• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Least Siqnificant Range (LSR) Efek Utama Pengaruh Suhu

terhadap Konsentrasi Residu Sulfit Tepung Bonggol Pisang

16. Uji Least Siqnificant Range (LSR) Efek Utama Pengaruh Suhu Penceluran terhadap Suhu Gelasi Tepung Bonggol Pisang

17. Uji Least Siqnificant Range (LSR) Efek Utama Pengaruh lama Penceluran terhadap Suhu Gelasi Tepung Bonggol Pisang

18. Uji Least Siqnificant Range (LSR) Efek Utama Pengaruh Suhu Penceluran terhadap Daya Mengembang Tepung Bonggol Pisang

19. Uji Least Siqnificant Range (LSR) Efek Utama Pengaruh Lama Penceluran terhadap Daya Mengembang Tepung Bonggol Pisang

20. Uji Least Siqnificant Range (LSR) Efek Utama Pengaruh Suhu Penceluran terhadap Organoleptik Warna Tepung Bonggol Pisang

21. Uji Least Siqnificant Range (LSR) Efek Utama Pengaruh Lama Penceluran terhadap Organoleptik Warna Tepung Bonggol Pisang

DAFTAR GAMBAR

1. Pengaruh Suhu Penceluran terhadap Rendemen Tepung Bonggol Pisang 2. Pengaruh Lama Penceluran terhadap Rendemen Tepung Bonggol Pisang

3. Pengaruh Interaksi suhu dan Lama Penceluran Terhadap Rendemen Tepung Bonggol Pisang

4. Pengaruh Suhu Penceluran terhadap Kadar Air Tepung Bonggol Pisang

5. Pengaruh Suhu Penceluran terhadap Konsentrasi Residu Sulfit Tepung Bonggol Pisang

6. Pengaruh Lama Penceluran terhadap Konsentrasi Residu Sulfit Tepung Bonggol Pisang

7. Pengaruh Suhu Penceluran terhadap Daya Mengembang Tepung Bonggol Pisang 8. Pengaruh lama Penceluran terhadap Daya Mengembang Tepung Bonggol Pisang 9. Pengaruh Suhu Penceluran terhadap organoleptik Warna Tepung Bonggol Pisang 10. Pengaruh Lama Penceluran terhadap organoleptik Warna Tepung Bonggol Pisang

RINGKASAN

JIMMI FERES A. SITORUS, “Pengaruh Suhu dan Lama Penceluran terhadap Mutu Tepung Bonggol Pisang”.dibimbing oleh Ir. A.H Sulaiman, M.Sc

selaku ketua pembimbing dan Ir. Setyohadi M.Sc selaku anggota pembimbing.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui untuk mengetahui pengaruh suhu dan

lama penceluran terhadap mutu tepung bonggol pisang kapok

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan 2 faktor, yaitu

faktor I : Suhu Penceluran (S),yang terdiri dari empat taraf, yaitu :S1=75OC, S2=80 O

C, S3= 85 OC, S4= 90 OC dan faktor II : Lama Penceluran (L) yang terdiri dari

empat taraf, yaitu :L1= 5 menit, L2,= 10 menit, L3=15menit, L4= 20 menit

Hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Rendemen (%)

Suhu penceluran berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap rendemen

tepung bonggol pisang kepok yang dihasilkan. Rendemen tertinggi terdapat pada

perlakuan S1 (suhu penceluran 75oC) sebesar 8,21% dan terendah pada S4 (suhu

penceluran 90oC) sebesar 7,47%. Lama penceluran berpengaruh sangat nyata

(p<0,01) terhadap rendemen tepung bonggol pisang kepok yang dihasilkan.

Rendemen tertinggi diperoleh pada perlakuan L1 (lama penceluran 5 menit)

sebesar 8,25% dan nilai terendah pada L4 (lama penceluran 20 menit) sebesar

7,52%.

Interaksi antara suhu dan lama penceluran berpengaruh nyata (p<0,05)

pada interaksi perlakuan S1L1 yaitu sebesar 8,64 dan terendah pada S4L4 yaitu

sebesar 7,30.

2. Kadar Air (%)

Suhu penceluran berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap kadar air

tepung bonggol pisang kepok yang dihasilkan. Kadar air tertinggi diperoleh pada

perlakuan S1 (suhu penceluran 75oC) sebesar 7,75% dan terendah pada S4 (suhu

penceluran 90oC) sebesar 5,75%. Lama penceluran berpengaruh sangat nyata

(p<0,01) terhadap kadar air tepung bonggol pisang kepokyang dihasilkan. Kadar

air tertinggi terdapat pada perlakuan L1 (lama penceluran 5 menit) sebesar 7,75%

dan terendah pada L1 (lama penceluran 20 menit) sebesar 5,75%.

Interaksi antara suhu dan lama penceluran berpengaruh tidak nyata

(p>0,05) terhadap kadar air tepung bonggol pisang kepok, sehingga uji LSR tidak

dilanjutkan.

3. Residu Sulfit (ppm)

Suhu penceluran berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap konsentrasi

residu sulfit tepung bonggol pisang kepok yang dihasilkan. Konsentrasi residu

sulfit tertinggi terdapat pada perlakuan S1(suhu penceluran 75oC) sebesar 186,5

ppm dan terendah pada S4 (suhu penceluran 90oC) sebesar 66 ppm. Lama

penceluran berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap konsentrasi residu sulfit

tepung bonggol pisang kepok yang dihasilkan. Konsentrasi residu sulfit tertinggi

terdapat pada perlakuan L1 (lama penceluran 5 menit) sebesar 174,5 ppm dan

Interaksi antara suhu dan lama penceluran berpengaruh tidak nyata

(p>0,05) terhadap konsentrasi residu sulfit tepung bonggol pisang kepok,

sehingga uji LSR tidak dilanjutkan.

4. Suhu Gelasi (oC)

Suhu penceluran berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap suhu gelasi

yang dihasilkan. Suhu gelasi tertinggi terdapat pada perlakuan S4 (suhu

penceluran 90oC) sebesar 86,39% dan terendah pada S1 (suhu penceluran 75oC)

sebesar 68,14%. Lama penceluran berpengaruh sangat nyata (p<0,01) suhu gelasi

tepung bonggol pisang kepok yang dihasilkan. Suhu gelasi tertinggi terdapat pada

perlakuan L4 (lama penceluran 20 menit) sebesar 86,44% dan terendah pada L4

(lama penceluran 20 menit) sebesar 72,79%.

Interaksi antara suhu dan lama penceluran berpengaruh tidak nyata

(p>0,05) terhadap suhu gelasi tepung bonggol pisang kepok, sehingga uji LSR

tidak dilanjutkan.

5. Daya Mengembeng (ml/ml)

Suhu penceluran berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap daya

mengembang yang dihasilkan. Daya mengembang tertinggi terdapat pada

perlakuan S4 (suhu penceluran 90oC) sebesar 7,24 ml/ml dan terendah pada S1

(suhu penceluran 75oC) sebesar 5,55 ml/ml. Lama penceluran berpengaruh sangat

nyata (p<0,01) daya mengembang tepung bonggol pisang kepok yang dihasilkan.

Daya mengembang tertinggi terdapat pada perlakuan L4 (lama penceluran 20

menit) sebesar 6,79 ml/ml dan terendah pada L4 (lama penceluran 5 menit)

Interaksi antara suhu dan lama penceluran berpengaruh tidak nyata

(p>0,05) terhadap daya mengembung tepung bonggol pisang kepok, sehingga uji

LSR tidak dilanjutkan.

6. Uji Organoleptik Warna

Suhu penceluran berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap organoleptik

tepung bonggol pisang kepok yang dihasilkan. Organoleptik warna tertinggi

diperoleh pada perlakuan S4 (suhu penceluran 90oC) sebesar 3,20 dan terendah

pada S1 (suhu penceluran 75oC) sebesar 2,80. Lama penceluran berpengaruh

sangat nyata (p>0,05) terhadap organoleptik warna tepung bonggol pisang kepok

yang dihasilkan. Organoleptik warna tertinggi diperoleh pada perlakuan S4 (lama

penceluran 90oC) sebesar 3,11 dan terendah pada S1 (lama penceluran 75oC)

sebesar 2,84.

Interaksi antara suhu dan lama penceluran berpengaruh tidak nyata

(p>0,05) terhadap organoleptik warna tepung bonggol pisang kepok yang

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanaman pisang kepok termasuk tanaman yang serbaguna. Selain buahnya, bagian lainnya juga dapat dimanfaatkan. Bonggol pisang kepok dapat dijadikan soda sebagai bahan baku sabun dan pupuk kalium. Batangnya dapat digunakan sebagai penghasil serat bahan baku kain dan makanan ternak. Daun pisang kepok banyak digunakan sebagai pembungkus makanan tradisional (Sucipto, 2003).

Pisang kepok kepok cocok untuk makanan olahan. Jenis pisang kepok ini yang lebih dikenal adalah pisang kepok kepok putih dan pisang kepok kepok kuning dengan warna daging buah sama seperti namanya. Daging buah bertekstur agak keras dengan aroma yang kurang harum. Kulit buah sangat tebal dan berwarna hijau kekuningan pada buah yang telah masak. Pisang kepok kepok kuning rasanya lebih enak daripada pisang kepok kepok putih. Dalam satu tandan dapat mencapai 10-16 sisir (satu sisir berisi 20 buah pisang kepok) dengan berat per tandan 14-22 kg.

Selain buahnya, tanaman pisang kepok juga dapat dimanfaatkan dari bagian bonggol hingga daunnya. Bonggol tanaman pisang kepok (berupa umbi batang) dan batang muda dapat diolah menjadi sayuran. Bunga pisang kepok (dikenal sebagai jantung pisang kepok) dapat digunakan untuk sayur, manisan, acar, maupun lalapan. Daunnya dapat memberikan rasa harum spesifik pada nasi yang dibungkus dalam keadaan panas.

Bonggol pisang kepok yang selama ini masih dianggap sebagai barang yang tidak berguna atau hanya menjadi sampah/limbah pisang kepok. Munculnya gagasan meneliti bonggol pisang kepok ini disebabkan karena melihat besarnya produksi pisang kepok di Indonesia dan tingginya tingkat kebutuhan Indonesia akan produksi tepung terutama bagi

kalangan industri pangan. Selama ini orang lebih tertuju pada buah pisang kepoknya saja, sedangkan bonggol pisang kepok terlupakan. Tingginya harga tepung terigu yang dijual sehingga banyak industri kecil yang tidak dapat menerusakan usahanya. Padahal, diperkirakan setiap tahun ada tiga juta ton bonggol pisang kepok yang belum dimanfaatkan. Dengan pemanfaatan bonggol pisang kepok ini ternyata memiliki nilai ekonomi yang dapat dijadikan sebagai tepung yang dapat digunakan untuk produksi bahan pangan.

Dalam pembuatan tepung bonggol pisang kepok kepok sering terjadi reaksi pencoklatan. Untuk mencegah reaksi pencoklatan dapat dilakukan dengan ”penceluran”. Penceluran adalah proses pemanasan pendahuluan yang dilakukan terhadap buah dan sayur sebelum bahan tersebut dikeringkan, dengan tujuan menghilangkan udara dari jaringan bahan, menonaktifkan enzim, membunuh mikroorganisme dalam bahan, mempercepat pengeringan serta dapat mempertahankan karotenoid dan asam askorbat dari kerusakan karena oksidasi selama pengeringan maupun penyimpanan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ”pengaruh suhu dan lama penceluran terhadap mutu tepung bonggol pisang kepok”.

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suhu dan lama penceluran terhadap mutu tepung bonggol pisang kepok.

Kegunaan Penelitian

- Sebagai bahan informasi dalam pembuatan tepung bonggol pisang - Sebagai sumber data dalam penyusunan skripsi di Departemen Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Hipotesa Penelitian

- Diduga ada pengaruh suhu penceluran terhadap mutu tepung bonggol pisang kepok.

- Diduga ada lama penceluran terhadap mutu tepung bonggol pisang kepok. - Diduga ada pengaruh interaksi antara suhu penceluran dan lama penceluran

TINJAUAN PUSTAKA

Sekilas Tentang Tanaman Pisang

Tanaman pisang termasuk dalam golongan monokotil tahunan berbentuk pohon yang tersusun atas batang semu. Batang semu ini merupakan tumpukan pelepah daun yang tersusun secara rapat teratur. Percabangan tanaman bertipe simpodial dengan meristem ujung memanjang dan membentuk bunga lalu buah. Bagian bawah batang pisang menggembung berupa umbi yang disebut bonggol. Pucuk lateral (sucker) muncul dari kuncup pada bonggol yang selanjutnya tumbuh menjadi tanaman pisang kepok (Sunarjono, 2003).

Tanaman Pisang (Musa paradisiaca Linn.) merupakan tanaman yang mudah tumbuh di daerah tropik. Tanaman ini banyak terdapat di Asia Tenggara. Di Indonesia, tanaman pisang masih banyak yang dapat tumbuh subur di daerah pegunungan hingga ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut. Tanaman pisang juga dapat bertahan hidup pada musim kering (kemarau), hal ini sebabkan oleh batang pisang yang mengandung air berkisar 80-90 % (Sunarjono, 2003).

Pisang merupakan tumbuhan asli Asia Tenggara, yaitu berasal dari Semenanjung Malaysia dan Filipina. Tetapi ada juga yang menyebutkan bahwa pisang berasal dari Brasil dan India. Dari sini kemudian menyebar hingga ke Pasifik (Sunarjono, 2003).

Pisang yang tergolong tanaman buah ini tidak asing lagi bagi sebagian besar masyarakat. Tumbuhan ini berdasarkan klasifikasi ilmiahnya, pisang yang tergolong ke

Kingdom hingga species berikut ini: - Kingdom : Plantae - Division : Magnoliophyta - Class : Liliopsida - Order : Zingiberales - Family : Musaceae - Genus : Musa

- Species : Musa Paradisiaca, Linn.

(Sunarjono , 2003).

Sekilas Tentang Bonggol Pisang

Pisang (Musa paradisiacal, L) merupakan tanaman asli daerah Asia Tenggara termasuk Indonesia. Saat ini pisang telah tersebar ke berbagai pelosok dunia :kepulauan di Pasifik, kawasan Timur Tengah, India, Amerika dan Cina (Sunarjono, 2003).

Selain buahnya, ada bagian lain dari tanaman pisang yang sangat jarang dimanfaatkan oleh masyarakat, yaitu umbi batang pisang (bonggol pisang /rimpang pisang) (Sunarjono, 2003).

Bonggol pisang bila dibiarkan begitu saja akan menjadi limbah pertanian yang tidak bermanfaat. Di Indonesia, masalah limbah sedang giat-giatnya dipikirkan untuk bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi (Sunarjono, 2003).

Komposisi Kimia Bonggol Pisang

Bonggol pisang cukup banyak mengandung karbohidrat (11,6%), disamping mengandung mineral dan vitamin. Oleh sebab itu tidaklah salah bila bonggol pisang juga

dipergunakan sebagai bahan makanan, baik untuk manusia ataupun hewan. Karena kandungan karbohidratnya cukup tinggi maka patinya dapat dipisahkan dari ampasnya (Munadjim, 1984).

Tabel 1. Komposisi Kimia Bonggol Pisang per 100 gr bahan

Komposisi Kimia Basah Kering

Kalori (kal) 43 245 Protein (g) 0,6 3,4 Lemak (g) - - Karbohidrat (g) 11,6 66,2 Ca (mg) 15 60 P (mg) 60 150 Fe (mg) 0,5 2 Vitamin A (SI) - - Vitamin B (mg) 0,01 0,04 Vitamin C (mg) 12 4 Air (%) 86 20 Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan R.I., (1996).

Sekilas Tentang Tepung

Setiap jenis tepung mempunyai sifat fisik dan kimia yang sangat beragam, dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia patinya. Sifat-sifat ini sangat mempengaruhi produk makanan yang dihasilkan (Somaatmadja, 1983).

Tepung adalah bahan makanan yang berbentuk bubuk (tepung) yang diolah dari biji-bijian, umbi-umbian dan bagian isi dari batang tanaman. Tepung makanan disini adalah tepung beras, tepung jagung, tepung terigu, tepung tapioka, tepung hun-kwee dan tepung aren (Zarlis dan Harja, 1981).

a. Tepung Tapioka

Menurut Iryanto (1985) ubi kayu disebut juga tapioka yang merupakan granula dari karbohidrat, berwarna putih, tidak mempunyai rasa manis dan tidak berbau yang

diperoleh dari hasil ekstraksi dari umbi ketela pohon (Manihot utilisima).

Tepung tapioka adalah pati yang diperoleh dari ekstrasi ubi kayu melalui proses pemarutan, pemerasan, penyaringan, pengendapan pati, dan pengeringan (Astawan, 2003).

Tepung tapioka dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku ataupun campuran pada berbagai macam produk antara lain kerupuk, dan kue kering lainnya. Selain itu tepung tapioka dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengental (thickener), bahan pemadat dan pengisi, bahan pengikat pada industri makanan olahan (Astwan, 2003).

Tabel 1. Komposisi Kimia Tepung Tapioka (per 100 gram bahan)

Komposisi Jumlah Kalori (kal) 362 Protein (g) 0,5 Lemak (g) 0,3 Karbohidrat (g) 86,9 Air (g) 12,0 P (mg) 0,0 Kalsium (mg) 0,0 Fe (mg) 0,0 Bdd 100

Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan R.I., (1996).

b. Tepung Terigu

Tepung terigu mengandung pati 65 % - 70 % dengan rasio amilosa – amilopektin 74 % dan 26 %. Tergantung jenisnya, gandum mengandung protein sebesar 6 – 13 % (Praptiningsih, et al., 2003).

Protein dalam gandum yang berupa gliadin dan glutenin membantu proses pengikatan air dalam adonan kerupuk. Dengan demikian penambahan tepung gandum dalam pembuatan kerupuk akan meningkatkan kadar air adonan, sehingga akan

mempengaruhi proses gelatinisasi dan lama pemasakan adonan (Praptiningsih, et al., 2003).

Proporsi penggunaan terigu untuk industri pengolahan bahan pangan di Indonesia relatif besar. Oleh sebab itu, pemanfaatan tepung tapioka sebagai pensubstitusi (mengurangi penggunaan) terigu dalam pembuatan produk olahan diharapkan memberi keuntungan yang cukup besar (Astawan, 2003).

Tabel 2. Komposisi Kimia Tepung Terigu (per 100 gram bahan)

Komposisi Jumlah Kalori (kal) 365 Protein (g) 8,9 Lemak (g) 1,3 Karbohidrat (g) 77,3 Air (g) 12,0 P (mg) 106 Kalsium (mg) 16 Fe (mg) 1,2 Bdd 100 Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan R.I., (1996).

c. Tepung Beras

Granula pati beras memiliki ukuran paling kecil diantara pati-pati yang umum diproduksi. Pati ini memiliki ukuran yang bervariasi dari 3µ - 5µ. Pati beras menyerupai pati gandum tetapi sedikit lebih seragam dan berbentuk polygonal. Kandungan amilosa tepung beras sekitar 18,5 persen (Mulyohardjo, 1988).

Komposisi kimia tepung beras dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2. Komposisi Kimia Tepung Beras (per 100 gram bahan)

Komposisi Jumlah Kalori (kal) 364 Protein (g) 7 Lemak (g) 0,3 Karbohidrat (g) 80 Air (g) 12 P (mg) 140 Kalsium (mg) 5 Fe (mg) 0,8 Bdd 100

Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan R.I., (1996). d. Tepung Jagung

Granula pati jagung memiliki ukuran yang bervariasi dari 10 – 25µ. Walaupun demikian pati jagung dari pabrik modern memiliki ukuran diameter kurang lebih 5µ dan biasanya berbentuk polygonal walaupun ada granula yang berbentuk bulat yang berasal dari endosperm bagian dalam (Mulyohardjo, 1988).

Komposisi kimia tepung jagung dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2. Komposisi Kimia Tepung Jagung (per 100 gram bahan)

Komposisi Jumlah Kalori (kal) 355 Protein (g) 9,2 Lemak (g) 3,9 Karbohidrat (g) 73,7 Air (g) 12 P (mg) 256 Kalsium (mg) 10 Fe (mg) 2,4 Bdd 100

Manfaat Pemberian Tepung pada Bahan Pangan

a. Tepung sebagai Bahan Pengisi

Bahan pengisi merupakan bahan yang ditambahkan dalam jumlah yang lebih sedikit dari bahan utamanya. Pada umumnya bahan pengisi terdiri dari materi yang dapat mengembang dan mempunyai kandungan air relatif rendah (Forkner, 1974). Menurut Wilson, (1960) penambahan bahan pengisi berfungsi untuk menarik air, memberikan warna khas dan membentuk tekstur yang padat.

b. Tepung sebagai Bahan Perbaikan Tekstur

Pati dapat memberikan tekstur, kekentalan dan meningkatkan permeabilitas dari berbagai bahan makanan. Kegunaannya yang paling banyak adalah untuk perkat

(Buckle, et al., 1987).

Pati mempunyai rasa tidak manis, tidak larut dalam air dingin tapi larut dalam air panas, dapat membentuk sol atau gel yang bersifat kental. Sifat kental ini dapat dipakai untuk mengatur tekstur makanan Tarigan, (1986). Menurut Moehyi, (1992) pati digunakan untuk memperbaiki tekstur serta rasa makanan.

Pembuatan Tepung Bonggol Pisang

Pengupasan adalah proses memisahkan bahan dari luarnya. Biasanya bagian luar bahan memiliki karakteristik yang berbeda dengan isi bahan. Pengupasan sebaiknya dilakukan dengan menggunakan alat yang terbuat dari stainless steel untuk menghindari terbawanya ion-ion logam (besi atau tembaga) yang dapat mempercepat timbulnya reaksi pencokelatan sehingga warnanya menjadi cokelat (Sulistyowati, 2001).

Pencucian daging buah dengan air bersih yang mengalir dimaksudkan untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang masih melekat maupun tercampur pada daging

buah (Sulistyowati, 2001).

Pengecilan ukuran dilakukan untuk mendapatkan hasil yang mutunya bagus dan mempercepat proses pengeringan (Rahayu dan Berlian, 1999).

Setelah pekerjaan pengupasan kulit selesai, dilakukan pemotongan bahan. Umumnya bahan pangan yang akan dikeringkan dipotong-potong atau diiris-iris untuk mempercepat pengeringan. Hal ini dapat terjadi karena :

1. Pemotongan atau pengirisan tersebut akan memperluas permukaan bahan dan permukaan yang luas dapat memberikan lebih banyak permukaan bahan yang dapat berhubungan dengan medium pemanas serta lebih banyak permukaan air yang keluar.

2. Potongan-potongan atau lapisan yang tipis mengurangi jarak dimana melalui massa air dari pusat bahan harus keluar ke permukaan bahan dan kemudian keluar dari bahan

(Kartasapoetra, 1994).

Reaksi browning mulai terjadi beberapa saat setelah bonggol pisang kepok dikupas atau diiris. Daging pada bekas irisan atau kupasan yang semula berwarna putih, mula-mula akan berubah warna menjadi cokelat dan akhirnya menjadi hitam. Untuk mencegah terjadinya reaksi browning tersebut, dapat digunakan bahan-bahan kimia yang berfungsi sebagai bahan pemutih, dalam hal ini natrium metabisulfit yang digunakan dalam dosis minimal 0,2% (2 gr dalam tiap 1 liter air perendaman) (Suprapti, 2002).

Penceluran adalah proses pemanasan pendahuluan yang dilakukan terhadap buah dan sayur sebelum bahan tersebut sebelum dikeringkan, dengan tujuan menghilangkan udara dari jaringan bahan, menonaktifkan enzim, membunuh mikroorganisme dalam

bahan, mempercepat pengeringan serta dapat mempertahankan karotenoid dan asam askorbat dari kerusakan karena oksidasi selama pengeringan maupun penyimpanan (Woodroof dan Luh, 1975).

Pengeringan adalah suatu metoda untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari bahan dengan cara menguapkan air tersebut dengan menggunakan energi panas. Biasanya kandungan air dikurangi sampai batas agar mikroba tidak dapat tumbuh lagi di dalamnya (Winarno, et al., 1980).

Keuntungan pengeringan adalah bahan menjadi lebih awet dan volume bahan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dan menghemat ruang pengepakan dan pengangkutan, dengan demikian diharapkan biaya produksi menjadi lebih murah (Winarno, 1993).

Disamping itu pengeringan juga mempunyai kelemahan antara lain; terjadi perubahan warna dan tekstur. Perubahan warna tersebut disebabkan karena zat warna alami pada bahan tidak tahan terhadap suhu tinggi (Buckle, et al., 1987).

Banyaknya kandungan air dalam bahan pangan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kecepatan dan aktivitas enzim, aktivitas mikroba dan aktivfitas kimiawi, yaitu terjadi ketengikan, reaksi non enzimatis, sehingga menimbulkan sifat-sifat organoleptik, penampakan, tekstur dan cita rasa serta nilai gizi yang berubah, dimana kadar air pada bahan pangan dapat diukur dengan berbagai cara. Metoda yang umum untuk pengukuran kadar air di laboratorium adalah dengan cara pemanasan dalam oven atau dengan cara destilasi sampai suhu 12 – 15% (Syarief dan Hariyadi, 1993).

Pada waktu pengeringan masih berlangsung proses enzimatis. Pengeringan dengan oven lebih baik ditinjau dari segi kecepatan pengeringan dan bahaya serangan

jamur pada waktu pengeringan (Tjiptadi,1982).

Setelah pengeringan dilakukan dengan menggunakan alat pengering, kemudian dilakukan penggilingan dengan alat dan dilanjutkan dengan pengayakan

(Susanto dan Saneto, 1994).

Untuk tujuan penghalusan suatu bahan atau hasil pertanian digunakan alat penggiling. Dalam hal ini metode dasar seperti memukul, menggesek, menumbuk dan sebagainya digunakan secara bersama-sama atau sendiri tergantung pada ukuran yang ingin dicapai. Batas ukuran yang digunakan dapat dicapai dengan melibatkan perlengkapan pengayak atau penyortir dalam sistem penggiling (Bernasconi, et al., 1999).

Pengayakan dimaksudkan untuk menghasilkan campuran butiran dengan ukuran tertentu agar diperoleh penampilan atau bentuk komersil yang diinginkan. Untuk mendapatkan hasil yang mutunya bagus, sering digunakan alat penggiling tepung yang dilengkapi dengan ayakan. Ayakan yang dipakai ukuran lubang 80-100 mesh (Rahayu dan Berlian, 1999).

Setelah bahan jadi, dilakukan pengemasan. Pengemasan bahan pangan harus memperlihatkan tiga fungsi utama :

1. Harus dapat mempertahankan produk agar lebih bersih dan memberikan perlindungan terhadap kotoran dan pencemaran lainnya.

2. Harus memperhatikan perlindungan kepada bahan pangan terhadap kerusakan fisik, air, oksigen dan sinar.

3. Harus berfungsi benar, efisien dan ekonomis dalam proses pengepakan. (Buckle, et al., 1987).

Pengemasan produk bertujuan untuk mengurangi kerusakan, memberi kemudahan dalam penanganan selanjutnya, memperpanjang masa simpan dan memberi daya tarik bagi konsumen. Kemasan harus tetap kuat selama dalam pengangkutan dan pemasaran (Winarno dan Laksmi, 1983).

Reaksi Pencoklatan

Pada umumnya ada tiga jenis reaksi pencoklatan non enzimatis, yaitu reaksi

Maillard, Karamelisasi dan pencoklatan akibat oksidasi dari vitamin C (Winarno, 1989). a. Reaksi Maillard

Reaksi Maillard ini bisa terjadi antara amin, asam amino dan protein dengan gula pereduksi, aldehida atau keton. Reaksi Maillard inilah yang terjadi pada reaksi pencoklatan jika makanan dipanaskan atau pada penyimpanan makanan yang lama (Eskin, et al., 1971).

b. Karamelisasi

Karamelisasi merupakan suatu proses pencoklatan non enzimatis yang meliputi degradasi gula-gula tanpa adanya asam-asam amino atau protein. Bila gula dipanaskan di atas titik leburnya, warnanya berubah menjadi coklat disertai perubahan cita rasa (Eskin, et al., 1971).

Winarno (1999) menyebutkan bahwa pada proses karamelisasi mula-mula sukrosa pecah menjadi glukosa dan fruktosan (fruktosa yang kekurangan satu molekul air). Suhu yang tinggi mempu mengeluarkan satu molekul air dari setiap molekul gula sehingga terjadi glukosan yang kemudian dilanjutkan dengan dehidrasi polimerisasi dan beberapa jenis asam yang timbul di dalamnya

c. Oksidasi Asam Askorbat

Asam askorbat merupakan suatu senyawa reduktor yang juga dapat bertindak sebagai prekursor untuk pencoklatan non enzimatis. Asam-asam askorbat berada dalam keseimbangan dengan asam dehidroaskorbat. Dalam suasana asam, cincin lakton asam dehidroaskorbat terurai secara irreversibel dengan membentuk suatu senyawa diketoglukonat (Winarno, 1989).

Penceluran

Penceluran adalah proses pemanasan pendahuluan yang dilakukan terhadap buah dan sayur sebelum bahan tersebut dikeringkan, dengan tujuan menghilangkan udara dari jaringan bahan, menonaktifkan enzim, membunuh mikroorganisme dalam bahan, mempercepat pengeringan serta dapat mempertahankan karotenoid dan asam askorbat dari kerusakan karena oksidasi selama pengeringan maupun penyimpanan

(Woodroof dan Luh, 1975).

Penceluran dapat membuat produk hasil penggorengan menjadi lebih seragam, absorbsi minyak oleh produk dapat berkurang karena adanya gelatinisasi pati,

Dokumen terkait