dan 10 persen. Hal tersebut menunjukkan meningkatnya

perdagangan intra industri tidak mempengaruhi sinkronisasi business cycle Korea dengan ASEAN+3.

Variabel demand spillover signifikan pada model (1), model (2) dan model (3) dan memiliki nilai koefisien positif untuk semua model. Variabel koordinasi kebijakan moneter memiliki pengaruh yang positif terhadap sinkronisasi business cycle Korea dengan ASEAN+3 dimana variabel koordinasi kebijakan moneter signifikan pada taraf nyata 1 persen untuk semua model dengan masing-masing memiliki koefisien sebesar 0.0869, 0.0824, 0.0821. Variabel koordinasi kebijakan nilai tukar juga berpengaruh positif terhadap sinkronisasi business cycle Korea dengan ASEAN+3 dimana variabel koordinasi kebijakan nilai tukar signifikan pada taraf nyata 5 dan 10 persen untuk model (2) dan model (3). Dari tabel (7) dapat disimpulkan bahwa terjadinya sinkronisasi business cycle lebih dipengaruhi oleh meningkatnya demand spillover serta semakin terkoordinasinya kebijakan moneter dan kebijakan nilai tukar Korea dengan ASEAN+3.

4.4 INDONESIA

Hasil uji signifikansi dengan menggunakan uji hausman pada metode panel data didapatkan bahwa model (1), model (2) dan model (3) untuk Indonesia menggunakan estimasi regresi dengan pendekatan fixed effect. Tabel 8 menunjukkan pengaruh integrasi perdagangan terhadap sinkronisasi business cycle Indonesia dengan ASEAN+3. Dari tabel dapat diketahui variabel intensitas perdagangan memiliki pengaruh negatif terhadap sinkronisasi business cycle Indonesia dengan ASEAN+3, hal ini dapat dilihat pada model (2) dan model (3)

dimana nilai intensitas perdagangan impor dan total perdagangan signifikan pada taraf nyata 1 persen namun memiliki nilai yang negatif dengan masing-masing memiliki koefisien sebesar -58.5225 dan -98.7548.

Tabel 8. Sinkronisasi Business Cycle Indonesia dengan ASEAN+3

Wx Wm Wt IIT Dspill Mon ER

Model 1 -20.4202 -1.3492* -0.0012*** 0.1916 -0.0001 Model 2 -58.5225* 1.8301** -0.0011 0.1447 0.0001 Model 3 -98.7548* 0.5379 -0.0005 0.1499 0.0001*** Keterangan:

* Signifikan pada 1 persen ** Signifikan pada 5 persen *** Signifikan pada 10 persen Sumber: CEIC (2007), diolah.

Meningkatnya perdagangan intra industri juga akan mengurangi sinkronisasi business cycle Indonesia dengan ASEAN+3. Hal tersebut dapat dilihat pada model (1) dimana variabel perdagangan intra industri memiliki koefisien yang negates sebesar -1.3492. Variabel demand spillover signifikan pada taraf nyata 1 persen untuk model (1) namun memiliki nilai yang negatif dengan koefisien sebesar -0.0012, hal ini menunjukkan meningkatnya demand spillover akan mengurangi sinkronisasi business cycle Indonesia dengan ASEAN+3.

Variabel koordinasi kebijakan moneter tidak memiliki nilai yang signifikan untuk semua model sehingga belum berpengaruh terhadap sinkronisasi business cycle Indonesia dengan ASEAN+3. Variabel koordinasi kebijakan nilai tukar memiliki nilai yang signifikan pada model (3) dengan koefisien sebesar 0.0001 menunjukkan semakin terkoordinasinya kebijakan nilai tukar akan

meningkatkan sinkronisasi business cycle Indonesia dengan ASEAN+3. Sehingga dari ketiga model tersebut dapat disimpulkan bahwa terjadinya integrasi perdagangan hanya akan berdampak negatif terhadap sinkronisasi business cycle Indonesia dengan ASEAN+3.

4.5 MALAYSIA

Hasil uji signifikansi dengan menggunakan uji hausman pada metode panel data didapatkan bahwa model (1) untuk Malaysia menggunakan estimasi regresi dengan pendekatan random effect sedangkan untuk model (2) dan model (3) menggunakan pendekatan fixed effect. Tabel 9 menunjukkan pengaruh integrasi perdagangan terhadap sinkronisasi business cycle Malaysia dengan ASEAN+3.

Tabel 9. Sinkronisasi Business Cycle Malaysia dengan ASEAN+3

Wx Wm Wt IIT Dspill Mon ER

Model 1 1.0635 0.5275** 0.0002 0.0314 -0.019 Model 2 -1.6666 0.7221* -0.0002 0.0138 -0.2092 Model 3 1.8592 0.6337* -0.0003 0.0093 -0.3605 Keterangan:

* Signifikan pada 1 persen ** Signifikan pada 5 persen *** Signifikan pada 10 persen Sumber: CEIC (2007), diolah.

Meningkatnya intensitas perdagangan tidak berpengaruh terhadap meningkatnya sinkronisasi business cycle Malaysia dengan ASEAN+3 ditunjukkan oleh model (1), model (2) dan model (3) dimana variabel intensitas perdagangan tidak memiliki nilai yang signifikan pada taraf nyata 1, 5 atau 10 persen. Variabel perdagangan intra industri memiliki nilai yang signifikan untuk

semua model dengan masing-masing koefisien sebesar 0.5275, 0.7221 dan 0.6337, menunjukkan meningkatnya perdagangan intra industri akan semakin meningkatkan sinkronisasi business cycle Malaysia dengan ASEAN+3. Variabel demand spillover memiliki koefisien yang negatif pada model (2) dan model (3) namun tidak signifikan sehingga tidak berpengaruh terhadap sinkronisasi business cycle Malaysia dengan ASEAN+3. Variabel koordinasi kebijakan moneter dan nilai tukar juga tidak memiliki nilai yang signifikan terhadap semua model, menunjukkan semakin terkoordinasinya kebijakan moneter dan kebijakan nilai tukar tidak akan mempengaruhi sinkronisasi business cycle Malaysia dengan ASEAN+3.

4.6 FILIPINA

Hasil uji signifikansi dengan menggunakan uji hausman pada metode panel data didapatkan bahwa model (1) untuk Filipina menggunakan estimasi regresi dengan pendekatan random effect sedangkan untuk model (2) dan model (3) menggunakan pendekatan fixed effect. Tabel 10 menunjukkan pengaruh integrasi perdagangan terhadap sinkronisasi business cycle Filipina dengan ASEAN+3. Variabel intensitas perdagangan signifikan pada taraf nyata 1 persen untuk model (1) , model (2) dan model (3) namun memiliki koefisien yang negatif dengan masing-masing sebesar -31.5212, -14.6843 dan -20.2514, hal tersebut menunjukkan meningkatnya intensitas perdagangan hanya akan mengurangi sinkronisasi business cycle Filipina dengan ASEAN+3.

Tabel 10. Sinkronisasi Business Cycle Filipina dengan ASEAN+3

Wx Wm Wt IIT Dspill Mon ER

Model 1 -31.5212* -0.1748 0.0018*** 0.1655 0.0109***

Model 2 -14.6843* -0.2474 0.0007* 0.0577 0.0224*

Model 3 -20.2514* -0.1358 0.0007* 0.0702 0.0201*

Keterangan:

* Signifikan pada 1 persen ** Signifikan pada 5 persen *** Signifikan pada 10 persen Smber: CEIC (2007), diolah.

Variabel perdagangan intra industri memiliki koefisien yang negatif pada semua model namun tidak berpengaruh signifikan terhadap sinkronisasi business cycle Filipina dengan ASEAN+3. Meningkatnya demand spillover akan meningkatkan sinkronisasi business cycle Malaysia dengan ASEAN+3, hal ini ditunjukkan oleh model (1), model (2) dan model (3) dimana variabel demand spillover memiliki nilai positif dan signifikan pada taraf nyata 1 dan 10 persen.

Variabel koordinasi kebijakan nilai tukar tidak berpengaruh terhadap sinkronisasi business cycle Filipina dengan ASEAN+3. Variabel koordinasi kebijakan nilai tukar signifikan pada taraf nyata 10 persen untuk model (1) serta signifikan pada taraf nyata 1 persen untuk model (2) dan model (3) dengan masing-masing koefisien sebesar 0.0109, 0.0224 dan 0.0201, menunjukkan semakin terkoordinasinya kebijakan nilai tukar akan meningkatkan sinkronisasi business cycle Filipina dengan ASEAN+3. Berdasarkan tabel (10) dapat disimpulkan meningkatnya intensitas perdagangan dan perdagangan intra industri hanya akan mengurangi sinkronisasi business cycle Filipina dengan ASEAN+3 dimana meningkatnya sinkronisasi business cycle lebih dipengaruhi oleh

meningkatnya demand spillover dan semakin terkoordinasinya kebijakan nilai tukar Filipina dengan ASEAN+3.

4.7 SINGAPURA

Hasil uji signifikansi dengan menggunakan uji hausman pada metode panel data didapatkan bahwa model (1), model (2) dan model (3) untuk Singapura menggunakan pendekatan random effect. Tabel 11 menunjukkan pengaruh integrasi perdagangan terhadap sinkronisasi business cycle Singapura dengan ASEAN+3.

Tabel 11. Sinkronisasi Business Cycle Singapura dengan ASEAN+3

Wx Wm Wt IIT Dspill Mon ER

Model 1 -1.0386 0.259*** -0.0001 0.2197 -0.0008 Model 2 -0.448 0.2446 -0.0001 0.2183 -0.0008 Model 3 -1.5116 0.2558*** -0.0001 0.2654 -0.0009 Keterangan:

* Signifikan pada 1 persen ** Signifikan pada 5 persen *** Signifikan pada 10 persen Sumber: CEIC (2007), diolah.

Variabel intensitas perdagangan bernilai negatif untuk semua model namun tidak berpengaruh signifikan terhadap sinkronisasi business cycle Singapura dengan ASEAN+3 baik pada taraf nyata 1, 5 dan 10 persen. Variabel perdagangan intra industri signifikan pada taraf nyata 10 persen untuk model (1) dan model (3) dengan masing-masing koefisien sebesar 0.259 dan 0.2558, menunjukkan meningkatnya perdagangan intra industri akan meningkatkan sinkronisasi business cycle Singapura dengan ASEAN+3. Variabel demand spillover bernilai negatif pada model (1) – (3) namun tidak ada satupun yang berpengaruh signifikan terhadap sinkronisasi business cycle Singapura dengan

ASEAN+3. Varibel koordinasi kebijakan moneter dan kebijakan nilai tukar juga tidak memiliki nilai yang signifikan untuk semua model baik pada taraf nyata 1, 5 maupun 10 persen, hal ini menunjukkan semakin terkoordinasinya kebijakan moneter dan kebijakan nilai tukar tidak berpengaruh terhadap sinkronisasi business cycle Singapura dengan ASEAN+3. Dari ketiga model tersebut dapat disimpulkan meningkatnya sinkronisasi business cycle sangat dipengaruhi oleh meningkatnya perdagangan intra industri Singapura dengan ASEAN+3.

4.8 THAILAND

Hasil uji signifikansi dengan menggunakan uji hausman pada metode panel data didapatkan bahwa model (1), model (2) dan model (3) untuk Thailand menggunakan pendekatan random effect. Tabel 12 menunjukkan pengaruh integrasi perdagangan terhadap sinkronisasi business cycle Thailand dengan ASEAN+3.

Tabel 12. Sinkronisasi Business Cycle Thailand dengan ASEAN+3

Wx Wm Wt IIT Dspill Mon ER

Model 1 -17.3937* -0.4345** 0.0011 0.3126** 0.0117

Model 2 -1.3308 -0.1182 0.0003 0.2971*** 0.0013

Model 3 -12.8315** -0.06 0.0007 0.2894*** 0.0128

Keterangan:

* Signifikan pada 1 persen ** Signifikan pada 5 persen *** Signifikan pada 10 persen

Sumber: CEIC (2007), diolah.

Pada tabel terlihat variabel intensitas perdagangan berpengaruh signifikan pada model (1) dan model (3) namun koefisien intensitas perdagangan tersebut bernilai negatif dengan masing-masing sebesar -17.3937 dan -12.8315, hal ini

menunjukkan meningkatnya intensitas perdagangan hanya akan mengurangi sinkronisasi business cycle Thailand dengan ASEAN+3. Variabel perdagangan intra industri juga berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5 persen untuk model (1) namun koefisien intensitas perdagangan tersebut bernilai negatif, hal ini menunjukkan meningkatnya perdagangan intra industri juga akan mengurangi sinkronisasi business cycle Thailand dengan ASEAN+3. Variabel demand spillover tidak berpengaruh signifikan terhadap sinkronisasi business cycle Thailand dengan ASEAN+3. Variabel koordinasi kebijakan moneter berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5 persen untuk model (1) dan signifikan pada taraf nyata 10 persen untuk model (2) dan model (3) dengan koefisien masing-masing sebesar 0.3126, 0.2971 dan 0.2894, hal ini menunjukkan semakin terkoordinasinya kebijakan moneter akan meningkatkan sinkronisasi business cycle Thailand dengan ASEAN+3. Dari tabel (12) dapat disimpulkan bahwa meningkatnya intensitas perdagangan dan perdagangan intra industri hanya akan mengurangi sinkronisasi business cycle Thailand dengan ASEAN+3.

Dokumen terkait