• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

2.4 Tahap Pelaksanaan

2.4.5 Analisis Data 1 Analisis Korelas

2.4.5.2 Uji Koefisien

Koefisien regresi diuji dengan menggunakan nilai P-value. Nilai P-value menunjukan pengaruh peubah bebas terhadap peubah terikat yang diharapkan, hipotesis yang digunakan adalah:

H0 : Peubah bebas berpengaruh signifikan terhadap peubah terikat H1 : Peubah bebas tidak berpengaruh signifikan terhadap peubah terikat Kaidah keputusan pada taraf nyata 95% adalah sebagai berikut:

Apabila P-value < 0.05 maka Ho diterima. Apabila P-value > 0.05 maka Ho ditolak

2.4.5.3Uji Verifikasi

Setelah model terbangun dan secara statistik dapat diterima, maka dilakukan verifikasi terhadap hasil dari model tersebut. Pada penelitian ini verifikasi dilakukan menggunakan Root Mean Square Error (RMSE), bias (℮), Simpangan Rata-rata (Mean deviation/SR), Simpangan Agregat (Agregative Deviation/SA), dan Uji-χ². Uji verifikasi dilakukan pada 30 plot IHMB yang di ambil secara acak (sampling) untuk mengetahui pengaruh model yang diberikan. Hubungan antara plot penelitian dan plot validasi (plot IHMB) diketahui dengan mengkorelasikan hasil biomassa pada plot peneltian (dbh > 10up) dan hasil biomassa pada plot IHMB dengan rumus biomassa dan ID plot yang sama. Persamaan korelasi tersebut digunakan untuk mengetahui jumlah di atas permukaan pada plot validasi (plot IHMB). Bentuk persamaan yang digunakan adalah:

= 1,003 + 7,355

Keterangan:

Y : Biomassa di atas permukaan plot IHMB X : Biomassa dbh ≥ 10 cm plot IHMB

Catatan : Persamaan ini diturunkan dari analisis regresi antara volume biomassa dari plot IHMB dan biomassa dari hasil pengamatan plot penelitian.

21

Nilai RMSE merupakan akar dari rata-rata jumlah kuadrat sisa antara selisih nilai dugaan dengan nilai aktual. RMSE digunakan untuk mengetahui seberapa besar error yang terjadi pada hasil perhitungan model jika dibandingkan dengan nilai aktual. Semakin kecil nilai RMSE, maka semakin kecil pula kesalahan yang terjadi pada penggunaan model.

Perhitungan RMSE dilakukan sesuai dengan rumus :

� = [ ᵢ− ᵢ ᵢ �=1 ]² � 100% Keterangan :

RMSE : Root Mean Square Error : Nilai dugaan

: Nilai aktual

n : Jumlah pengamatan verifikasi.

Bias (℮) merupakan kesalahan sistem yang dapat terjadi karena kesalahan dalam pengukuran, kesalahan teknis pengukuran maupun kesalahan karena alat ukur. Bias (℮)dapat bernilai positif dan negatif, nilai bias dikatakan baik apabila mendekati nilai 0. Bias dapat dihitung dengan persamaan:

�=

� − �

100% �=1

Simpangan rata-rata adalah jumlah dari nilai mutlak selisih antara jumlah nilai dugaan (Ht) dan nilai aktual (Ha), proporsional terhadap jumlah nilai dugaan (Ht). Nilai simpangan rata-rata yang baik adalah tidak lebih dari 10% (Spurr 1952). Simpangan rata-rata dapat dihitung dengan persamaan:

=

ᵢ− ᵢ

�=1

�100%

Simpangan agregat adalah selisih antara jumlah nilai aktual (Ha) dan nilai dugaan (Ht) sebagai presentase terhadap nilai dugaan (Ht). Persamaan yang baik memiliki simpangan agregat (SA) antara -1 sampai +1 (Spurr 1952). Nilai SA dapat diketahui dengan persamaan:

= �=1 �− �=1 �

Pada penelitian ini, perhitungan Uji-χ² menunjukkan besarnya kecocokan antara hasil perhitungan menggunakan model (nilai harapan) dengan perhitungan data lapangan (nilai observasi/nilai aktual). Jika nilai χ²-hitung lebih kecil dari nilai χ²-tabel pada taraf nyata 95%, maka dapat dinyatakan bahwa hasil dugaan menggunakan model terbangun tidak berbeda dengan perhitungan data lapangan (nilai aktual).

Perhitungan χ² (Walpole 1993) dapat dirumuskan sebagai berikut :

X2 = Oᵢ −Eᵢ 2 Eᵢ �=0 Keterangan : X2 : Nilai Chi-square Eᵢ : Nilai ekspetasi/dugaan Oᵢ : Nilai observasi/aktual.

Hipotesis yang digunakan adalah:

H0: Biomassa Atas Permukaan (BAP) model sama dengan BAP lapangan H1 : Biomassa Atas Permukaan (BAP) model tidak sama dengan BAP lapangan

2.4.6 Peta Sebaran Biomassa

Setelah diketahui model penduga biomassa, dilakukan pembuatan peta sebaran biomassa di areal kerja PT. Trisetia Intiga dengan menggunakan analisis Modeler pada softwareErdas Imagine. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui penyebaran potensi biomassa lapang di seluruh areal IUPHHK PT. Trisetia Intiga yang dapat digunakan sebagai dasar manajemen pengelolaan hutan selanjutnya.

23

BAB III

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

3.1 Letak Geografis dan Luas

IUPHHK PT. Trisetia Intiga terletak dalam kelompok hutan sungai Mentobi dan sungai Bulik, wilayah pengelolaannya berada di kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Kawasan IUPHHK PT. Trisetia Intiga masuk ke dalam daerah aliran sungai (DAS) Lamandau dan sub DAS Mentobi. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.113/Menhut-II/2006 tanggal 19 April 2006 tentang pemberian izin IUPHHK PT. Trisetia Intiga luas areal kerja ± 69.070 ha. Wilayah pengelolaan PT. Trisetia Intiga berada dalam dinas Kabupaten Lamandau dan dinas Provinsi Kalimantan Tengah, sedangkan untuk wilayah administrasinya berada di Kecamatan Bulik, Kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah. Sebaran kelas lereng IUPHHK PT. Trisetia Intiga di jelaskan dalam Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Sebaran kelas lereng di areal IUPHHK-HA PT.Trisetia Intiga

No Kondisi Fisiografi Kelas Lereng Luas

Ha % 1 Datar A (0-8%) 54.056 78,3 2 Landai B (9-15%) 10.010 14,5 3 Agak Curam C (15-25%) 3.503 5,1 4 Curam D (25-40%) 1.501 2,2 5 Sangat Curam E (>40%) 0 0,0 Jumlah 69.070 100

Sumber: Rencana Karya Umum (RKU) IUPHHK PT. Trisetia Intiga tahun 2010-2020

Menurut Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Provinsi Kalimantan Tengah, kawasan IUPHHK PT. Trisetia Intiga terdiri dari tiga fungsi hutan meliputi Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 24.229 ha, Hutan Produksi Tetap (HP) seluas 10.818 ha, dan Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 29.540 ha. Kondisi fisiograsi areal kerja PT. Trisetia Intiga bervariasi, mulai dari datar sampai curam. Daerah datar dan landai terdapat dibagian Barat dan Timur Laut, daerah agak curam dan curam terdapat hampir merata di seluruh areal IUPHHK

PT. Trisetia Intiga. Areal kerja PT. Trisetia Intiga berada di ketinggian 50 – 1.020 mdpl.

3.2 Geologi dan Tanah

Berdasarkan Peta Geologi Kalimantan Tengah Lembat Tumbang Manjul Skala 1:250.000 terbitan Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung Tahun 1978, formasi geologi areal IUPHHK PT. Trisetia Intiga, berada pada kompleks batuan Oligosen dan Eosen Bawah. Tabel 3.2 menjelaskan bahwa formasi geologi terbesar adalah Lava Andesit, Riolit, dan Desit sebesar 56,62%, sedangkan formasi geologi paling kecil sebesar 6,57% yaitu Andesit.

Tabel 3.2 Formasi geologi areal IUPHHK PT. Trisetia Intiga

Kode Formasi geologi Luas (Ha) (%)

Kgm Granit, Granadiorit, Monzonit 26.116 37,81 Rvk Lava Andesit, Riolit, dan Desit 39.11 56,62

Tma Andesit 4.884 6,57

Jumlah 69.07 100,00

Sumber : Rencana Karya Umum (RKU) IUPHHK PT. Trisetia Intiga tahun 2010-2020

Tabel 3.3 Jenis tanah yang terdapat di areal IUPHHK PT. Trisetia Intiga

Kode Formasi tanah Luas(Ha) (%)

HJA Tropodults 29.237 42.33

PLN Tropodults 9.419 13.64

BPD Distropepts 24.92 36.08

JLH Distropepts 5.49 7.95

Jumlah 69.07 100

Sumber : Rencana Karya Umum (RKU) IUPHHK PT. Trisetia Intiga tahun 2010-2020

Berdasarkan Peta Land System and Suitability lembar Ambalu (1615) Kalimantan Tengah Skala 1: 250.000 yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor, jenis tanah yang terdapat areal PT. Trisetia Intiga adalah Tropodults dan Distropepts. Jenis tanah secara lengkap disajikan pada Tabel 3.3.

3.3 Iklim

Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schmidt dan Ferguson (1951) iklim di areal IUPHHK Trisetia Intiga termasuk dalam tipe A yang memiliki nilai Q = 0 - 14,3%. Berdasarkan hasil pengukuran curah hujan di stasiun meteorologi dan

25

Geofisika Pangkalan Bun, curah hujan tahunan rata-rata yang tercatat pada penakar hujan adalah sebesar 2.296 mm/tahun dengan hari hujan sebanyak 193 hari/tahun. Curah hujan bulanan yang tertinggi sebesar 414,3 mm terjadi pada bulan Januari dengan jumlah hari 27 hari. Curah hujan terendah terjadi pada bulan Juni yakni sebesar 123,9 mm dan jumlah hari hujan sebanyak 10 hari.

Kelembaban udara berkisar 77 – 88%, dengan suhu udara maksimum berkisar antara 26o – 29o C dan suhu udara minimum berkisar 21o- 23o C. Data iklim di sekitar areal IUPHHK PT Trisetia Intiga dapat dilihat pada Tabel 3.4.

Tabel 3.4 Jumlah dan distribusi curah hujan di sekitar areal IUPHHK PT Trisetia Intiga

No Bulan Curah Hujan (mm) Hari Hujan

1 Januari 414,3 27 2 Februari 138,9 16 3 Maret 247,7 25 4 April 275,6 21 5 Mei 200,6 12 6 Juni 123,9 10 7 Juli 193,6 20 8 Agustus - - 9 September 124,8 10 10 Oktober 129,9 12 11 Nopember 147,5 18 12 Desember 289,5 23 Jumlah 2.286,3 193

Sumber : Rencana Karya Umum (RKU) IUPHHK PT. Trisetia Intiga tahun 2010-2020 3.4 Kondisi Sumberdaya Hutan

Kondisi umum areal IUPHHK PT. Trisetia Intiga sangat beragam, di Sebelah Utara merupakan kawasan yang masih berhutan, potensi kayu yang cukup tinggi, namun topografinya bergelombang hingga curam. Di Sebelah Barat Daya merupakan kawasan yang relatif landai, namun rendah potensi kayunya dan tinggi tingkat penyerobotan lahan. Di Sebelah Tenggara topografi relatif landai, namun banyak areal terbuka dan perkebunan sawit masuk ke dalam kawasan hutan. Berdasarkan kajian spasial pemanfaatan kawasan hutan di dalam areal kerja PT Trisetia Intiga diperoleh gambaran bahwa sekitar 25,3% dari luas wilayah

kerjanya atau sekitar 17.453 Ha bertampalan (overlap) dengan ijin lokasi perkebunan.

Tabel 3.5 Wilayah IUPHHK yang overlap dengan perkebunan

Perusahaan HP HPT HPK Jumlah Present

ase (%)

PT.Sawit Multi Abadi 168 517 2.809 3.494 5,1

PT.Tanjung Sawit Abadi 4.647 - 31 4.677 6,8

PT.Mentobi Mitra Lestari 5.743 - 314 6.057 8,8 PT.First Lamandau Timber

Internasional

- - 247 247 0,4

PT.Kalimantan Sawit Abadi - - 2.978 2.978 4,3

Jumlah Overlap 10.558 517 6.379 17.453 25,3

Tidak Overlap 3.153 23.750 24.714 51.617 74,7

Jumlah 13.711 24.267 31.092 69.070 100

Presentase (%) 19,8 35,1 45 100

Sumber: Rencana Kerja Umum (RKU) IUPHHK PT. Trisetia Intiga tahun 2010-2020

Di areal IUPHHK PT. Trisetia Intiga terdapat areal yang overlap dengan hak penggunaan kawasan perkebunan, dalam hal ini perkebunan kelapa sawit. Areal atau wilayah yang overlap dengan kawasan perkebunan dijelaskan pada Tabel 3.5. Berdasarkan data diketahui perusahaan perkebunan yang memiliki luas overlap terluas adalah PT. Mentobi Mitra Lestari dengan luas 6.057 Ha atau 8,8% dari seluruh kawasan PT. Trisetia Intiga.

Tabel 3.6 Keadaan penutupan vegetasi areal IUPHHK PT. Trisetia Intiga Penutupan Lahan

Fungsi Hutan (ha) Daerah Penyangga (Ha) Jumlah (Ha) Persen (%) HPT HP HPK Hutan Primer 1995 0 0 0 1.995 2,9 Hutan Bekas Tebangan 17.271 3.750 19.289 2.731 43.041 62 Non Hutan 3.913 6.770 7.976 1.681 20.34 30 Tertutup Awan 1.050 298 2.275 71 3.689 5 Jumlah 24.229 10.818 29.540 4.483 69.070 100

Sumber: Rencana Karya Umum (RKU) IUPHHK PT. Trisetia Intiga tahun 2010-2020

Kondisi penutupan vegetasi berdasarkan fungsi hutan dapat dilihat pada Tabel 3.6. Kondisi penutupan vegetasi areal IUPHHK PT. Trisetia Intiga berdasarkan hasil interpretasi citra Landsat 7 ETM band 542 Path/Row 120/61 liputan 18 April 2009 dan 17 Maret 2009, yang telah diperiksa oleh Direktur Inventarisasi dan

27

Pemantauan Sumber Daya Hutan, Ditjen Planalogi Kehutanan sesuai No.S.406/IPSDH-2/2009 tanggal 27 Juli 2009, terdiri dari Hutan Primer (VF) seluas 1.995 Ha, Hutan Bekas Tebangan (LOA) seluas 43.041 Ha, Non Hutan (NH) seluas 20.340 Ha dan Tertutup Awan (TA) seluas 3.694 Ha.

Berdasarkan hasil IHMB tersebut diketahui bahwa hutan di areal IUPHHK PT. Trisetia Intiga masih cukup baik dan layak untuk dikelola dan diusahakan secara berkelanjutan, yaitu dengan menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari, khususnya dalam hal pengaturan hasil hutan yang didasarkan pada sediaan tegakan dan kemampuan regenerasi dari hutan di areal tersebut. Kondisi umum sediaan tegakan di IUPHHK PT. Trisetia Intiga berdasarkan hasil IHMB dapat dilihat pada Tabel 3.7.

Tabel 3.7 Data sediaan tegakan di areal IUPHHK PT. Trisetia Intiga berdasarkan hasil IHMB

Kelompok jenis

Sediaan tegakan per kelas diameter

10-19 cm 20-39 cm 40 cm up N N V (m³) N V(m³) Meranti 6.575.069 901.58 676.520 776.062 4.887.312 Rimba campuran 20.118.075 4.494.423 884.857 615.937 1.955.659 Kayu indah 1.947.486 36.468 12.687 133.702 346.290 Jumlah 28.640.630 5.432.471 1.574.064 1.525.701 7.189.261

Sumber: Rencana Karya Umum (RKU) IUPHHK PT. Trisetia Intiga tahun 2010-2020

Areal IUPHHK PT. Trisetia Intiga memiliki keanekaragaman fauna yang cukup tinggi, hal tersebut dilihat dari beberapa fauna yang terlihat saat pengamatan di lapangan. Namun, hingga saat ini belum diketahui seberapa banyak jenis fauna yang berada di dalam areal IUPHHK PT. Trisetia Intiga karena belum adanya inventarisasi fauna di areal tersebut. Beberapa fauna yang diketahui berada dalam areal IUPHHK PT. Trisetia Intiga adalah Cervus sp., Neofelis nebulosa, Indotestudo forstenii, Pongo pygmaeus, Accipitridae sp., Buceros bicornis, Argusianus argus, Hylobates muelleri.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Struktur Tegakan

Berdasarkan kerapatan bidang dasar dan jumlah pohon per hektar, beberapa jenis pohon dominan yang berada di areal IUPHHK PT. Trisetia Intiga adalah Shorea spp., Shorea laevis Ridl, Kayu rimba komersil, Dipterocarpus spp., Eusyderoxylon zwagery,Dacryode ssp., Endospermum spp. Dominansi pohon di areal IUPHHK PT. Trisetia Intiga di jelaskan dalam Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Tabel dominansi jenis di IUPHHK PT. Trisetia Intiga berdasarkan luas bidang dasar dan jumlah pohon

No Nama jenis LBDS

(m2/Ha) Nama jenis

∑ Pohon (N/Ha)

1 Shorea spp. 938,62 Shorea spp. 10.675

2 Shorea laevis Ridl 402,45 Kayu rimba komersil 6.550 3 Kayu rimba komersil 300,04 Dipterocarpus spp. 4.375 4 Dipterocarpus spp. 210,61 Shorea laevis Ridl 3.400 5 Eusyderoxylon zwagery 122,47 Dacryodes sp. 2.075 6 Dacryodes sp. 78,70 Endospermum spp. 1.775 7 Endospermum spp. 48,08 Eusyderoxylon

zwagery

1.150

8 Quercus sp. 43,02 Knema sp. 1.150

9 Shorea pinanga 39,07 Cinnamomum

parthenoxylon Meissn

1.100 10 Ochanostachys

amentaceae Mast

37,86 Quercus sp. 850

Keterangan:LBDS = Luas Bidang Dasar, Kayu rimba komersil: kumpulan 34 jenis kayu komersil

Sistem permudaan yang diterapkan merupakan sistem permudaan alam dan ditanam pengayaan yang dilakukan sekitar 1(satu) tahun setelah penebangan. Dari ke-10 jenis dominan satu diantaranya merupakan jenis kayu indah yang dilindungi yaitu Eusyderoxylon zwagery atau biasa dikenal dengan kayu ulin. Persebaran kayu ulin di Pulau Kalimantan menjadi salah satu komoditi yang potensial. Akan tetapi, jumlahnya yang semakin menurun akibat deforestasi dan degradasi lahan membuat jenis kayu indah ini masuk ke dalam jenis yang dilestarikan.

Luas bidang dasar dan jumlah pohon dapat mengambarkan kerapatan dan struktur suatu tegakan yang bermanfaat dalam penentuan perencanaan unit

29

manajemen. Struktur tegakan hutan alam umumnya membentuk kurva dengan pola J terbalik (eksponensial negatif) yang menggambarkan pola tegakan tidak seumur. Model eksponensial negatif merupakan model yang cukup sederhana tetapi dapat menjelaskan dengan baik hubungan diameter pohon dengan jumlah pohon per hektar. Penggunaan kurva dengan pola J terbalik hanya berlaku pada pengaturan diameter manajemen hutan alam. Pada penerapan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) di hutan alam, hutan produksi tetap memiliki kemampuan untuk memanen kayu berdiameter > 50 cm. Hasil penelitian menunjukan pola struktur tegakan di areal tersebut memiliki pohon berdiameter > 50 cm yang relatif sedikit dan slope yang cukup tajam. Pola kemiringan pada Gambar 4.1 menjelaskan terjadi perbedaan jumlah yang signifikan antara pohon berdiameter < 50 cm dan pohon berdiameter > 50 cm dimana jumlah tumbuhan bawah lebih banyak dibandingkan pohon siap tebang atau pohon dengan diameter > 50 cm. Berdasarkan pola tersebut menunjukan bahwa lokasi areal penelitian merupakan hutan sekunder bekas tebangan.

Gambar 4.1 Struktur tegakan IUPHHK PT. Trisetia tahun 2012

Jumlah pohon dapat menggambarkan ketersediaan tegakan di setiap tingkat pertumbuhannya. Pada penelitian ini diketahui pohon berdiameter < 10 cm sebanyak 252.000 pohon, pohon dengan diameter 10-49 cm sebanyak 41.225 pohon, dan pohon berdiameter ≥ 50 cm ada 3.150 pohon. Hal tersebut menunjukan ketersediaan tegakan di areal penelitian relatif tinggi pada kelas tegakan berdiameter < 10 cm atau kelas pandang dan rendah pada kelas tegakan berdiameter ≥ 50 cm. Table 4.2 mensajikan jumlah persen komulatif pohon pada

y = 2482.e-0.04x R² = 0.806 0 1000 2000 3000 4000 0 20 40 60 80 100 120 N / H a D (cm)

setiap kelas diameter yang ada, dapat diketahui ketersediaan tegakan konstan pada diameter ≥ 50 cm kurang dari 1% sehingga dapat dikatakan bahwa ketersediaan pohon berdiameter ≥ 50 cm tidak mempengaruhi ketersediaan tegakannya karena jumlahnya yang relatif sedikit.

Tabel 4.2 Dominansi jumlah pohon dan biomassa berdasarkan kelas diameter No Kelas diameter Jumlah pohon per hektar Perse ntase (%) Persen komulati f (%) Jumlah biomassa per hektar Perse ntase (%) Persen komula tif (%) 1 <10 252000 85.0 85.0 221.51 1.8 1.8 2 10-19 24600 8.3 93.3 998.99 8.3 10.2 3 20-29 9775 3.3 96.6 1522.61 12.7 22.8 4 30-39 4600 1.6 98.2 1484.84 12.4 35.2 5 40-49 2250 0.8 98.9 1553.04 12.9 48.1 6 50-59 1350 0.5 99.4 1720.83 14.3 62.5 7 60-69 675 0.2 99.6 887.43 7.4 69.9 8 70-79 425 0.1 99.8 801.89 6.7 76.5 9 80-89 425 0.1 99.9 1417.76 11.8 88.4 10 90-99 125 0.0 99.9 426.16 3.5 91.9 11 100-109 50 0.0 100.0 382.32 3.2 95.1 12 110-120 100 0.0 100.0 590.23 4.9 100.0

Lain halnya pada nilai proporsi biomassa yang dihasilkan, tidak sepenuhnya bergantung pada kelas diameter karena unsur yang mempengaruhi biomassa dalam hal ini terdiri dari diameter dan berat jenis kayu itu sendiri. Oleh karena itu, pada Tabel 4.2 dijelaskan bahwa biomassa pada masing-masing kelas diameter memiliki proporsi yang berbeda-beda dengan peningkatan yang tidak konstan. Hasil pengukuran menunjukan proporsi biomassa tertinggi berada pada kelas diameter 50-59 cm, dan proporsi biomassa terendah ada pada kelas diameter < 10 cm. Pada kelas diameter < 60 cm terlihat nilai biomassa memiliki trend yang relatif meningkat, sedangkan pada diameter > 60 cm nilai biomassanya memiliki trend yang relatif menurun. Perubahan trend nilai biomassa tersebut disebabkan karena pola pertumbuhan biomassa itu sendiri yang meningkat sampai dengan umur tertentu dan konstan setelah umur pertumbuhannya. Namun, pada kelas diameter 80-89 cm terjadi peningkatan biomassa dengan jumlah pohon per hektarnya yang relatif rendah. Hal tersebut dapat disebabkan karena pada kelas diameter 80-89 cm merupakan kumpulan jenis pohon dengan berat jenis tinggi

31

sehingga nilai biomassa yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan nilai biomassa kelas diameter yang lebih rendah.

4.2 Biomassa Tegakan

Tabel 4.3 Hasil statistik kandungan biomassa

No ID Plot Koordinat X Koordinat Y Volume (m3/ha) Biomassa (ton/ha) 1 1009036 559404 9811806 213,02 100,11 2 1010038 560329 9812790 108,00 93,49 3 1011040 561320 9814591 285,49 227,38 4 1011041 561320 9815490 206,56 135,25 5 1012039 562320 9813692 146,92 68,03 6 1012041 562320 9815490 381,30 212,21 7 1012045 562320 9819086 584,05 599,43 8 1013039 563327 9813710 341,76 179,99 9 1013040 563345 9814598 232,14 135,65 10 1013041 563327 9815501 464,95 287,32 11 1014040 564354 9814605 386,61 296,24 12 1017042 567330 9816402 660,85 357,44 13 1018040 568319 9814608 719,61 443,97 14 1018043 568320 9817288 298,42 171,27 15 1019041 569336 9815506 706,44 382,87 16 1019044 569337 9818188 332,78 215,84 17 1020042 570332 9816414 140,01 97,98 18 1021043 571331 9817327 273,04 318,31 19 1021044 571423 9818254 491,54 259,79 20 1022046 576140 9818061 456,63 296,98 21 1022052 572426 9825505 681,21 411,91 22 1023047 573282 9820714 397,12 248,53 23 1025040 575335 9814590 557,65 367,87 24 1025043 575311 9817176 426,47 267,71 25 1026040 576372 9814745 637,40 333,44 26 1026042 576398 9816431 360,34 247,24 27 1026043 576357 9817207 541,49 316,39 28 1027039 577373 9813635 136,28 80,35 29 1027043 577218 9817390 362,37 200,95 30 1028037 578342 9811803 446,47 546,76

Table 4.3 merupakan data hasil pengolahan nilai biomassa pada 30 plot pengamatan. Keragaman biomassa yang relatif tinggi pada lokasi penelitian yang kemungkinan disebabkan oleh berbagai faktor yaitu umur tegakan, sejarah hutan,

perbedaan struktur, dan faktor iklim seperti suhu dan curah hujan (Komiyama et al. 1988). Keragaman yang dihasilkan pada hasil biomassa lapangan dilihat berdasarkan nilai koefisien variasinya dengan nilai 50,29%. Nilai tersebut menggambarkan bahwa keragaman biomassa atas lapangan pada lokasi relatif sedang. Menurut Puspijak (2010), nilai biomassa pada hutan bekas tebangan di Kalimantan Timur sebesar 343,6-498,4 ton/ha. Hasil pendugaan biomassa penelitian menunjukan wilayah selang biomassa yang cukup tinggi dengan nilai minimum 68,03 ton/ha dan maksimum 599,43 ton/ha. Areal penelitian termasuk ke dalam tipe hutan lahan kering, yang umumnya memiliki kemampuan menyimpan karbon dalam jumlah besar daripada hutan rawa dan mangrove karena kemampuannya dalam membangun tegakan yang tinggi dan berdiameter besar sebagai tempat penyimpanan karbon. Kandungan biomassa di beberapa tipe tutupan lahan hutan dan non hutan diketahui berdasarkan data Puspijak (2010) dengan biomassa hutan lahan kering bekas tebangan sebesar 343,6-498,4 ton/ha, biomassa hutan mangrove bekas tebangan 108,2-365 ton/ha, biomassa agroforestry sebesar 91 ton/ha, biomassa tegakan kelapa sawit sebesar 32,68 ton/ha, biomassa semak belukar sebesar 38,8 ton/ha, dan biomassa padang rumput atau savana sebesar 20 ton/ha.

Pada umumnya, nilai R² dikatakan baik jika bernilai ˃ 50%. Hasil pengujian menunjukan nilai R² sebesar 96,4%. Hal tersebut menunjukan bahwa 96,4% biomassa atas permukaan dapat dijelaskan oleh diameter dan berat jenis tegakan yang diamati, sedangkan 3,6% kandungan biomassa di atas permukaan diduga oleh peubah lainnya.

Pada penelitian ini, biomassa tegakan terdiri dari biomassa pohon, tiang, dan pancang. Menurut Istomo (2002) secara proporsional urutan biomassa tumbuhan dari tertinggi sampai terendah adalah biomassa tingkat pohon, biomassa akar sampai kedalamaan 100cm, biomassa tingkat pancang, biomassa serasah lantai hutan, biomassa semak dan tumbuhan bawah, dan biomassa tingkat semai. Hasil penelitian menunjukan jumlah biomassa (rata-rata) pohon sebesar 171,10 ton/ha (64,97%), biomassa nekromassa sebesar 53,01 ton/ha (20,13%), biomassa tiang sebesar 32,01ton/ha (12,16%), biomassa pancang sebesar 7,24 ton/ha (2,75%), biomassa serasah sebesar 8,6x10-5 ton/ha (3,3x10-5%), dan biomassa tumbuhan

33

bawah 1,2x10-5 ton/ha (5x10-6). Analisis koefisien variasi (Coefficient of variance/CV) pada setiap kelompok biomassa menunjukan nilai keheterogenan biomassa pada setiap kelas biomassa. Suatu nilai dikatakan heterogen jika memiliki CV antara 65% sampai 85%. Pada penelitian ini diketahui kelas biomassa yang paling heterogen adalah kelas serasah (69,88%) dan tumbuhan bawah (87,57%). Proporsi jumlah biomassa pada setiap kelas biomassa di atas permukaan dijelaskan pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Tabel proporsi biomassa setiap kelas biomassa atas permukaan Kelas Biomassa Biomassa (ton/ha) CV (%) Persen (%) Maksimu m Minimu m Sd. Rata-rata Pohon 426,16 3,17 42,31 171,10 24,73 64,97 Nekromassa 126,62 0,19 12,83 53,01 24,20 20,13 Tiang 22,46 1,66 5,10 32,01 15,92 12,16 Pancang 12,16 0,00 1,34 7,24 18,46 2,75 Serasah 2,7x10-4 6,9x10-6 5,9x10-5 8,6x10-5 69,88 3,3x10-5 Tumbuhan bawah 5,9x10-5 1,6x10-6 1,1x10-5 1,2x10-5 87,57 5x10-6

Keterangan: Sd.= simpangan baku, CV= koefisien varian

Biomassa atas permukaan (BAP) yang telah diperoleh dalam satuan ton/ha per plot dikorelasikan dengan nilai biomassa citra ALOS PALSAR Resolusi 50 meter. Biomassa citra dianalisis dengan pendekatan nilai hamburan balik (backscatter) yang merupakan nilai kuantitatif kekuatan sinar balik dari citra radar yang dapat menggambarkan indeks vegetasi suatu citra. Nilai hamburan balik yang dipilih merupakan nilai hasil polarisasi HH, HV, HH/HV, ditampilkan dengan beberapa ukuran sampel plot (ukuran sampel plot) untuk melihat perbedaan nilai hamburan balik pada luasan sampel yang berbeda-beda. Pada penelitian ini digunakan ukuran sampel 1 x 1 pixel, 3 x 3 pixel, dan 5 x 5 pixel, yang artinya secara berurutan sampel degan ukuran 50 m x 50 m, 150 m x 150 m, 250 m x 250 m. Nilai hamburan balik polarisasi HH lebih besar dibandingkan nilai hamburan balik polarisasi HV, hal tersebut disebabkan karena nilai dijital pada polarisasi HH lebih besar dibandingkan nilai dijital pada polarisasi HV.

Secara teoritis, vegetasi mempunyai permukaan yang kasar dan kandungan kelembaban yang tinggi sehingga nilai hamburan balik (backscatter) dari vegetasi memiliki nilai yang lebih tinggi. Pantulan dan hamburan yang kuat dari vegetasi

akan memberikan rona yang sangat cerah pada citra. Variasi rona yang disebabkan adanya variasi permukaan vegetasi ini dapat menunjukkan perbedaan kekasaran vegetasi sebagai akibat perbedaan lebar tajuk. Semakin kasar vegetasi akan memberikan tone yang cerah, hutan akan tampak cerah karena tajuknya kasar. (Puspitasari 2010).

4.3 Filter Spasial

Nilai hamburan balik yang dihasilkan merupakan nilai yang berasal dari citra asli tanpa perlakukan penajaman citra. Nilai koefisien determinasi yang dihasilkan dari ketiga polarisasi adalah ≤ 50%, sehingga dilakukan penghalusan kontras citra dengan filtering image yang diharapkan dapat meningkatkan nilai koefisien regresi antara biomassa lapangan dengan nilai hamburan balik. Pada penelitian ini dilakukan penajaman spasial (spasial enhancement) dengan penggunaan filter Lee. Hasil filtering image disajikan pada Gambar 4.3.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 4.2 Hasil filtering image citra ALOS PALSAR 50 m pada kernel 3x3, 5x5, dan 7x7

Secara visual, hasil filtering menunjukan nilai berbeda pada setiap kernel yang digunakan, semakin tinggi nilai kernelnya maka semakin rendah kekontrasan

A

A A

35

antara masing-masing tone atau warna yang ada. Penurunan kontras yang dihasilkan mengurangi kemudahan interpreter dalam mengidentifikasi lokasi tertentu dengan lokasi lainnya. Selain itu, hasil filtering menghilangkan beberapa informasi pada citra asli karena penghalusan kontras. Sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 4.2 lahan kosong yang ada di dalam lingkaran merah (Gambar 4.2 (a)) terlihat mempunyai kontras yang lebih tinggi dibandingkan hasil filtering (b), (c), (d) (lihat Gambar 4.2). Oleh karena itu, penggunaan filtering dengan penurunan kontras membuat beberapa infomasi pada data hasil filtering berubah atau dihilangkan.

Nilai backscatter plot pengamatan masing-masing citra, baik citra asli maupun citra hasil filtering dikroelasikan dengan nilai biomassa atas permukaan (above ground biomass). Model yang terbangun pada penelitian ini adalah model logaritmik, yang menggambarkan grafik pertumbuhan dimana terjadi peningkatan secara teratur dan konstant pada waktu tertentu.

Dokumen terkait