• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada tataran masyarakat, kondisi moral, sosial dan budaya masyarakat, serta aparat cenderung menjadi tidak kondusif terhadap kelestarian hutan dan dilain pihak masih banyak industri pengolahan kayu yang membeli dan mengolah kayu dari hasil illegal logging.

Unsur – unsur illegal logging menurut Pasal 50 ayat (3) huruf e jo. Pasal 78 ayat (5) Undang – Undang RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sebagaimana diubah dalam Undang – Undang Nomor 19 tahun 2004 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebagai berkut:

1. Setiap orang

2. Dilarang menebang pohon, atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang

3. Mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan

Mengenai unsur – unsur tidak pidana Illegal logging terhadap alasan seseorang melakukan tindak pidana Illegal logging yang berawal dari masalah publik yang sangat komplek, mencakup masalah dari dalam dan luar kehutanannya itu sendiri. Yaitu mengenai sistem yang ada di dalam lembaga kehutanan yaitu KPH yang sedikit kurang tegas akan penegakan hukum apabila

anggotanya melakukan pengambilan hasil hutan tersebut. Yang kedua, yaitu mengenai kesimpang siuran masalah perijinan pengrajin dan industri perkayuan akan jumlah bahan baku yang ada di hutan dengan jumlah pengrajin dan industri perkayuan yang tidak sinkron dengan jumlah bahan baku yang ada sehingga para pengrajin dan industri perkayuan yang menampung kayu yang tidak memiliki ijin dan surat yang jelas

Hal tersebut kemudian menjadikan suatu alasan para cukong yang memanfaatkan keadaan tersebut dengan mencari masyarakat yang kurang mampu untuk mencuri kayu hutan demi mendapatkan uang untuk perekonomian dan kemudian dikumpulkan untuk disetorkan kepada pengrajin kayu dan industri perkayuan yang kekurangan akan bahan baku kayu tersebut. Yang dikarenakan masalah ekonomi keluarga yang mendesak maka sebagian masyarakat mau melakukan illegal logging tanpa memikirkan efek yang ditimbulkan akibat illegal logging yang dilakukan oleh masyarakat diantaranya terancamnya kelestarian flora dan fauna yang terdapat di dalam hutan tersebut.

Kegiatan illegal logging tersebut mengakibatkan beralihnya fungsi hutan yang awalnya sebagai hutan lindung yang kemudian malah dianggap sebagai hutan industri oleh sebagian masyarakat yang memanfaatkan dan memanen secara illegal hutan tersebut sehingga mengakibatkan tanah longsor dan banjir pada saat musim penghujan.Hal ini dikarenakan sudah berkurangnya pohon yang ada untuk menampung air hujan yang ada.

. Yang sudah diatur di dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang – Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yaitu;

1. Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan. 2. Setiap orang yang diberikanizin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha

pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.

3. Setiap orang dilarang:

a) Mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah.

b) Merambah kawasan hutan.

c) Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan:

1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau.

2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa.

3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai. 4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan anak sungai. 5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi sungai.

6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai.

Illegal logging yang dilakukan oleh masyarakat sangat bertolak belakang yang dijelaskan pada Pasal 70 Undang – Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yaitu;

1. Masyarakat turut berperan serta dalam pembangunan di bidang kehutanan. 2. Pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat melalui berbagai

kegiatan di bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna.

3. Dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat, pemerintah, dan pemerintah daerah dapat dibantu oleh forum pemerhati lingkungan.

4. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.

Praktek illegal logging yang selama ini dilakukan oleh oknum – oknum yang tidak bertanggung jawab terjadi karena beberapa hal yang semuanya terkait. Penyebab tersebut adalah;

1. Adanya krisis ekonomi yang berkelanjutan mengakibatkan tingginya harga barang konsumsi, sementara masyarakat di sekitar hutan yang sudah miskin tidak lagi dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Sedangkan cara yang paling mudah yaitu memanfaatkan hutan untuk kepentingan diri sendiri dengan jalan memanfaatkan hutan tanpa melihat kaidah – kaidah pemanfaatan kayu hutan dengan cara yang tidak benar.

2. Dengan krisis ekonomi pula mengakibatkan perusahaan yang bergerak di bidang kehutanan, khususnya industri kayu, banyak yang mengalami kemunduran usaha yang dikarenakan tingginya harga barang produksinya, sehingga untuk mendapatkan bahan baku kayu dengan harga murah dilakukan pembelian kayu yang tidah sah yang berasal dari hasil praktek illegal logging

3. Lemahnya penegakan hukum, karena adanya concerted action yang dapat menyuburkan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme. Disamping itu faktor kurangnya dana dalam mendukung kemampuan politik dan kurangnya tekanan publik. Pada tataran masyarakat, kondisi moral, sosial dan budaya masyarakat, serta aparat yang cenderung tidak kondusif terhadap kelestarian

hutan dan dilain pihak masih banyak industri pengolahan kayu yang membeli dan mengolah hasil dari tindak pidana illegal logging.29

Alasan – alasan seorang terdakwa melakukan tindak pidana illegal logging yang terdapat di Pengadilan Negeri Rembang yakni:

1. Kayu tersebut dipergunakan secara pribadi untuk digunakan memperbaiki rumah, membuat perabotan rumah tangga dan untuk disimpan apabila suatu saat membutuhkannya.

2. Kayu tersebut untuk dijual kembali demi mencukupi kebutuhan rumah tangga.

2.2Unsur – unsur Tindak Pidana illegal logging dalam putusan perkar a No.11/PID.SUS/2013PN.RBG

2.2.1 Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan.

Menebang pohon adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dengan memotong batang pohon agar dapat diambil kayunya untuk keperluan pribadi. Yang kemudian memungutnya dan dibawa keluar dari hutan agar dapat dimanfaatkan oleh si pelaku agar dapat dijual kepada pembeli agar mendapatkan uang yang diinginkan.

Untuk kegiatan penebangan harus ada surat izin dan surat pengantar dari kepala desa itu untuk penebangan kayu di lahannya

29

http://muhinj-indra.blogspot.com/2010/10/penebangan-hutan-liar-merupakan-ilegal.html. diakses pada hari kamis tanggal 10 oktober 2013. Pukul 23.15

sendiri. Akan tetapi untuk penebangan di hutan harus dilakukan tebang pilih yang hanya dilakukan oleh petugas dari KPH wilayah masing – masing lokasi hutan itu berada.

2.2.2 Tanpa memiliki hak atau ijin dari pejabat yang berwenang.

Yang dimaksud tanpa hak disini adalah bukan hanya tidak ada ijin dari yang berwajib tetapi juga tidak ada dasar hukum, atau tanpa alasan hak atau tidak dibenarkan oleh Undang – Undang atau tidak ada alasan pemaaf atau alasan pembenar.

Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 71 ayat (3) yang berbunyi Dalam melaksanakan pengawasan, Menteri,gubernur, atau bupati/walikota menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional.

Hal ini membuktikan bahwa perbuatan terdakwa tersebut tidak memiliki surat resmi dari pihak Perhutani atau pejabat yang berwenang untuk menebang pohon jati yang berada di kawasan hutan negara tersebut, jadi perbuatan terdakwa tersebut dilakukan tanpa adanya ijin dari petugas atau pejabat yang berwenang.

Alur Izin Penebangan Pohon Kayu Jati Rakyat

1. .Pemohon izin mengajukan surat permohonan secara tertulis kepada Kepala Kelurahan atau Kepala Desa yang telah ditunjuk oleh pihak Dinas Kehutanan Kabupaten terkait untuk mendapatkan rekomendasi

izin penebangan dengan menggunakan formulir izin administrasi format A1 SKSKB-KR (Surat Keterangan Sahnya Kayu Bulat cap Kayu Rakyat) dan juga formulir izin administrasi format A2 SKSKB-KR (Surat Keterangan Sahnya Kayu Bulat cap Kayu Rakyat) (terlampir) 2. Formulir tadi kemudian diisi secara lengkap dan ditandatangani oleh

pemohon bersamaan dengan melampirkan kelengkapan lainnya yaitu berupa :

a. Sertifikat hak milik, atau Letter C, atau Girik, atau surat keterangan lberlakuain yang diakui Badan Pertanahan Nasional sebagai dasar kepemilikan lahan

b. Sertifikat hak pakai (Hak Guna Usaha)

c. Surat/Dokumen lain yang diakui sebagai bukti penguasaan tanah atau bukti kepemilikan lainnya

3. Setelah diisi, kemudian formulir izin administrasi format A1 SKSKB-KR diajukan ke kantor Kecamatan bersamaan dengan menggunakan formulir izin administras format A2 SKSKB-KR(terlampir) untuk mendapatkan rekomendasi dan diketahui oleh Kepala Kecamatan

4. Selanjutnya Kepala Kecamatan menunjuk tenaga teknis untuk melakukan verifikasi dan survey data kepemilikan secara lengkap ke lokasi lahan dari si pemohon izin

5. Setelah proses verifikasi pengecekan data selesai dan dianggap lengkap serta sah secara hukum dan aturan yang berlaku maka dokumen akan diterbitkan dokumen izin SKSKB-cap KR oleh Kepala Kecamatan 6. Selanjutnya Formulir format A2 SKSKB-cap KR yang telah diterbitkan

oleh Kepala Kecamatan diajukan diajukan ke tingkat Dinas Kehutanan dan Perkebunan untuk mendapatkan ijin tebang.

7. Pemohon menemui staff bagian umum untuk mendapatkan pelayanan dan arahan izin dari pihak Dinas Kehutanan dan Perkebunan

8. Setelah diarahka dan disyahkan oleh pihak Dinas Kehutanan dan Perkebunan terkait maka proses perizinan untuk penebangan-pun sudah selesai dan dianggap layak untuk dilakukan eksekusi penebangan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

9. Eksekusi penebangan kemudian diserahkan kepada si pemohon dalam perencanaannya dengan berkoordinasi dengan pihak field manager bekerjasama dengan supervisor dari pihak BP2HP(Balai Pemantauaan Pemanfaatan Hutan Produksi) wilayah terkait/terdekat tentang tata cara produksi hasil hutan kayu yang layak dan sesuai dengan aturan yang berlaku.

10.Dalam eksekusi penebangan nantinya satu persatu data pohon dimasukkan dalam dokumenDaftar Kayu Bulat (DKB) Cap ”KR” dan Dokumen Administrasi Daftar Ukur (terlampir)

11.Setelah kayu ditebang, didata oleh tim supervisor dan diperiksa oleh pihak yang ditunjuk oleh pemerintah, BP2HP (Balai Pemantauaan Pemanfaatan Hutan Produksi) maka dokumen terakhir dalam perizinan yang harus diisi dan dilengkapi adalah dokumen Administrasi Nota Angkutan (terlampir).30

30

http://share.pdfonline.com/ba44f11bd329445882c65c726b881840/FORMAT%20SOP%20PE RIZINAN%20PENEBANGAN%20KAYU.htm diakses pada hari kamis tanggal 11 oktober 2013. Pukul 22.30

BAB III

PENERAPAN SANKSI PADA TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI REMBANG

3.1 Penerapan sanksi bagi pelaku tindak pidana illegal logging di Pengadilan Neger i Rembang

Menurut data Pengadilan Negeri Rembang yang mengadili perkara illegal logging sejak tahun 2012 yaitu sebanyak 22 perkara dan tahun 2013 yaitu sebanyak 12 perkara tindak pidana illegal logging. Dari semua putusan perkara tersebut sudah mempunyai kekuatan hukum tetap atau tidak adanya upaya hukum lagi yang dilakukan oleh tersangka.

Terhadap penerapan hukuman pelaku illegal logging secara normatif Undang – Undang kehutanan mengatur adanya sanksi administrasi dan sanksi pidana. Terhadap hal tersebut sebagaimana dasar pemisahan hakim terhadap dakwaan dalam menjatuhkan hukuman tersebut hakim melakukannya secara komulatif dimana pidana penjara kemudian denda apabila terdakwa tidak mampu membayar denda tersebut maka akan dijatuhi pidana kurungan. Besarnya denda atau lamanya pidana kurungan yang dijatuhkan berbeda – beda satu dengan yang lainnya tergantung dari sifat perbuatan pidana tersebut yang dilakukan oleh terdakwa tentunya tidak menyimpang dari aturan – aturan

normatif dan memberikan efek jera kepada si pelaku dan masyarakat yang lain agar tidak melakukan tindak pidana illegal logging tersebut.31

3.1.1 Sanksi Administrasi

Menurut penjelasan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Sanksi administratif adalah sanksi yang diberikan kepada terdakwa apabila telah terbukti bersalah dengan berbagai ketentuan yang telah diatur oleh Undang – Undang yang menangani tentang pelanggaran tersebut.

Sanksi administratif yang sesuai dengan penjelasan Pasal 76 Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu;

(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan. (2) Sanksi administratif terdiri atas:

a. teguran tertulis; b. paksaan pemerintah;

c. pembekuan izin lingkungan; atau d. pencabutan izin lingkungan.

Menurut penulis sanksi administratif dirasa kurang tegas di dalam penerapannya dikarenakan masih banyak juga yang tidak sesuai dengan peraturan yang ada di dalam pelaksanaannya. Hal ini menjadikan para penanggung jawab usaha semakin pandai di dalam memainkan peraturan

31

wawancara dengan Makmur Pakpahan, SH. MH., Hakim Pengadilan Negeri Rembang pada hari senin tanggal 30 Desember 2013 pukul 09.50

sanksi administratif yang ada dengan memanfaatkan berbagai kelemahannya.

3.1.2 Sanksi Pidana

Menurut KUHP Sanksi Pidana adalah keseluruhan dari sanksi atau aturan yang mengatur tentang perbuatan apa yang dilarang dan termasuk ke dalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa saja yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya.

Dampaknya bagi terdakwa yang di jatuhi pidana denda itu pada umumnya terdakwa lebih memilih menjalani kurungan atau penjara di bandingkan membayar denda.Walaupun demikian kami tetap menjatuhkan putusan berupa pidana penjara, pidana denda, dan kurungan sebagai pengganti dari denda tersebut.32

Menurut penulis di dalam penerapannya sanksi pidana dirasa lebih efisien di dalam pelaksanaan pelanggaran illegal logging. Hal ini dikarenakan memberikan efek jera di dalamnya yang memberikan hukuman secara langgsung kepada pelaku yang sudah benar – benar dinyatakan bersalah di dalam putusan persidangan.

32

3.2 Penerapan sanksi Tindak Pidana illegal logging dalam Putusan Per kar a No.11/PID.SUS/2013PN.RBG

3.2.1 Penerapan sanksi dalam Putusan Per kara No. 11/PID.SUS/2013PN.RBG Berdasarkan Putusan Perkara tersebut, dalam duduk perkara jelas bahwa terdakwa yakni Zaenal Amroni bin Imron diajukan ke persidangan oleh penyidik dengan dakwaan melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf e jo. Pasal 78 ayat (5) Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999. Dipersidangan telah didengar oleh 3 (tiga) orang saksi yaitu:

a. Junepi bin Asmakun b. Sukiman bin Sireng c. Sardan bin Supardi

Adapun keterangan para saksi dan terdakwa maka didapatkan data – data yang merupakan fakta dalam perkara ini yang antara lain: a. Bahwa pada hari sabtu tanggal 16 Desember 2012 sekitar pukul

11.00 WIB, berhasil mengamankan terdakwa, ketika terdakwa mengakui bahwa kayu jati yang dijual kepada saksi Sardan adalah kayu jati yang diambil dari milik KPH Mantingan dimana pada waktu itu terdakwa melakukan perbuatannya bersama dengan temannya yang bernama Ahmadi, Nur Samsi, dan Nurkholis, selanjutnya terdakwa dan barang bukti diserahkan ke Polres Rembang untuk diproses hukum.

b. Bahwa para saksi dan tim buser Perhutani telah melakukan penyelidikan dan ditemukan adanya bukti kuat yang membuktikan bahwa kayu tersebut milik Perhutani dan bukan kayu jati rakyat karena dapat dibedakan dengan melihat serat kayunya.

Apabila fakta yang diperoleh di persidangan dihubungkan dengan unsur – unsur yang tersebut di dalam pasal Pasal 50 ayat (3) huruf e jo. Pasal 78 ayat (5) Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999.Oleh karena itu terdakwa dinyatakan bersalah. Menurut pengamatan hakim di dalam persidangan terdakwa harus dijatuhi pidana karena melihat dari terdakwa yang sehat secara lahir dan batin ketika mengikuti jalannya persidangan.

Terdakwa memiliki hal yang memberatkan yakni perbuatan terdakwa yang menebang hutan Negara tanpa ijin yang telah merugikan Negara dan terdakwa tidak mendukung upaya pemerintah dalam pelestarian hutan. Sedangkan hal yang meringankan yakni terdakwa sebagai tulang punggung keluarga, terdakwa belum pernah dihukum dan terdakwa menyesal dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya. Setelah itu berdasarkan Pasal 50 ayat (3) huruf e jo. Pasal 78 ayat (5) Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dan ditambah dengan Undang – Undang No. 19 tahun 2004 tentang penetapan Undang – Undang pengganti Undang – Undang No. 1 tahun 2004 tentang perubahan atas Undang – Undang No.

41 tahun 1999 tentang kehutanan menjadi Undang – Undang serta ketentuan – ketentuan hukum lainnya. Kemudian hakim menjatuhkan pidana penjara selama 4 (empat) bulan dan denda sebesar Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah). Dan apabila denda yang dijatuhkan tidak dibayar maka akan diganti pidana kurungan selama 1 (satu) bulan. Para terdakwa menerangkan menerima baik putusan dari Pengadilan.

Di dalam putusan tersebut melihat dari jumlah denda yang ada penulis merasakan kurang sesuai untuk membuat efek jera yang dikarenakan melihat jumlah denda yang sangat sedikit didalam putusan Hakim dibandingkan dengan Undang – Undang yang mengaturnya.

BAB IV PENUTUP 4.1Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan dalam skripsi dapat disimpulkan bahwa:

1. Mengenai unsur – unsur tidak pidana illegal logging terhadap alasan seseorang melakukan tindak pidana illegal logging yang berawal dari masalah yang sangat komplek, mencakup masalah dari dalam dan luar kehutanannya itu sendiri. Yaitu mengenai sistem yang ada di dalam lembaga kehutanan yaitu KPH yang sedikit kurang tegas akan penegakan hukum apabila anggotanya melakukan pengambilan hasil hutan tersebut. Lemahnya penegakan hukum, karena tidak adanya concerted action yang dapat menyuburkan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Disamping itu kurangnya dana atau lack of

budget dalam upaya mendukung kemampuan politik dan kurangnya tekanan

publik. Berbagai alasan para aprat yang menyalahgunakan wewenang oleh beberapa oknum dalam menetapkan kebijakkan terhadap barang bukti yang di dapatkan dari hasil para pelaku tindak pidana illegal logging. Hal tersebut berakibat pada fatalnya suatu sistem yang ada di dalam hutan menjadikannya tidak seimbang. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh-menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup.

2. Penerapan sanksi bagi pelaku tindak pidana illegal logging di Pengadilan Negeri Rembang mencakup dari sanksi administrasi yang merupakan

pencabutan sanksi administrasinya bagi pelaku yang mempunyai usaha dan sanksi pidana yang meliputi pidana denda, penjara dan kurungan. Serta penerapannya yng dituangkan di dalam putusan yang membahas tentang sanksi yang diterima oleh pelaku.

4.2Sar an

Dengan ini penulis menyertakan kesimpulan diatas menambahkan saran sebagai masukan yaitu:

1. Hakim di dalam memberikan putusan sebaiknya sesuai dengan Undang – Undang yang berlaku sehingga masyarakat sekitar hutan atau yang memiliki tujuan untuk melakukan tindak pidana illegal logging tersebut mengurungkan niatnya Karena besarnya denda dan lamanya penjara atau kurungan sangat berat hal ini menjadikan efek jera kepada pelanggar tindak pidana illegal logging tersebut.

2. Masyarakat hendaknya ikut membantu pemerintah dalam pelestarian hutan dengan memeliharanya dan tidak melakukan penebangan secara liar sehingga fungsi hutan sesuai dengan yang diharapkan yaitu menjaga kelestarian satwa yang ada di dalam hutan, mencegah bajir dan tanah longsor serta membantu mengurangi pemanasan global.

3. Sanksi yang diberikan agar lebih tegas oleh pemerintah dengan cara merancang Undang - Undang serta peraturan daerah yang dapat disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku agar dapat memberikan efek jera kpada si pelaku.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdul Muktadir, Jenis Sanksi Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2000.

Alam Setia Zain, Hukum Lingkungan Konservasi Hutan Dan Segi-Segi Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1997

Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, Bumi Aksara, Jakarta, 2001

M. Hariwijaya dan Bisri M. Jaelani, Panduan Menyusun Skripsi dan Tesis, Siklus, Yogyakarta, 2004.

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995

P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984.

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta 1982

, “Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri”, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988.

Salim,H.S, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan (Edisi Revisi), Sinar Grafika, Jakarta, 2004.

Siswanto Sunarso, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi penyelesaian sengketa, Rineka Cipta, Jakarta, 2005

Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, 1990.

Teguh Soedarsono, Penegakan Hukum dan Putusan Pengadilan Kasus-Kasus Illegal Logging, Jurnal Hukum, Januari 2010

Murhaini Suriansyah, Hukum Kehutanan Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Kehutanan, Laksbang Grafika, Yogyakarta, 2012, hal. 29

Perundang Undangan

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2004 tentang Kehutanan Kitab Undang Undang Hukum Pidana

Website (Internet)

Achmad Faisol, Pengertian dan Tujuan Hukum Pidana, http://makalah- hukum-pidana. Blogspot .com/2012/08/pengertian-dan-tujuan-hukum-hukum-pidana.html. Diakses pada hari senin tanggal 16 Mei 2013, pukul 15.30

Danuari Sandika Putra, Hukum Pidana Indonesia, http://my.opera.com/ Hukumpidana/blog/. Diakses pada hari minggu tanggal 23 Mei 2013, pukul 11.00

http://id.wikipedia.org/wiki/Pembalakan_liar. Diakses pada hari minggu tanggal 23 Mei 2013, pukul 11.00

http://staff.ui.ac.id/internal/132108639/material/PENULISANPROPOSALPENELI TIANHUKUM. Diakses pada hari minggu tanggal 23 Mei 2013, pukul 11.00

JimlyAsshiddiqie,PenegakanHukum,http://www.docudesk.com,PenegakanHuku. Penegakan Hukum. Diakses pada hari minggu,tanggal 16 Mei 2013, pukul 16.00

Lazuardi,MetodePengum[ulandata,http://sanglazuardi.com/penelitian/pengumpul an-datametode-pengumpulan-data. Diakses pada hari senin tanggal 16 mei 2013 pukul 16.00

Tuti Budi Utami, Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging, tutibudiutami. Catatanhuk. blogspot.com/2012/12/

Kebijakan-Hukum-Pidana-Dalam Menanggulangi Illegal Logging. html. Diakses pada hari senin tanggal 20 januari 2012 pukul 20.35

http://www.sarjanaku.com/2012/12/pengertian-tindak-pidana-dan-unsur.html Diakses pada tanggal 6 agustus 2013 pukul 19.20

http://luaxs-berjaya.blogspot.com/2011/10/tindak-pidana-illegal-logging-undang. html. Diakses pada tanggal 6 agustus 2013 pukul 19.30

http://muhinj-indra.blogspot.com/2010/10/penebangan-hutan-liar-merupakan-ilegal.html. diakses pada hari kamis tanggal 10 oktober 2013. Pukul 23.15

Dokumen terkait