• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tujuan Pembelajaran

Dalam dokumen IPS SMP KELOMPOK KOMPETENSI F (Halaman 16-69)

1. Melalui membaca modul dan referensi lainnya, peserta diklat mampu memahami dasar-dasar ilmu sejarah dengan baik

2. Melalui diskusi, peserta diklat dapat memahami guna sejarah dengan baik

B. Indikator Pencapaian Kompetensi

1. Menerangkan konsep dasar sejarah 2. Mengemukakan kegunaan sejarah

C. Uraian Materi

1. Konsep Dasar Sejarah

Kata sejarah diambil dari bahasa Arab “syajaratun” yang artinya pohon atau keturunan atau asal usul yang kemudian berkembang sebagai kata dalam bahasa Melayu “syajarah”, akhirnya menjadi kata sejarah dalam bahasa Indonesia (Frederick dan Soeri Soeroto, 1982: 1). Jadi kata pohon di sini mengandung pengertian suatu percabangan geneologis dari suatu kelompok keluarga tertentu yang kalau dibuat bagannya menyerupai profil pohon yang ke atas penuh dengan cabang serta ranting-rantingnya serta ke bawah juga menggambarkan percabangan dari akar-akarnya. Dengan demikian kata syajarah itu mula-mula dimaksudkan sebagai gambaran silsilah/ keturunan (Widja, 1988: 6).

Dengan demikian terdapat perbedaan makna antara kata sejarah dan history. Pada istilah sejarah (yang tradisional) terkandung usaha mengabadikan/menjunjung kebesaran penguasa atau cikal bakal kelompok orang dengan menekan terutama unsur asal usul keturunan serta peristiwa yang menyangkut tokoh-tokoh tersebut dan biasa-nya diuraikan secara magis-religius. Sedangkan pada istilah history, adalah usaha untuk mengetahui apa yang telah terjadi sebelum kehidupan, atau keinginan untuk mengetahui perjalanan waktu (Widja, 1988: 7). Dalam hubungan ini terlihat di Barat pengertian history dari semula sudah menunjuk pada unsur-unsur keilmuan.

a. Konsep-konsep Pembangun Ilmu Sejarah 1) Manusia

Sejarah adalah ilmu tentang manusia. Sejarah mengkaji aktivitas manusia di segala bidang dalam perspektif waktu. Sejarah juga bukan kisah manusia pada masa lampau secara keseluruhan. Manusia yang sudah memfosil menjadi objek kajian Antropologi Ragawi. Demikian juga benda-benda, meskipun sebagai hasil karya manusia, tetapi menjadi bidang kajian Arkeologi.

2) Waktu/Temporal

Menurut Kuntowijoyo (1995), dalam waktu terjadi empat hal, yaitu (1) per-kembangan, (2) kesinambungan, (3) pengulangan, (4) perubahan. Perkembang-an terjadi bila berturut-turut masyarakat bergerak dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Contoh: pada awal-awal Proklamasi Kemerdekaan kondisi yang ada merupakan kesinambungan dari masa-masa sebelumnya, sehingga di tempat-tempat ter-tentu masyarakat tidak sabar untuk melakukan perubahan, seperti di Aceh dan Tiga Daerah (Brebes, Tegal, Pekalongan).

3) Ruang/Spasial

Dalam melakukan aktivitas, manusia terikat pada ruang atau tempat tertentu. Ada hubungan yang erat antara peristiwa dengan ruang, seperti dinyatakan dalam teori Diterminisme Geografis, bahwa faktor geografis sebagai satu-satunya faktor penentu jalannya peristiwa sejarah (Selanjutnya lihat Kausalitas).

4) Peristiwa

Sejarawan terutama tertarik pada peristiwa-peristiwa yang mempunyai arti istimewa. Untuk itu, Reiner (1997:99) membedakan apa yang disebut

occurrence dengan event. Occurrence menunjuk pada peristiwa biasa, sedangkan event merupakan peristiwa istimewa. Ada pula yang menggunakan istilah kejadian “non historis” untuk peristiwa biasa, dan kejadian “historis” untuk peristiwa istimewa (Widja, 1988Ś 18).

5) Kausalitas

Apabila pengungkapan sejarah bersifat deskriptif, maka fakta-fakta yang perlu diungkapkan terutama bersangkutan dengan apa, siapa, kapan, di

mana, dan bagaimana. Dengan mengetahui data deskriptif itu sebagian besar dari keingintahuan terhadap peristiwa sejarah tertentu terpenuhi. Dalam jawaban terhadap bagaimananya peristiwa, pada umumnya telah tercakup beberapa keterangan tentang sebab-sebabnya, meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit.

Sejak abad ke-19 muncul teori diterministik yang menjelaskan, tentang kausalitas suatu peristiwa, keadaan atau perkembangan dikembalikan kepada satu faktor saja (Kartodirdjo, 1992: 94). Faktor itu dipandang sebagai faktor tunggal atau satu-satunya faktor yang menjadi faktor kausal. Diterminisme geografis berpandangan bahwa faktor lokasi yang menentukan situasi atau perkembangan suatu bangsa. Bangsa-bangsa di negeri dingin pada umumnya maju oleh karena kondisi ekologinya menuntut jiwa yang mampu menyesuaikan diri dan mengatasi kondisi alamiah yang berat. Sebaliknya, di negeri panas (tropika) alam sangat memudahkan hidup sehingga tidak banyak menimbulkan tantangan berat. Diterminisme rasial lebih menekankan faktor biologis sebagai penentu kemajuan suatu bangsa. Diterminisme ekonomi adalah diterminan dari struktur dan perkembangan masyarakat. Teori Karl Marx terkenal sebagai diterminisme ekonomis. Seluruh lembaga-lembaga sosial, politik, dan kultural ditentukan oleh proses ekonomi pada umumnya dan sistem produksi khususnya. Misalnya, sistem produksi agraris dengan teknologi tradisional menciptakan struktur politik dan sosial yang feodalistik sifatnya, yang kesemuanya berkisar sekitar hubungan antara tuan tanah dan penggarap atau buruh tani.

Pertumbuhan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu-ilmu sosial khususnya melahirkan teori perspektivisme. Walaupun tidak berhasil seluruh-nya teori ini mendesak teori diterminisme. Perspektivisme adalah pandangan atau visi terhadap permasalahan atau objek pengkajian yang mendekati dari berbagai segi atau aspek dan perspektif. Timbulnya perspektivisme disebabkan oleh semakin luasnya kesadaran bahwa berbagai gejala tidak dapat lagi dipandang sebagai sesuatu yang sederhana tetapi bersifat kompleks. Menurut Kartodirdjo (1992) kompleksitas hanya dapat dikupas dan dianalisis berbagai unsur dan aspeknya, dengan pendekatan dari berbagai perspektif, antara lain perspektif ekonomi, sosial,

Teori berikutnya dikenal dengan motivasi pribadi. Kausalitas dalam tindakan individual biasanya dikembalikan kepada motivasi. Motivasi sangat ditentukan oleh nilai-nilai atau norma-norma, yang keduanya merupakan faktor kultural yang berfungsi sebagai prinsip atau dasar hidup dan yang melandasi kelakuan. Ternyata kelakuan individual senantiasa berpedoman pada nilai. Apabila kelakuan telah membudaya menurut pola tertentu sesuai dengan orientasi nilai dan diekspresikan sebagai sikap dan konsistensi dalam bertindak serta berkelakuan, maka akan membentuk watak tertentu dan akhirnya menjadi kepribadian.

6) Tidak Berulang

Sejarah bersifat tidak berulang (einmaliq). Jika terdapat dua peristiwa atau lebih yang mempunyai kesamaan, bukan berarti sejarah berulang. Hal ini hanya sebuah kemiripan, karena unsur-unsur yang melekat dalam masing-masing peristiwa (waktu, pelaku, tempat, kausalitas) berbeda. Contoh PKI terlibat perlawanan pada tahun 1927, 1948, dan 1965. Dari aspek waktu, tokoh-tokoh yang terlibat, intensitas keterlibatan, tempat perlawanan, jelas berbeda, dan masih banyak perbedaan-perbedaan yang lain.

b. Pengertian Negatif

Kuntowijoyo (1995: 7-12) memaparkan pengertian negatif sejarah sebagai berikut.

1) Sejarah Bukan Mitos

Sama-sama menceritakan masa lalu sejarah berbeda dengan mitos. Mitos menceritakan masa lalu dengan: (1) waktu yang tidak jelas, dan (2) kejadian yang tidak masuk akal bagi orang masa kini. Mitos bersama nyanyian rakyat, mantra, syair dan pepatah termasuk tradisi lisan. Untuk masyarakat yang belum mengenal tulisan akan mengandalkan diri pada tradisi lisan dalam penulisan sejarah.

2) Sejarah Bukan Filsafat

Sejarah berbicara tentang manusia, maka yang dibicarakan ialah orang tertentu yang mempunyai tempat dan waktu serta terlibat dalam kejadian. Filsafat sebaliknya, kalau berbicara tentang manusia, maka manusia dimaksud adalah manusia pada umumnya, manusia yang ada dalam gambaran angan-angan. Ada dua kemungkinan penyalahgunaan sejarah

oleh filsafat; (1) sejarah dimoralkan, dan (2) sejarah sebagai ilmu yang kongkrit dapat menjadi filsafat yang abstrak.

3) Sejarah Bukan Ilmu Alam

Sejarah sering dimasukkan dalam ilmu-ilmu manusia, yang dalam perjalanan waktu dipecah ke dalam ilmu-ilmu sosial dan ilmu kemanusiaan. Ilmu-ilmu manusia dibedakan dengan ilmu-ilmu alam yang memiliki tujuan menemukan hukum-hukum yang berlaku umum, atau bersifat nomothetis, sedangkan sejarah berusaha mendeskripsikan hal-hal yang khas, atau idiografis.

4) Sejarah Bukan Sastra

Sejarah berbeda dengan sastra setidaknya dalam empat hal: (1) cara kerja, (2) kebenaran, (3) hasil keseluruhan, dan (4) kesimpulan. Dari cara kerja-nya, sastra adalah pekerjaan imajinasi yang lahir dari kehidupan sebagaimana dimengerti oleh pengarangnya. Kebenaran bagi pengarang secara mutlak ada di bawah kekuasaannya, dengan kata lain pengarang akan bersifat subjektif dan tidak ada yang mengikatnya. Kebebasan bagi pengarang demikian besarnya, sehingga ia berhak membangun sendiri dunianya. Hasil keseluruhan hanya menuntut supaya pengarang taat asas dengan dunia yang dibangunnya sendiri.

2. Dimensi Sejarah a. Sejarah Sebagai Ilmu

Dalam dunia ilmu, sebuah pengetahuan dapat dikatakan sebuah ilmu harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.

1) Objek

Objek sejarah adalah aktivitas manusia pada masa lampau. Sejarah merupakan ilmu empiris. Sejarah seperti ilmu-ilmu lain yang mengkaji manusia, bedanya sejarah mengkaji aktivitas manusia dalam dimensi waktu. Aspek waktu inilah yang menjadi jiwa sejarah. Objek sejarah dibedakan menjadi dua, yakni objek formal dan objek material. Objek formal sejarah adalah keseluruhan aktivitas masa silam umat manusia. Objek material berupa sumber-sumber sejarah yang merupakan bukti adanya peristiwa pada masa lampau (Zed, 2002: 48). Bukti-bukti tersebut merupakan

mungkin kalau memiliki bukti-bukti berupa dokumen atau jenis peninggalan lainnya.

2) Tujuan

Menurut Sutrasno (1975: 22) sejarah bertujuan sebagai berikut.

a. Memberikan kenyataan-kenyataan sejarah yang sesungguhnya, menceritera-kan segala yang terjadi apa adanya.

b. Membimbing, mengajar, dan mengupas setiap kejadian sejarah secara kritis dan realistis.

3) Metode

Metode sejarah bertumpu pada empat langkah, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Metode sejarah bersifat universal, artinya metode sejarah dapat dimanfaatkan oleh ilmu-ilmu lain untuk keperluan memastikan fakta pada masa lampau. Dengan semakin mendekatnya ilmu-ilmu sosial dan ilmu sejarah, maka semakin terlihat pemanfaatan metode sejarah dalam ilmu-ilmu sosial.

4) Kegunaan

Menurut Widja (1988: 49-51) sejarah paling tidak mempunyai empat kegunaan, yaitu edukatif, inspiratif, rekreatif, dan instruktif. Guna edukatif adalah sejarah memberikan kearifan dan kebijaksanaan bagi orang yang mempelajari-nya. Menyadari guna edukatif dari sejarah berarti menyadari makna dari sejarah sebagai masa lampau yang penuh arti.

Guna inspiratif, berfungsi bagi usaha menumbuhkan harga diri dan identitas sebagai suatu bangsa. Guna sejarah semacam ini sangat berarti dalam rangka pembentukan nation building. Di negara-negara yang sedang ber-kembang guna inspiratif sejarah menjadi bagian yang sangat penting, terutama dalam upaya menumbuhkan kebanggaan kolektif. Guna rekreatif menunjuk kepada nilai estetis dari sejarah, terutama kisah yang runtut tentang tokoh dan peristiwa. Di samping itu, sejarah memberikan kepuasan dalam bentuk “pesona perlawatan”. Dengan membaca sejarah seseorang bisa menerobos batas waktu dan tempat menuju zaman lampau dan tempat yang jauh untuk mengikuti berbagai peristiwa di dunia ini.

Guna instruktif adalah fungsi sejarah dalam menunjang bidang-bidang studi kejuruan/ketrampilan seperti navigasi, teknologi senjata, jurnalistik, taktik militer, dan sebagainya.

Kuntowijoyo (1995: 19-35) membedakan guna sejarah menjadi guna ekstrinsik dan guna intrinsik. Guna intrinsik sejarah meliputi, (1) sejarah sebagai ilmu, (2) sejarah sebagai cara mengetahui masa lampau, (3) sejarah sebagai pernyataan pendapat, dan (4) sejarah sebagai profesi. Guna ekstrinsik merupa-kan manfaat sejarah terutama di bidang pendidikan. Sejarah mempunyai fungsi pendidikan, yaitu sebagai pendidikan (1) moral, (2) penalaran, (3) politik, (4) kebijakan, (5) perubahan, (6) masa depan, (7) keindahan, (8) ilmu bantu. Dalam guna ekstrinsik selain pendidikan, sejarah juga berfungsi sebagai (1) latar belakang, (2) rujukan, dan (3) bukti.

5) Sistematika

Sistematika dalam sejarah bentuknya berupa periodisasi dan percabangan dalam ilmu sejarah. Periodisasi adalah pemenggalan waktu dalam periode-periode dengan menggunakan kriteria tertentu. Secara garis besar materi sejarah dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok teori sejarah dan kelompok kajian sejarah. Kelompok teori sejarah, seperti Pengantar Ilmu Sejarah, Filsafat Sejarah, Metodologi dan Historiografi. Kelompok kajian sejarah masih terbagi lagi dalam sejarah dunia, sejarah Indonesia dan sejarah tematis. Masing-masing masih terpecah dalam cabang-cabang lagi, seperti sejarah tematis terdiri atas sejarah ekonomi, sejarah politik, sejarah maritim, dan sebagainya.

6) Kebenaran

Terdapat dua teori kebenaran yang dapat dikaitkan dengan usaha pengujian kebenaran fakta, yaitu kebenaran korespondensi dan kebenar-an koherensi. Kebenarkebenar-an korespodensi adalah pernyataan benar apabila sama dengan realitasnya (konteks sejarah yang benar-benar telah terjadi. Kebenaran koherensi adalah suatu pernyataan benar jika cocok dengan pernyataan-pernyataan lain yang pernah diucapkan/dinyatakan dan diterima kebenarannya.

7) Generalisasi

Generalisasi atau kebenaran-kebenaran yang bersifat umum sering terabaikan dalam kajian sejarah. Sejarawan, umumnya tidak menjadikan generalisasi sebagai tujuan utamanya tetapi lebih memusatkan perhatian pada usaha menerangkan, dan mengartikan jalan yang sebenarnya dari peristiwa-peristiwa khusus, kejadian-kejadian dalam dimensi waktu, ruang, dan kondisi-kondisi tertentu (Widja, 1988: 3).

8) Prediksi

Prediksi dapat diartikan sebagai berlakunya hukum dikemudian hari. Hukum sejarah adalah keteraturan yang dapat diserap pada sejumlah kejadian, yang memberikan rupa persamaan pada perubahan-perubahan keadaan tertentu dalam sejarah. Dalam sejarah keteraturan yang menjadi unsur utama dari suatu hukum dikaitkan dengan suatu kondisi tertentu, dan dibatasi hanya pada kejadian yang mempunyai persamaan, bukan kejadian yang memang benar-benar sama (identik). Dengan kata lain, hukum dapat berlaku apabila unsur-unsurnya pada peristiwa, benar-benar ada.

b. Sejarah Sebagai Seni

Menurut Kuntowijoyo (1995: 67-70) kedudukan sejarah sebagai seni disebabkan alasan-alasan sebagai berikut.

1) Sejarah memerlukan intuisi

Apa yang harus dikerjakan setiap langkah memerlukan kepandaian sejarawan dalam memutuskan apa yang harus dilakukan. Sering terjadi untuk memilih suatu penjelasan, bukan peralatan ilmu yang berjalan tetapi intuisi. Dalam hal ini cara kerja sejarawan sama dengan seniman. Dalam menghadapi ketidakpastian, (keadaan tidak tahu) sejarawan menggunakan intuisi. Untuk mendapatkan intuisi sejarawan harus kerja keras dengan data yang ada. Di sinilah beda intuisi seorang sejarawan dengan seniman. Mungkin seniman akan melamun, tetapi sejarawan harus tetap ingat akan data-datanya.

2) Sejarah memerlukan imajinasi

Sejarawan hendaknya mampu menerobos masa silam, membayangkan peristiwa dan kondisi yang mengiringinya dalam konteks jaman di mana

peristiwa yang dibayangkan benar-benar terjadi berdasarkan fakta yang ada (bukti-bukti), sehingga tidak terjebak dalam anakronisme.

3) Sejarah memerlukan emosi

Sejarawan dapat menghadirkan objeknya seolah-olah pembacanya mengalami sendiri peristiwa dimaksud berdasar pada fakta yang ada. Penulisan sejarah yang melibatkan emosi sangat penting untuk pewarisan nilai. Untuk keperluan ini, dalam sejarah dikenal historical thinking atau cara berpikir historis, yaitu upaya menempatkan pikiran-pikiran pelaku sejarah pada pikiran-pikiran sejarawan. Historical thinking didasari bahwa peristiwa sejarah mempunyai aspek luar dan aspek dalam. Aspek luar adalah bentuk dari peristiwa, seperti pemberontakan, perubahan sosial, dan lain-lain. Sedangkan aspek dalam merupakan pikiran-pikiran dari pelaku sejarah.

4) Sejarah memerlukan gaya bahasa

Gaya bahasa yang baik, tidak berarti gaya bahasa yang berbunga-bunga. Kadang-kadang gaya bahasa yang lugas lebih menarik. Gaya yang berbelit-belit dan tidak sistematis jelas merupakan bahasa yang jelek. Akan tetapi perlu diingat, seperti dinyatakan Kuntowijoyo (1995: 11) bahwa sejarah bukan sastra. Sejarah berbeda dengan sastra dalam hal: (1) cara kerja, (2) kebenaran, (3) hasil keseluruhan, dan (4) kesimpulan. Dari cara kerjanya, sastra adalah pekerjaan imajinasi yang lahir dari kehidupan sebagaimana dimengerti oleh pengarangnya. Kebenaran bagi pengarang secara mutlak ada di bawah kekuasaannya.

c. Sejarah Sebagai Peristiwa dan Kisah

Kisah (tulisan) sejarah Sintesis Fakta Peristiwa Sejarah Evidensi

Sejarah sebagai peristiwa hanya terjadi satu kali pada masa lampau. Orang masa kini mengetahui bahwa telah terjadi peristiwa melalui bukti-bukti (evidensi) yang ditinggalkan. Bagi sejarawan bukti-bukti merupakan sesuatu yang utama dan pertama. Tanpa adanya bukti peristiwa masa lalu hanya mitos belaka. Untuk mengungkapkan peristiwa, bukti-bukti itu selanjutnya

diolah melalui kritik sejarah. Hasil upaya mempertanyakan bukti-bukti disebut fakta sejarah. Jadi, fakta dalam ilmu sejarah berarti informasi atau keterangan yang diperoleh dari sumber atau bukti setelah melalui proses kritik.

Deretan fakta-fakta belum dapat disebut sejarah, melainkan masih pseudo sejarah (sejarah semu) dan belum mempunyai arti. Agar dapat berarti dan dipahami maka perlu dilakukan sintesis (interpretasi). Ketika hasil sintesis dituliskan maka lahirlah sejarah sebagai kisah. Dengan demikian sejarah sebagai kisah, merupakan produk serangkaian kerja intelektual dari seorang sejarawan dan bagaimana menangani bukti-bukti hingga mewujudkannya dalam tulisan sejarah (historiografi).

3. Sumber dan Periodisasi Sejarah a. Sumber Sejarah

Sutrasno (1975:43) mendefinisikan sumber sejarah sebagai segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai bahan penulisan atau penceriteraan kembali sejarah. Sedangkan Widja (1988:19) mengartikan sumber sejarah sebagai apa-apa yang ditinggalkan oleh peristiwa masa lampau yang menunjukkan bahwa benar-benar telah ada peristiwa. Sebagian sejarawan lebih senang menggunakan istilah jejak sejarah (traces/relics) atau bukti-bukti sejarah untuk bahan yang sangat penting artinya bagi penyusunan cerita sejarah itu.

Mengingat peristiwa masa lampau manusia meliputi berbagai aspek kehidupan manusia yang bervariasi dalam berbagai jenis aktivitas (politik, ekonomi, sosial budaya, dan lain-lain), maka jejak yang ditinggalkan sejarah itu pun beraneka ragam pula wujudnya. Sesuai dengan sifat-sifat aktivitas manusia tersebut, umumnya berupa jejak-jejak tersebut dikelompokkan dalam berbagai macam klasifikasi.

Klasifikasi yang paling sederhana adalah pembagian berupa sumber-sumber yang ditinggalkan tidak dengan sengaja oleh manusia dalam kegiatan sehari-harinya, dan jejak yang dengan sengaja memang dimaksudkan untuk menyampai-kan pesan bagi generasi berikutnya mengenai tindakan orang-orang yang meninggal-kannya.

Berkaitan dengan sumber yang tidak disengaja dan sumber yang sengaja, Sutrasno (1975:43) lebih lanjut menguraikan: Memberi tinggalan secara sadar artinya, manusia dengan sadar meninggalkan apa-apa kepada anak cucunya. Dibuatnya candi yang megah dan tahan lama, agar anak cucunya nanti dapat menghormati dewa yang dipuja di candi tersebut. Ditinggalkan pusaka-pusaka, agar anak cucunya tetap memiliki kekuatan orang tuanya. Membuat peraturan-peraturan yang ditulis di batu, agar rakyat dapat melihatnya dan mematuhi dalam jangka waktu yang lama, dan masih banyak lagi yang kemudian ditemukan kembali oleh sarjana sejarah (atau yang lain) dalam keadaan utuh, setengah utuh, atau rusak.

Sumber non historis adalah jejak yang tidak menarik perhatian sejarawan karena tidak langsung berkaitan dengan cerita sejarah yang hendak disusunnya. Sedang-kan sumber historis merupakan jejak atau sumber yang bisa menuntun sejarawan untuk merekonstruksi kejadian masa lampau. Meskipun klasifikasi ini harus diterima sebagai sesuatu yang relatif, tapi lebih mudah diaplikasikan karena dikaitkan dengan kepentingan sejarawan dalam rangka penyusunan cerita sejarahnya. Selanjutnya sumber historis ini dibedakan lagi menjadi sumber yang bersifat non materiil dan sumber materiil (Reiner, 1961: 96-104). Sumber non materiil ialah sumber-sumber yang tidak nyata yang kadang-kadang masih hidup dalam masyarakat, seperti institusi-institusi sosial, kebiasan-kebiasaan, tradisi, dan sebagainya. Sumber materiil ialah objek-objek yang merupakan hasil dari aktivitas manusia yang hidup pada zaman lampau yang kadang-kadang masih berfungsi sampai sekarang seperti candi, masjid, makam, istana, dan sebagainya yang sering digolongkan secara keseluruhan dengan monumen-monumen. Sumber-sumber materiil lainnya adalah seperti alat-alat rumah tangga, potret, atau gambar, senjata, mata uang, prasasti, dan lain-lain.

Ada juga klasifikasi sederhana yang lain seperti yang dilakukan Notosusanto (1971:18), yaitu sumber benda, sumber tertulis, dan sumber lisan. Tentu saja yang terutama menarik perhatian sejarawan adalah sumber tertulis, karena sumber benda lebih menuntut keahlian khusus yang terutama dikuasai/dikembangkan oleh disiplin arkeologi. Sumber tertulis lebih lanjut

formal dan informal. Kedua macam klasifikasi ini dapat saling potong memotong. Ada dokumen resmi formal dan dokumen resmi informal. Ada pula dokumen tak resmi formal dan dokumen resmi informal. Keputusan presiden adalah dokumen resmi formal. Surat “Kattebellece” yang dibuat oleh seorang pejabat kepada pejabat yang lain adalah dokumen resmi informal, karena ditulis oleh seorang pejabat dan diperuntukkan kepada pejabat. Surat seorang pejabat sebagai pribadi kepada Kepala Sekolah di mana putranya bersekolah dan berisi hal ihwal tentang putranya itu merupakan dokumen tak resmi formal, karena ditulis sebagai pribadi akan tetapi ditulis sebagai surat yang memenuhi syarat-syarat dari surat menyurat formal. Surat dari perjalanan seorang pejabat kepada istrinya merupakan dokumen tak resmi informil.

Sumber tak tertulis adalah semua peninggalan yang di dalamnya tak terdapat tulisan-tulisan. Benda-benda ini adalah hasil karya manusia pada masa itu. Dari sini dapat diketahui sampai di tingkat mana manusia itu hidup berbudaya, beserta perkembangannya, pengaruh kebudayaan luar, dan sebagainya. Atas dasar sumber ini kita dapat mengetahui sampai di mana pengaruh sesuatu kebudayaan memasuki suatu daerah, mengetahui jalur-jalur jalannya dan tersebarnya kebudayaan tersebut, dan dengan demikian pula dapat diketahui perkembangan politik dan kebudayaan pada suatu zaman.

Kecuali klasifikasi di atas, sumber sejarah dapat dibedakan menjadi sumber langsung dan tak langsung. Sumber langsung artinya dengan sumber itu dapat dilihat bekas-bekas yang dibuat atau sebagai akibat dari perbuatan seseorang atau pemerintahan. Sumber tak langsung ialah segala tulisan yang dibuat oleh seseorang pada masa kejadian itu dan atau sesudahnya. Contoh sumber langsung seperti alat senjata, candi, prasasti, dan sebagainya. Contoh sumber tak langsung seperti kronik, majalah, babad dan sebagainya (Sutrasno, 1975).

Sumber langsung tingkat objektivitasnya lebih tinggi, tinggal bagaimana mencari hal-hal yang terkandung di dalamnya, yang menunjukkan gejala-gejala adanya peristiwa sejarah. Dengan sumber langsung itu dapat menganalisa dan membuat perhitungan-perhitungan (sudah barang tentu

dengan sumber-sumber lain yang sejenis atau ada kaitannya), dan mungkin akan menemukan kekuatan-kekuatan yang ada di dalamnya, sehingga dapat disusun cerita sejarah yang rasional dan objektif. Keberhasilan menggarap sumber langsung sangat bergantung pada kemampuan sejarawan sendiri. Sumber tak langsung telah tersentuh campur tangan orang kedua, dan karenanya bukan tidak mungkin telah terpengaruh oleh subjektivitas.

Dalam dokumen IPS SMP KELOMPOK KOMPETENSI F (Halaman 16-69)

Dokumen terkait