• Tidak ada hasil yang ditemukan

[Cytotoxicity Assay of Kebar Grass Extract (Biophytum petersianum)]

ABSTRAK

Rumput kebar adalah tumbuhan yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat di Papua Barat sebagai obat penyubur kandungan. Masyarakat di Afrika memanfaatkan rumput kebar sebagai pengobat luka dan malaria. Rumput kebar juga memiliki aktivitas sebagai antibakteri dan antikapang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji tingkat toksisitas ekstrak daun rumput kebar terhadap sel normal sel Vero. Aktivitas sitotoksik ekstrak HEM daun rumput kebar diuji menggunakan metode MTT assay. Hasil penelitian diketahui bahwa ekstrak HEM daun rumput kebar menghambat proliferasi sel Vero lebih dari 75% pada tingkat konsentrasi ekstrak 12 – 32 mg mL-1, sedangkan nilai CC50 ekstrak HEM daun

rumput kebar adalah 13.41 mg mL-1. Hasil ini mengindikasikan bahwa ekstrak daun rumput kebar berpotensi untuk digunakan sebagai bahan antikapang pada bahan pangan.

Kata kunci: CC50, MTT assay, rumput kebar, sitotoksisitas, sel Vero.

ABSTRACT

Kebar grass was a plant which utilized by people in West Papua as uterus fertilizer. People in Africa used kebar grass to healing wound and malaria. Kebar grass also had antibacterial and antifungal activities. The objective of this research was to study toxicity level of kebar grass leaf HEM extract on Vero cell line. Cytotoxicity activity of kebar grass leaf extract tested by using MTT assay method. The result suggested that kebar grass leaf HEM extract can inhibit Vero cell proliferation more than 75% at concentration of 12 – 32 mg mL-1, while CC50

value of kebar grass leaf HEM extract was 13.41 mg mL-1. This results indicated that kebar grass leaf extract had potency to be used as antifungal agent in foodtuffs.

Keywords: CC50, cytotoxicity, kebar grass, MTT assay, Vero cell.

Pendahuluan

Mikotoksin merupakan metabolit sekunder kapang yang memiliki efek negative terhadap manusia, hewan, tanaman, dan bahkan mengakibatkan penyakit, kematian, dan kerugian ekonomi (Zain 2011). Beberapa jenis kapang mampu memproduksi lebih dari satu jenis mikotoksin dan beberapa jenis mikotoksin dapat diproduksi oleh lebih dari satu jenis kapang. Bahkan lebih dari satu jenis mikotoksin dapat ditemukan pada bahan pangan yang terkontaminasi. Hingga saat ini, lebih dari 300 jenis mikotoksin telah diketahui (Zain 2011).

Bahan pangan dapat terkontaminasi mikotoksin di berbagai tahapan dalam rantai bahan pangan, mulai dari lapangan hingga proses pengolahan dan distribusi, dan diantara berbagai jenis kapang mikotoksigenik, Aspergillus flavus merupakan salah satu jenis kapang mikotoksigenik yang perlu mendapat perhatian (Bennet

and Klich 2003). Metabolit sekunder yang dihasilkan A. flavus adalah aflatoksin B1 (AFB1) yang bersifat hepatokarsinogenik (Zain 2011).

Kontaminasi aflatoksin berhubungan dengan peningkatan kematian hewan ternak dan secara signifikan menurunkan nilai biji-bijian sebagai pakan ternak dan komoditas ekspor (Van Egmond 2002). Oleh karenanya, dikembangkan berbagai upaya untuk meminimalisasi efek negatif dan kerugian akibat kontaminasi aflatoksin pada bahan pangan maupun pakan ternak. Salah satunya adalah dengan penggunaan bahan antikapang alami yang berasal dari tumbuhan. Dalam upaya untuk mengembangkan potensi tumbuhan sebagai sumber bahan antimikrob, beberapa peneliti telah meneliti aktivitas antimikrob dari beberapa jenis tumbuhan obat (Srinivasan et al. 2001; Kumarasamy et al. 2002; Masika and Afolayan 2002; Hamill et al. 2003).

Rumput Kebar sebagai salah satu tumbuhan yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat di wilayah Afrika, Asia, hingga New Guinea sebagai tumbuhan obat, berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan antimikrob. Selain digunakan untuk mengobati luka (Inngjerdingen et al. 2006; Diallo et al. 2002), mengobati malaria dan sakit perut (Inngjerdingen et al. 2006), mengobati racun ular dan kalajengking (GrØnhaug 2008), juga sebagai antibakteri (Natarajan et al. 2010). Rumput kebar dilaporkan mengandung alkaloid, saponin, tannin, fenolik, flavonoid, triterpenoid, steroid, dan glikosida (Santoso et al. 2007; Lisangan et al. 2014) yang berperan dalam aktivitas sebagai antimikrob.

Dalam upaya pemanfaatan rumput kebar sebagai bahan antikapang dalam bahan pangan, ekstrak rumput kebar yang digunakan harus aman dikonsumsi. Dalam penelitian ini, akan dikaji tingkat toksisitas ekstrak daun rumput kebar secara in vitro terhadap sel Vero.

Bahan dan Metode Bahan

Bahan baku utama adalah jenis ekstrak HEM daun rumput kebar yang diperoleh dari penelitian Lisangan et al. (2014). Bahan kimia yang digunakan untuk ekstraksi adalah bahan kimia dengan kualitas Pro Analysis (JT. Baker, USA). Peralatan yang digunakan adalah seperangkat alat gelas untuk ekstraksi, shaker, mikropipet, inkubator suhu 37 °C, plat 96 sumur, tabung Falcon, botol pereaksi, ELISA plate reader (Thermo), mikroskop fase kontras, dan alat-alat gelas.

Persiapan Ekstrak Tumbuhan

Ekstrak HEM (n-heksana-etil asetat-metanol) daun rumput kebar yang digunakan diperoleh dari penelitian sebelumnya (Lisangan et al. 2014). Ekstrak diperoleh dengan cara maserasi dan sonifikasi (Deng et al. 2011) kemudian dianalisis dengan py/GC-MS. Ekstrak didominasi oleh senyawa fenolik (26.56%) dan terpena (15.60%). Ekstrak kemudian disimpan pada suhu 4 °C sebelum digunakan untuk pengujian sitotoksisitas sel.

Uji Sitotoksisitas Sel (Mattana et al. 2012) Kultur Sel Vero dan Kondisi Pertumbuhan

Pengujian sitotoksisitas menggunakan kultur sel epitelial ginjal monyet hijau Afrika (sel Vero, ATCC CCL-81) yang diperoleh dari Pusat Studi Satwa

Primata, Institut Pertanian Bogor. Sel Vero ditumbuhkan pada media EMEM

(Eagle’s Minimal Essential Medium; Dulbeccos MEM; Invitrogen) yang

diperkaya dengan 2% Fetal Bovine Serum (FBS; Gibco; USA), 100 U mL-1

fungizone dan 100 μg mL-1

gentamisin pada suhu 37 °C dalam 5% CO2, 95% O2

dan disub-kultur setiap 3-4 hari. Untuk percobaan, sel Vero disuspensikan dalam

media DMEM (Dulbecco’s Modified Eagle’s Medium) yang diperkaya dengan

10% FBS, 100 U mL-1 Penisilin dan 100 μg mL-1 streptomisin. Uji Sitotoksisitas in-Vitro

Sel Vero dikulturkan dalam 100 μL media tumbuh pada plat 96 sumur

hingga mencapai konsentrasi 5 x 104 sel/sumur dan diinkubasi pada 5% CO2

selama 24 jam sampai sel mencapai konfluen 50%. Setelah inkubasi selama 24 jam pada suhu 37 ºC, sel dipapar dengan ekstrak HEM rumput kebar pada konsentrasi 1, 1.5, dan 2 MIC dan diinkubasi selama 48 jam pada suhu 37 ºC dan 5% CO2. Sel monolayer yang diinkubasi dengan DMEM digunakan sebagai

kontrol negatif, sedangkan sebagai kontrol positif sel monolayer diinkubasi dengan antikapang ketoconazole. Konsentrasi ekstrak yang toksik ditentukan dengan metode MTT. Monolayer yang telah diinkubasi selama 48 jam selanjutnya diinkubasi dengan 5 mg mL-1 MTT sebanyak 10 μL per sumur kemudian diinkubasi selama 4 jam pada suhu 37 ºC. Setelah inkubasi, media yang mengandung MTT dibuang. Kristal formazan yang dibentuk oleh sel viable (hidup) dilarutkan dalam etanol (Merck) dan divorteks selama 15 menit. Absorbansi dibaca menggunakan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) reader pada panjang gelombang 595 nm. Persentase penghambatan proliferasi sel dalam kultur ditentukan sebagai berikut :

OD kontrol – OD perlakuan

Persen penghambatan (%) = x 100 OD kontrol

Pengaruh ekstrak dinyatakan dengan nilai CC50 yaitu konsentrasi yang

dibutuhkan untuk mereduksi viabilitas sel 50% (Abid et al. 2012). Analisis Morfologi

Pengamatan morfologi sel Vero dilakukan untuk menentukan perubahan morfologi yang diinduksi oleh ekstrak. Pengamatan perubahan morfologi sel Vero dilakukan dengan mikroskop fase kontras (Vijayarathna dan Sasidharan 2012). Analisis Statistik

Hasil pengamatan dianalisis menggunakan Microsoft Excel 2007. Semua nilai dinyatakan sebagai rataan ± standard deviasi (n=3). Nilai CC50 dihitung

menggunakan analisis regresi linier.

Hasil dan Pembahasan Pengaruh Ekstrak Terhadap Proliferasi Sel Vero

Pencarian sumber-sumber antikapang dan antiaflatoksin yang aman diharapkan kelak dapat diaplikasikan pada bahan pangan sehingga meningkatkan keamanan pangan bagi konsumen. Dalam upaya penentuan status keamanan suatu

sumber antikapang, pengujian sitotoksisitas sel merupakan tahap yang krusial dalam pengembangan antikapang. Sitotoksisitas merupakan kematian sel oleh komponen-komponen kimia atau mediator sel (sel T sitotoksik). Sitotoksisitas biasa digunakan sebagai pedoman di dalam laboratorium untuk mendeteksi kematian sel, tanpa melihat mekanismenya (Wyllie 2010). Salah satu contoh sitotoksisitas adalah cell-mediated cytotoxicity. Sel imunosistem seperti sel T sitotoksik, natural killer (NK), dan lymphokine activated dapat mengenali dan menghancurkan sel target. Walaupun mesin pengenalan yang digunakan setiap sel berbeda, mekanisme penghancuran sel target mungkin relatif sama (Wyllie 2010). Pengujian sitotoksisitas dapat diukur melalui perkiraan kerusakan sel yang terjadi. Tiga parameter dasar yang digunakan dalam pengukuran uji sitotoksisitas ini adalah pengukuran aktivitas metabolisme selular, pengukuran integritas membran, dan pengukuran fluorescent dye yang secara normal dikeluarkan oleh sel. Ketiga prinsip pengukuran sitotoksisitas ini menghitung secara langsung jumlah sel dalam media kultur (Wyllie 2010). Dalam beberapa tahun terakhir, pengujian sitotoksisitas secara in-vitro telah dikembangkan dan divalidasi dalam upaya untuk mengganti metode pengujian menggunakan hewan (Zuzarte et al. 2012). Tabel 6.1 Pengaruh ekstrak HEM daun rumput kebar terhadap viabilitas sel Vero

Jenis Ekstrak Konsentrasi

(mg mL-1) Rataan OD a Rataan % penghambatana Rataan sel viable a CC50 (mg mL-1) Sel kontrol (Sel

Vero) 0 0.80 ± 0.00 0.00 ± 0.00 100.00 ± 0.00 - Ekstrak HEM 1 0.04 ± 0.01 82.5 ± 2.82 17.46 ± 2.82 - 2 0.07 ± 0.02 71.6 ± 9.27 28.41 ± 9.27 - 4 0.08 ± 0.02 65.1 ± 6.92 34.93 ± 6.92 - 5 0.08 ± 0.01 66.6 ± 2.30 33.36 ± 2.30 - 6 0.07 ± 0.01 70.0 ± 2.41 30.00 ± 2.41 - 8 0.08 ± 0.02 67.4 ± 6.70 32.63 ± 6.70 - 9 0.08 ± 0.01 65.5 ± 2.78 34.49 ± 2.78 - 10 0.11 ± 0.02 54.6 ± 8.57 45.44 ± 8.57 - 12 0.10 ± 0.01 86.9 ± 1.29 13.09 ± 1.29 - 14 0.09 ± 0.01 88.2 ± 1.04 11.75 ± 1.04 13.41 16 0.09 ± 0.01 88.7 ± 0.62 11.29 ± 0.62 - 18 0.09 ± 0.01 88.4 ± 0.90 11.62 ± 0.90 - 21 0.10 ± 0.01 88.0 ± 1.16 12.04 ± 1.16 - 24 0.10 ± 0.00 87.1 ± 0.18 12.92 ± 0.18 - 28 0.13 ± 0.01 84.3 ± 1.15 15.69 ± 1.15 - 32 0.19 ± 0.02 75.9 ± 2.18 24.14 ± 2.18 - Kontrol positif (Ketoconazole) 5 0.37 ± 0.04 53.2 ± 4.77 47.01 ± 4.74 - a

data adalah rata-rata dari tiga ulangan ± standar deviasi OD = Opical density

Pengujian sitotoksisitas ekstrak HEM daun rumput kebar dilakukan menggunakan sel Vero dengan metode MTT. Uji MTT ini didasarkan pada aktivitas enzim mitochondria succinate dehydrogenase pada sel hidup untuk

mereduksi substrat larut air berwarna kuning 3-(4, 5-dimethyl thiazol-2-yl)-2, 5- diphenyl tetrazolium bromide (MTT) menjadi kristal formazan yang diukur secara spektrofotometri. Reduksi MTT hanya dapat terjadi pada sel aktif sehingga aktivitas reduksinya diukur sebagai viabilitas sel (Patel et al. 2009). Hasil ditampilkan pada Tabel 6.1 dan Gambar 6.1.

Hasil pengujian memperlihatkan bahwa nilai CC50 ekstrak HEM daun

rumput kebar terhadap sel Vero adalah sebesar 13.41 mg mL-1 (Tabel 6.1 dan Gambar 6.1). Konsentrasi sitotoksik 50% (CC50) adalah konsentrasi yang

dibutuhkan untuk mereduksi viabilitas sel 50% (Abid et al. 2012). Berdasarkan U.S. National Cancer Institute (NCI), kriteria sitotoksisitas untuk ekstrak kasar (crude extract) adalah CC50 <20 µg mL-1 (Vijayarathna dan Sasidharan 2012).

Bila merujuk kepada kriteria sitotoksisitas, konsentrasi ekstrak HEM daun rumput kebar yang digunakan dalam pengujian sitotoksisitas sel Vero sangat tinggi, hampir 1000x lipat dari kriteria NCI. Konsentrasi ekstrak HEM daun rumput kebar yang digunakan merujuk kepada nilai MIC yang diperoleh dari penelitian sebelumnya (Lisangan et al. 2014).

Gambar 1 Sitotoksisitas ekstrak HEM daun rumput kebar terhadap sel Vero Beberapa kajian mengenai sitotoksisitas sel telah dilakukan, namun konsentrasi ekstrak yang digunakan relatif lebih kecil dari konsentrasi ekstrak HEM daun rumput kebar yang diuji pada penelitian ini. Patel et al. (2009) melaporkan CC50 ekstrak etanol Solanum nigrum terhadap sel Vero sebesar

6.862 mg mL-1, CC50 ekstrak etanol Rosa damascena dan Verbascum sinaiticum

sebesar 0.454 dan 0.367 mg mL-1 sedangkan CC50 ekstrak etanol Ononis hirta

sebesar 0.072 mg mL-1 (Talib and Mahasneh 2010). Moghe et al. (2011) melaporkan CC50 ekstrak air Bryonia laciniosa terhadap sel Vero adalah sebesar

0.085 mg mL-1, sedangkan Vijayarathna and Sasidharan (2012) melaporkan nilai CC50 ekstrak metanol Elaeis guineensis sebesar 0.022 mg mL-1. Bila

dibandingkan pula dengan kontrol positif ketocenazole 5 mg mL-1 yang dalam penelitian ini memiliki persentase hambatan sel sebesar 53.2%, konsentrasi ekstrak HEM daun rumput kebar mungkin tidak bersifat toksik terhadap sel mamalia. Namun untuk memastikan keamanan ekstrak HEM daun rumput kebar pada tingkat konsentrasi 1, 1.5, dan 2 MIC, perlu dikaji lebih lanjut menggunakan uji in vivo. y = 1,2285x + 66,479 R² = 0,2771 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 1 2 4 5 6 8 9 10 12 14 16 18 21 24 28 32 % In h ib isi se l Konsentrasi (mg mL-1)

Efek penghambatan ekstrak HEM daun rumput kebar terhadap proliferasi sel Vero diduga disebabkan oleh senyawa-senyawa bioaktif yang terkandung dalam ekstrak tersebut. Senyawa-senyawa tersebut bisa berupa peptida, lemak, senyawa fenol tertentu ataupun senyawa lain yang tidak dianalisa dalam penelitian ini.

Toksisitas terhadap sel biasa terjadi dengan cara menekan pertumbuhan atau proliferasi sel dengan menghambat pembelahan sel yang proliferasinya cepat (Gan dan Nafrialdi 1989). Sel yang sedang berada pada tahap proliferasi lebih peka terhadap senyawa kimia toksik daripada sel yang tidak berproliferasi. Drewinko et al. (1981) melaporkan bahwa senyawa toksik methotrexate yang menghambat sintesis DNA tidak toksik terhadap sel yang berada pada fase diam tetapi toksik terhadap sel yang sedang berproliferasi. Sel Vero secara in-vitro mungkin berproliferasi dengan cepat sehingga peka terhadap senyawa toksik dari ekstrak daun rumput kebar. Walaupun demikian, kemungkinan ekstrak daun rumput kebar tidak bersifat toksik terhadap sel normal dalam tubuh, karena menurut Walum et al. (1990), umumnya sel-sel in-vivo berada dalam keadaan tidak berproliferasi.

Pengaruh Ekstrak Terhadap Perubahan Morfologi Sel Vero

Perubahan morfologi sel Vero yang diinduksi oleh ekstrak HEM daun rumput kebar ditampilkan pada Gambar 6.2. Perubahan morfologi sel Vero diamati menggunakan mikroskop fase kontras. Jumlah sel yang mati mengalami fluktuasi meskipun polanya cenderung meningkat dengan semakin meningkatnya konsentrasi ekstrak. Sel yang normal memiliki bentuk poligonal dan berdinding halus, sedangkan sel yang mati memperlihatkan membran yang mengkerut, membran ganda, dan pembentukan struktur mirip vakuola di bagian tengah sel.

Ada dua kemungkinan mekanisme sitotoksik yang terjadi pada cell- mediated cytotoxicity. Pertama adalah mekanisme apoptosis yang mengakibatkan sel memicu reaksi berantai di dalam sel target dan fragmen DNA sebelum sel lisis. Mekanisme yang kedua adalah mekanisme lisis yang mengakibatkan terjadinya lisis molekul, khususnya perforin. Molekul ini disekresikan oleh efektor sel ke bagian intraseluler sel dan berpolimerasi membentuk pori di dalam membran sel target yang memicu terjadinya lisis. Kedua mekanisme ini saling melengkapi dan sangat mungkin terjadi (Wyllie 2010).

Perubahan morfologi seluler bisa disebabkan oleh apoptosis yang terjadi pada sel. Mekanisme apoptosis ini sering digunakan untuk menjelaskan mekanisme antikanker yang ditimbulkan oleh berbagai senyawa obat. Sel vero yang mengalami inhibisi karena diinduksi oleh ekstrak daun rumput kebar ini mungkin mengalami mekanisme apoptosis yang mengakibatkan terjadinya perubahan pada morfologi selnya. Perubahan morfologi seluler akibat mekanisme apoptosis ini dapat terjadi dalam beberapa tahapan, yaitu penyusutan densitas sel, kondensasi dan fragmentasi kromatin sel, serta fragmentasi inti sel (Wyllie 2010).

Gambar 6.2 Pengaruh ekstrak HEM daun rumput kebar terhadap morfologi sel Vero

pada (a) kontrol sel Vero, (b) kontrol positif Ketoconazole 5 mg mL-1, (c) 12 mg mL-1 (1MIC A. flavus BCCF0219 dan A. flavus BIO 2236 pada

media kaya karbohidrat), (d) 14 mg mL-1 (1MIC A. flavus BCCF0219 pada media kaya lemak dan protein), (e) 16 mg mL-1 (1MIC A. flavus BIO 2236 pada media kaya lemak dan protein), (f) 18 mg mL-1 (1.5MIC A. flavus

BCCF0219 dan A. flavus BIO 2236 pada media kaya karbohidrat), (g) 21 mg mL-1 (1.5MIC A. flavus BCCF0219 pada media kaya lemak dan protein), (h) 24 mg mL-1 (1.5MIC A. flavus BIO 2236 pada media kaya lemak dan protein, 2MIC A. flavus BCCF0219 dan A. flavus BIO 2236 pada media kaya karbohidrat), (i) 28 mg mL-1 (2MIC A. flavus BCCF0219 pada media kaya lemak dan protein), (j) 32 mg mL-1 (2MIC A. flavus BIO 2236 pada media kayalemak dan protein); sel normal ( ); sel abnormal ( ); Perbesaran 400x

Kesimpulan

Nilai CC50 ekstrak HEM daun rumput kebar terhadap sel Vero adalah

sebesar 13.41 mg mL-1. Nilai CC50 ekstrak HEM daun rumput kebar jauh lebih

tinggi daripada kriteria sitotoksisitas yang ditetapkan NCI yaitu kurang dari

20 μg mL-1

. Namun perlu kajian lebih lanjut tentang keamanan ekstrak HEM daun rumput kebar melalui uji in vivo.

Daftar Pustaka

Abid NBS, Rouis Z, Lassoued MA, Sfar S, Aouni M. 2012. Assessment of the cytotoxic effect and in vitro evaluation of the anti-enteroviral activities of plants rich in flavonoids. J of App. Pharm. Sci. 02:74-78.

Bennet JW, Klich M. 2003. Mycotoxins. Clin.Microbiol.Rev. 16:497-516.

Deng Y, Yu Y, Luo H, Zhang M, Qin X, Li L. 2011. Antimicrobial activity of extract and two alkaloids from traditional Chinese medicinal plant Stephania dielsiana. Food Chem 124:1556-1560.

Diallo D, Sogn C, Samake FB, Paulsen BS, Michaelsen TE, Keita A. 2002. Wound healing plants in Mali, the Bamako region. An ethnobotanical survey and complement fixation of water extracts from selected plants. Pharm.Biol. 40:117-128.

Drewinko B, Patchen M, Yang LY, Barlogie D. 1981. Differential killing efficacy of twenty antitumor drugs on proliferation and non-proliferating human tumor cells. Didalam Understanding Cell Toxicology. Wallum E, Stenberg K, Jenssen D, (eds), hal. 101. Ellis horwood, New York.

Gun S dan Nafrialdi. 1989. Antikanker dan imunosupresan. Didalam Farmakologi dan Terapi. S Gan (ed), hal. 686-701. FK UI, Jakarta.

GrØnhaug TE, Glaeserud S, Skogsrud M, Ballo N, Bah S, Diallo D dan Paulsen BS. 2008. Ethnopharmacological survey of six medicinal plants from Mali, West-Africa. J of Ethnobiol and Ethnomed 4:26

Hamill FA, Apio S, Mubiru NK, Bukenya-Ziraba R, Mosango M, Maganyi OW, Soejarto DD. 2003. Traditional herbal drugs of Southern Uganda, II: literature analysis and antimicrobial assays. J. Ethnopharm. 84:57-78. Inngjerdingen KT, Coulibaly A, Diallo D, Michaelsen TE, Smestad PB. 2006. A

complement fixing polysaccharide from Biophytum petersianum Klotzsch, a medicinal plant from Mali, West Africa. Biomacromolecules 7:48-53. Kumarasamy Y, Cox P, Jaspars M, Nahar L, Sarker S. 2002. Screening seeds of

Scottish plants for antibacterial activity. J. Ethnopharm. 83:73-77.

Lisangan MM, Syarief R, Rahayu WP, Dharmaputra O.S. 2014. Antifungal activity of kebar grass leaf extracts on the growth of aflatoxigenic Aspergillus flavus in food model media (in publication progres).

Masika PJ, Afolayan AJ. 2002. Antimicrobial activity of some plants used for the treatment of livestock disease in the Eastern Cape, South Africa. J. Ethnopharm. 83:129–134.

Mattana CM, Satorres SE, Escobar F, Sabini C, Sabini L, Fusco M and Alcaráz LE. 2012. Antibacterial and cytotoxic activities of Acacia aroma extracts. Emir J Food Agric.24:308-313.

Moghe AS, Gangal SG, Shilkar PR. 2011. In vitro cytotoxicity of Bryonia laciniosa (Linn.) Naud. on human cancer cell lines. Indian J. of Nat.Prod.and Resoources. 2:322-329.

Natarajan D, Shivakumar MS, Srinivasan R. 2010. Antibacterial activity of leaf extracts of Biophytum sensitivum (L.) DC. J of Pharm. Sci. and Res. 2:717-720

Patel S, Gheewala N, Suthar A, Shah A. 2009. In vitro cytotoxicity activity of Solanum nigrum extract against HeLa cell line and Vero cell line. Int. J. of Pharmaceu and Pharm. Sci. 1:38-46.

Santoso B, Kilmaskossu A, Sambodo P. 2007. Effects of saponin from Biophytum petersianum Klotzsch on ruminal fermentation, microbial protein synthesis and nitrogen utilization in goats. Animal Feed Sci and Tech 137:58–68. Srinivasan D, Nathan S, Suresh T, Perumalsamy O. 2001. Antimicrobial activity

of certain Indian medicinal plants used in folkloric medicine. J. Ethnopharm. 74:217-220.

Talib WH, Mahasneh AM. 2010. Antimicrobial, cytotoxicity and phytochemical screening of Jordanian plants used in traditional medicine. Molecules 15:1811-1824.

Van Egmond, HP. 2002. Worldwide regulations for mycotoxins. Adv.Exp.Med.Biol. 504:257-269.

Vijayarathna S, Sasidharan S. 2012. Cytotoxicity of methanol extracts of Elaeis guineensis on MCF-7 and Vero cell lines. Asian Pacific J. of Trop.Biomed. 2:826-829.

Wallum E, Stenberg K, Jenssen D. 1990. Understanding Cell Toxicology. Ellis horwood, New York.

Wyllie AH. 2010. Apoptosis, Cell Death, and Cell Proliferation. 3rd Roche Applied Science.

Zain ME. 2011. Impact of mucotoxins on humans and animals. J.of Saudi Chem.Society. 15:129-144.

Zuzarte M, Gonçalves MJ, Cruz MT, Cavaleiro C, Canhoto J, Vaz S, Pinto E, Salgueiro L. 2012. Lavandula luisieri essential oil as a source of antifungal drugs. Food Chem. 135:1505-1510.

7 PEMBAHASAN UMUM

Tujuan umum penelitian adalah mengkaji aktivitas antikapang dan antiaflatoksin B1 ekstrak daun rumput kebar pada media model pangan dan media

sistem pangan serta mengetahui komposisi fitokimia dan toksisitasnya pada sel Vero. Tabel 2.1 memperlihatkan bahwa rendemen ekstrak tertinggi diperoleh dari ekstrak tunggal metanol dan ekstrak bertingkat heksana-etil asetat-metanol. Hal ini juga menunjukkan bahwa senyawa bioaktif yang terdapat dalam ekstrak daun rumput kebar didominasi oleh senyawa polar karena banyak terekstrak oleh pelarut polar. Berdasarkan kekuatan pelarut, metanol merupakan pelarut dengan kekuatan paling tinggi dibandingkan pelarut heksana dan etil asetat (Houghton dan Raman 1998).

Berbagai aktivitas biologi suatu tumbuhan dipengaruhi oleh senyawa fitokimia yang terkandung di dalamnya. Perbedaan jenis pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi memberikan hasil yang berbeda terhadap senyawa fitokimia yang terekstrak. Berdasarkan hasil uji fitokimia pada Tabel 2.2 terlihat bahwa senyawa-senyawa yang bersifat non-polar cenderung terekstrak ke dalam pelarut non-polar dan demikian juga sebaliknya.

Skrining terhadap jenis-jenis ekstrak daun rumput kebar yang diekstraksi dengan beberapa jenis pelarut secara tunggal yaitu ekstrak heksana, ekstrak etil asetat, ekstrak metanol, maupun ekstraksi secara bertingkat yaitu ekstrak heksana- etil asetat (HE) dan ekstrak heksana-etil asetat-metanol (HEM), menghasilkan jenis ekstrak bertingkat HEM sebagai jenis ekstrak yang paling efektif menghambat pertumbuhan dua isolat kapang A. flavus toksigen. Besarnya daya hambat terhadap A. flavus BCCF0219 pada media kaya karbohidrat, kaya lemak dan kaya protein berturut-turut sebesar 97.9% pada MIC 12 mg mL-1, 93.5% pada MIC 14 mg mL-1, dan 90.8% pada MIC 14 mg mL-1. Berbeda dengan A. flavus BIO 2236, besarnya daya hambat pada media kaya karbohidrat, kaya lemak dan kaya protein berturut-turut sebesar 93.9% pada MIC 12 mg mL-1, 99.4% pada MIC 16 mg mL-1 dan 93.8% pada MIC 16 mg mL-1. Berdasarkan nilai MIC, kemampuan ekstrak daun rumput kebar sebagai antikapang dapat dikategorikan moderat karena nilai-nilai MIC ini lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai MIC ekstrak Equisetum arvense yang sebesar 30 mg mL-1 (Garcia et al. 2011), namun lebih tinggi bila dibandingkan dengan ekstrak heksana dan kloroform dari Garcinia cowa yang sebesar 3 mg mL-1 (Joseph et al. 2005).

Perbedaan ketahanan kedua isolat kapang ini pada media yang berbeda disebabkan karena perbedaan kemampuan kedua isolat dalam memproduksi sklerosium. Isolat BCC F0219 tidak memproduksi sklerosium sedangkan isolat BIO 2236 dapat memproduksi sklerosium. Sklerosium merupakan struktur bertahan dari kapang, berupa massa kompak dari miselium yang terbentuk saat kapang berada dalam kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan. Kemampuan isolat BIO 2236 untuk memproduksi skleroium mengakibatkan isolat BIO 2236 jauh lebih tahan terhadap ekstrak daun rumput kebar yang diberikan. Akibatnya, dibutuhkan konsentrasi ekstrak yang lebih tinggi untuk menghambat pertumbuhan isolat BIO 2236 dibandingkan isolat BCC F0219. Sklerosium sangat berperan dalam produksi miselium dan konidium (Griffin, 1994). Sebanyak 50% isolat A. flavus mampu memproduksi sklerosium (Pitt dan Hocking, 2009). Adanya variasi dalam sensitivitas kapang terhadap ekstrak dapat juga disebabkan

oleh kemampuan kapang dalam memetabolisme komponen aktif dari ekstrak tumbuhan yang mengakibatkan terjadinya detoksifikasi ekstrak oleh kapang (Griffin, 1994).

Dalam upaya pencarian antikapang untuk diaplikasikan pada bahan pangan, salah satu hal penting yang perlu dikaji adalah aktivitasnya pada sistem pangan.

Dokumen terkait