• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 Sistem Pembuktian Dalam Pengungkapan Tindak Pidana Teror isme Menur ut Kitab Undang-Undang Hukum Acar a Pidana.

Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan suatu tindak pidana yang merupakan bagian yang terpenting dalam hukum acara pidana. Dalam hal ini menyangkut hak asasi manusia yang harus dipertahankan. Seseorang yang terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, ternyata tidak sesuai. Maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil.

Alat-alat bukti seperti kesaksian, menjadi kabur dan sangat relatif. Kesaksian diberikan oleh manusia yang mempunyai sifat pelupa. Bahkan menurut psikologi, penyaksian suatu peristiwa yang baru saja terjadi oleh beberapa orang akan berbeda-beda. Pernah diadakan percobaan di suatu sekolah di Swedia. Para murid dikumpulkan dalam suatu kelas, kemudian seseorang tamu masuk ke kelas itu sejenak kemudian keluar lagi. Setelah murid-murid ditanya apakah pakaian tamu tadi, maka jawabnya berbeda-beda.

Ada yang mengatakan berbaju biru, ada yang mengatakan baju abu-abu, dan bahkan ada yang menyebut baju cokelat.

Oleh karena itulah, dahulu orang berpendapat bahwa alat bukti yang paling dapat dipercaya ialah pengakuan terdakwa sendiri karena ialah yang

mengalami peristiwa tersebut. Diusahakanlah memperoleh pengakuan terdakwa tersebut dalam pemeriksaan, yang akan menenteramkan hati hakim yang meyakini ditemukannya kebenaran materiil itu.

Dalam alasan mencari kebenaran materiil itulah maka asas akusator (accusatoir) yang memandang terdakwa sebagai pihak sama dengan dalam perkara perdata, ditinggalkan dan diganti dengan asas inkisitor (inquisitoir) yang memandang terdakwa sebagai objek pemeriksaan bahkan kadang kala dipakai alat penyiksa untuk memperoleh pengakuan terdakwa.

Pasal 183 KUHAP berbunyi sebagai berikut.

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Dari kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasari kepada undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam Pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dan alat-alat bukti tersebut.

Sistem atau teori pembuktian yang berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijstheorie) ini, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda (dubbel en grondsiag). Hal tersebut terakhir ini sesuai dengan Pasal 183 KUHAP tersebut, yang mengatakan bahwa dari dua bukti sah itu diperoleh keyakinan hakim.

Penjelasan Pasal 183 KUHAP mengatakan bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seorang.

Mengenai sistem pembuktian mana yang digunakan dalam hukum acara pidana di Indonesia dapat terlihat dalam Pasal 183 KUHAP yang menyatakan hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan, suatu tindak pidana benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dengan demikian dapat disimpulkan sistem pembuktian di Indonesia menggunakan teori pembuktian undang-undang secara negatif (negatiefwettelijk bewijstheori).

Undang-undang tentang terorisme tidak secara khusus diatur mengenai syarat minimum alat bukti, atau pun ketentuan mengenai keyakinan hakim, sehingga tidak terlihat sistem pembuktian apa yang digunakan dalam Undang-undang terorisme. Namun, dengan menggunakan penafsiran secara a contrario terhadap prinsip lex specialis derogat lex generalis, ketentuan mengenai sistem pembuktian dalam Undang-undang terorisme menggunakan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu sistem perribuktian undang-undang secara negatif. Dengan demikian, hakim dapat memutus seseorang bersalah melakukan tindak pidana terorisme apabila dari dua alat bukti yang sah Ia memperoleh keyakinan kalau terdakwalah yang melakukan tindak pidana terorisme tersebut.

Alat-Alat Bukti dan Kek uatan Pembuktian 1. Keter angan Saksi

Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi. pengecualian menjadi saksi tercantum dalam Pasal 86 KUHAP berikut:

1. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dan terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;

2. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan, dan anak-anak suadara terdakwa sampai derajat ketiga;

3. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

Dalam Pasal 185 ayat (5) KUHAP dinyatakan bahwa baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi. Di dalam penjelasan Pasal 185 ayat (1) dikatakan. “Dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu”. Dengan demikian, terjawablah dengan tegas bahwa keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain bukanlah alat bukti sah. Keterangan demikian berupa keterangan saksi yang mendengar orang lain mengatakan atau menceritakan sesuatu, atau apa yang di dalam ilmu hukum acara pidana disebut testimonium de auditu atau hearsay evidence.

Menurut KUHAP, “keterangan satu saksi bukan saksi”, hanya berlaku bagi pemeriksaan biasa dan pemeriksaan singkat, tidak berlaku bagi pemeriksaan cepat. Hal ini dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 184 KUHAP sebagai berikut.

“Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah”.

Jadi, ini berarti satu saksi, satu keterangan ahli, satu surat, satu petunjuk, atau keterangan terdakwa disertai keyakinan hakim cukup

sebagai alat bukti untuk memidana terdakwa dalam pekara cepat. Acara pemeriksaan cepat ini terbagi dua, yang pertama mengenai acara pemeriksaan tindak pidana ringan dan yang kedua acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan.

2. Keter angan Ahli (Verklaringen Van Een Deskundige; Expert Testimony)

Keterangan seorang ahli disebut sebagai alat bukti pada urutan kedua oleh Pasal 183 KUHAP. Keterangan ahli sebagai alat bukti tersebut sama dengan Ned. Sv. dan hukum acara pidana modem di banyak negeri.

Apakah yang disebut ahli? Dan apakah itu keterangan ahli sebagai alat bukti? KUHAP hampir tidak menjawab ini Pasal 186 menyatakan bahwa keterangan seorang ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Jadi, pasal tersebut tidak menjawab siapa yang disebut ahli dan apa itu keterangan ahli. Pada penjelasan pasal tersebut juga tidak menjelaskan hal ini Dikatakan sebagai berikut.

“Keterangan seorang ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum maka pada pemeriksaan di sidang diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim”.

Keterangan ahli berbeda dengan keterangan saksi, tetapi sulit pula dibedakan dengan tegas. Kadang-kadang seorang ahli merangkap pula sebagai saksi. Menurut Pasal 160 ayat (3) KUHAP menjelaskan bahwa saksi wajib mengucapkan sumpah, tanpa menyebutkan ahli. Tetapi pada Pasal 161 ayat (1) dikatakan: “Dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji.“ Di sinilah dapat dilihat bahwa ahli yang dimintai keterangannya tersebut harus mengucapkan sumpah atau janji. Pada penjelasan ayat (2) pasal tersebut dikatakan: “Keterangan saksi atau ahli yang tidak disumpah atau mengucapkan janji, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah,’ tetapi hanyalah merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim”.

Isi keterangan seorang saksi dari ahli berbeda. Keterangan seorang saksi mengenai apa yang dialami saksi itu sendiri sedangkan keterangan seorang ahli ialah mengenai suatu penilaian mengenai hal-hal yang suda nyata ada dari pengambilan kesimpulan mengenai hal-hal itu.

Patut diperhatikan bahwa KUHAP membedakan keterangan seorang ahli di persidangan sebagai alat bukti “keterangan ahli” yang terdapat dalam Pasal 186 KUHAP dan keterangan seorang ahli secara tertulis di luar sidang pengadilan sebagai alat bukti “surat” yang terdapat dalam Pasal 187 huruf c KUHAP.

Contoh yang paling baik untuk yang tersebut kedua ini ialah visum etrepertum yang dibuat oleh seorang dokter.

Alat Bukti Surat

Selain Pasal 184 yang menyebut alat-alat bukti maka hanya ada satu pasal saja dalam KUHAP yang mengatur tentang alat bukti surat yaitu Pasal 187. Pasal itu terdiri atas 4 ayat :

1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu;

2. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;

4. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dan alat pembuktian yang lain

Karena KUHAP juga tidak mengatur hal yang demikian, maka sesuai dengan jiwa KUHAP, kepada hakimlah diserahkan pertimbangan tersebut. Dalam hal ini hanya akta autentik yang dapat dipertimbangkan, sedangkan surat di bawah tangan seperti dalam hukum perdata tidak dipakai lagi dalam hukum acara pidana.

Tetapi selaras dengan bunyi Pasal 187 huruf d, maka menurut pendapat penulis, surat di bawah tangan ini masih mempunyai nilai jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Contoh: keterangan saksi yang menerangkan bahwa ia (saksi) telah menyerahkan uang kepada terdakwa. Keterangan ini merupakan satu-satunya alat bukti di samping sehelai surat tanda terima (kwitansi) yang ada hubungannya dengan keterangan saksi tentang pemberian uang kepada terdakwa cukup

sebagai bukti minimum sesuai dengan Pasal 183 KUHAP dan Pasal 187 huruf d KUHAP.

3. Alat-Alat Buk ti Petunjuk

Petunjuk disebut oleh Pasal 184 KUHAP sebagai alat bukti yang keempat. Hal ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung yang telah menghapus petunjuk sebagai alat bukti.

Petunjuk dihapus sebagai alat bukti sebagai inovasi dalam hukum acara pidana karena menurut Van Bemmelen petunjuk (aanwtjzing) sebagai alat bukti tidak ada artinya. Katanya: Maar de voornaamste fout was toch, dat de aanwijzingen niet waren als een bewijsmiddel werden beschouwd, terwjil zij het in wezen yang artinya ”Tetapi kesalahaan utama ialah bahwa petunjuk-petunjuk dipandang sebagai suatu alat bukti, padahal pada hakikatnya tidak ada.”

Pasal 188 ayat (1) KUHAP memberi definisi petunjuk sebagai berikut.

“Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”.

Berdasarkan Pasal 188 ayat (3) KUHAP yang mengatakan:

“Bahwa penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.”

Di sini tercermin bahwa pada akhirnya persoalannya diserahkan kepada hakim. Dengan demikian, menjadi sama dengan pengamatan hakim sebagai alat bukti. Apa yang disebut pengamatan oleh hakim (eigen warrneming van derechier) harus dilakukan selama sidang, apa yang telah dialami atau diketahui oleh hakim sebelumnya tidak dapat dijadikan dasar pembuktian, kecuali kalau perbuatan atau peristiwa itu telah diketahui oleh umum.

4. Alat Bukti Keterangan Ter dakwa

KUHAP jelas dan sengaja mencantumkan “keterangan terdakwa” sebagai alat bukti dalam Pasal 184 huruf c. Didalam KUHAP tidak menjelaskan apa perbedaan antara “keterangan terdakwa” sebagai alat bukti.

Keterangan terdakwa tidak perlu sama dengan pengakuan, karena pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat-syarat berikut:

a. Mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan. b. Mengaku ia bersalah.

Keterangan terdakwa sebagai alat bukti dengan demikian lebih luas pengertiannya dari pengakuan terdakwa.

D. Simons agak keberatan mengenai hal ini, karena hak kebebasan terdakwa untuk mengaku atau menyangkal harus dihormati. Oleh sebab itu, suatu penyangkalan terhadap suatu perbuatan mengenai suatu keadaan tidak dapat dijadikan bukti.

Tetapi suatu hal yang jelas berbeda antara “keterangan terdakwa” sebagai alat bukti dengan “pengakuan terdakwa” ialah bahwa keterangan terdakwa yang menyangkal dakwaan, tetapi membenarkan beberapa keadaan atau perbuatan yang menjurus kepada terbuktinya perbuatan sesuai alat bukti lain merupakan alat bukti.16

2.2 Sistem Pembuktian Dalam Pengungkapan Tindak Pidana ter or isme Menur ut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Teror isme

Beberapa undang-undang pidana yang memiliki aspek formil juga mengatur mengenai alat bukti tersendiri. Meskipun demikian, secara umum alat bukti yang diatur dalam undang-undang pidana formil tersebut tetap merujuk pada alat bukti yang diatur dalam KUHAP. Undang-Undang Tentang Terorisme selain mengatur tentang pidana material yaitu tentang macam pidana yang diklasifikasikan sebagai terorisme atau unsur tindak pidana terorisme juga mengatur aspek formil atau acara dari pidana terorisme tersebut. Dalam sub bab ini yang akan dibahas secara khusus adalah terkait dengan alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang Tentang Terorisme. Di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2002 Bab III Pasal 27 meliputi:

1. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;

2. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan

3. Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada

16

1) Tulisan, suara, atau gambar;

2) Peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;

3) Huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya

Penggunaan bukti digital dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003, terlihat pada Pasal 27 tersebut. Dalam Pasal 27 UU Terorisme dinyatakan yang dapat menjadi alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme adalah alat bukti sebagaimana dalam Hukum Acara Pidana (merujuk pada KUHAP) dan terdapat dua alat bukti lainnya yang merupakan alat bukti digital.

Dalam hal ini posisi hukum pembuktian seperti biasanya akan berada dalam posisi delematis sehingga dibutuhkan jalan-jalan kompromistis. Disatu pihak agar hukum selalu dapat mengikuti perkembangan jaman dan teknologi perlu pengakuan hukum terhadap berbagai jenis perkembangan teknologi digital untuk berfungsi sebagai alat bukti di pengadilan. Akan tetapi dilain pihak kecenderungan terjadi manipulasi penggunaan alat bukti digital oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab menyebabkan hukum tidak bebas dalam mengakui alat bukti digital tersebut bahkan mengikuti teori klasik dalam hukum pembuktian yang disebut dengan alat bukti terbaik (best evidence rule).

The Best Evidence Rule mengajarkan bahwa suatu pembuktian terhadap isi yang substansial dari suatu dokumen/photograph atau rekaman harus dilakukan dengan membawa dokumen/photograph atau rekaman asli tersebut. Yang dimaksud dengan data elektronik (data message) dalam hal ini adalah setiap informasi yang dihasilkan, dikirim,

diterima, atau disimpan dengan sistem elektronik, optikal atau dengan cara-cara yang serupa, termasuk tetapi tidak terbatas pada sistem pertukaran data elektronik (computer to computer), surat elektronik, telegram, teleks atau telekopi.

2.2.1 Sistem atau teor i Pembuktian Ber dasar kan Per atur an Per undang-undangan yang ber laku umum

Dalam menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada, dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian. Pembuktian yang didasarkan kepada alat-alat pembuktian yang disebut undang-undang, disebut sistem atau teori pembuktian berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku umum

Dikatakan berlaku umum, karena hanya didasarkan kepada undang-undang, Artinya, jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (formele bewijstheorie).

2.2.2 Sistem Atau Teor i Pembuktian Ber dasar kan Keyakinan Hak im.

Berhadap-hadapan secara berlawanan dengan teori pembuktian menurut undang-undang secara positif, ialah teori pembuktian menurut keyakinan hakim. Teori ini disebut juga conviction intime.

Disadari bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiri pun tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuan pun kadang-kadang tidak menjamin terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Oleh karena itu, diperlukan bagaimanapun juga keyakinan hakim sendiri.

Menurut D. Simons, sistem atau teori pembuktian berdasar undang- undang secara positif (positief wettelijk) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkisitor (inquisitoir) dalam acara pidana. Teori pembuktian ini ditolak juga oleh Wir jono Pr odjodikor o untuk dianut di Indonesia, karena katanya bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran selain dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat.

Bertolak pangkal pada pemikiran itulah, maka teori berdasar keyakinan hakim melulu yang didasarkan kepada keyakinan hati nuraninya sendiri ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Dengan sistem ini, pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang. Sistem ini dianut oleh peradilan juri di Prancis.

Sistem ini memberi kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi. Di samping itu, terdakwa atau penasihat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan. Dalam hal ini hakim dapat memidana terdakwa berdasarkan keyakinannya bahwa ia telah melakukan apa yang terdakwa Praktik peradilan juri di

Prancis membuat pertimbangan berdasarkan metode ini dan mengakibatkan banyaknya putusan-putusan bebas yang sangat aneh.

2.2.3 Sistem Atau Teor i Pembuktian Ber dasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis (Laconviction Raisonnee)

Sebagai jalan tengah, muncul sistem atau teori yang disebut pembuktian berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu (la conviction raisonnee). Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang dalam masalah berdasar keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi, keputusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi.

Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (vrije ewjstheorie).

Sistem atau teori pembuktian jalan tengah atau yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu ini terpecah kedua jurusan. Yang pertama yang tersebut di atas, yaitu pembuktian berdasar keyakinan atas alasan yang logis (laconviction raisonee) dan yang kedua ialah teori pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijstheorie).

Persamaan antara keduanya ialah keduanya sama berdasar atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah.

Perbedaannya ialah bahwa yang tersebut pertarna berpangkal tolak pada keyakinan hakim, tetapi keyakinan itu harus didasarkan kepada suatu kesimpulan (conclusive) yang logis, yang tidak didasarkan kepada undang-undang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang ia akan pergunakan. Sedangkan yang kedua berpangkal tolak pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang, tetapi hal itu haruss diikuti dengan keyakinan hakim.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa perbedaannya ada dua, yaitu yang pertama pangkal tolaknya pada keyakinan hakim, sedangkan yang kedua pada ketentuan undang-undang. Kemudian, pada yang pertama dasarnya ialah suatu konklusi yang tidak didasarkan undang-undang, sedangkan pada yang kedua didasarkan kepada ketentuan undang-undang yang disebut secara limitatif.

2.2.4 Beban Pembuktian

Beban pembuktian adalah kewajiban yang dibebankan kepada suatu pihak untuk memberikan suatu fakta di depan umum demi membuktikan fakta tersebut di depan hakim yang sedang memeriksa kasus tersebut di persidangan. Dalam hukum acara

pidana pasal 184 dikenal tiga macam beban pembuktian, yaitu sebagai berikut.

2.2.5 Beban Per nbuktian Biasa.

Beban pernbuktian ini, berlaku prinsip siapa yang mendalilkan maka ia harus membuktikan. Beban pembuktian semacam ini biasa digunakan pada tindak pidana umum, dimana Penuntut Umumlah yang dibebani kewajiban untuk membuktikan. Seorang Jaksa Penuntut Umum harus membuktikan kebenaran dakwaan terhadap terdakwa yang Ia tuliskan dalam surat dakwaan. Sedangkan, bagi terdakwa ia tidak dibebani dengan beban pembuktian. Beban pembuktian seperti ini merupakan konsekuensi dari asas praduga tidak bersalah dan prinsip non-self incrimination, yaitu hak tersangka / terdakwa untuk tidak rmempersalahkan diri sendiri.

2.2.6 Beban Pembuktian Ter balik Ter batas atau Ber imbang

Beban pernbuktian seperti ini, kewajiban pernbuktian

Dokumen terkait