• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

B. Kajian Teori

1. Unsur Intrinsik Novel

Sebuah novel merupakan sebuah totalitas, suatu kemenyeluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai bagian-bagian, unsur-unsur yang saling berkaitan satu

dengan yang lain secara erat dan saling menggantungkan. Unsur pembangun sebuah novel-yang kemudian membentuk totalitas itu. Pembagian unsur yang dimaksud adalah unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur yang dimaksud antara lain: plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa dan lain-lain (Nurgiyantoro, 2012:22-25).

Pada penelitian ini, peneliti hanya akan membahas tokoh dan penokohan, alur, latar dan tema karena keempat unsur ini yang mempunyai kaitan dengan pengkajian ekokritik dalam novel Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida

Berikut ini adalah unsur-unsur pembangun cerita dalam Sudjiman (1988: 17-20).

a. Tokoh dan penokohan

Menurut Sudjiman (1988:16) yang dimaksud dengan tokoh ialah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan di dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Tokoh pada umumnya berwujud manusia, tetapi dapat juga berwujud binatang atau benda yang diinsankan; sedangkan menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2012: 165), tokoh cerita (character) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan

kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

Berdasarkan fungsi tokoh dalam cerita, dapatlah dibedakan tokoh sentral dan tokoh bawahan. Sudjiman (1988:17-20).

1) Tokoh Sentral

Panuti Sudjiman (1988), mengungkapkan bahwa tokoh yang memegang peran pimpinan disebut tokoh utama atau protagonis. Protagonis selalu menjadi tokoh yang sentral dalam cerita. Kriteria yang digunakan untuk menentukan tokoh utama bukan frekuensi kemunculan tokoh itu di dalam cerita, melainkan intensitas keterlibatan tokoh itu dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita. Protagonis dapat juga ditentukan dengan memperhatikan hubungan antartokoh. Protagonis berhubungan dengan tokoh-tokoh yang lain, sedangkan tokoh-tokoh itu sendiri tidak berhubungan satu dengan yang lain.

Adapun tokoh yang merupakan penentang utama dari protagonis disebut antagonis atau tokoh lawan. Antagonis termasuk tokoh sentral. Dalam karya sastra tradisional seperti cerita rakyat, biasanya pertentangan antara protagonis dan antagonis jelas sekali. Protagonis mewakili yang baik dan yang

terpuji, karena itu biasanya menarik simpati pembaca, sedang antagonis mewakili pihak jahat atau yang salah. Dalam fungsinya sebagai sumber nilai, cerita rakyat selalu memenangkan protagonis yang menjadi tokoh teladan itu.

Selain protagonis dan antagonis, wirawan atau wirawati dan antiwirawan atau antiwirawati juga merupakan tokoh sentral. Tokoh ini penting dalam cerita, dan karena pentingnya, cenderung mengeser kedudukan tokoh utama. Wirawan pada umumnya punya keagungan pikiran dan keluhuran budi yang tercermin di dalam maksud dan tindakan yang mulia. Sebaliknya antiwirawan adalah tokoh yang tidak memiliki nilai-nilai tokoh wirawan dan berlaku sebagai tokoh kegagalan. Menurut Sayuti (2000:74) tokoh utama atau tokoh sentral suatu fiksi dapat ditentukan, paling tidak dengan tiga cara. Pertama, tokoh itu yang paling terlibat dengan makna atau tema. Kedua, paling banyak berhubungan dengan tokoh lain. Ketiga, banyak memerlukan waktu penceritaan. Tokoh sentral juga terlibat dalam konflik dan klimaks serta menjadi pemenang dalam cerita.

2) Tokoh Bawahan

Menurut Grimes dalam Sudjiman (1988: 19) yang dimaksud dengan tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak

sentral kedudukannya di dalam cerita, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh utama. Ada tokoh bawahan yang sebenarnya sulit disebut tokoh karena ia boleh dikatakan tidak memegang peranan di dalam cerita.

Menurut Sudjiman dalam buku Memahami Cerita Rekaan (1988:23), tokoh-tokoh itu merupakan rekaan pengarang, maka hanya pengaranglah yang ‘mengenal’ mereka. Tokoh-tokoh itu perlu digambarkan ciri-ciri lahir dan sifat serta sikap batinnya agar wataknya juga dikenal oleh pembaca. Yang dimaksud dengan watak ialah kualitas tokoh, kualitas nalar dan jiwanya yang membedakannya dengan tokoh lain. Penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh inilah yang disebut sebagai penokohan. Pengertian penokohan lebih luas dibanding pengertian tokoh karena sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan, dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2012:166).

a) Teknik Pelukisan Tokoh

Secara garis besar teknik pelukisan tokoh dalam suatu karya atau pelukisan sifat, watak, tingkah laku dan

berbagai hal lain yang berhubungan dengan jati diri tokoh, dapat dibedakan ke dalam dua cara atau teknik, yang masing-masing tokoh memiliki sebutan yang berbeda. Abrams menyebutnya teknik uraian (telling) dan ragaan (showing), Kenny menyebutnya teknik diskursiv (discursive), dramatik dan kontekstual. Teknik pelukisan tokoh yang akan dibahas peneliti adalah teknik pelukisan tokoh menurut Kenny dalam Sudjiman (1988:24-27). 1. Teknik Diskursif

Dalam teknik diskursif ini adakalanya pengarang melalui pencerita mengisahkan sifat-sifat tokoh, hasrat, pikiran, dan perasaannya, kadang-kadang dengan menyisipkan kilatan (allusion) atau komentar pernyataan setuju atau tidaknya akan sifat-sifat tokoh itu. Pengarang dapat memaparkan saja watak tokohnya, tetapi dapat juga menambahkan komentar tentang watak tersebut. Cara yang mekanis sifatnya ini memang sederhana dan hemat, tetapi tidak menggalakkan imajinasi pembaca. Pembaca tidak dirangsang untuk membentuk gambarannya tentang si tokoh.

2. Teknik Dramatik

Watak tokoh dapat disimpulkan pembaca dari pikiran, cakapan dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang, bahkan juga dari penampilan fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau tempat tokoh. Cakapan atau lakuan tokoh demikian pula pikiran tokoh yang dipaparkan pengarang dapat menyiratkan sifat wataknya.

3. Teknik Kontekstual

Dengan metode ini, watak tokoh dapat disimpulkan dari bahasa yang digunakan pengarang dalam mengacu kepada tokoh. Misalnya, pengarang menggambarkan kelakuan tokoh A dengan kata-kata “serigala itu menjilati seluruh tubuh wanita itu dengan pandangannya yang liar” maka dapat diperkirakan bagaimana watak tokoh A itu.

b. Alur

Sudjiman (1988:29) berpendapat bahwa alur adalah urutan peristiwa yang membangun tulang punggung cerita. Masih dalam Sudjiman, Marjorise Boulton mengibaratkan alur sebagai rangka dalam tubuh manusia. Tanpa rangka, tubuh tidak dapat berdiri.

Berikut struktur umum alur dan pengaluran dalam Sudjiman (1988:30-36). 1. Paparan Awal 2.Rangsangan 3.Gawatan 4.Tikaian Tengah 5.Rumitan 6.Klimaks 7.Leraian Akhir 8.Selesaian

Pengaluran adalah pengaturan urutan peristiwa pembentuk cerita. Cerita diawali dengan peristiwa tertentu dan diakhiri dengan peristiwa tertentu lainnya, tanpa terikat pada urutan waktu.

1) Paparan

Peristiwa yang mengawali cerita selalu berisi sejumlah informasi bagi pembaca. Penyampaian informasi kepada pembaca ini disebut paparan atau eksposisi. Paparan merupakan fungsi utama awal suatu cerita. Tentu saja bukan informasi selengkapnya yang diberikan, melainkan keterangan sekadarnya untuk memudahkan

pembaca mengikuti kisahan selanjutnya. Lain daripada itu, situasi yang digambarkan pada awal harus membuka kemungkinan cerita itu berkembang.

2) Rangsangan

Rangsangan adalah peristiwa yang mengawali timbulnya gawatan. Rangsangan sering ditimbulkan oleh masuknya seorang tokoh baru yang berlaku sebagai katalisator. Rangsangan dapat pula ditimbulkan oleh hal lain, misalnya oleh datangnya berita yang merusak keadaan yang semula terasa laras.

3) Gawatan

Tegangan adalah ketidakpastian yang berkepanjangan dan semakin menjadi-jadi. Adanya tegangan menyebabkan pembaca terpancing keingintahuannya akan kelanjutan cerita serta akan penyelesaian masalah yang dihadapi tokoh; suatu keprihatinan akan nasib tokoh selanjutnya.

4) Tikaian

Tikaian adalah perselisihan yang timbul sebagai akibat adanya dua kekuatan yang bertentangan. Tikaian merupakan pertentangan antara dirinya dengan kekuatan alam, dengan masyarakat, orang atau tokoh lain, ataupun pertentangan antara dua unsur dalam diri satu tokoh itu.

5) Rumitan

Rumitan adalah perkembangan dari gejala mula tikaian menuju klimaks cerita. Klimaks tercapai apabila rumitan mencapai puncak kehebatannya.

6) Klimaks

Klimaks terlihat ketika rumitan mencapai puncak kehebatannya. Menurut Sumardjo dan Saini (1985), klimaks adalah bagian alur yang menunjukkan adanya pihak-pihak yang berlawanan atau bertentangan, berhadapan untuk melakukan perhitungan terakhir yang menentukan.

7) Leraian

Leraian adalah bagian struktur alur sesudah klimaks yang menunjukkan perkembangan peristiwa ke arah selesaian.

8) Selesaian

Selesaian bagian akhir atau penutup cerita. Selesaian boleh jadi mengandung penyelesaian masalah yang melegakan (happy ending), boleh juga mengandung penyelesaian masalah yang menyedihkan; misalnya si tokoh bunuh diri. Boleh jadi juga pokok masalah tetap menggantung tanpa pemecahan, tanpa adanya penyelesaian masalah, dalam keadaan yang penuh ketidakpastian, ketidakjelasan, ataupun ketidakpahaman.

c. Latar

Sudjiman dalam buku Memahami Cerita Rekaan (1988:44) berpendapat bahwa cerita berkisah tentang seseorang atau beberapa orang tokoh. Peristiwa-peristiwa dalam cerita tentulah terjadi pada suatu waktu atau dalam suatu rentang waktu tertentu dan pada suatu tempat tertentu. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra membangun latar cerita. Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (2012:216) latar atau setting disebut juga sebagai landasan pada pengertian, tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.

Hudson dalam Sudjiman (1988:44) membedakan latar atas dua macam yaitu latar sosial dan latar fisik/ material, sedangkan Nurgiyantoro membedakan latar dalam tiga unsur pokok yaitu tempat, waktu, dan sosial.

1) Latar Tempat

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas.

Menurut Sudjiman, (1988:44) Latar fisik adalah tempat dalam ujud fisiknya, yaitu bangunan, daerah, dan sebagainya. Dalam penggambaran latar fisik, tidak semata-mata menggambarkan fisik alam sekitar tanpa menyaran sesuatu. Jika sebuah cerita dinyatakan berlangsung di sebuah kota kecil, misalnya, pasti timbul dugaan-dugaan tertentu dalam hati pembaca tentang suasananya, sifat tokoh-tokohnya dan sebagainya. Latar fisik yang menimbulkan dugaan atau tautan pikiran tertentu ini disebut latar spiritual.

Dalam bukunya yang berjudul Teori Pengkajian Fiksi (2012:218-219), Nurgiyantoro membahas latar fisik dan spiritual. Latar tempat, berhubung secara jelas menyaran pada lokasi tertentu dapat disebut sebagai latar fisik. Nilai-nilai yang melingkupi atau dimiliki oleh latar fisik disebut latar spiritual

2) Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya dengan peristiwa sejarah.

3) Latar Sosial

Latar sosial mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa dan lain-lain yang melatari peristiwa.

Latar fisik adalah tempat dalam ujud fisiknya, yaitu bangunan, daerah, dan sebagainya. Dalam penggambaran latar fisik, tidak semata-mata menggambarkan fisik alam sekitar tanpa menyaran sesuatu. Jika sebuah cerita dinyatakan berlangsung di sebuah kota kecil, misalnya, pasti timbul dugaan-dugaan tertentu dalam hati pembaca tentang suasananya, sifat tokoh-tokohnya dan sebagainya. Latar fisik yang menimbulkan dugaan atau tautan pikiran tertentu ini disebut latar spiritual.

Dalam bukunya yang berjudul Teori Pengkajian Fiksi (2012:218-219), Nurgiyantoro membahas latar fisik dan spiritual. Latar tempat secara jelas menyaran pada lokasi tertentu dapat disebut sebagai latar fisik. Nilai-nilai yang melingkupi atau dimiliki oleh latar fisik disebut latar spiritual.

d. Tema

Tema adalah gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasar suatu karya sastra itu. Adanya tema membuat karya sastra lebih penting dari sekedar bacaan hiburan. (Sudjiman, 1988:50). Menurut

Hartoko dan Rahmanto (Nurgiyantoro, 2012: 68) tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di alam teks sebagai struktur semantik dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan. Tema disaring dari motif-motif yng terdapat dalam karya yang bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik, dan situasi tertentu.

Dokumen terkait