• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................... 13-42

3. Upacara Ritualisme Manusia Bissu di pangkep

Pada masa kerajaan masih berlangsung, Bissu merupakan toko sentral dalam pelaksanaan upacara ritualisme. Tidak ada upacara ritualisme tanpa kehadiran sang Bissu, bukan hanya karena tradisi kerajaan yang mengharuskan bahwa Bissulah yang memimpin upacara ritualisme, tetapi juga masyarakat pendukungnya meyakini bahwa Bissu memang memiliki kemampuan komunikasi dengan para dewata. Upacara ritualisme yang paling sering dilaksanakan atau melibatkan Bissu saat ini ialah upacara ritual mappalili dan mattemmu taung.29

28Armone, Bagaimana Puang matoa di Lantik, dalam M. Farid W. Makkulau, Potret Manusia Bissu di Pangkep, (Makassar: CV. Manunggal Utama, 2007), h. 73.

Dahulu upacara Mapalili berlangsung selama 9 hari, kemudian dikurangi menjadi 7 hari, dan pada saat ini hanya dilakukan selama 3 hari. Bissu di Kabupaten Pangkep masih aktif dalam melaksanakan kegiatan upacara ritual Mappalili yang diselenggarakan setahun sekali sebagai tanda dimulainya pengerjaan sawah untuk bertanam padi.

Upacara ritual Mappalili dimulai dengan upacara membangunkan Arajang. Bagian acara ini disebut matteddu Arajang atau membangunkan pusaka berupa bajak sawah. “Teddu’ka denra maningo. Gonjengnga’ denra mallettung.

Mallettungnge ri Ale Luwu. Maningo ri Watang Mpare.” (Kubangunkan Dewa yang tidur. Kuguncang Dewa yang terbaring. Yang berbaring di Luwu. Yang tertidur di Watampare), kata Puang matoa, melagukan nyanyian untuk membangunkan Arajang. Nyanyian Puang matoa kemudian disambung suara semua Bissu yang terlibat dalam upacara Mappalili. “Tokkoko matule-tule. Matule-tule tinaju. Musisae-sae kenneng. Masilanre-lanre kenning. Musinoreng musiotereng. Musiassaro lellangeng. Mupakalepu lolangeng. Lolangeng mucokkongngie. Lipu muranrusie.” (Bangkitlah dan muncul. Tampakkan wajah

berseri. Menari-nari bersama kami. Bersama turun, bersama bangun. Bersama saling mengunjungi. Menyatukan tujuan. Negeri yang engkau tempati. Tanah tumpah darahmu).30

Setelah Matteddu Arajang, dilanjutkan dengan Mappalesso Arajang atau memindahkan Arajang. Benda pusaka ini dipindahkan ke ruang tamu terbuka,

30Yusri Bahjar, Upacara Mappalili ( Turun Sawah) di Sulawesi Selatan, Racik Meracik Ilmu, http//youchenkymayeli.blogspot.com/2012/10/upacara-Mappalili-turun-sawah-di.html?=1 Diakses 5 September 2013).

mirip pendopo. Sebelumnya, seluruh pembungkus dibuka. Tepat di tengah, bajak ini dibaringkan bak jenazah. Ditutupi daun pisang, kemudian kedua ujungnya diberi tumpukan beberapa ikat padi yang masih berbentuk bulir. Pada bagian atas tumpukan padi itu dipasangi payung khas Bugis. Acara selanjutnya adalah Mallekko Bulalle atau menjemput nenek.31

Penjemputan dilakukan di Pasar. Beberapa bahan ritual di antaranya sirih dan kelapa. Selanjutnya memanjatkan doa di empat penjuru pasar, dipimpin Bissu Lolo. Sementara Bissu Lolo berdoa, Bissu yang lain menari mengitari Puang lolo dan pembawa sesajen. Dari Pasar, rombongan bergeser menuju Sungai untuk mengambil air, Kegiatan ini dinamakan Mallekko Wae. Dilanjutkan dengan Mapparewe Sumange atau mengembalikan semangat.32

Malam hari, tepatnya setelah waktu isya, giliran para Bissu mempertunjukkan kekebalan mereka. Tradisi ini disebut maggiri atau menikam bagian tubuh dengan benda tajam, seperti keris. Sejak sore para Bissu mulai mempersiapkan diri. Mereka berdandan semaksimal mungkin untuk tampil paling cantik. Tiap Bissu dibalut dengan warna kostum yang berbeda. Para Bissu duduk mengelilingi Arajang. Dipimpin Puang matoa, mereka mengucapkan mantra dengan menggunakan bahasa Torilangi atau bahasa para dewata, yang tak lain

31Yusri Bahjar, Upacara Mappalili ( Turun Sawah) di Sulawesi Selatan, Racik Meracik Ilmu, http//youchenkymayeli.blogspot.com/2012/10/upacara-Mappalili-turun-sawah-di.html?=1 Diakses 5 September 2013).

32Yusri Bahjar, Upacara Mappalili ( Turun Sawah) di Sulawesi Selatan, Racik Meracik Ilmu, http//youchenkymayeli.blogspot.com/2012/10/upacara-Mappalili-turun-sawah-di.html?=1 Diakses 5 September 2013).

adalah bahasa Bugis Kuno. Selanjutnya mereka menari-nari sambil berkeliling, tidak lama kemudian tiap Bissu mengeluarkan keris yang diselipkan pada bagian pinggangnya. Keris ditarik dari sarungnya, kemudian ditusukkan ke leher, ada juga yang menusuk perutnya.33

Kegiatan terakhir adalah mengarak Arajang keliling kampung. Ini menjadi aba-aba bahwa waktunya untuk turun membajak sawah. Selain berkeliling kampung, Arajang dibawa ke tengah sawah yang sekarang sudah menjadi kawasan empang. Arajang disentuhkan ke tanah, lengkap dengan sesembahan, termasuk menyembelih ayam, yang merupakan bagian dari sesembahan. Pada saat mengarak, setiap warga yang dilewati bisa menyiramkan air ke rombongan pengarak Arajang. Sebelum dikembalikan, Arajang terlebih dahulu dibersihkan atau dimandikan. Air bekas mandian Arajang ini ramai-ramai ditadahi warga yang menunggu di kolong rumah panggung. Mereka percaya air ini berkhasiat sebagai obat.34

Sedangkan upacara ritual mattemu taung tidak jauh berbeda dari upacara mappalili, dimana dimulai dengan rangkaian prosesi mattedu Arajang (membangunkan pusaka yang dikeramatkan). Mattemmu taung, yaitu

33Yusri Bahjar, Upacara Mappalili ( Turun Sawah) di Sulawesi Selatan, Racik Meracik Ilmu, http//youchenkymayeli.blogspot.com/2012/10/upacara-Mappalili-turun-sawah-di.html?=1 Diakses 5 September 2013).

34Yusri Bahjar, Upacara Mappalili ( Turun Sawah) di Sulawesi Selatan, Racik Meracik Ilmu, http//youchenkymayeli.blogspot.com/2012/10/upacara-Mappalili-turun-sawah-di.html?=1 Diakses 5 September 2013).

persembahan beberapa bahan sesaji untuk para dewa yang dianggap telah memberikan rahmat kepada masyarakat setempat selama satu tahun sebelumnya.35 Upacara yang dipimpin puang matoa harus berkomunikasi dengan Arajang. Menjelang sore, lilin-lilin yang dibuat dari kemiri yang ditumbuk halus, pesse pelleng, mulai dinyalakan. Walausuji, semacam usungan terbuat dari bilah bambu, isi dari walasuji adalah nasi ketan empat warna, merah, hitam, kuning dan putih, yang menggambarkan empat unsur alam yaitu api, udara, tanah, dan air. Kemudian ada ayam, buah-buahan dan kue tradisional Bugis sementara sesajian menjadi persembahan untuk leluhur sebagai bentuk ungkapan rasa syukur.36

Saat senja, walausuji diusung ke tengah sawah yang menghampar di belakang jajaran rumah penduduk. Diiringi mantra-mantra, pemimpin Bissu melepas sesajian ke sawah. Sisahnya di taruh dalam wadah yang dilapisi daun pisang (leko utti), digantung pada pohon-pohon yang di anggap keramat (makerre’).37

Setelah itu, prosesi dilanjutkan dengan massanro, para tamu yang datang menyodorkan beberapa lembar daun sirih yang disisipi selembar uang kertas Rp. 1000, sebagian datang karena merasa sakit dan mohon kesembuhan. Setelah proses massanro selesai, atraksi yang dinanti-nantikan pada setiap upacara

35Raniansyah Rahman, Bissu di tanah bugis, Kolong Sastra Merah-Putih,

http://raniansyah-pelangimerahputih.blogspot.com/2011/11/Bissu-dan-informasi-lengkapnya.html?=1 ( Diakses 5 September 2013).

36M. Farid W. Makkulau, Potret Komunitas Bissu di Pangkep, h. 99. 37M. Farid W. Makkulau, Potret Komunitas Bissu di Pangkep, h. 100.

upacara Bissu ini yaitu maggiri. Dalam keadaan bawah sadar dan dikendalikan oleh arwah leluhurnya, para Bissu trus mengoceh dalam bahasa Bugis, para Bissu mengingatkan kepada setiap orang agar terus memperhatikan dan memelihara

tradisi itu. “ jika kalian tidak menjagaku, maka kehidupan ini akan menjadi tidak

seimbang”.38

Setiap orang kemudian masuk satu per satu ke dalam bilik, mereka masing- masing masuk dengan keyakinan sedang berhadapan dengan leluhur yang dapat mengabulkan segala hasratnya, beberapa datang dengan segelas air atau sesisir pisang untuk diberkahi, sampai dengan membawa ayam untuk dielus-elus agar membawa berkah. Hal ini berlangsung hingga lewat tengah malam. Keesokan harinya, warga kembali mengarungi kehidupan dengan spirit baru. Tradisi Bugis kuno ini masih berlanjut.39

B. Tinjauan Umum tentang Hukum Islam

Dokumen terkait