• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kenaikan tarif cukai akan berdampak langsung kepada harga jual rokok, walaupun kenaikan harga jual rokok tidak secara signifikan mengurangi konsumsi rokok (Adioetomo, 2001). Tetapi munculnya rokok “illegal” dimulai dengan kebijakan kenaikan cukai. Cukai yang berada pada tahapan di bagian paling ujung (hilir) proses produksi rokok justru akan menjadi pertimbangan produsen melakukan banyak “rekayasa” dalam sistem sepanjang rantai agar harga jual eceran rokok dapat bertahan seperti sediakala, walaupun beban cukainya meningkat.

Keputusan harga jual eceran (HJE) rokok menjadi dasar penetapan cukai. Sehingga pengusaha yang tidak dapat mengadaptasi perubahan tarif cukai memilih tidak menggunakannya karena pasar tidak mempermasalahkannya.

Banyak industri multinasional yang bangkrut karena masih mempertahankan pola operasi pabrik secara individu, formal dan tersentral dalam satu pabrik. Pengalaman banyak pabrik yang tidak menggunakan jaringan sangat tidak fleksibel untuk merespon permintaan pasarnya. Sehingga akan menyulitkan pabrik secara teknis. Banyak idle baik produk maupun bahan mentah. Pabrik menghadapi ketidakpastian tinggi. Pabrik, melibatkan rantai produksi dan pemasaran. W alaupun sangat tergantung pada jenis barang atau jasanya, tetapi yang tidak menggunakan jaringan sebagai mitra, membagi beban dan resiko ketidakpastian tidak akan memiliki keberlangsungan. Contoh, Jhonson and Jhonson Indonesia yang bangkrut karena pola memproduksi dan memasarkan sendiri seluruh produknya. Fokus perhatian terlalu banyak, mengingat banyak produk pengganti di pasar, tidak memahami karakteristik pasar di Indonesia yang mudah beralih, sehingga menyebabkan perubahan pasar yang cepat. Sebagai perusahaan transnasional tidak mengakomodasi teknologi untuk mengakses informasi pasar dan melakukan inovasi produknya, sehingga pada akhirnya bangkrut.

Di dalam dunia bisnis dikenal istilah industri “maklon” yaitu kerja sama 2 atau 3 pabrik untuk menghasilkan suatu produk. Industri beroperasi menggunakan pola contract manufacturing, toll manufacturing, atau private label. Perusahaan hanya fokus kepada

produksi dan menyerahkan urusan pemasaran kepada pihak lain. Industri dalam posisi sebagai mitra bisnis perusahaan atau industri lainnya yang sama-sama diuntungkan dalam kondisi persaingan global yang memiliki ketidakpastian tinggi. Hal ini dipraktekkan banyak industri yang berjaya dalam persaingan global, sebut saja PT. T M yang telah membuktikan model industri atau bisnis menggunakan pola tersebut. Industri sebagai mitra hanya dituntut untuk memberikan

kualitas produk yang terbaik, produk tidak berlabel, dan merahasiakan produk yang dipesan oleh industri mitra.

Rokok sebagai produk global yang dihasilkan oleh industri modern telah berubah, baik model produksi dan kelembagaannya dalam rantai produksi dan rantai pemasarannya. Bukan lagi sebagai industri yang terdiri dari pabrik formal, secara fisik tampak, memenuhi legalitas yang dipersyaratkan. Perlakuan dan persyaratan perijinan yang ditetapkan sangat berpotensi untuk diabaikan karena tidak sesuai dengan kondisi riil dilapangan. Pelanggaran pada lembaga, proses dan produk potensial memunculkan rokok “illegal”.

Dalam persaingan industri global, bentuk perusahaan harus fleksibel, tidak kaku, dan formal. Fleksibilitas diperlukan untuk merespon ketidakpastian usaha yang tinggi. Bentuk perusahaan adalah jaringan atau network enterprise (Castells, 2000). Sehingga produksi dapat bersifat mobile, yang didukung oleh penguasaan informasi dan teknologi. Sebagai bagian dari coping terhadap kebijakan dan tekanan persaingan. Industri rokok sudah berubah menjadi perusahaan berbasis jaringan yang mengandalkan teknologi dan informasi sejak lama (Castles,1982). Pabrik rokok melakukan spesilaisasi pada produk, dan pemasaran diserahkan pada perusahaan lain. Pada pabrik golongan III, fungsi perusahaan pemasar diganti oleh agen atau intelejen pasar yang bertanggungjawab untuk mengkomunikasikan permintaan pasar kepada produsen sekaligus memasarkan rokok. Kebijakan pengendalian rokok, khususnya untuk promosi direspon oleh pengusaha dengan spesialisasi. Spesialisasi pemasar oleh perusahaan tersendiri menimbulkan peluang untuk mendistribusikan rokok “illegal” karena produsen tidak mengintegrasikan produk dengan organisasi pemasarnya. Sedangkan perusahaan pemasar berkompetensi hanya pada pemasaran rokok. Kebijakan mendorong munculnya modus pelanggaran baru, yang berdampak pada munculnya rokok “illegal”.

Keputusan rasional ekonomis untuk efisiensi dan keberlanjutan usaha menjadi ciri perusahaan modern. Keputusan rasional ekonomis seringkali harus mengubah dari struktur dan sistem. M elakukan produksi bersama, industri tanpa fisik pabrik, moving industry

merupakan konsekuensi dari network enterprise (Castels, 2000). Industri rokok adalah industri berbasis jaringan, sehingga tidak lagi dapat beroperasi seperti ketentuan pemerintah, sebagai produsen barang kena cukai (BKC). Realitas yang terjadi pada industri rokok dan tidak sesuai dengan ketentuan pemerintah, mendorong lahirnya stigma rokok “illegal”.

Persyaratan pita cukai sekalipun dengan personalisasi akan berpotensi diabaikan oleh pelaku usaha karena pasar tidak mempermasalahkan apakah rokok pakai pita cukai atau tidak. Kemajuan teknologi dan terbuka bagi semua orang juga sangat memungkinkan seseorang dapat menciptakan pita cukai asli yang palsu, sekalipun ada pengaman berupa “hologram” yang berbasis teknologi canggih. Demikian juga mesin produksi rokok yang terbaru telah dapat melakukan proses produksi sampai pada pelilitan pita cukai. Tetapi pita cukai dengan berbagai cara, misalnya hasil impor dari berbagai negara dan digunakan oleh pengusaha rokok golongan III. Artinya penggunaan pita cukai palsu masih marak digunakan. Pita cukai bukan peruntukannya tidak mustahil digunakan oleh pabrik golongan II dan I, berdasarkan temuan KPPBC tentang SKM yang menggunakan pita cukai Tembakau iris (TIS).

Kesimpulan

Di Indonesia, sekalipun tata niaga rokok berdasarkan pasar bebas tetapi tidak benar-benar bebas, terdapat intervensi negara karena rokok sebagai barang kena cukai, yang jumlah produksi, pemasaran dan konsumsinya harus dibatasi. Kebijakan pemerintah masih ditujukan untuk kepentingan pendapatan yang bersumber dari cukai rokok. Kebijakan tersebut justru melemahkan daya saing industri rokok dan berdampak banyaknya jumlah dan modus pelanggaran, sebagai bagian dari upaya pengusaha untuk coping terhadap kebijakan yang menekan atau bertahan hidup.

Kebijakan pembatasan atau pengendalian rokok di Indonesia dikelompokkan menjadi kebijakan tarif, kebijakan non tarif, kebijakan pengembalian pajak berupa cukai yang disetor kepada negara dalam bentuk dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT) rokok, roadmap Industri hasil tembakau (IHT) rokok, Peraturan Pemerintah No 109/Tahun 2012 tentang Penanganan Dampak Tembakau Bagi Kesehatan dan lahirnya peraturan baru Peraturan M enteri Keuangan Nomor 78/PM K.011 tahun 2013 tanggal 12 April 2013 Tentang Tarif Cukai Pengusaha Hasil Tembakau yang memiliki keterkaitan yang segera akan diundangkan. Kebijakan dan imlpementasinya berpotensi munculnya rokok “illegal” baik secara langsung maupun tidak langsung.

Roadmap IHT Rokok seharusnya digunakan sebagai acuan

dalam pembinaan induastri hasil tembakau (IHT) rokok, tetapi faktanya kebijakan yang satu dengan lainnya saling bertentangan, dan dalam pelaksanaannya cenderung tumpang tindih, serta diskriminatif. Sehingga justru menimbulkan konflik pada skala pabrik golongan yang berbeda.

Industri rokok di Indonesia telah berubah dari industri konvensional menjadi industri yang modern dengan segala konsekuensinya seperti menjadi industri berbasis jaringan. Realitas lapangan yang berbeda dengan konsep pemerintah berpotensi munculnya stigma rokok “illegal”.

Dokumen terkait