KONSEP KEBENARAN, RELATIVISME DAN PLURALISME AGAMA
D. Unitas Kebenaran dan Pluralitas Pemahaman
Meskipun secara rasional kita menerima kenyataan adanya pluralitas agama dan berbagai tawaran jalan keselamatan eskatologis, namun setiap orang beragama selalu dituntut untuk menerima, mengakui dan menyakini bahwa hanya jalan keselamatan miliknya yang paling benar. tanpa adanya keyakinan yang mantap dan sikap mengabsolutkan kebenaran imannya itu maka seseorang akan ragu dalam menjalani perintah agamanya dan bisa jadi dirinya merasa kurang kuat imannya, atau bahkan menilai dirinya sebagai orang yang setengah-setengah dalam beragama. Pendeknya, keimanan yang sehat dan menenteramkan adalah keimanan yang menutup diri dari perspektif perbandingan. Tanpa adanya keyakinan kuat bahwa jalan yang ditempuhnya adalah jalan lurus yang menghubungkan dirinya dengan Tuhan, maka seseorang sulit untuk memperoleh kekhusyuan dan pencerahan spiritual. Pengalaman iman pada akhirnya adalah pengalaman subyektif, yang kadangkala merupakan pengalaman dari sebuah pendaki terjal, berat dan penuh resiko untuk sampai pada taman pencerahan yang bertahun-tahun baru bisa diraihnya. Pada titik ini maka berbagai wacana teoritis yang disajikan oleh teologi dan disiplin ilmu-ilmu keagamaan sudah terhenti dan tak sanggup lagi menyertainya.
Puncak pencerahan ini sangat bisa jadi merupakan salah satu misteri pengalaman Muhammad sewaktu mi’raj di mana malaikat Jibril pun sayapnya terbakar sehingga tidak sanggup lagi menyertai sang Rasul menatap keindahan wajah sang kekasih. Hal serupa mungkin juga dialami oleh Shidarta Gautama atau Lao-Tse tokoh spiritual lain seperti Yesus sehingga dari diri mereka terpancar cahaya kebenaran Ilahi yang menerangi dan memberi ketentraman pada manusia sepanjang masa. Hanya saja, cahaya kebenaran Ilahi yang diterima oleh Radar Ruhani mereka sangat bening dan halus itu tidak mungkin diartikulasikan secara memadai oleh rangkaian huruf, deretan kata dan hujah ilmiah. Lebih dari itu, agar pesan Ilahi yang agung itu memiliki fungsi sosial secara efektif, maka harus diterjemahkan ke dalam etika sosial dan pranata-pranata ritual.19 Dan inilah yang lalu populer disebut sebagai lembaga agama.
19 Komarudin Hidayat dan Muhammad ahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial, (Jakarta: PT. Paramadina,1996), hlm. 130.
40 Salamah Eka Susanti, Konsep Kebenaran, Relativisme dan Pluralisme Agama (29-44)
Agama dalam level kedua ini sudah merupakan fenomena historis, relatif, tetapi bersumber dari yang absolut. Para Rasul Tuhan, yang artinya utusan/perantara, adalah mereka yang memiliki kualitas intelektual dan ruhani yang unggul, yang melakukan peran hermeneutika transendental. Artinya, ke atas mereka menangkap pesan Tuhan dan ke bawah pesan itu diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa dan kode etik yang bisa dipahami oleh umat dan masyarakatnya.
Apakah jalan untuk meraih kebenaran hanya dimonopoli oleh para Rosul Tuhan yang memperoleh wahyu dan mukjizat sehingga orang lain tidak memiliki akses ke sana? Para filsuf dan ahli sufi berpendapat bahwa setiap orang bisa mencapai maqam kenabian asalkan sanggup dan berhasil
mensucikan dirinya dan mempertajam mata hatinya. Hanya saja karena peradaban manusia berkembang secara evolutif dan kualitas manusia bertingkat-tingkat, maka setiap tempat dan zaman pasti muncul figur-figur sang penerang, yang pada zaman dahulu posisi tersebut diduduki oleh para Rasul Tuhan. Tetapi dengan diyakininya bahwa Tuhan tidak lagi mendekritkan bagi tampilnya seorang Rasul dengan kualifikasi dan tipologi nabi-nabi yang terdahulu, yang ditutup oleh Muhammad saw. maka sesungguhnya lowongan dan tuntutan peran kenabian semakin besar dan terbuka bagi mereka yang telah mencapai maqam (kedudukan)
tertentu. Jika untuk memperoleh pengetahuan absolut yang membimbing ke arah jalan kebenaran dalam rangka mendekati Sang Kebenaran ( al-Haqq) hanya dan harus melalui jalan wahyu kenabian—yaitu memperoleh
wahyu atau setidaknya bisa membaca dan mendalami kitab suci—maka berapa banyak orang yang tidak menemukan jalan itu. Perjalanan akan lebih terjal dan menyempit jika jalan wahyu itupun harus ditelusuri melalui bahasa asli kitab suci. Sementara itu, persoalan akan tetap muncul, yaitu jika orang mencari Tuhan tanpa wahyu, adakah jaminan keselamatannya? Debat semacam ini sesungguh nya sudah klasik. Hanya saja dahulu tema ini dimunculkan sebagai olah pikir atau akrobat intelektual dalam wacana keagamaan, terutama, dalam bidang Ilmu Kalam (‘Ilm al-Kalam)
dan Filsafat, sedangkan kini menjadi persoalan praksis. Terlebih dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang sudah melampaui batas-batas empiris, seperti halnya fisika kuantum dan psikologi transendental, maka akan terlihat bahwa di sana terdapat banyak kemungkinan untuk menemukan jalan baru yang mengantarkan ilmuwan untuk mengenal
dan meyakini Tuhan di luar tradisi Biblikal dan kependetaan.
Satu dari sekian banyak buku yang bermunculan akhir-akhir ini ialah the physics of Immortality, Modern Cosmology, God and the Resurrection-of the Dead (1994) oleh Frank J. Tipler. Sebagaimana kebanyakan ilmuwan
sekuler Barat yang tidak percaya akan adanya Tuhan dan hari akhirat, Tipler mengatakan bahwa pada mulanya ia pun seorang ateis. Tetapi dengan kesungguhan dan konsistensinya mendalami fisika kuantum yang menjadi kegemerannya akhirnya ia sampai pada keyakinan bahwa pusat dan penggerak serta pengatur segala wujud ini adalah Tuhan. Lebih jauh lagi Tipler sangat yakin dengan teorinya bahwa ruh itu tidak mungkin hancur dan kehidupan dunia ini merupakan serentetan dari perjalanan ruhani di mana segala perbuatan baik dan buruk itu akhirnya akan tetap kembali pada pelakunya dengan segala akibat baik-buruknya. Dengan rumus-rumus ilmiahnya Tipler memperkuat ajaran kitab suci bahwa hari kebangkitan itu pasti terjadi dan orang tidak bisa lari dari mahkamah pengadilan yang dilakukan oleh amal perbuatannya sendiri.
Dengan mengikuti uraian Tipler di atas, sedikitnya dua hal yang ingin kami katakan berkenaan dengan persoalan tersebut. Pertama, dengan kasih-sayang dan kemutlakan Tuhan, maka pintu kedekatan untuk mencintai, menyapa dan bertanya kepada-Nya tidak terbatas hanya pada jalan-jalan yang ditawarkan oleh teologi agama-agama besar, khususnya Yahudi, Nasrani dan Islam. Sistem teologi sebatas sebagai bangunan informasi dan epistemologi keagamaan, ia tak jauh berbeda dari bangunan informasi dalam bidang keilmuan lain. Itulah sebabnya seorang profesor dalam bidang Teologi ataupun Hukum Agama tidak selalu orang yang hidupnya religius. Kedua, ajaran-ajaran agama yang dibakukan sangat diperlukan oleh manusia untuk membantu mewujudkan ketertiban sosial dan memberi rambu-rambu untuk melakukan latihan mental-spiritual melalui ritus-ritus keagamaan. Namun etika sosial dan praktek ritus keagama an bukanlah tujuan dan keduanya akan mengering kehilangan daya sinerginya ketika radar spiritualitas seseorang berhenti bekerja. Sebab perhentian itu berarti akan menghilangkan sebuah komitmen pencarian dan kontak terus-menerus pada sumber Kebenaran dan sumber Pencerahan, yaitu Tuhan. Debat tentang dalil dan ilmu keagamaan ternyata sangat berbeda dari dialog tentang pengalaman kebertuhanan.
42 Salamah Eka Susanti, Konsep Kebenaran, Relativisme dan Pluralisme Agama (29-44)