• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyembuhan Luka Normal

2.3. Ulkus Kaki Diabetik

Ulkus kaki diabetik terjadi karena adanya faktor kelainan metabolik pada penderita DM, seperti penyakit arteri perifer dan aterosklerosis (makroangiopati), neuropati, mikroangiopati, dan berkurangnya pertahanan terhadap infeksi (Shai and Maibach 2005). Ulkus kaki diabetik dideskripsikan berdasarkan ukuran, kedalaman, kenampakan dan letaknya. Terdapat 2 macam sistem klasifikasi ulkus kaki diabetik yang sering digunakan, yaitu Wagner Ulcer Classification System (tabel 1) dan University of Texas Wound Classification System (tabel 2).

Tabel 1. Wagner Ulcer Classification System

Grade Lesion

1 Superficial diabetic ulcer

2 Ulcer extension involving ligament, tendon, joint capsule, or fascia with no abscess or osteomyelitis

3 Deep ulcer with abscess or osteomyelitis 4 Gangrene to portion of forefoot

5 Extensive gangrene of foot

Tabel 2. University of Texas Wound Classification System

Stages Description

A No infection or ischemia B Infection present

C Ischemia present

22

Grading Description

0 Epithelialized wound 1 Superficial wound

2 Wound penetrates to tendon or capsule 3 Wound penetrates to bone or joint

(Clayton and Elasy 2009).

Neuropati perifer menjadi faktor risiko utama yang mempengaruhi ulserasi kaki melalui dampaknya terhadap gangguan saraf sensorik, motorik dan otonom (Leung 2007, Chadwick et al. 2013). Gangguan sensorik disadari saat pasien mengeluhkan kaki kehilangan sensasi atau merasa kebas. Rasa kebas menyebabkan trauma yang terjadi pada pasien DM seringkali tidak diketahui. Gangguan motorik menyebabkan atrofi otot, deformitas kaki, perubahan biomekanika kaki dan distribusi tekanan kaki terganggu sehingga meningkatkan kejadian ulkus kaki. Gangguan otonom menyebabkan kaki mengalami penurunan ekskresi keringat sehingga kulit kaki menjadi kering dan mudah terbentuk fissura. Saat terjadi mikrotrauma keadaan kaki yang mudah retak meningkatkan risiko ulkus kaki diabetik (Chadwick et al. 2013).

Ulkus kaki diabetik karena penyakit arteri perifer muncul di ekstremitas bawah, biasanya pada sisi lateral atau pretibial kaki, punggung kaki, atau area malleolar. Mikroangiopati diabetes ditandai dengan penebalan membran basal dan peningkatan permeabilitas kapiler. Perubahan iskemik (bersama-sama dengan mikroangiopati) menyebabkan kerusakan tambahan pada kulit, sehingga meningkatkan kemungkinan ulserasi (Shai and Maibach 2005). Selain itu, penurunan respon sistem kekebalan tubuh penderita DM terutama penurunan kemampuan kemotaksis perekrutan sel inflamasi ke dalam jaringan luka dapat meningkatkan risiko infeksi bakteri (Leung 2007). 2.4. Piroksikam

Gambar 1. Struktur Molekul Piroksikam

(Pal et al. 2009).

Piroksikam (Gambar 1) adalah obat anti-inflamasi non steroid yang digunakan dalam pengobatan rheumatoid arthritis, osteoarthritis dan gangguan inflamasi lainnya (Pal et al. 2009). Siklooksigenase (COX) merupakan suatu enzim kunci proinflamasi yang mengonversi asam arakidonat menjadi prostaglandin. Prostaglandin berkontribusi terhadap rasa

23

sakit dan berbagai penyakit inflamasi (Chiong et al. 2013). Selain itu, prostaglandin juga dapat meningkatkan regulasi dari MMP-9 dengan menginduksi ekspresi dan sekresi dari MMP-9 (Yen et al. 2008).

Penelitian oleh Campione et al. (2015) membuktikan bahwa piroksikam mampu menghambat aktivitas enzim COX-1 dan COX-2 melalui pembentukan ikatan hidrogen residu Serin530 dan Tirosin355 (pada COX-1) dan ikatan hidrogen dengan residu Tirosin355 dan residu Arginin120 (pada COX-2) (Gambar 2). Terhambatnya aktivitas siklooksigenase mengurangi pembentukan prostaglandin sehingga dapat mengurangi level MMP-9 (Yen

et al. 2008, Campione et al. 2015). Penurunan jumlah MMP-9 ini didukung oleh penelitian Mazumder et al. (2014) yang melaporkan bahwa piroksikam secara in sillico mampu menekan regulasi MMP-9 dengan interaksi ikatan hidrogen dengan residu Prolin421 (Gambar 3).

Gambar 2. Interaksi Piroksikam dengan COX-1 (A) dan COX-2 (B)

(Campione et al. 2015).

Gambar 3. Interaksi Piroksikam dengan MMP-9

24

Piroksikam memiliki bobot molekul sebesar 331,35 g/mol dan titik leleh sebesar 198-200oC (DrugBank 2013), serta memiliki nilai pKa 5,3 dan pKb 1,86 sehingga memungkinkan piroksikam bertindak sebagai obat

zwitterionic pada nilai pH tertentu (Abdulkarim et al. 2010) Kelarutan piroksikam dalam etanol sebesar 5 mg/mL (Santa Cruz Biotechnology 2016). Sebagai asam lemah, piroksikam dapat terionisasi pada pH 7,4. Piroksikam memiliki nilai logP sebesar 3,06 (DrugBank 2013). Berdasarkan sifat-sifat kimia tersebut, piroksikam termasuk dalam Biopharmaceutics Classification System (BCS) kelas II dimana absorpsi obat dibatasi oleh kecepatan disolusi karena kelarutannya dalam air rendah, yaitu 23 mg/L (Mirza et al. 2010, DrugBank 2013). Piroksikam memiliki nilai LD50 dermal dan oral berturut-

turut pada tikus sebesar >5000 mg/kg dan 216 mg/kg (United State Pharmacopeial 2013), sedangkan nilai ED50 topikal piroksikam pada manusia

sebesar 5 mg (Juel-Friis et al. 2014). 2.5. Sediaan Penyembuh Luka

Wound dressing adalah penggunaan beragam bahan untuk melindungi luka (Food and Drug Association 2009). Tujuan dari wound dressing adalah untuk mempromosikan penyembuhan luka dalam waktu sesingkat mungkin, dengan rasa sakit minimal, dan harus terjadi dalam lingkungan fisiologis yang kondusif untuk perbaikan jaringan dan regenerasi (Esimone et al. 2008). Pada luka kronis seperti ulkus diabetik, fase inflamasi berkepanjangan seringkali menghambat fase proliferasi. Oleh karena itu, kunci untuk penyembuhan luka kronis bukan hanya menyeimbangkan tingkat kelembaban di area luka, tetapi juga eksekusi senyawa-senyawa di eksudat luka kronis yang menghambat penyembuhan luka (Okan et al. 2007).

Sediaan penyembuh luka dikatakan ideal dalam penggunaannya apabila sediaan tersebut dapat melindungi luka dari invasi bakteri, mencegah dehidrasi, menyerap eksudat luka dan mempercepat penyembuhan luka (Sun

et al. 2011). Selain itu, sediaan penyembuh luka yang ideal harus mampu memelihara lingkungan luka secara seimbang, memungkinkan terjadinya pertukaran udara dan uap air, serta mengurangi rasa sakit. Sediaan penyembuh luka untuk ulkus kaki diabetik harus memperhatikan beberapa hal, antara lain kenyamanan, kesesuaian, fleksibilitas apabila digunakan di area kaki; kemudahan untuk dihilangkan sehingga tidak menimbulkan trauma baru; kemudahan penggunaan oleh pasien; efektivitas, dan biaya relatif murah (Chadwick et al. 2013).

2.6. Hydrocolloid

Hydrocolloid dressing terbuat dari lapisan bahan pembentuk gel yang melekat pada semipermeable film atau foam (Fletcher et al. 2011). Ketika

25

antara substansi hydrocolloid dan cairan ulkus menghasilkan massa agar-agar berwarna kuning. Substansi hydrocolloid mengabsorpsi bahan nekrotik dan cairan ulkus, sedangkan massa agar-agar ini berkontribusi pada pembentukan lingkungan yang lembab, memfasilitasi autolisis debridement, pembentukan jaringan granulasi, dan epitelisasi. Adanya massa agar-agar melindungi jaringan granulasi dan epitel baru ketika hydrocolloid dressing dilepas atau diganti (Shai and Maibach 2005).

Hydrocolloid dressing diganti setiap 3-7 hari. Hal ini bertujuan untuk menghindari kerusakan kulit sekitar ketika melepas perekat (Fletcher et al.

2011). Dalam kasus tertentu, frekuensi penggantian dressing bergantung pada penampakan ulkus. Apabila ulkus tidak bersih, perlu dilakukan pengawasan dan penggantian dressing setiap 48 jam bahkan 24 jam (Shai and Maibach 2005).

Hydrocolloid dressing mempunyai beberapa keuntungan, yaitu: a. Menciptakan lingkungan luka yang lembab untuk

mempromosikan angiogenesis, meningkatkan jumlah fibroblas, menstimulasi produksi jaringan granulasi, dan meningkatkan jumlah sintesis kolagen;

b. Melembutkan dan merehidrasi jaringan nekrosis supaya terjadi autolisis debridement;

c. Sifat adhesif dan anti-air hydrocolloid berfungsi sebagai barrier

terhadap bakteri, virus, dan kontaminasi senyawa asing;

d. Sifat licin dari backing mengurangi koefisien friksi sehingga melindungi kulit regenerasi;

e. Pembentukan gel selama penyembuhan luka memudahkan penggantian sediaan tanpa meninggalkan trauma dan melindungi ujung saraf nyeri sehingga mengurangi rasa sakit pada luka

(Fletcher et al. 2011). 2.7. Hidroksipropil Metilselulosa (HPMC)

Gambar 4. Struktur Molekul HPMC

26

HPMC (Gambar 4) banyak digunakan sebagai polimer dalam formulasi sediaan topikal karena sifatnya yang tidak beracun, tidak mengiritasi, dan kompatibel dengan berbagai macam bahan obat ataupun eksipien. Beberapa fungsi HPMC sebagai bioadhesive material, agen pelepasan terkontrol dan agen penstabil, dapat mendukung sistem penghantaran obat dalam hydrocolloid. Selain itu, HPMC juga berfungsi sebagai dissolution enhancer sehingga dapat meningkatkan disolusi obat- obatan dengan kelarutan dalam air yang buruk, seperti piroksikam. HPMC dengan konsentrasi 2-20% mempunyai fungsi sebagai pembentuk film (Rowe

et al. 2009). 2.8. Landasan Teori

Luka kronis pada penderita DM mengakibatkan banyaknya jumlah prostaglandin yang disintesis. Prostaglandin merupakan salah satu mediator inflamasi yang menginduksi MMP-9. Piroksikam sebagai inhibitor non- selektif terhadap siklooksigenase mampu menghambat sintesis prostaglandin. Selain itu, secara in silico piroksikam juga mampu menghambat secara langsung aktivitas enzim MMP-9.

Hydrocolloid dressing merupakan sediaan pembalut luka yang direkomendasikan untuk penyembuhan ulkus karena kemampuannya dalam menyeimbangkan kelembaban lingkungan luka, menyerap eksudat, memfasilitasi autolisis debridement, melindungi dari invasi bakteri, dan mengurangi rasa sakit. Hydrocolloid memudahkan pasien dalam penggunaannya dan menghemat biaya perawatan luka. Piroksikam yang diformulasikan ke dalam hydrocolloid dapat mempercepat penyembuhan luka pada penderita DM.

HPMC berfungsi sebagai bahan pembentuk gel hidrofilik yang mengontrol pelepasan zat aktif. Selain itu, fungsinya sebagai bahan bioadhesif dan agen penstabil dapat meningkatkan kualitas sediaan. Oleh karena itu, penggunaan HPMC sebagai pembentuk matriks hydrocolloid piroksikam dapat memberikan karakteristik sediaan yang dikehendaki, sehingga akan diperoleh formula optimal sebagai diabetic wound healing.

2.9. Hipotesis

2.9.1. Meningkatnya konsentrasi HPMC mempengaruhi sifat fisikokomia

hydrocolloid matrix diabetic wound healing piroksikam.

2.9.2. Pada konsentrasi HPMC tertentu menghasilkan formula hydrocolloid matrix diabetic wound healing piroksikam yang optimal.

27

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN

Dokumen terkait