• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNDANGAN MENARI 1)

Dalam dokumen PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SAST (Halaman 26-45)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

UNDANGAN MENARI 1)

a. Satuan Peristiwa UNDANGAN MENARI 1)

Namanya sederhana, Gendhis. Nama itu cukup mewakili wajahnya yang manis. Sehingga banyak Gus-Gus kolega bapaknya yang sudah tertarik melamar sekalipun simanis belum begitu matang. Manis wajah Gendhis mungkin diturunkan dari ibunya, Sulis. Dulu si ibu seorang santriwati yang sempat menjadi pujaan para santri, sebelum Gusnur, sang Guru menikahinya di usia yang baru belasan tahun “pernikahan ini tak lain kecualiuntuk mencari berkah Tuhan”. Sebuah kalimat yang teramat sering diceritakan kembali oleh Sulis pada Gendhis sebagai sebuah hal yang paling romantic dalam hidupnya, manakala Gendhis beranjak tidur. Dalam usia yang belum mematang, Gendhis tak tahu apa artinya cerita ibunya, yang kadang-kadang lebih bertindak sebagai kakaknya itu.

2)

Semua berjalan baik-baik saja sampai suatu saat yang tak di duga-duga dating seperti senjakala dan senjakala itu datang dari sebuah surat panggilan dari kelurahan untuk menghadap esok hari pukul delapan.

“Nek dikon nari maneh ojo gelem. Ojo nganti gelem. Bapa ora bakal ridho. Ora bakal tak pangestoni. Arep dideleh ngendi raine bapak iki? Ngisin-ngisini. Wong anake Gusnur, kyai sing duwe pasantren gede, ko megal-megol, njogat-njoget neng ngarepe wong akeh. Dosa kowi. Tur opo kowe ora isin karo Gus Ilham, bakal bojomu? Wong sesasi engkas wis arep dilamar ko sih nari wae. Pokoke ojo gelem”

( Kalau disuruh menari lagi jangan mau. Jangan sampai mau. Bapak tidak akan meridhoi. Tidak akan ku restui. Mau ditaruh dimana muka bapak ini ? memalukan. Anaknya Gus Nur, kyai

pemilik pesantren besar, ko berlenggak-lenggok menari di depan orang banyak. 26

27 Itu dosa, dan lagi apa kamu tidak malu dengan Gus Ilham, calon suamimu? Sebulan lagi sudah mau dilamar kok masih menari saja. Pokonya jangan mau.)

Gendhis memang suka menari. Sangat suka. Gandrung tempatnya. Dia seakan menemukan dirinya yang bebas, dirinya yang merdeka, saat menari. Satu hal yang dia tidak temukan dalam setiap aturan dan ajaran pesantren. Dan kegandrungan itu yang membuatnya tak acuh terhadap semua larangan orang tuanya saat dia pamit hendak menari. Hanya sesekali saja ibunya sedikit mau mengerti. (Tidak sulit kiranya bagi Sulis untuk sejenak mengingat bagaimana kondisinya sendiri saat tujuh tahun silam, untuk mencoba kengototan Gendhis, anak semata wayangnya untuk menari). Gendhis akan tetap menari dengan atau tanpa ijin orangtuanya. Ada dua tarian yang sangat dia suka dan hapal. Tari lumbung desa dan tari genjer-genjer. Adalah pengalaman yang tak terlupakan ketika setahun yang lalu dia di undang untuk menari dibalai kota. Saat itu tepat pada hari ulang tahunnya yang ketiga belas. Saat itu dengan penuh semangat dia menceritakan pengalaman itu kepada semua orang. Yang dijumpainya setelah usai menari. Dan kini dia dipanggil kelurahan. Bapaknya yang mengira itu adalah undangan untuk menari dengan tegas mewanti-wanti agar tidak berangkat.

4)

Tapi gendhis tetap berangkat. Sampai dia tahu bahwa panggilan kelurahan itu bukanlah untuk menawarinya menari lagi.

5)

“sini duduk dahulu” kata pak Lurah “ini segera diisi terus dikumpulkan. Di tumpuk disini sekalian menunggu teman-teman lainnya”.

6)

Entah kenapa suasana terasa begitu tegang. Tidak ada yang mencoba bicara seorang pun. Semua diam.

28 7)

Kemudian beberapa orang terlihat dating, dan mereka adalah teman-teman Gendhis menari. Hati Gendhis pun agak tentram. Tapi ketegangan tidak juga bisa terusir dari ruangan itu. Mereka juga tidak berani saling menyapa apalagi berbincang. Semua diam. Sampai terkumpul sejumlah kantor kelurahan. Truk itu kosong. Hanya ada serombongan orang seragam yang belakangan baru diketahui Gendhis bahwa mereka anggota CPM.

Suasana sempat sedikit gaduh sampai seorang CPM itu masuk ruangan dengan cukup keras tepat di depan pintu. Dan suasana kembali hening. Rasa tentram kembali hilang dari hati Gendhis. Satu persatu nama di panggil dan di suruh naik ke truk. Tak ada apapun yang bisa di baca dari raut muka Gendhis. Hanya mata yang sedikit memerah namun pandangannya terlihat kosong. Seketika dikepala Gendhis terbayang sosok tegap tak begitu tinggi, memakai sorban. Sosok bapaknya, umurnya kisaran empat puluh lima tahunan: hampir setengah abad. Sosok itu berkata, “pokoke ojo gelem!”

“Kamu pernah ikut-ikutan merakit pistol?” Mboten, pak.

“Benar?” Saestu, pak.

“Sering ikutan menari?” Nggih tumut…

“Dimana saja?”

Teng dusun kulab, pak. Teng dusun tetanggi gih tumut. ( Di desa saya pak. Di desa tetangga juga )

29 9)

Sebuah tamparan telak mengenai pipi kiri Gendhis. Gendhis kaget setengah mati. Rasa panas di pipinya tidak apa-apa disbanding keka getarnya. Dan itu adalah pembuka dari tamparan-tamparan berikutnya. Namun tak ada yang meleleh dari mata lentik Gendhis. Setetes pun tak ada. Hanya beberapa tetes yang meleleh dan bukan pada mata, melainkan dari hidung dan bibirnya. Bukan air yang bening melainkan cairan yang berwarna merah.

10)

Serombongan orang termasuk Gendhis, telah mengambil jatahnya. Beberapa dari mereka telah mengambil napas panjang lega mungkin terbayang bahwa drama telah usai. Tapi tidak, rombongan itu lalu digiring ke sebuah kamar kosong. Dipisah antara laki-laki dan perempuan, dimasukan pada ruang yang juga terpisah. Di suruh baris. Masing-masing orang dijaga tiga empat petugas CPM. Lalu semua orang disuruh melepas seluruh baju mereka. Semua bugil. Beberapa ada yang menolak dan harus kembali mengambil jatah tamparan, sebelum akhirnya baju mereka di lepas. Putus tali kutang. Robek celana dalam. Bugil semua.

11)

Mereka tak henti berkeliling. Mencari cap gerwani, kata para petugas itu. Mereka sambil berkeliling sambil tangan tak henti hampir di payudara atau kemaluan tahanan. Sesekali sundutan rook atau pecutan menyapa paha, lengan atau punggung Gendhis bergeming. Diam saja. Wajahnya juga teramat datar dalam situasi seperti itu. Hanay sesekali wajah putih mungil itu mengernyit aneh tat kala tubuh mungilnya yang mulai ramun itu diraba-raba sedemikian rupa oleh tangan-tangan kekar tak dikenalnya. Dan adegan itu selesai juga setidaknya untuk kali ini. Jarum jam menunjuk angka empat. Hari mulai petang.

30 12)

Hari-hari kemudian pada akhirnya adalah hari-hari yang berulang. Tamparan yang berulang, pertanyaan yang berulang. Sehingga Gendhis menjadi begitu hapal jawaban yang harus dia jawab sesuai dengan keinginan mereka. Seringkali kalimat-kalimat Gendhis melafalkannya sebelum tidur.

13)

Sebagaimana hari-hari biasanya, pada suatu pagi Gendhis dan para tahanan wanita lainnya disuruh berbaris di lapangan. Nama-nama disebutkan. Rupanya ada pengecekan ulang tahanan karena ada pergantian kepala sipir. Pak Rahmat, nama kepala sipir baru yang bertugas menjaga blok –F- tiga, blok dimana Gendhis ditahan nama itu takan pernah mampir dalam ingatan Gendhis, sampai suatu saat sebuah peristiwa terjadi saat namanya di panggil dan Gendhis menjawab memberi mengacungkan tangan, kepala sipir itu mendekat. “Anna barang apik ta jebelu” ( Ada barang bagus rupanya ) Kalimat itu meluncur dari bibir berkumis tebal itu sembari tangan kekarnya menepuk pantat Gendhis dengan keras.

14)

Setelah kejadian itu, semua kembali ke semula, tak ada bedanya. Berkumpul di ruang pemerikasaan. Diteranjangi, digeranyangi, disundut, ditanyai,dibentak-bentak, tak ada bedanya.

Sampai tiba-tiba seseorang dari sipir itu berkata “ Laku kowe netuk!” (laku kamu nak!). seringal wajahnya itu di susul pelintiran keras di putting Gendhis. Teramat keras sedemikian keras sehingga untuk pertama kalinya dalam tahanan, Gendhis menangis. Gendhis menangis meraung keras sembari memegang putingnya yang membiru saat kumpulan sipir itu pergi keluar ruangan sambil tertawa.

31 15)

Tak lama setelah itu pak Rahmat Masuk ruangan. Gendhis tak peduli. Gendhis lebih peduli pada sakit yang teramat sanagt pada putting payudaranya yang kini membiru. Namun seketika Gendhis menjadi peduli manakala dilihatnya pak Rahmat meninggalkan seragamnya satu persatu. Seringai senyum di bibirnya yang berkumis terlihat dingin, namun Nampak jelas memendam berahi. Lalu pakaian yang melekat di tubuh laki-laki itu semuanya tanggal. Yang tertinggal hanyalah singlet. Sebuah pemandangan yang tentunya tak biasa bagi Gendhis. Sebuah benda besar menengadah dengan jumawanya. Penis itu menenggang , laki-laki itu merangsek tak ada yang bisa dilakukan Gendhis selain meronta dan berontak . Sekalipun dia sadar bahwa tenaganya makin lama makin habis. Terus berontak terus meronta. Tetapi ada yang terasa lain di selangkangannya. Seperti hasrat ingin kencing. Tapi ini beda dan tatkala keperawanannya hanya kurang sekali rengkuh saja tercabut darinya, laki-laki itu memekik “asu” lalu laki-laki itu meludahi Gendhis.

16)

Gendhis awalnya tidak menyadari apa yang terjadi, baru kemudian ketika laki-laki biadab itu pergi meninggalkannya. Gendhis baru sadar apa yang sedang ditimpanya, ia menstruasi. Dan kelak kemudian, menstruasi itu tidak berhenti selama 4 bulan. Mungkin siksaan yang dialaminya membuat menstruasinya dating dengan sangat menyakitkan dan begitu lama.Tapi menstruasi itu pula yang menyelamatkannya dari upaya pemerkosaan setidaknya untuk sementara.

Setelah kejadian itu Gendhis makin pendiam tak ada lagi tawa, tak ada lagi tangis,cukup senyum sekadarnya. Hampir tak ada yang mampu mengajaknya berbincang.. Yang ada hanyalah dialog-dialog seadanya dalam rutinitas keseharian penghuni tahanan. Kalau ada pun yang bisa membuat Gendhis bisa sedikit membuka suara itu hanya kepada satu orang.

32 Romo Gagas, dia salah satu pengurusDiakonia. Lembaga social milik jemaah katholik , sekaligus relawan yang menyalurkan bantuan secara rutin kepada para tahanan seperti Gendhis. Sabun , handuk, dan kebutuhan sehari-hari, para tahanan dipasok setiap dua minggu sekali. 18)

Romo Gagas mengenal Gendhis ketika pertama kali memberikan bantuan, hampir semua tahanan tersebut. Sedang Gendhis dengan pandangan kosongnya tetap mematut diri diujung kamar. Sejak saat itu Romo Gagas mulai perhatian dengan Gendhis. Selalu mengajaknya berbincang sekalipun sering tidak dihiraukan oleh Gendhis. Romo juga yang selalu menemani Gendhis tak kala jatah kunjungan Gendhis selalu berakhir hampa. Ya, tak pernah ada yang menjenguk Gendhis.

19)

Lagi-lagi hari-hari ditahanan adalah hari-hari yang selalu, terus dan terus menerus berulang. Penerayangan, penelanjangan, penyiksaan, segepok pertanyaan dan jawaban yang telah hafal diluar kepala. Selalu berulang. Selalu dan selalu. Hanya stu adegan yakni percobaan pemerkosaan oleh kepala sipir yang tidak berulang. Gendhis yang membatu jiwanya, setidaknya masih mau mengucap rasa syukur kepada Tuhan untuk hal yang satu itu. Namun jiwanya yang membatu itu perlahan mulai mencair, oleh segala perhatian Romo Gagas dan kawan-kawannya, bagai segarnya percik air pegunungan yang mampu menggerus batu sebesar apapun.

20)

Tiga belas tahun sudah Gendhis dalam tahanan. Hari-hari yang berulang tetap saja berulang, menggerus waktu yang seakan makin suram. Tapi setidaknya keberulangan itu dirasakan Gendhis sedikit berbeda. Setidaknya Romo Gagas mampu memaksanya untuk memperbanyak kata-kata yang diucapkan tiap harinya. Derai tawa juga sesekali terdengar. Senyumpun semakin sering mengembang. Meski tak jarang pula Gendhis murung dan mematung.

33 21)

Tapi rentetan pemeriksaan seperti tidak ada habisnya. Seperti hanya itulah hal-hal yang masih selalu membuat hati Gendhis agak kecut. Apapun bisa terjadi dalam sebuah pemeriksaan. Sampai suatu saat…

” Kowe pengen bebas?”

Gendhis diam saja dan secara otomatis beberapa tamparan menyapa pipinya. “ Kowe pengen bebas,ora?”

Gendhis tetap diam. Tamparan dan tamparan kembali menyapa. “Asu! Kowe bisu ? nantang kowe?!”

Seketika tangan-tangan kekar itu berebut membetot segala pakaian yang digunakan Gendhis. Daster, beha, celana dalam, habis sudah. Bugil. Gendhis diam saja. Bukan yang pertama kalinya memang. Hal seperti itu sudah menjadi bagian dari kehidupan yang dijalaninya.

22)

Dari belakang terdengar suara berisik, “kamu mau bebaskan, ndhuk?” sepertinya suara itu taka sing. Cukup lama terpendam dalam ingatan namun tercetak teramat jelas. Sama sekali tuk terlupakan. Namun sebelum Gendhis mengingat-ngingat, sejulur tangan sudah menggaet puting susunya dari belakang lewat celah ketiaknya. Sedang sebilah tangan lagi terasa mulai memainkan bulu-bulu kemaluannya. Sejulur kemudian kumis tebal sudah hinggap dan dengan ganas mencumbu tengkuknya. Gendhis hanya diam dan perlahan menangis. Tak keras. Hanya sesenggukan, sedikit tertahan. Dalam pandangan yang mulai berkunang-kunang, dia masih bisa melihat pase sipir itu melucuti seragamnya. Selepas itu, Gendhis tak ingat lagi. Dia hanya merasa dirinya menjadi sajian sesembahan yang dipersembahkan pada sang raja. Manakala raja telah puas dan kenyang, maka sisanya dilahap habis oleh prajuritnya. Selebihnya, hanya satu yang dikeluhkan Gendhis sakit teramat diselangkangannya.

“Gendhis mau pulang kemana?” tanya romo Gagas. “rumah,” jawab Gendhis. Singkat.

34 “tak ada yang menjemput?”

Gendhis tidak menjawab.

“maaf. Tapi kalau ada apa-apa, jangan sungkan-sungkan datang ke asrama.” Gendhis melangkah ke arah barat. pulang.

Gendhis berhenti tak menengok. “perlu aku antar?”

Gendhis tak menjawab. Langsung melanjutkan langkahnya. Pulang. 23)

Pintu kamar di buka dengan cepat. Cukup mengagetkan. Seorang laki-laki tua yang mulai kehilangan tegap hidupnya mengeluarkan suaura serak. “berapa kali kau melayani para sipir itu?”

24)

Gendhis diam. Tak menengok. Hanya mata yang sesaat melotot. Lalu nanar dan memerah. Tak ada tetes air atau bahkan genangan dipelupuk. Cengkuram tangan Sulis, ibunya, yang memang sedari tadi dia genggam.

“kau sudah tidak suci lagi.kan?!” “pak!” Sulis mencoba mencela.

“dari semalam bapak sudah punya pirasat, kamu akan pulang hari-hari ini dan sejujurnya, bapak tak ingin kamu pulang…

“pak suara Sulis seketika tercekat.

“Gus hafidz sudah cerita, kemarin serombongan tetangga yang ditangkap seperti Gendhis. Telah bebas. Pembebasa tentunya tidak secara tiba-tiba seperti itu. Dan akhirnya Gus Hafidz baru tahu, ada paket special untuk paket pembebasan itu. Mereka membayar pembebasan itu dengan cara melayani para sipir!”

25)

35 Suasana sempat senyap. Hening dalam beberapa ketukan.

“kiranya benar tentang potret-potret yang ada di Koran itu. Wanita-wanita gerwani yang gemar menjilati kemaluan para pria beramai-ramai dan anaku ternyata juga bagian dari mereka!

26)

Gendhis masih tetap diam. Mematung tak ada tetes air meleleh dari raut muka cantiknya yang kuyu. Wajahnya tetap dingin. Datar.

“lis, besok segera hubungi abah mansyur di tuban. Kita akan menitipkan gendhis disana.”

“informasi bapak kurang lengkap,” seketika ghendis memotong kata-kata bapaknya, lalu melanjutkan,” para telik sandi bapak itu, gus hafidz,gus idham atau gus-gus lainnya, yang selalu dan selalu membenci , mengutuk dan melaknat orang-orang seperti saya, masih kurang dalam memberi informasi kepada bapak.”

27)

Suara gendhis terdengar keras namun tetap datar. Sejenak bapak dan ibunya terperangah. “aku bahkan bukan hanya telah kotor, tidak suci lagi, tidak perawan lagi. Tidak hanya itu. Bapak tahu? Di perut ini, kini telah meringkuk calon seorang calon bayi.anak haram, tentunya. Dan bapak tak perlu mengusir ku. Tak perlu membuangku. Aku yang akan pergi.”

28)

Selang beberapa saat kemudian,gendhis benar-benar pergi. Menghampiri takdirnya sendirinya sendiri. Hidup telah memberinya banyak hal. Tentang kesewenang-wenangan dan tentang benteng yang harus di bangun nya.dia hanya mau percaya pada dirinya sendiri.sepenuhnya.

b. Tahapan Alur

1) Permulaan

Namanya sederhana, gendhis. Nama itu cukup mewakili wajahnya,manis. Sehingga banyak gus-gus kolega bapaknya yang sudah tertarik melamar sekali pun si manis belunm begitu matang. Manis wajahnya gendhis diturunkan dari ibunya yaitu sulis. Dulu si ibu seorang

36 santriawati yang sempat menjadi pujaan para santri, sebelim gus nur, sang guru, menikahinya di usia yang baru belasan tahun.

2) Pertikaian

Gendhis menerima surat dari kelurahan untuk menawarinya menari. Tapi bapaknya yang mengira itu adalah undangan-undangan untuk menari,dengan tegas mewanti-wanti agar tidak berangkat.

3) Perumitan

Gendhis di tahan bersama teman-temannya, dia dibawa keruangan kosong. Di pisah antara laki-laki dan perempuan. Masing-masing orang di jaga tiga sampai empat petugas CPM. Lalu disuruh melepaskan seluruh pakaian mereka sampai semuanya bugil. Mereka di tanyai berulang-ulang di siksa terus menerus dan di orek-orek seluruh anggota tubuh mereka.

4) Klimaks

Dalam pandang yang berkunang-kunang, dia masih bisa melihat para sipir itu melucuti seragamnya. Telanjang, selepas itu. Gendhis tak ingat lagi. Dia hanya merasa seperti sesembahan

yang di sembahkan kepada sang raja. Manakala raja sudah puas sisanya untuk anak buahnya. Selebihnya hanya satu yang dikeluhkan gendhis : sakit teramat sangat di selengkangannya.

5) Akhir

Gendhis di pulangkan kerumahnya dan serombongan teman dan temannya yang di tangkapnya telah bebas.

selang beberapa saat kemudian, Gendhis pergi meninggalkan rumahnya. Menghampiri takdirnya sendiri. Hidup telah mengajarinya banyak hal. Tentang swenang-wenang dan tentang benteng yang harus dibangunnya. Ia hanya mau percaya kepada dirinya sendiri. Sepenuhnya.

6) Jenis-Jenis Konflik

a) Konflik Manusia dengan Manusia

Sebuah tamparan telak mengenai pipi kiri Gendhis. Gendhis kaget setengah mati. Rasa panas di pipinya tidak apa-apa sebanding kekagetannya.

“kamu sudah tidak suci lagi, kan?”

37 “pak!” Sulis menyela

“dari semalam bapak bapak sudah punya pirasat, kamu akan pulang hari ini. Dan sejujurnya, bapak tak ingin kamu pulang…”

“pak!” suara Sulis seketika tercekat. b) Konflik Manusia dengan Tuhan

Gendhis yang membantu jiwanya, setidaknya masih mau mengucap syukur kepada Tuhan untuk satu hal itu. Pada kutipan diatas terjadi hubungan konflik manusia dengan tuhan.

7) Tokoh atau Perwatakan

Dalam cerpen undangan menari karya taufan sukma melukiskan keadaan seorang tokoh gendhis yang cantik dan lugu yang memiliki hobi menari, sayangnya dia terlalu berburu mengambil keputusan tanpa mendengarkan nasihat kedua orangtuanya, akhirnya Gendis mengikuti sekelompok gus-gus kolega atau anggota CPM dalam suatu kelompok yang konon katanya aka nada komunitas menari, ternyata itu hanya fiktif belaka yang akhirnya para wanita tersebut di sekap dan siksa. Tokoh dalam cerpen tersebut adalah :

a) Gendhis

Memiliki sifat egois tidak mau menuruti kedua orangtuanya, akibatnya dia salah mengikuti sebuah komunitas menari, sedangkan Gendhis wanita lugu.

b) Sulis (Ibunya Gendhis)

Memiliki sifat bijaksana dan khwatir terhadap anaknya. c) Gus Nur (Ayahnya Gendhis)

Memiliki sifat bijaksana dan baik. d) Gus Ilham (Calon Suami Gendhis)

Tidak konsisten akan pilihannya. e) Pak Lurah

Bijaksana f) Anggota CPM

Jahat atau antagonis g) Kepala sipir

Jahat atau antagonis

38 h) Gus Hafidz

Jahat i) Gus Idham

Jahat

8) Latar Dalam Cerpen Tersebut

a) Tempat atau Ruang (1) Kelurahan

Gendhis menceritakan pengalaman itu pada semua orang yang dijumpainya setelah usai menari. Dan kini dia dipanggil ke kelurahan.

(2) Kamar kosong

Rombongan itu digiring kesebuah kamar kosong. (3) Lapangan

Sebagaimana hari-hari biasa, pada suatu pagi Gendhis dan para tahanan wanita lainnya disuruh berbaris di lapangan.

(4) Ruang pemeriksaan

Setelah kejadian itu, segala sesuatu kembali kesemula, tak ada bedanya. Berkumpul di ruang pemeriksaan.

(5) Kamar tahanan

Tak ada lagi tangis. Cukup senyum sekedarnya untuk menimpali pembicaraan teman-teman sekamarnya menjelang tidur.

b) Waktu (1) Petang

Jarum jam menunjuk angka empat. Hari mulai petang. (2) Pagi

Pada suatu pagi Gendhis dan temannya dikumpulkan di lapangan. (3) Malam

Gendhis cukup senyum sekedarnya untuk menimpali pembicaraan teman-temannya sebelum menjelang tidur.

39 9) Gaya Plot

Cerpen disini menggunakan jenis plot simple plot / single plot. Karena cerpen disini memiliki satu alur cerita dan satu konflik yang bergerak dari awal sampai akhir. Simple plot ini bersifat circural, dimana alur cerita bergerak dari awal sampai akhir. Sedangkan simple plot disini menggunakan tipe linear. Yang dimaksud dengan linear adalah mengalir secara garis lurus bergerak dari awal sampai akhir. Jenis konflik disini ada dua yaitu konflik manusia dengan manusia dan konflik manusia dengan Tuhannya.

a) Jenis Plot

Simple plot/ Single plot (1) Titik Kisah

Titik kisah dalam cerpen tersebut menggunakan pandangan persona orang ketiga

“Dia” serba tahu. Pengarang mengetahui watak dan karakter tokoh dan pada cerpen ini jelas sekali si pengarang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama atau kata gantinya ia, dia, mereka.

2. Lapis Makna (Ekstrinsik)

a) Pembayangan Apa yang Akan Terjadi ( Foreshadowing ) Pada Peristiwa Ke 28

“aku bukan hanya telah kotor, tidak suci lagi tidak perawan lagi.” Dari penggalan cerita tersebut bayangan yang akan terjadi memungkinkan kedua orang tua gendhis yang telah membesarkannya hingga dewasa, tetapi sayangnya gendhis tidak mematuhi kedua orang tuanya sehingga dia masuk kejalur yang salah. Kekecewaan kedua orang tuanya melihat gendhis yang sudah tidak perawan lagi, bahkan telah merengkuk calon seorang bayi dari hasil pemerkosaan para sipir. Dan memungkinkan gendhis akan diusir atau bahkan dia yang akan pergi tanpa di usir

Dalam dokumen PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SAST (Halaman 26-45)

Dokumen terkait